Hari ini aku pergi ke rumah sakit dan mendaftar untuk memeriksakan kandungan. Sesuai yang dikatakan Mbah Gendis bahwa anak ini masih menjadi milikku sampai satu bulan lewat sepuluh hari umurnya setelah lahir ke dunia nanti, maka aku akan memperlakukan kehamilanku seperti kehamilan normal pada umumnya. Meski tanpa bersama dengan Mas Byan.
"Ibu Salma Nafisa," panggil perawat yang bertugas dari pintu ruangan.
Aku masuk dengan sedikit gugup. Bagaimana pun ini adalah kali pertama aku memeriksakan diri semenjak hamil. Sendirian pula.
"Silakan, Ibu." Suster tadi mengarahkanku untuk duduk di depan dokter yang bertugas saat ini.
"Ibu Salma Nafisa, umur dua puluh lima tahun, kehamilan pertama?" tanya dokter itu.
"Iya, benar," jawabku singkat.
"Saya dokter Fauziah yang akan memeriksa ibu. Mari, Bu," ajaknya sembari berdiri.
Aku mengikut saja meski sedikit heran kenapa dokter itu tidak bertanya-tanya lebih lanjut. Ah, mungkin sudah membaca catatan dari resepsionis yang banyak bertanya padaku tadi.
Aku mulai berbaring dan dokter Fauziah juga langsung menanganiku. Membuka baju yang menutupi perut dan mengoleskan jel yang terasa dingin.
"Sebelumnya sudah pernah ke bidan? HPHT hari ini sudah minggu ke delapan ya, Bu?" tanyanya sembari fokus menatap layar.
"I-iya," jawabku kaku. Pasalnya, aku berbohong. Belum pernah kehamilanku ini diperiksa sebelumnya, bahkan oleh bidan sekalipun. Aku tahu hamil pun dari testpack, gejala yang aku rasakan, dan HPHT juga aku hitung sendiri dari hari pertama terakhir haid. Sejak awal menikah, aku memang rajin sekali mencatat tanggal haid.
"Kalau hari pertama haid terakhir sudah delapan minggu, normalnya kehamilan sudah memasuki minggu ke enam. Tapi ini belum nampak kantung kehamilannya." Dokter Fauziah tampak mengeryitkan dahi.
Apa jangan-jangan ini ada hubungannya sama pagar gaib Mbah Gendis?
"Kita belum bisa mendeteksi secara pasti, Bu. Usahakan nanti datang ke sini dua minggu lagi," putus dokter Fauziah final.
Pemeriksaan berakhir begitu saja tanpa hasil yang memuaskan. Dokter Fauziah hanya menyarankan untuk menjaga pola makan, hindari setres, dan beberapa hal lain yang sebenarnya sudah aku ketahui dari internet. Hanya saja, satu saran terbaik yang harus aku ikuti. Rutin mengkonsumsi susu ibu hamil. Aku akan membeli dan meminumnya, tapi harus sembunyi-sembunyi dari Mas Byan.
Selesai urusan di rumah sakit, aku memutuskan untuk mampir ke kantor Mas Byan. Tiba-tiba saja pingin sekali bertemu. Mungkin inilah yang dinamakan dengan ngidam.
Jadilah aku menuju ke sana meski harus menempuh perjalanan yang sedikit jauh karena tidak searah dengan rumah sakit tempatku memeriksakan kandungan tadi.
"Bapak Byan sedang berada di dalam ruangannya, Bu," ucap resepsionis yang kutanyai saat aku baru datang membuatku bergegas memasuki lift yang akan mengantarkanku sampai ke lantai lima. Tempat ruangan para manajer, termasuk ruangan Mas Byan.
Sudah lama aku tidak ke sini. Mungkin terakhir kali sebulan yang lalu. Memang tak ada perubahan sama sekali. Arsitektur kantor perusahaan yang bergerak di bidang produksi makanan ringan ini tetap begini-begini saja bahkan sejak pertama kali aku datang ke tempat ini satu setengah tahun yang lalu.
Aku masuk ke ruangan Mas Byan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Namun yang kudapati hanya ruangan kosong. Ke mana Mas Byan?
Biarlah dulu, sebaiknya aku menunggu saja di dalam. Toh selama ini aku juga sering melakukannya. Apalagi sekarang aku sedang ingin buang air kecil. Jadilah sekalian aku memakai kamar mandinya.
Aku ingat, pertama kalinya Mas Byan mengajakku ke sini, jabatannya masih staf pemasaran. Ruangan kerjanya masih berbagi dengan staf yang lain. Hanya dipisahkan dengan sekat minimalis seperti warnet. Beberapa kali Mas Byan mengeluh. Tekanan kerja yang didapatkannya tak sesuai dengan gaji yang diterima. Sangat berbeda dengan sekarang.
Baru saja selesai menuntaskan aktivitas buang air kecilku, aku mendengar suara senda gurau dari luar. Seperti suara Mas Byan. Ya, memangnya siapa lagi?
Aku memutuskan untuk keluar dan mendapati Mas Byan bersama wanita yang sama persis seperti yang dikirim fotonya oleh Anya tempo hari. Oh, rupanya begini kelakuan mereka?
"Salma? Kok kamu di sini?" Raut wajah Mas Byan tampak terkejut sekali melihat kemunculanku. Wajahnya pucat pasi dan ekspresinya seperti melihat hantu.
"Lagi pingin aja. Mas nggak suka?" tanyaku seakan menantang.
"Bu-bukan begitu. Ta-tapi kenapa tiba-tiba?"
"Biasanya kan juga tiba-tiba, Mas. Kayak baru pertama kalinya aja," jawabku sembari terkekeh geli.
Aku mengalihkan pandangan pada wanita di sebelah Mas Byan. Anehnya, dia tampak biasa saja. Tak ada sedikitpun ekpresi takut di wajahnya. Oke, aku akan mengikuti permainan gundi Mas Byan itu.
"Ini siapa? Rekan kerja kamu, Mas? Kok kalian tampaknya akrab sekali?" tanyaku pura-pura tidak tahu.
"I-ini teman. Ya, teman." Lagi-lagi Mas Byan menjawab dengan gagap. Mas, Mas, kamu tidak berbakat untuk bersandiwara.
"Calon teman hidup ya?" tanyaku mengintimidasi.
"Maksud kamu?" Mas Byan balik bertanya. Bukan menantang, tapi justru yang kulihat sekarang, suamiku itu merasa takut dan tak nyaman.
Aku mengendikkan bahu dan mengalihkan tatapanku sepenuhnya pada wanita itu.
"Kenalkan, saya Salma. Istri pertama Mas Byan," ucapku ringan."
"Karin," balasnya singkat.
"Nama yang bagus. Kamu calon adik maduku, kan? Tak usah khawatir, tugasmu hanya menghasilkan anak," balasku sembari tersenyum semanis mungkin.
Saat itu juga ekspresinya berubah gelagapan. Begitu juga dengan Mas Byan yang wajahnya semakin pucat. Padahal ini baru keterkejutan yang pertama untuk mereka karena aku akan membuat kejutan-kejutan yang lain.
"Jadi kapan kira-kira Mas mau menikahi Karin?" tanyaku pada Mas Byan setelah dia mandi dan berganti baju . Hari ini suamiku itu pulang lebih cepat dari biasanya. Jadilah kami bisa bersantai di balkon kamar sembari menikmati senja bersama meski dengan rasa yang berbeda."Kamu benar-benar tak mempermasalahkan itu?" dia malah balik bertanya penuh selidik.Aku mengalihkan pandangan ke depan, pada langit yang sudah diselimuti mega. "Aku tak punya pilihan lain, Mas," lirihku.Sesak sebenarnya saat mengatakan itu. Namun aku tak ingin menampakkan kesedihan di depan Mas Byan. Tak sudi rasanya. Tak butuh juga ditenangkan olehnya yang hanya kepalsuan belaka."Menikahlah dengannya. Aku siap untuk mundur.""Maksudmu?" Mas Byan tampak sedikit terkejut. Pasti dia paham dengan arah pembicaraanku."Seribu banding satu wanita di dunia ini yang mau diduakan, Mas. Termasuk aku. Mas mencintai wanita itu, 'kan? Aku pernah mendengar jika kita mencintai orang lain saat masih memiliki pasangan, maka lepaskan
Demi melancarkan aksi untuk memindahkan lintah siluman dari dalam tubuhku, aku memasukkan sedikit obat pada minuman Mas Byan. Aku memang sengaja menyiapkan makan malam yang lezat untuknya."Aku sudah memasak spesial untuk kamu, Mas. Makanlah denganku malam ini. Aku yakin besok-besok kita tak akan bisa melakukannya berdua lagi," ucapku pada Mas Byan ketika dia baru pulang. Jujur, ada perasaan sedih yang menyeruak saat mengucapkan kalimat itu, tapi aku berusaha menyembunyikannya dengan begitu apik."Baiklah, aku mandi dulu," sahutnya menyetujui.Aku menunggu di meja makan. Memandang takjub hidangan yang berhasil aku siapkan dengan tangan sendiri. Ada steak daging sapi, tumis jamur, dan minuman soda. Tak lupa juga nasi khas orang Indonesia.Mas Byan turun dan langsung bergabung denganku di meja makan. Aku mengansurkan air putih yang sudah tercampur dengan obat tadi ke depannya. Agar dia tidak curiga, aku juga mengansurkan nasi."Selamat makan," ucapku dengan tersenyum.Dulu Mas Byan akan
Hampir semua kerabat dekat Mas Byan sudah berdatangan, bahkan yang dari luar kota. Berikut ibu mertua dan para iparku yang mulai memadati rumah. Semuanya turut memeriahkan dan menjadi saksi pernikahan kedua Mas Byan. Tampaknya mereka sama sekali tak peduli dengan perasaanku. Aku berdecak kesal. Sungguh, keluarga yang tak punya hati. Demi apapun, diantara mereka juga banyak yang wanita. Apa para wanita itu sanggup jika harus berada di posisiku saat ini? Ah, entahlah. Jika hati sudah mati, maka tak ada sedikit pun sisa rasa peduli.Hari ini penampilanku begitu berbeda. Aku mengenakan dress panjang dengan belahan sampai lutut dan riasan tipis. Cukup cantik dan tak mungkin kalah dengan wanita yang menjadi gundik Mas Byan itu. Benar kata orang, kebanyakan pelakor tak lebih baik dari istri sah. Hanya saja suami yang tukang selingkuh sudah dibutakan mata kepala dan hatinya.Desas-desus yang kudengar, mereka yang hadir banyak menggunjingku karena belum juga bisa menghasilkan anak. Kata mereka
Akad nikah Mas Byan dan Karin berjalan dengan lancar. Syukurlah tadi aku benar-benar bisa membujuk Aira agar tidak membatalkan pernikahan itu dengan alasan keduanya sudah terlanjur saling mencintai. Jadi kalaupun pernikahan itu dibatalkan, tetap masih ada kemungkinan Mas Byan dan Karin kembali menjalin cinta di belakangku dan itu jauh lebih menyakitkan.Para tamu undangan bergantian menyalami keduanya untuk mengucapkan selamat. Ada juga yang pamitan denganku. Sebagian di antara mereka menatapku dengan iba, entah iba yang mereka tampilkan di wajah itu jujur atau kemunafikan semata. Sebagiannya lagi tetap saja menggunjing dan mengeluarkan kalimat yang melukai perasaan. Berbisik tapi dengan suara yang sedikit keras mengatakan aku mandul atau bahkan tidak bisa memuaskan Mas Byan dari segi keseharian dan ranjang. Sungguh ironis sekali, padahal mereka yang julid itu semuanya berasal dari jenis wanita. Para tamu yang laki-laki cenderung diam saja tanpa ekspresi yang sirat kentara."Lihat Sal
Perseturuan tadi sudah berakhir dengan ibu yang menjadi penengah. Ibu menyuruh Mas Byan mengantarkan Karin ke rumah sakit untuk membuktikan apakah istri kedua suamiku itu benar-benar sedang hamil atau tidak.Namun mengingat hari sudah malam, jadilah ke rumah sakitnya ditunda besok pagi. Malam ini Mas Byan justru kembali tidur di kamar bersamaku. Itupun karena aku memang mengizinkannya.Aku yakin saat ini Mas Byan sedang merasa jijik dan tertipu dengan Karin. Malam pertama yang seharusnya mereka nikmati dengan memadu kasih sampai menjelang pagi justru berakhir dengan perseteruan hebat. Miris sekali.Meski aku dan Mas Byan tidur di atas ranjang yang sama, nyatanya kami berselimut kebekuan yang tak akan mencair. Aku sengaja meletakkan guling di tengah-tengah kami dan mengambil posisi berbaring di tepian ranjang. Aku tak ingin berdekatan dengan Mas Byan, apalagi disentuh. Aku mengizinkannya tidur di kamar ini bersamaku hanya semata-mata untuk memberi pelajaran pada Karin, si perebut laki
Baru kali ini aku memasuki kawasan hutan siluman saat benar-benar malam. Rasanya menguji nyali sekali. Untungnya aku sudah tahu mantra khusus yang harus dibaca saat baru memasuki kawasan ini agar para siluman mengenali bahwa manusia yang lewat saat ini adalah sekutu Mbah Gendis yang otomatis menjadi sekutu mereka juga. Jadi mereka tak mau benar-benar mengganggu. Meski sesekali mereka iseng mengetuk jendela mobil atau bermain di atas, tapi itu semua tak jadi masalah.Menurut penuturan Mbah Gendis, hanya beberapa manusia terpilih yang ditakdirkan untuk bisa melihat wujud mereka. Salah satunya adalah Mbak Iren. Namun aku tak bisa masuk ke dalam golongan itu karena suatu alasan yang aku sendiri tak mengetahui secara pasti apa alasannya. Bisa jadi karena aku masih sedikit penakut dan tidak memiliki mental yang kuat.Sesampainya di pekarangan Mbah Gendis, aku melihat ada beberapa orang. Apakah itu manusia?Aku pernah mendengar jika hantu dan sejenisnya menampakkan wujud, maka hanya hantu sa
Nyatanya, ucapan Lasmi dan Fredy terus membayangiku. Hari ini adalah hari yang dimaksud oleh Lasmi agar aku mau menemuinya. Namun aku masih ragu untuk melangkah. Aku banyak dibayangi oleh ketakutan yang tak berujung. Bagaimana jika Lasmi malah semakin mempersulit jalan hidupku?Waktu yang dijanjikan hanya tinggal beberapa jam lagi. Namun pagi ini aku memilih kembali ke kantor hukum untuk mengambil berkas pemindah tanganan seluruh aset Mas Byan ke tanganku. Semuanya harus diurus secepatnya sampai beres karena jujur aku sudah tidak tahan lagi untuk melampiaskan semuanya dan mengusir mereka "Ini surat-suratnya sudah selesai, Ibu Salma. Kalau berkas itu hilang dicuri dan sebagainya, Ibu tinggal membuat laporan kehilangan dan datang ke sini untuk mengambil salinannnya," ucap pegawai kantor hukum yang membantuku mewujudkan salah satu rencana indah pembalasan untuk perselingkuhan suamiku."Surat ini terjamin kekuatannya, kan, Pak?" tanyaku memastikan."Kami berani menjaminnya, Ibu. Tidak sa
"Aku takut membebani pikiran Bude Mar dengan masalahku yang dimadu. Jadi aku memutuskan untuk menginap di rumah teman aja."Mas Byan menatapku dengan pandangan ragu. Sementara aku sendiri memasang mimik dan gestur senatural mungkin agar suamiku itu tak curiga."Kenapa tak izin lagi sama Mas?""Aku tak ingin mengganggu pengantin baru. Apalagi malam itu kalian berseteru hebat, jadi aku tak ingin terlibat juga," jawabku sembari menundukkan kepala. Takut Mas Byan bisa menangkap kebohongan lewat mataku karena yang kutahu selama ini, tatapan mata tak bisa berbohong."Di rumah siapa kamu menginap? Anya atau Nadin?" tanya Mas Byan kembali mengintrogasi. Mas Byan memang sedikit banyak tahu tentang kedua temanku semasa kerja itu."Siapa aja asal itu membuatku nyaman," celutukku mulai kesal. Aku merasa seperti maling di sini."Kamu istri Mas, Salma. Sudah seharusnya Mas tahu kamu ke mana." tampaknya, Mas Byan juga mulai kesal."Kenapa sih, Mas? Atau Mas punya ancang-ancang untuk menikahi Anya at