Setelah dua minggu berlalu, kondisi Oliver mulai membaik, meskipun ia masih harus bergantung pada kursi roda. Damian merasa bertanggung jawab untuk membantu saudaranya dan meminta izin kepada Merry untuk datang berkunjung.Damian menghampiri Merry dengan wajah penuh kerendahan hati. "Merry, apakah aku bisa datang dan membantu kalian berdua?"Merry menatap Damian dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Tapi aku merasa khawatir, Damian. Apa jika sesuatu terjadi padanya lagi?"Damian menggeleng dengan lembut. "Kita akan ada di sana untuknya, Merry. Bersama-sama, kita bisa mengatasi semua rintangan yang muncul."Namun, Merry masih ragu. "Aku tidak yakin, Damian. Aku tidak ingin mengambil risiko."Damian merasa putus asa. "Merry, kita harus bersatu untuk Oliver. Kita tidak bisa membiarkannya sendirian dalam perjuangannya ini."Mereka berdua terlibat dalam perdebatan panjang, masing-masing mencoba mempertahankan pandangannya. Namun, akhirnya, Damian mencoba menjelaskan lebih lanjut."Merr
Damian berdiri di depan jendela kaca yang menghadap ke ruang ICU, memandang dengan tatapan kosong. Di balik kaca itu, adiknya, Oliver, terbaring tak bergerak di ranjang rumah sakit, dipenuhi oleh berbagai alat medis yang menghubungkan dirinya dengan dunia luar.Setiap detik terasa seperti berat baginya. Dia merasa begitu tak berdaya, begitu tidak mampu melindungi orang yang dicintainya.Pikirannya dipenuhi oleh rasa bersalah yang melilit hatinya."Maafkan aku, Oliver," gumamnya pelan, meskipun tahu bahwa kata-kata itu takkan pernah didengar oleh adiknya yang terlelap dalam keadaan koma.Damian terus menatap Oliver dengan mata penuh kekhawatiran dan penyesalan. Dia merasa seperti telah gagal dalam menjaga dan melindungi adiknya. Rasanya, dia tak tahu lagi harus berbuat apa.Merry datang menghampiri Damian, melihatnya berdiri di sana dengan ekspresi yang begitu terpuruk. "Damian, apa yang terjadi pada Oliver? Mengapa dia jatuh?" tanyanya dengan suara penuh kekhawatiran.Damian menoleh
Perjuangan Damian dan Merry untuk menjaga Oliver dan melindungi Merry sangat mengharukan. Meskipun dihadapkan pada situasi yang sulit dan penuh tekanan, mereka tetap bersatu dan saling mendukung satu sama lain. Langkah Damian untuk mengambil tindakan hukum terhadap Eric menunjukkan tekadnya untuk membawa keadilan bagi saudaranya dan Merry."Oliver... Oh, Tuhan, kau bangun!" Merry terkejut."Ya, Merry. Aku... aku mencoba.""Kenapa, Oliver? Kenapa kau melakukan hal bodoh itu? Kau hampir membuat kami kehilanganmu.""Maafkan aku, Merry. Aku... aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.""Tapi kenapa, Oliver? Kenapa kau melakukan ini?""Ketika kecelakaan itu terjadi, semuanya berubah. Aku... aku merasa tidak berguna, Merry. Tidak berguna untuk siapapun.""Oh, Oliver... Kamu begitu penting bagi kami semua. Kamu adalah adik yang luar biasa bagi Damian, suami yang baik bagi saya....""...Tapi aku tidak pantas menjadi itu semua, Merry. Aku... aku merasa seperti beban bagi kalian semua.""Tidak,
Damian dan Merry duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan wajah cemas. Oliver terbaring lemas di ranjang pasien, napasnya yang terengah-engah menjadi satu-satunya suara di ruangan yang sunyi itu. Tiba-tiba, Oliver mendadak menjerit kesakitan, tubuhnya terkejang-kejang di ranjang.Damian langsung bangkit, matanya memancarkan kepanikan saat ia memanggil dokter dengan suara lantang."Dokter! Tolong, cepat!" Damian berteriak panik sambil memanggil bantuan.Beberapa perawat dan dokter segera berdatangan, mengerumuni Oliver yang tergeletak dengan wajah pucat di ranjang. Salah seorang dokter segera memeriksa keadaannya, sementara yang lain mengambil alat untuk melakukan pemeriksaan darurat."Dia menderita kejang! Segera bawa dia ke ruang gawat darurat!" perintah dokter dengan suara tegas.Para perawat dengan sigap membantu mengangkat Oliver dari ranjang dan membawanya menuju ruang gawat darurat. Damian dan Merry mengikutinya dengan langkah tergesa-gesa, hati mereka berdebar-debar tak men
Di ruang duka yang sunyi, Oliver dipindahkan dengan hati-hati dari ambulans ke sebuah peti mati kayu yang polos. Damian, yang masih terguncang oleh kematian tiba-tiba adiknya, berdiri di samping peti itu dengan tatapan kosong. Merry, yang masih penuh dengan kesedihan, duduk di kursi sebelahnya, menangis dengan histeris. "Dia seharusnya tidak mati, Damian," desah Merry di antara isakannya. "Ini tidak adil."Damian merangkul Merry erat, mencoba menenangkan kecemasannya sendiri sambil juga menghibur Merry. "Aku tahu, Merry. Tapi sekarang kita harus berusaha menerima kenyataan ini dan memberi Oliver perpisahan yang layak."Mata Damian tiba-tiba melirik peti mati di depannya dengan ekspresi yang menunjukkan rasa ketidakpuasan. Tanpa berkata apa pun, ia mulai mendekati peti itu, tangannya sudah meraih gagangnya.Sebelum ia bisa membuka peti mati, dokter dan perawat yang bertugas segera menyergapnya, menghalanginya dengan keras."Mohon maaf, Tuan Damian, tapi kami tidak dapat mengizink
Setelah Damian memberikan kabar yang mengejutkan, Merry merasa dunianya hancur.Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia dengar. Bagaimungkin bisa ada kesalahan dalam identifikasi mayat? Tapi saat Damian menegaskan bahwa itu bukanlah Oliver, Merry merasa pusing oleh gelombang kebingungannya."Damian, kamu pasti salah," ucap Merry dengan suara gemetar. "Bagaimungkin ini bukan Oliver? Mungkin ada kesalahan."Damian menggelengkan kepala dengan keras. "Aku yakin, Merry. Aku melihatnya sendiri. Kita harus menghentikan prosesi pemakaman ini sebelum terlambat."Merry terdiam sejenak, matanya memancarkan kecemasan yang mendalam. Namun, di balik kecemasan itu, ada ketegasan dalam hatinya. "Aku tahu ini sulit dipercaya, Dami, tapi kita tidak bisa membuat keputusan gegabah. Oliver akan memiliki pemakaman yang layak, bahkan jika ini memang bukan dia di dalam peti mati itu."Damian merasa putus asa. Dia tidak bisa memahami bagaimana Merry bisa tetap begitu tenang dalam menghadapi situasi yang m
Suasana pagi itu terasa hening di sekitar rumah Merry. Cahaya matahari perlahan mulai menyelinap masuk melalui jendela kamar, menyinari wajah Merry yang terbaring di atas tempat tidur. Namun, meskipun suasana terlihat tenang, di dalam hati Merry, ada kegelisahan yang tak terucapkan.Sejak peristiwa tragis yang mengguncang keluarganya, Merry merasa semakin terisolasi dan terpisah dari dunia di sekitarnya. Dia merasa bahwa dia tidak bisa lagi mengandalkan siapapun, bahkan Damian, untuk memberinya dukungan dan kenyamanan yang dia butuhkan.Merry menatap langit-langit kamar dengan ekspresi bingung. Dia tahu bahwa dia harus membuat keputusan penting tentang hubungannya dengan Damian. Meskipun sebagian dari dirinya ingin tetap bersama Damian, ada bagian lain dari dirinya yang merasa bahwa dia harus hidup sendiri, tanpa ketergantungan pada siapapun.Setelah beberapa saat merenung, Merry akhirnya mengambil keputusan yang sulit. Dia memilih untuk hidup sendiri, mengejar kebebasan dan keman
Matahari terbit di langit, menerangi pasar dengan sinarnya yang hangat. Merry berdiri di antara kerumunan orang, berdandan layaknya seorang gadis desa. Pakaiannya sederhana, rambutnya dikepang dua, dan di tangannya tergenggam sekeranjang roti yang sengaja dia jajakan.Suasana pasar sangat ramai, dengan pedagang berteriak-teriak menjual barang dagangannya dan pembeli yang sibuk berjalan kesana-kemari. Merry mencoba mengamati setiap orang satu per satu, mencari tanda-tanda yang mungkin mengarahkannya pada keberadaan Oliver.Namun, kekacauan datang ketika segerombolan preman jalanan tiba-tiba mengganggu Merry. Mereka mengelilinginya dengan tatapan yang penuh dengan niat jahat, mencoba mengintimidasi gadis itu.Merry merasa ketakutan, namun dia memilih untuk tetap tegar. Dia menghadapi preman-preman itu dengan pandangan yang tajam, menolak untuk menunjukkan ketakutannya.Namun, sebelum situasi semakin memburuk, datanglah seorang pria tampan mengenakan sweater berwarna coklat. Dengan b