“Pagi, Tan. Udah mau berangkat kuliah ya?” sapa Bu Nana, saat aku baru saja nengeluarkan motor matic ke halaman rumah.
Bu Nana ini adalah ibunya Pak Dika dan saat ini dia sedang menyiram tanaman kesayangannya di depan rumah. Orang tua Pak Dika memang sudah kembali pulang, sehari setelah kejadian itu.
Duh, nggak usah diingetin ya soal kejadian itu. Soalnya jantung aku suka mau copot kalau inget moment mendebarkan itu.
“Tante, lama,” rengek Bella, saat siang itu aku jemput di sekolahnya.“Jangan rewel. Udah untung Tante jemput,” balasku malas plus kesal.Soalnya gara-gara harus jemput Bella, aku harus absen dari acara nonton bareng duo Nur. Padahal, acaranya sudah kami rencanakan dari jauh-jauh hari. Gara-gara telepon dari Bu Nana, semua jadi buyar sudah.“Tan,
Aku pernah sakit hati, aku pernah dikecewakan, bahkan pernah diselingkuhi. Karena aku bukan gadis polos yang tak pernah mengenal pacaran.Tidak! Tentu saja aku pernah pacarana, bahkan sejak SMP pun aku sudah punya pacar dan sering menangis karena putus cinta. Akan tetapi, hanya menangis seadanya karena sakit hati biasa, yang akan hilang seiring berlalunya hari.Hanya saja, kenapa aku merasa sakit hati kali ini beda ya?Rasanya lebih sakit dan lebih menyesakan. Sampai membuat aku kehilangan semangat hidup berhari-hari.
“Anjrit!” seru duo Nur kompak, saat aku selesai menceritakan kejadian itu.Kejadian saat aku dicium duda— eh Pak Dika tepatnya. Soalnya, sejak itu aku kaya orang gila katanya. Suka senyum sendiri, mesem sendiri, bahkan ngikik sendiri kayak Mbak Kunkun di pojokan.Si Nurhayati aja sampai berbaik hati bawain aku air Yasin saking nyangka aku beneran kesurupan.Ternyata, aku ini bukan kesurupan Mbak Kunkun, melainkan kesurupan Dewa Amor.Aish! Bahasaku ya?
“Tante, mau ya jadi mamaku?”Aku mendesah lelah saat untuk kesekian kalinya, Bella menanyakan pertanyaan yang sama padaku. Namun, belum bisa aku jawab. Bukan nggak bisa sebenarnya, tapi aku bingung mau jawab apa. Soalnya ... apa ya?Dibilang nggak mau terima, aku udah terlanjur baper sama Bapaknya. Tentu saja itu membuatku otomatis ngarep. Cuma … dibilang mau pun ... aku ... gimana ya? Jujur aku belum siap menikah. Apalagi langsung punya anak. Parahnya anaknya macem Bella lagi. Semakin ragu aku.Bukan karena aku benci si Bella atau nggak mau terima kehadiran dia. Aku cuma takut nggak bisa jadi ibu yang baik buat dia. Itulah sebabnya, aku masih belum bisa memutuskan apapun.&l
Aku pengecut.Ya! Aku tau itu. Namun, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa mempertaruhkan masa depanku hanya untuk sebuah rasa penasaran ‘kan?Ya karena menikah itu sekali seumur hidup, dan aku nggak main-main untuk itu. Itulah sebabnya, aku pun akhirnya menyerah dan tidak melanjutkan perdebatanku sama Bella.Nggak papah, masih ada bapak dan neneknya yang bisa aku todong nanti. Jadi ... ya woles aja.“Ya udah kalau kamu nggak mau cerita., Tante nggak maksa lagi. Tidur sono!” Aku merapikan selimutnya dan memutar badannya supaya memunggungiku.Malam ini, rencananya bocah ini memang mau menginap di rumahku. Dia masih ngambek sama Bapakn
“Huuuaaaa ... setres gue!” Aku mengacak rambutku frustasi, sambil membanting pantat teposku ke atas kursi kantin, tepat di sebelah si Nurhayati yang sedang menikmati nasi uduk pagi itu. Sampai-sampai dia tersedak sambel kacang di makanannya.“Bangke! Lo ngapa dah! Dateng-dateng ayan. Lupa minum obat lo?” maki Nurhayati, sambil terbatuk-batuk kemudian meraih air dengan sembarangan untuk segera diminum.“Njir, aer apaan nih?” teriaknya kemudian. Saat menyadari kalau air yang dia minum itu bukan air mineralnya. Melainkan cuka di bekas botol air mineral.Si Nurbaeti langsung ngakak melihat hal itu. Sampai memukul-mukul meja hingga menumpahkan siomaynya sendiri ke pangkuan atas kerudung putihnya. Tak
“Bulan depan kamu menikah dengan Pak Dika.” Innalillahi ... Rasanya aku baru saja dijatuhi vonis mati mendengar keputusan Papaku itu. Pasalnya, aku baru saja sampai dari kampus siang itu, dan ternyata Papa ada di rumah. Dia sengaja izin dadakan demi menungguku pulang. “Loh, kok gitu, Pa? Intan kan belum bilang setuju atau enggak?” “Salah sendiri kamu nggak angkat telepon Papa tadi pagi.” Aku langsung menggeram kesal. Saat diingatkan bagaimana pengecutnya aku mengindahkan telepon dari Papa, setelah bunyi chat yang membuat aku ingin pindah planet saat itu juga. Bagimana tidak, baru saja memulai hari, Papa sudah mengirim chat yang
Kadang aku benci dengan diriku sendiri. Aku seperti tidak belajar dari masa lalu. Padahal, dulu aku pernah mengalami kejadian ini, hingga membuat seseorang menghindariku, karena ucapan yang tak bisa dikontrol itu. Kini, aku malah mengulangi itu lagi. Parahnya, yang kusakiti sekarang adalah Bella. Anak kecil yang hatinya masih rentan sekali. Sekalipun kadang dia seperti orang tua. Namun, tidak ada yang bisa memungkiri, kalau kenyataannya dia memang masih kecil dan hatinya masih sangat sensitif. Sungguh! Aku merasa bersalah sekali mengetaui dia mendengar semua omonganku hari ini. “Bell?” Aku memanggil Bella dengan gusar. “Jadi Tante nggak mau nikah sama Papa karna ada Bella? Tante benci sama Bella?” ucapnya lagi membuat hatiku teriris. “Bukan seperti itu, Bell. Kamu salah paham.” “Tapi aku dengar sendiri kalau Tante bilang gitu tadi sama Nenek, Kakek! Tante nggak mau nikah, karena nggak mau punya anak Bella. Iya ‘kan?” Astaga!