Share

Bab 4 - Foto Vulgar

"Sela nelepon. Sebaiknya aku turun aja deh. Urusan kita udah selesai, bukan?"

"Tanggung, sebentar lagi sampai. Kamu jawab telepon saat mobilku berhenti, ya. Jangan sampai dia mendengar kalau kamu lagi dalam perjalanan."

Tak lama kemudian, Saga memberhentikan mobilnya tepat di depan apartemen. Ponsel Gisca pun sudah tidak bergetar lagi, layarnya bertuliskan ada satu panggilan tak terjawab.

Tentu saja Gisca bersiap turun, tapi Saga malah menahannya.

"Kenapa lagi?"

"Sela pasti nelepon lagi. Jawab di sini aja. Kalau dia udah tiba di apartemen, bilang aja kamu habis beli sesuatu ke minimarket sambil sekalian jalan-jalan cari angin."

Ternyata memang benar, rupanya Sela kembali menelepon Gisca. Sebelum mengangkatnya, Gisca menarik napas sejenak. Berusaha tenang, jangan sampai gugup apalagi terdengar mencurigakan.

"Jawab setenang mungkin. Biasa aja," tambah Saga.

Gisca tidak menjawab perkataan Saga. Ia memilih menggeser layar ke warna hijau sekarang juga.

"Halo, Gisca?" sapa Sela di ujung telepon sana.

"Iya, Sel?" Gisca berusaha setenang yang ia bisa.

"Kamu belum tidur?"

Pertanyaan Sela membuat Gisca yakin temannya itu belum pulang.

"Belum. Kamu kapan pulang?" Lagi, Gisca berusaha tidak gugup.

"Aku udah hampir sampai nih. Kamu mau dibeliin sesuatu? Jajanan malam di sekitar apartemen enak-enak loh."

"Kamu udah hampir sampai?" Gisca tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Iya, emangnya kenapa? Kayak kaget banget?" tanya Sela. "Eh tunggu, tapi kamu lagi di luar ya? Soalnya samar-samar aku mendengar suara kendaraan beberapa kali."

Sepertinya Gisca tidak akan sempat kembali ke kamar dalam waktu secepat kilat. Untuk itu, ia terpaksa mengatakan apa yang Saga sarankan tadi. Lagian Sela telanjur mendengar bunyi khas kendaraan yang akan sangat mencurigakan jika Gisca mengaku sedang berada di kamar.

"Sebenarnya aku belum pengen tidur, jadi sambil nunggu kamu pulang ... aku memutuskan cari angin keluar, sekalian ke minimarket juga," bohong Gisca.

"Oke, kalau gitu kita ketemu di depan aja ya. Sekitar lima menit lagi aku sampai. Kita beli jajanan malam dulu."

"Oke, aku tunggu. Kebetulan aku juga ada di depan."

Setelah sambungan telepon mereka terputus, Gisca langsung membuka pintu mobil untuk turun.

"Ini, bawa." Saga menyerahkan satu kantong belanjaan khas minimarket yang berisi beberapa camilan dan minuman kaleng. Ia memang sudah mempersiapkannya dan sengaja diletakkan di kursi belakang untuk berjaga-jaga. Gisca sendiri heran sejak kapan kantong belanjaan tersebut ada di sana.

"Dia pasti heran kalau kamu nggak bawa belanjaan. Jadi bawa ini, ya."

Gisca mengernyit. "Kamu seniat itu?"

"Ini bagian dari antisipasi. Aku cuma waspada," jawab Saga santai.

Tanpa menjawab karena itu akan membuang-buang waktu, Gisca lalu turun dari mobil Saga.

"Aku harap kita bisa ketemu lagi. Berdua," ucap Saga. "Ah iya ... mulai sekarang kamu harus terbiasa angkat telepon atau balas chat dariku, ya."

Meskipun Gisca sudah turun, tapi wanita itu bisa mendengar dengan jelas kalimat terakhir Saga.

Tentu saja Gisca berjanji akan memblokir nomor Saga secepatnya. Ia tidak boleh terlibat dengan pria gila itu lagi. Cukup ini yang terakhir.

Terakhir. Terakhir. Terakhir!

Gisca pun menjauh dari mobil Saga. Ia juga bersyukur Saga langsung meninggalkan tempat itu. Mobilnya juga mulai menghilang dari pandangan Gisca.

Entah kenapa Gisca merasa seperti buronan. Padahal ia tidak selingkuh dengan Saga apalagi menjadi simpanan pria itu. Namun, rasa takut dan bersalahnya terus terbayang.

Selama beberapa saat Gisca berdiri, sampai kemudian sebuah mobil yang Gisca yakini adalah mobil Sela, berhenti tidak jauh dari tempat Gisca menunggu.

Gisca lalu mendekat ke mobil itu dan benar ... itu adalah mobil Sela.

"Masuk, Gis."

Sejujurnya perasaan bersalah yang tidak bisa Gisca jelaskan semakin menggebu-gebu dalam hati Gisca.

Dengan pelan ia masuk dan duduk di samping Sela.

"Simpan di belakang aja belanjaannya," tambah Sela.

Gisca lalu melakukan apa yang Sela katakan. "Pasti kamu capek banget, Sel. Kenapa nggak istirahat aja?"

"Aku bakalan istirahat, kok. Tapi setelah kita beli jajanan di tempat favoritku. Ah, kamu bakalan nyesel kalau nggak nyobain pisang goreng kriuk favoritku."

Gisca tersenyum. "Oke, mari kita ke sana. Oh ya, katanya tempat jajannya di sekitar sini, aku kira kita bakalan jalan kaki."

"Biar lebih cepat," kekeh Sela.

Gisca harus selalu sadar, jangan sampai lupa betapa Sela sangat menyambut hangat kedatangannya. Wanita itu juga telah membantunya tanpa pamrih. Gisca akan jadi wanita yang sangat tidak tahu diri jika 'meladeni' Saga.

Baiklah, tidak perlu nanti-nanti. Gisca harus memblokir nomor Saga sekarang juga. Ia harus mengakhiri semua kekonyolan ini, sebelum Saga berbuat lebih jauh yang kemungkinan merepotkannya.

Saat hendak memblokir nomor Saga. Rupanya pria itu sudah lebih dulu mengirim chat. Tepatnya lima menit yang lalu. Gisca baru melihatnya karena baru membuka ponsel lagi.

Jangan berani-beraninya blokir nomorku.

Tapi kalau kamu maksa mau memblokir nomorku, coba lihat ini dulu sebelum memutuskan melakukannya. Ini ancaman.

Terlampir sebuah foto yang membuat Gisca tercengang. Bagaimana tidak, itu adalah foto Gisca dan Saga di atas tempat tidur, dengan Saga memeluk mesra Gisca dari belakang. Dari pakaian Gisca di foto tersebut, itu sepertinya tadi sore saat mereka bertemu untuk pertama kalinya.

Tunggu, tunggu ... kapan foto ini diambil? Ini mustahil!

Mungkinkah editan? Astaga....

Jika bukan editan, bagaimana bisa ada foto seperti ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status