Bab 608082022 Amina kesulitan bernapas. Wajahnya pucat pasi. Keberanian yang dimilikinya menguap. Ia masih ingin hidup dan bertemu dengan kedua orang tuanya. Dengan takut dan perut menahan mual, dia mengikuti perintah Om Jazuli.Tampak lelaki tua itu keenakan. “Teruskan Amina! Teruskan!” Matanya seperti orang mabuk. Lelaki itu terus mendesah. “Owh… aku cinta kamu Amina!” Dia terus menekan kepala Amina ke kemaluannya.Mertua kakaknya itu memang gila!Tenggorokan Amina seperti tersumpal daging yang kian menegang. Kemudian daging itu mengeluarkan cairan kental di dalam mulutnya. Tanpa sadar Amina menelannya. Rasa cairannya sangat menjijikkan!Perut Amina berontak dan berdesakan mau keluar. Dia tak tahan lagi dan berlari ke kamar mandi mengeluarkan semua isi perutnya. Setelah itu dia terduduk di lantai kamar mandi yang dingin. Namun, menyadari apa yang ditelannya tadi. Amina kembali muntah, hingga isi perutnya kosong. Gadis itu berdiri sempoyongan.Jazuli tak mengindahkan Amina. Dengan
Bab 7 09082022 Ajeng lalu memeriksa Amina, demamnya sudah hilang dan dia tertidur pulas di kursi. Dengan kaki berjingkat dia lalu mengambil tasnya dan meninggalkan Amina sendirian di hotel menuju parkir di mana bapak mertuanya telah menunggu. Dari kaca spion, Jazuli tersenyum melihat menantunya berjalan dengan percaya diri menuju ke arahnya. Dia membuka pintu mobil dan membiarkan Ajeng masuk. “Bagaimana? Apakah pekerjaanmu sukses?” Ajeng menepuk dadanya. “Siapa dulu dong, Ajeng!” jawabnya bangga. “Obat tidurnya sudah bekerja. Amina sekarang sedang tidur pulas seperti orang pingsan. Apa Bapak mau ke kamar? Atau membawa Amina langsung?” Jazuli berpikir sebentar. “Berapa lama obat tidurnya bekerja?” “Sekitar 7 – 8 jam.” Ajeng telah mencampur kopi latte Amina dengan obat tidur sebelum ia memberikannya pada Amina. “Hmm, sebaiknya aku bawa dia langsung. Kamarmu di sebelah mana?” tanya Jazuli antusias. “Ujung. Bapak bisa langsung membawa mobilnya ke depan kamar, dan membawa Amina ta
Bab 8 09082022 Amina tidak tahu sudah jam berapa sekarang. Dia hanya berbaring terlentang di atas kasur menatap cahaya matahari yang melewati celah genting yang berlubang. Di sampingnya ada tas plastik yang berisi botol air mineral dan roti yang masih tersegel. Mulut Amina mengatup rapat, bibirnya kering. Kerongkongannya haus dan perutnya lapar. Namun, ia memilih untuk tidak menyentuh makanannnya. Biar saja dia mati. Ia tetap berada di posisinya menghadap ke langit-langit. Sesekali saja ia menoleh melihat tikus dan kecoa yang berlalu lalang di sampingnya. Kemudian satu ekor tikus, sebesar anak kucing berdiri di samping Amina. Tikus itu menatap Amina lama. Amina tersenyum kecut. “Jangan melihatku seperti itu Kus! Aku tak butuh dikasihani! Kalau kamu makan rotiku, ambil saja, dan biarkan aku sendiri!!” teriaknya seperti orang gila. Tikus besar itu hanya mencicit, seakan-akan dia mengerti kesedihan yang sedang merangkul gadis di depannya itu dan pergi dengan cepat melewati karung
Bab 9 10082022 “Kita sebaiknya pergi ke rumah Ajeng, Pak,” kata Sarmini kecewa, setelah anak pertamanya itu menutup telpon tanpa memberikan waktu kepadanya untuk bicara. “Baiklah Bu, tapi besok saja ya. Bapak belum ada uang untuk bekal ke sana.” Raut muka Sahlan tampak sedih. Ia belum tahu ke mana mencari uang untuk bekal ke rumah anaknya. “Iya Pak.” Sarmini mengerti. Gaji honorer mereka berdua sekitar 2 juta sebulan, dan setengah gaji harus mereka relakan untuk membayar cicilan pada Bank untuk biaya pernikahan Ajeng setahun lalu. Seminggu kemudian, pagi-pagi Sarmini dan suaminya sampai ke rumah Ajeng. Sambil menenteng kresek yang berisi sayuran dan pisang Sarmini mengetuk pintu rumah anaknya. “Assalamualaikum.” Wahyu membukakan pintu. “Waalaikum salam,” jawab Wahyu kaget menerima kedatangan kedua mertuanya. “Mari masuk, Pak, Bu…” dia mempersilahkan mereka masuk. Mata Ibu celingak-celinguk mencari Ajeng dan Amina. “Ajeng masih keluar beli sarapan Bu,” kata Wahyu. “Amina mana
Bab 10 10082022 Amina bergerak seperti robot menyapu lantai semen. Wajahnya pucat dan tirus dengan tulang-tulang menonjol. “Oww!” Amina menjerit tertahan. Ada sesuatu yang menendang perutnya. Gadis itu duduk di lantai lalu meraba perutnya. Perlahan, Amina teringat sudah lama tidak mendapatkan menstruasi. “Tidak!” Kepanikan menerkam otaknya. “Tidak! Aku tidak mau hamil!” Senyum yang dimiliki semakin musnah ditelan derita yang menghampirinya. Seperti kesetanan, perempuan itu berlari dan berguling-guling di ruangan pengap bekas gudang beras itu. Setelah capek, ia duduk dan memukuli perutnya. “Keluarlah kamu, jangan diam di tubuhku!” ratapnya melas. Amina memijat perutnya dengan keras. “Tolong bantu aku, aku tidak mau hidupmu sengsara sepertiku.” Janin yang ada di dalam perut Amina kembali menendang, membuat perempuan itu tersadar ada mahluk kecil di dalam perutnya. Amina menangis tergugu. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya lagi. Ratusan kali dia berdoa meminta malaikat mau
Bab 11 11082022 Bayi perempuan itu menangis kencang. Amina menangis, bingung dan ketakutan. Tangannya gemetaran memegang bayi yang masih berlumuran darah. Dengan tali pusar yang masih melilit sang bayi, Amina berjalan tertatih-tatih membawa bayinya ke luar kamar mandi. Dia mencari benda tajam untuk memotong tali pusar. Mata Amina menyisir tiap sudut gudang. Saat ia didera rasa putus asa, ujung matanya menangkap benda berkilau di bawah tumpukan sak berisi sekam. Gadis itu mengambilnya dan ia memekik kecil mengetahui benda itu adalah sebuah pisau! Bergegas Amina membersihkan pisau itu dengan baju daster yang di pakainya. “Bismillah!” Ia memotong tali pusar putrinya dan membungkus bayinya dengan kain panjang, setelah sebelumnya ia bersihkan darah yang menempel di tubuh anaknya dengan air mineral. Secara naluri Amina langsung menyusui bayinya. Bayi itu menyusu dengan begitu kuatnya. Rasa sakitnya telah hilang, berganti dengan rasa lelah. Sambil menyusui bayinya, ia terkantuk-kantuk
Bab 1212082022Amina mengibas-ngibaskan kain di atas bayinya. Mulutnya menggerutu kesal pada nyamuk yang menyerang tubuh bayinya. Ia kasihan sekali, muka Ayang merah-merah. Karena Ayang tidak memiliki pakaian, maka ia menggunakan kaosnya.Nyamuk di dalam gudang beras besar-besar dan ganas-ganas. Gigitannya menyakitkan, meninggalkan jejak merah. Dulu badan Amina menjadi sasaran empuk mereka, tapi setelah lama tinggal di situ badannya mulai kebal.Tapi tidak untuk Ayang. Bayi itu baru beberapa hari dilahirkan. Kulitnya teramat sensitif. Otak Amina berpikir bagaimana menyelamatkan Ayang dari serangan nyamuk.Setelah menidurkan Ayang, Amina menemukan ide. Dia membuat tudung bayi dari karung beras yang tidak terpakai dan menjalinnya dengan tali rafia yang ia temukan. Kemudian ia merangkai kayu-kayu sisa tatakan beras menjadi sebuah kotak untuk tempat tidur Ayang.Amina menaruh sekam, dan di atasnya ditutupi dengan karung goni, setelah itu ia tutup lagi dengan kaosnya yang sudah robek lalu
Bab 13 13082022 Ajeng mengancamnya! Jazuli tersenyum sinis menatap menantunya dingin. Rakus juga kau! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu? pikir lelaki tua itu. “Setelah ini, apa Ibu masih ingin shopping?” tanya Jazuli mengalihkan perhatiannya. “Sekalian kita ajak Ajeng dan Wahyu?” “Gak usah Pak, kita pulang saja. Ibu males belanja dengan Ajeng. Dia belanjanya lama, muter-muter gak karuan. Ibu nanti yang capek.” Sri menolak secara frontal. “Ya sudah, kalau gitu kita pulang.” “Sebentar Pak, makanan ini siapa yang bayar?” tanya Ajeng. Sri melotot. “Ya Allah Jeng, kamu pelit banget sama mertua sendiri!” Wahyu menengahi, otaknya dia sudah buntu menghadapi kelakuan Ibu dan istrinya. “Ma, Papa yang bayar. Apa itu menjadi masalah buat Mama?” “Ya gak gitu juga sih Pap, kan yang ngajak makan malam, Bapak. Mestinya Bapak yang bayarin makanannya, bukan kita.” Ajeng membela dirinya. Jazuli mendengkus kesal ke arah Ajeng. “Sudah jangan ribut! Biar Bapak yang bayarin makanannya.” Jazuli