Share

Ayahku Yang Egois

Mataku tampak begitu sembab karena kemarin aku menangis hampir seharian. Aku coba untuk menyamarkannya dengan cara ku tutupi mataku dengan kaca mata meskipun mata sembabku masih saja tak bisa di samarkan sepenuhnya.

Aku bergabung di meja makan dengan kedua orang tuaku untuk sarapan pagi. Tidak mengucapkan sepatah katapun kepada kedua orang tuaku, malah aku langsung duduk di sana.

Ibuku sibuk menyiapkan makan untuk Ayahku. Memang ibuku terlalu memanjakan Ayahku. Semua di lakukan oleh ibuku, bahkan mencari nafkah pun ibu juga yang melakukannya sejak Ayah resign dari tempat kerjanya.

Aku mulai mengambil piring yang ada di depanku kemudian aku mengambil nasi dan lauk pauk untuk sarapan pagi. Sarapan pagi yang sederhana hanya beberapa ikan sebagai lauknya, sayur dan nasi. Maklumlah di keluarga ini yang bekerja adalah ibuku dan aku pun hanya membantu sekadarnya saja, mengingat pekerjaanku pun hanya sebagai pramuniaga di sebuah toko baju.

Ayahku, dia bagaikan raja di rumah ini. Dengan sifatnya yang begitu keras kepala dan juga maunya di layani oleh istri.

“Kenapa matamu begitu sembab?” Tanya Ayah yang ternyata mulai tadi memperhatikanku.

Aku hanya diam dan enggan sekali untuk menjawab.

Ibuku langsung saja menegurku, mungkin ibu takut Ayahku marah karena melihat aku yang tak menghiraukan pertanyaannya. “Arin, di tanya Ayah kok malah diam?”

Aku memandang kearah Ibuku yang sudah mulai menyantap sarapannya setelah selesai menyiapkan sarapan untuk Ayah. Kasihan sekali aku melihat Ibuku, dia sosok seorang ibu yang sangat penyabar. Meskipun Ayahku seperti itu, Ibuku tetap saja setia di sampingnya.

“Menangis, meratapi nasibku!” Jawabku kepada Ayah.

Ayah terlihat sedang mengerutkan keningnya dengan menatapku begitu lekat. “Menangisi lelaki yang memang bukan jodohmu?! Hem, buang–buang waktu saja!” Kata Ayah. “Arin, kamu tidak perlu menangisi lelaki itu karena Ayah sudah menemukan orang yang pantas untuk dirimu dan untuk masa depanmu!”

Aku terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Ayahku. Apa maksud dari perkataan Ayah itu? Apakah aku akan di jodohkan?

“Aku tidak mau dijodohkan! Aku akan mencari pasangan hidupku sendiri!”

“Klontang!!” Terdengar suara baskom kosong yang terjatuh akibat tersenggol tangan Ayah. Ibuku langsung saja mengambilnya dan menaruh baskom itu diatas meja kembali.

“Kamu akan ayah jodohkan dengan saudara ibumu! Kamu harus patuh dengan perintah Ayah karena Ayah berhak atas dirimu!”

Aku begitu emosinya mendengar perkataan Ayah sehingga aku lupa posisiku sebagai seorang putri dari seorang Ayah. “Aku juga berhak menentukan masa depanku! Aku juga berhak memilih, siapakah yang akan menjadi suamiku karena aku yang akan menjalani sebuah rumah tangga, bukan Ayah!”

“Arin!” Ayah membentakku karena aku telah menentang keinginan Ayahku.

Daipada aku bertengkar dengan Ayahku di pagi hari ini dan membuat ibuku akan bersedih, aku pun langsung beranjak dari tempat dudukku. Aku pergi untuk berangkat bekerja dan tidak aku habiskan sarapan pagiku.

Aku mengendarai motorku untuk sampai di tempat kerjaku. Sakit hatiku melihat perlakuan ayahku. Betapa egoisnya Ayahku, dia tidak merestui hubunganku dan tanpa izin dariku, dia hendak menjodohkan aku.  

“Awas saja kalau Ayah nekat untuk menjodohkanku, aku akan pergi dari rumah!” Gumamku dengan tetap fokus mengendari motorku.

**

Sesampainya di tempat kerjaku. Aku langsung memasuki pagar “Toko Busana” yang tidak terkunci, tapi toko tersebut masih saja belum dibuka oleh pemiliknya.

Aku memang bekerja di “Toko Busana”, sebuah toko yang menjual baju–baju dewasa dan anak–anak. Toko itu tidak begitu besar, tapi untuk barang yang di jual oleh toko tersebut sangatlah lengkap dan berkualitas sehingga banyak orang yang membeli baju–baju di sana.

Aku duduk di depan pintu “Toko Busana”. Aku memang terlalu pagi untuk datang ke tempat kerjaku, tapi aku merasa lebih baik duduk di sini dari pada duduk di rumah dengan mendengarkan amarah dari Ayahku.

Aku menggerak–gerakkan kakiku dan menatap butiran–butiran debu yang berterbangan akibat tersapu oleh angin. Mungkin hatiku sekarang layaknya debu-debu ini, terbang tak tentu arah dan tujuan untuk mendapatkan sandaran hati.

“Arin, kok sudah datang?”

Aku mendongak dan melihat, siapakah yang menyapaku. “Bu Dewi,” sapaku dan aku langsung berdiri untuk bersalaman dengannya.

Bu Dewi adalah pemilik “Toko Busana” ini. Dia adalah seorang janda dengan dua orang putri yang sudah sama–sama memiliki keluarga, jadi Bu Dewi hanya tinggal bersama dengan asisten rumah tangganya. Suami Bu Dewi sudah lama meninggal karena penyakit yang di deritanya.

Bu Dewi adalah seorang majikan yang baik hati. Dia sangat memperdulikan kesejahteraan karyawannya. Bu Dewi pun juga dekat dengan para karyawannya, tidak ada jarak diantara kami meskipun kedudukannya sebagai seorang majikan. Aku dan teman-teman pun sudah menganggapnya sebagai Ibu kedua.

“Kenapa pagi sekali datang mu?” tanya Ibu Dewi.

Aku tersenyum. “Ehm, iya. Di rumah lagi tidak ada pekerjaan, jadi habis sarapan langsung saja berangkat ke Toko.” Aku terpaksa berbohong kepada Ibu Dewi karena memang tidak mungkin kalau aku menceritakan kejadian yang sebenarnya.

“Ini kunci toko. Bukalah, dari pada kamu harus menunggu di luar seperti ini.” Ibu Dewi menyodorkan sebuah kunci kepadaku.

“Baik, bu. Terima kasih.”

Aku langsung membuka “Toko Busana” kemudian aku mengambil sapu untuk aku sapu lantainya. Sebenarnya lantai di toko sudah cukup bersih karena setelah toko tutup, asisten rumah tangga Bu Dewi langsung membersihkannya, tapi aku yang lagi tidak ada pekerjaan mencoba untuk membersihkan ulang, meskipun hanya sekadar menyapunya saja.

Setelah aku selesai menyapu toko, aku duduk di balik etalase. Aku merenungkan nasib yang telah menimpaku. Sungguh aku tidak membayangkan kalau kali ini kisah cintaku menjadi sebegitu rumit layaknya kisah di sebuah novel.  

Pandangan mataku menerawang jauh sedangkan pikiranku tiba–tiba tertuju kepada lelaki yang telah meninggalkanku, Reyhan.

Kira–kira Reyhan sedang apa dan bagaimana kehidupan barunya dengan sang istri. Apakah dia sudah melakukan hal itu? Ah, kupukul pelan kepalaku, buat apa sih aku memikirkannya, hanya membuat iri dan sakit hati.

Daripada aku memikirkan hal yang tidak–tidak aku pun mengambil ponselku. Ku ketikkan kode sandi ponselku dan setelah terbuka aku melihat aplikasi sosial mediaku.

Ku lihat postingan–postingan teman yang mampir di berandaku, ku geser terus ke bawah dan sampai tiba–tiba aku mendapati sebuah foto yang di dalamnya ada aku, Dian, Reyhan beserta istrinya. Yah, foto pengantin kemarin itu.

Ku lihat siapakah yang tengah memposting foto tersebut, ternyata Helia, istri dari Reyhan.

Di bawah foto itu ada tulisan yang pastinya di tulis sendiri oleh Helia. Ku baca tulisan itu, “Hai perempuan yang mulia, cukuplah kau datang di kehidupan kami satu kali ini saja, janganlah kau ulangi lagi karena kehidupan kami sudah terikat oleh ikatan nan suci. Janganlah kau datang lagi karena itu hanya dapat mengotori sebuah ikatan suci kita. Aku bukannya cemburu, tapi aku harus berhati–hati.”

Untuk siapakah kata–kata itu? Apakah untuk diriku? Sungguh aku tidak menyangka kalau kehadiranku kemarin membuat Helia menjadi berperasangka buruk tentangku.

Lagi–lagi butiran bening terjatuh di atas pipiku. Begitu rendahnya aku di mata istri Reyhan. Padahal aku tak ada niatan buruk sedikitpun. Aku datang ke acara pesta tersebut karena memenuhi undangan yang telah di kirimkan kepadaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status