Share

Bab 6

Aku mondar-mandir di dalam  kamar dan sesekali melirik tumpukan uang yang berserakan di atas tempat tidur. Pikiranku kalut. Hari berganti dengan cepat dan hari ini adalah waktu perjanjian itu berakhir. Yang artinya, aku harus mengumpulkan uang untuk mengganti kamera yang kupecahkan. Aku terus menghitung uang yang terkumpul, jumlah uang milikku hanya seperempat dari harga kamera itu atau mungkin lebih sedikit dari itu. Tabunganku sudah habis tidak tersisa. Tidak ada pilihan lain, selain menegosiasi dengan laki-laki itu. Tidak mungkin aku memintanya pada Mama dan Papa mereka bisa curiga aku meminta uang sebanyak itu. Aku sangat stress memikirkan itu semua.

Menghempaskan tubuhku di atas ranjang karena kakiku terasa pegal akibat mondar- mandir. Suara ponsel menandakan pesan masuk. Kuraih ponsel yang berada di atas nakas di sebelah kananku. Deg, begitu membaca tulisan yang tertera pada layar ponselku,’cowo menyebalkan’. Itulah nama kontak laki-laki pemilik kamera itu. Refleks, aku langsung merubah posisi tidurku menjadi posisi duduk setelah membaca pesannya.

Cwo menyebalkan :

Waktu perjanjian sudah habis, saya mau kamera saya kembali hari ini. Saya tunggu di taman komplek dekat rumahmu.

 Setelah membaca pesan dari laki- laki itu aku menghempaskan kembali tubuhku ke atas ranjang tanpa melepaskan gengamanku pada ponsel.

Me : Kamu kan bilang satu bulan lagi.

Cwo menyebalkan : Nggak ada, 10 menit lagi saya sampai. Kalau kamu nggak ada, saya bisa seret dari rumah kamu.

Aku meringis, kejam! Aku melempar bantal ke pingir ranjang, ponsel berdering kembali lalu meraba meraih ponsel tanpa beranjak dari posisi.

Cwo menyebalkan : Siap- siap saya ke rumah kamu.

 Aku menutup wajah dengan bantal lalu memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk dan saat membuka mata mimpi buruk itu hilang. Akan tetapi, ini kenyataan yang harus kuhadapi. Melempar bantal membalas pesannya.

Me : Iya ya aku ke sana.

Cwo menyebalkan : Bagus.

Tamatlah riwayatku !

Yang keluar dari mulutku hanya desahan lemah. Tidak sampai sepuluh menit aku telah sampai di taman dan duduk di salah satu kursi yang sama saat membuat perjanjian dengan laki- laki itu. Sore hari seperti ini, taman ini cukup ramai pengunjung dari berbagai kalangan. Sepasang anak laki-laki dan perempuan yang berada tidak jauh dari pandangan telah mencuri perhatianku. Mereka duduk beralaskan rumput. Sang anak perempuan terlihat tengah berbicara dan anak laki- laki disampingnya tampak hening dan mendengarkan ocehan anak perempuan itu dengan saksama. Kuperkirakan umur mereka berkisar 8 atau 9 tahun. Terlihat dari gerak bibirnya, jika sesekali anak laki-laki itu menimpali pembicaraan anak perempuan di sampingnya. Sedangkan anak perempuan itu tertawa mendengar celetukan anak laki- laki itu.

Aku jadi mengingat masa kecil yang indah didampingi seorang sahabat yang selalu ada untukku, tetapi entah di mana sekarang sahabat kecilku berada. Sebuah deheman mengalihkan perhatianku dari kedua anak kecil. Aku mengarahkan pandanganku ke sumber suara. Seorang laki- laki duduk di sebelahku tanpa dipersilahkan.

 Aku menghela nafas setelah tau siapa orang di sebelahku. “Bagaimana?” Pertanyaan singkat  penuh arti.

“Aku…”

Bagaimana aku mengatakan padanya jika aku tidak mampu mengganti kameranya itu?

Aku mengigit bibir, kedua tanganku saling menaut.

Dia mengamati wajahku dan aku yakin jika ekspresi kalut terpampang jelas pada wajahku. “Aku belum bisa mengganti… emm… kameramu dengan waktu sesingkat itu,” ucapku ragu. Wajahnya tampak datar tanpa ekpresi apapun.

Terdengar dia menghela nafas gusar dan berkata. “Itu nggak masalah.” Aku menautkan kedua alis, merasa heran mendengar ucapannya barusan.

“Kalau kamu nggak bisa mengganti kamera saya, siap- siap besok mendapat satu peringatan dari pihak kampus. Dan itu sangat mudah buat saya yang sekarang ini menjadi dosenmu,” lanjutnya tajam. Mataku terbelalak mendengar ucapan terakhirnya, perkataannya itu membuat aku semakin kalut.

Bagaimana ini? Aku tidak mau sampai masalah ini melibatkan kuliah. Ucapan laki-laki itu terdengar meyakinkan.

“Aku mohon jangan libatkan kuliahku dengan semua ini.” Aku menyatukan kedua tanganku dan memohon. “Aku janji akan memenuhi semua permintaanmu, tapi tolong jangan sampai kepala dosen atau siapapun tau tentang masalah ini.”

“Apapun?”

 “Iya, apapun itu asal bisa mengganti kameramu itu,” jawabku dengan wajah memelas.

Kami berdua terjebak di dalam keheningan. Laki- laki itu tampak tengah berpikir keras. “Baiklah! Berhubung aku sedang berbaik hati. Aku memberi keringanan. kamu harus mau jadi asistenku.”

“Apa asisten?” Dia menganguk mantap.

“Itu terserah padamu. Mau menjadi asisitenku atau…”  Dia mengantungkan ucapannya, segera aku menyela.

“Iya, aku setuju menjadi asistenmu,” potongku cepat.

“Deal?” Dia mengulurkan tangannya ke arahku.

Aku menarik nafas. Tidak  ada pilihan lain, “Deal!” Aku menjabat tangannya sebagai bentuk kesepakatan.

Aku dan laki – laki menyebalkan itu selesai bernegosiasi. Aku akan menjadi asisten pribadinya. Dia akan memberitahukan pekerjaanku besok dan  yang membuat aku malas adalah mulai besok dia akan menjemputku menuju kampus. Sebab mulai besok, aku sudah mulai menjadi asistennya laki-laki menyebalkan itu.

******

Ribuan cahaya kecil berkelap- kelip menghiasi hamparan langit yang gelap. Ditambah cahaya bulan dapat membuat malam yang gelap menjadi terang. Bulan dan bintang selalu bersama mengarungi kegelapan malam dan mereka berdua sama-sama menyinari langit malam bersama. Pemandangan langit malam selalu membuatku terpukau. Aku selalu memimpikan pasangan seperti bintang dan bulan. Bersama menerangi kegelapan kehidupan, kerumitan menjadi mudah karna adanya dua kekuatan di dalamnya.

Angin malam semakin menusuk kedalam tulang, Kurekatkan jaket yang aku pakai, tidak ingin beranjak dari kursi rotan di balkon kamar. Tempat ini merupakan tempat favoritku untuk menenangkan diri dari kegundahan. Memandang langit malam seperi ini dapat mengurangi sedikit tumpukan beban pikiran yang memenuhi otakku.

Kreek !

Terdengar suara entah dari arah mana, Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga seraya menajamkan pendengaranku.

“Siapa di situ?”

Seketika gelap, lampu kamarku mati. Seluruh lampu rumah ikut padam dan membuat suasana gelap gulita. Aku berjalan dengan perlahan memasuki kamar, mencoba mencari lilin dengan mengandalkan cahaya dari ponsel menelusuri nakas dan meja belajar. Akan tetapi tidak ada satu pun lilin yang  kutemukan. Aku mengarahkan pada jam dinding, pukul 12.

Kuturuni anak tangga dengan hati- hati. “Bi !”

“Aku yakin Bibi belum tidur jam segini.“

 Aku berjalan menuruni tangga dengan hati-hati menuju kamar Bibi Surti. Mama dan papa sedang tidak ada di rumah, mereka tengah sibuk dengan bisnisnya dan Bibi, dimana dia? Lebih baik aku ke kamarnya.

Kuketuk pintu kamarnya, tidak lama kemudian wajah Bi Surti terlihat dari balik pintu.

“Neng… Kenapa gelap kieu?” tanya Bibi Surti dengan menggunakan bahasa Indonesia berlogat khas Sukabumi.

“Lho… Bi nggak tau kenapa listriknya mati?” Aku berbalik bertanya.

 “Nggak tau atuh, tadi Bibi katiduran jadi nggak tau.”

Pantas saja.

“Bi tolong carikan lilin atau senter untuk menerangi kamarku, terus setelah itu temani aku memeriksa terminal listrik di depan rumah.”

“Siap, Neng.”

Bibi pergi meninggalkanku sendiri di depan kamarnya. Tidak lama kemudian Bibi datang dengan membawa lilin yang menyala dan beberapa lainnya beserta senter yang langsung kuraih dari tangannya. Kemudian, kami berdua berjalan menuju depan rumah dan memeriksa terminal listrik. Jarak terminal listrik cukup tinggi dari jangkauanku. Aku mengangkat kursi yang berada di teras rumah.

“Apa yang bermasalah, Neng?” Bibi hanya memperhatikan kegiatanku sembari memegang lilin yang menyala.

“Kayanya ada salah satu lampu yang konsleting listrik, Bi.” Aku mengeser tombol di terminal itu ke kanan dan semua lampu menyala. Senyum terukir di bibirku. Beruntung, ini bukan masalah serius.

“Coba Bibi mau liat dulu ka rumah.” Aku mengikutinya mencari lampu yang bermasalah. Kami berdua berpencar mencari permasalahan menyebabkan listrik mati.

“Teu aya Neng,” aku juga tidak menemukan apapun penyebab listrik mati.

“Sama Bibi ge, aneh.” Bibi mengangguk mengikutiku duduk di ruang tengah, kantukku kembali menyerang.

“Kaya sengaja gitu Neng, dimatikeun dari kotak yang tadi.”

“Terminal listrik.”

“Iya itu, masa nggak ada yang konslet listriknya mati sendiri kan aneh.” Benar juga kata Bibi, listrik tiba- tiba mati tanpa ada penyebabnya. Ini mencurigakan dan kejadian itu selalu jam 12.

“Neng tidur lagi nanti kasiangan kuliah na, Bibi duluan nya.” Aku menganguk mengikuti Bi Surti menuju kamar mengerjakan tugas yang semakin menumpuk. Aku tidak pernah menyesal mengambil jurusan Arsitektur walaupun harus begadang setiap hari, karena aku telah mencintai jurusan ini. Sesuatu yang kita cintai akan dikerjakan sepenuh hati.

 Aku menaiki tangga menuju kamarku. Langkahku terhenti saat melihat bayangan hitam yang berada di balkon. Betapa bodohnya aku tidak menutup pintu yang menghubungkan balkon dengan kamar.

Aku menelan ludah. Entah keberanian dari mana kakiku melangkah perlahan menuju bayangan hitam itu berada. Detak jantungku berpacu lebih cepat dengan langkah kakiku. Angin dari balkon berhembus kencang hingga ujung tirai terbang mengikuti arah angin yang masuk.

Siapa bayangan hitam itu?  Mengapa dia bisa berada di sini?

Aku menarik nafas, keningku berkerut saat tidak menemukan siapapun disini. Sepi seperti terakhir kali aku meninggalkan tempat ini. Merasa penasaran, Aku mengedarkan pandangan ke penjuru halaman rumah, tetapi tidak ada siapapun. Angin malam berhembus kencang menerbangkan anak rambut yang keluar dari ikatan rambut, aku menangkapnya lalu menyelipkan di balik telinga. Udara dingin di malam ini menembus jaketku hingga tubuhku mengigil kedinginan. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan tidur, tetapi sebelum itu aku menutup pintu kaca buram tidak tembus pandang yang menjadi penghubung balkon dan kamarku. Kemudian menguncinya, takut jika bayangan hitam itu kembali.

******

Sebuah suara yang memanggil namaku menghentikan langkahku yang sudah berada di depan pagar.

 “Neng Fidela! Maaf menganggu,” ucap Pak Nana dengan logat sundanya. Beliau tersenyum ramah sembari menuntun sepeda yang selalu digunakannya untuk memeriksa keliling komplek, dia seorang satpam penjaga komplek.

“Nggak Pak, Ada apa ya, Pak?” tanyaku tersenyum ada perasaan  heran.

“Begini Neng. Semalam teh Bapak keliling, tapi pas lewat rumah Neng Bapak lihat ada orang yang berdiri di depan pagar. Bapak niat teh menghampirinya setelah mengirim amanat ke blok C, tapi Bapak  nggak lihat lagi orang itu setelah Bapak kembali ke rumah Neng. Dia teman Neng bukan?”

Aku mengulang kembali kejadian semalam di dalam benakku. Tidak ada siapapun berkunjung ke rumah, yang ada hanya kejadian aneh yang terjadi semalam. Kecuali.

“Bapak tau nggak ciri- ciri orang itu?” tanyaku penasaran.

Pak Nana terlihat tengah mengingat malam itu sebelum dia berbicara. “Malam itu gelap dan jarak Bapak the dengan orang yang berdiri di depan pagar Neng cukup jauh, jadi Bapak nggak terlalu jelas. Tapi orang itu kayanya laki- laki, Neng. Orang itu tinggi dan tubuhnya seperti laki- laki pada umumnya.”

 Laki – laki  tinggi? Bila dia temanku, maka hanya dua orang yang dapat kupikrkan saat ini karena mereka sering berkunjung yaitu Azka dan Ismi. Yang dilihat Pak Nana adalah seorang Laki – laki, apa mungkin Azka yang semalam berdiri di depan rumahku? Tetapi mengapa tidak memencet bel atau menghubungiku?

“Ya, sudah atuh Neng, kalau begitu Bapak pamit dulu masih ada pekerjaan,” ucapan Pak Nana menyadarkanku dari lamunanku.

“Iya, Pak, terima kasih atas informasinya” Pak Nana mengangguk sebelum pergi dengan mengayuh sepedannya.

 Siapa orang yang Pak Nana maksudkan?

Deheman keras menghapus pertanyaan demi pertanyaan yang memenuhi otakku. Seorang laki - laki tinggi telah berdiri di hadapanku dengan memakai kemeja abu-abu bergaris horizontal. Lengan kemejanya dilipat sampai ke sikut, laki – laki ini sangat terlihat segar dengan rambutnya yang basah.

“Kamu mau terus berdiri disini?” tanya pria ini dengan ekspresi datar. Ekspresinya selalu seperti itu. Mungkin, selain wajah marah dan menyebalkannya dia tidak memiliki ekpresi  lain yang bisa dia tunjukkan padaku.

“Masuk!” ucap laki - laki itu. Mau tidak mau, aku mengikutinya memasuki mobil kijang berwarna silver miliknya lalu duduk pada kursi penumpang yang berada di sampung kursi pengemudi.

Ucapan Pak Nana terus terngiang di telingaku dan kejadian semalam ternyata bukan halusinasi. Bisa jadi, orang yang dimaksud Pak Nana adalah orang yang sama yang berada di balkon kamarku, tetapi bagaimana bisa orang itu dapat berada di balkonku dengan mudah? kamarku berada di lantai dua dan tidak ada penyanga apapun yang dapat membuat seseorang memanjatnya untuk menuju kamarku. Ini aneh  perlu diselidiki agar mendapat jawaban dari semua pertanyaanku. Sebenarnya apa tujuan orang yang menjelma sebagai bayangan hitam atau sosok hitam itu? Tetapi bagaimana caranya aku menyelididki sosok itu? Tidak mungkin aku sendiri yang menyelidikinya.

Sebuah deheman menyadarkanku bahwa ada seseorang yang berada di sebelahku. Aku menoleh ke arahnya.

“Kamu mau terus disini?” tanyanya ketus sembari menatapku dengant tajam. Apa lelaki ini tidak bisa bersikap manis sedikit saja? Perkataanya selalu seperti itu. Kuarahkan pandanganku kea rah depan  dan hal pertama yang kulihat adalah gedung kampus.

Apa susahnya dia bilang sudah sampai dasar pria menyebalkan.

“Ini hari pertama kamu menjadi asistenku, jadi jangan membuatku terlambat.” Lanjutnya lagi, kemudian membuka pintu mobil. Dia melangkah keluar dari mobil bersamaan dengan pintu mobil yang sudah terbuka. Aku menghela nafas panjang, lalu berjalan keluar dari mobil dan berjalan mengikuti langkah laki – laki itu.

Setelah keluar dari mobil, pria itu menyodorkan beberapa buku yang cukup berat di tambah laptopnya. Seperti ini kah pekerjaan menjadi asisten seorang dosen? Membawakan buku-buku seberat ini beserta laptopnya. Yang paling menyebalkan dia hanya membawa satu buku tipis. Menyebalkan. Dia berjalan mendahuluiku.

“Fifi!” Aku menghentikan langkah menoleh ke arah suara. Ka Irfan senior satu tingkat tersenyum manis padaku.

“Iya ka, ada apa?”

“Nanti sore ada waktu nggak?” Sebelum aku menjawab pertanyaannya, seseorang sudah menyela.

“Jangan buat saya terlambat, ayo cepat nanti saja ngobrolnya,” ucapnya dingin. Entah sejak kapan dia telah berada di sampingku, kemudian menarik lenganku seenaknnya. Aku menoleh ke arah meminta maaf tanpa suara. Dia tersenyum mengacungkan jempolnya.

Tidak lama berjalan setengah diseret oleh laki- laki menyebalkan ini,  kami tiba di dalam kelasku yang berada di lantai dasar. Laki - laki itu melepaskan gengamannya pada lenganku sebelum memasuki kelas dengan gaya yang sok manis di hadapan kelas, tetapi dapat kupastikan jika wajah manisnya itu palsu. Dia memanggilku untuk ikut masuk dan juga menyuruhku untuk menyimpan buku di mejanya, kemudian menyuruhku untuk duduk di kursi dekat mahasiswa lain.

“Fi!” Ismi memanggil namaku dengan setengah berbisik. Tanpa menjawab aku mengarahkan pandangaku ke arah Ismi sebagai jawaban atas panggilannya tadi.

“Kok bisa bareng dosen ganteng itu?” tanya yang masih berbisik. Ismi melirik ke arah dosen menyebalkan yang berada di depan kelas kami.

“Ceritanya sangat panjang, nanti aku ceritakan,” jawabku sembari memandang ke hadapanku dan Ismi secara bergantian.

“Janji ya kamu harus menjelaskan ini semua?”

Aku membentuk sebuah bulatan dengan jari jempol dan juga jari telunjukku, memberikan tanda ‘ok’ sebagai jawaban atas permintaan Ismi tadi. Kemudian, aku memfokuskan pikiranku sepenuhnya kepada dosen paling menyebalkan itu. Aku tidak peduli jika dosen itu menyebalkan, yang terpenting aku membutuhkan materinya.

******

“Begitu lah ceritanya. Dengan terpaksa aku memenuhi keinginannya untuk menjadi asisten pribadinya.” Aku menyeruput milk shake coklat dengan rakus. Dosen menyebalkan itu membuatku sangat kerepotan karena dengan seenaknya dia memerintah aku ini dan itu, sehingga aku sangat kelelahan seperti ini.

“Masa sih dosen ganteng itu, kaya gitu?” Aku mendengus mendengar Ismi selalu memuji dosen itu ganteng.

 “Tuh kan sahabatku sendiri nggak percaya, terserah lah.” Aku menyambar milk shake strawberry milik Ismi karena minumanku telah habis namun tengorokanku masih kering.

“Astaga, sekalian segalon tuh.” Tanpaku hiraukan ucapan Ismi, aku meminum milk shake-nya hingga tandas. Cukup membuat tengorokan berair dan tidak kering seperti tadi. “Ah milk shake aku abis kan.” Dia mengoyang- goyang kan gelas plastiknya.

“Haus Mi, mana cape lagi.” Aku mengulung rambutku, angin langsung mengegarkan leherku yang berkeringat.

“Iya nggak dihabisin juga kali, kan aku masih pengen” jawabnya cemberut. Aku hanya terkikik.

“Nggak semua pria tampan itu baik.” Aku menyadarkan punggung pada sandaran kursi kantin kampus. “Jadi kamu jangan terlalu percaya dengan tampang seseorang.” Lanjutku lagi. Ismi hanya mengeleng tidak jelas, entah perkataanku yang mana yang tidak disetujuinya.

“Perkatanmu memang benar, tetapi aku heran sama kamu akhir- akhir ini yang sering terlambat. Dulu kamu rajin banget kalau ada kelas pagi. Ada apa?” Aku menghembuskan nafas gusar saat mendengar pertanyaan Ismi.

Ya, itu memang benar. Sebelum mimpi buruk sering menghantuiku, aku lebih suka kelas pagi dari semester awal dan sekarang tinggal satu tahun lagi berubah. Lebih tepatnya semenjak aku pergi kemping dua bulan lalu semua keanehan muncul dan sampai sekarang sosok itu terus mengusik hidupku.

“Entahlah Ismi, akhir- akhir ini sering mimpi buruk dan dampaknya aku bangun kesiangan.” Ditambah secara nyata bayangan hitam itu selalu muncul dimanapun aku berada. Ucapku hanya di dalam hati, tidak semua kejadian dapat kuceritakan padanya.

Ismi yang duduk di sebrangku memajukan tubuhnya agar lebih dekat kepadaku yang terhalang meja persegi. “Kamu belum menceritakan soal ini kepadaku,” ucapnya menyelidik. Aku tercengang. Tanpa sadar, aku membongkar kejadian yang selama ini aku sembunyikan.

“It-itu hanya mimpi buruk biasa,” jawabku terbata. Membuka tugas yang baru saja di berikan.

“Kamu nggak menyembunyikan sesuatu dariku?”

Apa sekarang waktunya aku menceritakannya kepada Ismi? Tetapi aku pernah mengatakan soal ini sebelumnya. Ismi tidak mempercayai perkataanku dan menganggap itu hanya lah halusinasiku. Percuma saja hari ini aku mengatakannya lagi, pasti jawabannya tetap sama. Belum sempat aku menjawab pertanyaan Ismi terdengar sapaan seseorang yang mengalihkan pandanganku dan Ismi ke arah sumber suara.

“Hai semua,” sapa pria itu sekali lagi. Pria bekulit putih itu mengenakan kaos coklat polos berlengan panjang, sebelah tangannya menyandang tas punggung.

Azka.

Tanpa dipersilahkan, Azka duduk di kursi yang terletak di antara kami berdua. Ismi tersenyum ke arah Azka dan Azka membalas senyumannya. Aku hanya tersenyum melihat Ismi merona seperti itu. Ismi menyukai pria itu. Semenjak bertemu dengan Azka di tempat kemping, Ismi langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Menuruut pengakuan Ismi, Azka itu selain tampan, ramah dan pintar dalam memainkan gitar, dan semua itu keren menurut Ismi. Cinta telah membutakan mata wanita itu.

“Kebetulan bertemu disini,” ucap Azka memandang ke arahku.

“Memangnya ada apa?” tanyaku heran.

“Aku merindukanmu. Kita nggak ketemu seharian ini,” ucapnya mengoda

Aku tertawa tidak menangapi ucapannya. “Jangan dengarkan itu Ismi, dia tukang gombal.” Azka Mengedipkan sebelah mata kepada Ismi, sedangkan Ismi hanya tersenyum mendengar ucapanku.

“Mana mungkin nggak ketemu seharian, kita satu kelas dan kita sudah bertemu tadi. Gombalanmu payah,” ledekku sembari tertawa.

“Ini fatal. Bagaimana mungkin seorang perempuan meledek dan ngetawain gue. Ini balasannya.” Tangan Azka sudah berada di kedua pipiku dan mencubitnya cukup keras, Aku hanya mengaduh kesakitan disela tawaku. Azka terus mengancamku agar meminta ampun kalau tidak pipiku akan terus dicubit olehnya. Tawaku tidak dapat berhenti. Alhasil, tangan azka masih berada di kedua pipiku.

“Oke… oke… ampun Tuan Azka, aku lagi ngerjain tugas ni, lepas cubitannya” Azka melepaskan cubitannya. Membuka laptop mengusap pipiku aku yakin jika kedua pipiku tampak merah saat ini. “Aduh sakit, tau…  seenaknya aja nyubit.” Aku mengusap kedua pipiku untuk mengurangi rasa sakitnya.

“Itu balasannya,” ucapnya sembari tertawa. Ujung mataku menangkap seseorang di sebrang meja dan aku melupakan Ismi. Aku mengarahkan tubuhku ke arah Ismi yang duduk dengan ekpresi muram. Aku membuat kesalahan dengan membiarkan Ismi melihatku dan Azka uang tengah bercanda.

“Azka, Ismi suka pagelaran seni yang kamu maksud.” Aku mencoba memperbaiki keadaan dengan mengalihkan topik. Semoga percakapan ini bisa mencairkan suasana. Selain kegiatannya di kampus, Azka juga pemain drama musical dengan berbagai macam tema. Mulai dari cerita rakyat maupun cerita masa kini.

“Beneran?” tanya Azka kepada Ismi. Pada awalnya senyum Ismi terlihat ragu, tetapi secara lama-kelamaan cerita Azka membuat mereka berdua asyik mengobrol. Aku tidak akan mungkin menghancurkan kebahagiaan sahabatku.

Sebuah pesan masuk dari dosen menyebalkan itu.

Cwo menyebalkan : Fidela aku membutuhkanmu, ke kantor sekarang juga, 2 menit dri sekarang.

Ya ampun lama- lama aku bisa stress menghadapi dosen menyebalkan ini.

“Ismi, Azka aku duluan ya. “ Menutup laptop lalu memasukannya ke dalam tas.

“Kemana? Kok buru- buru.” Azka dan Ismi menatapku.

“Fifi punya kerjaan baru sekarang, Ka.” Ismi menjawab pertanyaan Azka untukku.

“Yang bener, kerja di mana?”

“Nggak, jangan dengerin Ismi, aku nggak bisa lepas dari tugas yang semakin menumpuk, cuma ada urusan penting bukan kerjaan kok.” Beranjak berdiri memeluk buku lalu menyampirkan tas pada bahu, “Aku pamit ya, eh kerjain tuh tugas jangan pacaran terus.” Aku tergelak segera pergi sebelum Ismi menimpukku.

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status