Share

Bab 5. Amarah

Zayden memberhentikan mobilnya itu tepat di depan pintu utama rumahnya.

Namun, bukannya turun dari sana. Zayden justru tetap di dalam beberapa saat.

Dia bahkan menempelkan keningnya itu pada setir mobilnya, terlihat jelas suasana hatinya yang memburuk paska menemui mamanya.

Dia sebenarnya tidak tega meninggalkan mamanya sendirian. Tapi, demi melancarkan rencananya dia harus tinggal sendiri. Karena dia tidak mau jika mamanya tahu kalau dia menikahi Aara yang notabenenya adalah selingkuhan dari suaminya.

Terlebih, Zayden juga tidak ingin melihat wajah papanya. Sudah cukup dia menahan emosi saat berada di kantor. Dan dia tidak ingin membuat mamanya semakin sedih jika mendengar pertengkarannya dengan papanya.

Zayden mengangkat kembali wajahnya, dia menghela nafasnya dalam seraya bersandar pada kursi mobilnya.

Dia pun kemudian turun, setelah perasaannya ini sedikit membaik.

Suasana mansion sudah tampak sedikit sepi, mengingat saat ini hari memang sudah cukup larut.

Zayden yang tidak memedulikan suasana mansion nya itu hanya terus berjalan menaiki anak tangga untuk menuju ruang kerjanya terlebih dahulu.

Namun, langkahnya itu tiba-tiba terhenti kala dia melihat Aara yang keluar dari dalam kamar dan seperti hendak pergi ke suatu tempat.

Dia tampak terburu-buru, bahkan sampai tidak menyadari keberadaan Zayden yang berdiri tak jauh dari lokasi tangga yang Aara tengah lewati.

“Mau kemana dia malam-malam begini. Apa mungkin ....”

Menyadari itu, Zayden pun langsung mengurungkan niatnya untuk pergi ke ruang kerjanya, dan memilih untuk mengikuti kemana Aara pergi.

***

Setelah berkendara sekitar satu jam, Zayden memberhentikan laju mobilnya itu tak jauh dari lokasi pemberhentian taksi online yang Aara naiki.

Seperti dugaannya, Aara pergi ke klub malam tempatnya bekerja.

Dia tidak menyangka, bahkan setelah menikah dengannya pun. Aara tidak berniat untuk lepas dari pekerjaannya itu.

Dan hal ini, semakin membuat Zayden merasa jijik padanya. Baginya, Aara benar-benar hanya wanita kotor yang pantas untuk dia injak-injak.

Paska melihat Aara yang masuk ke dalam klub malam itu, Zayden tidak bergerak dari dalam mobilnya.

Dia hanya diam di sana, seraya terus menunggu berapa lama wanita itu akan berada di sana.

Tatapannya terus dia tujukan pada klub malam itu. Seakan dia sama sekali tidak berniat untuk mengalihkannya.

2 jam pun berlalu begitu saja dengan cepat, Zayden yang masih duduk di dalam mobilnya itu sudah tidak memiliki kesabaran lagi.

“Apa dia akan berada di sini sampai pagi?”

Memikirkan hal itu, Zayden tidak bisa lagi diam. Dia pun berniat keluar dari dalam mobilnya.

Namun, baru saja pintu mobilnya itu terbuka. Zayden sudah lebih dulu mengurungkan niatnya, kala netranya itu melihat sosok Aara yang baru saja keluar dari sana.

Tapi, rupanya Aara tidak keluar sendirian. Di belakangnya, ada sosok lain yang keluar bersamanya. Dan sosok itu tak lain adalah papanya.

Perlahan, amarah Zayden mulai kembali menguasainya. Kedua tangannya mengepal kuat. Rahangnya mengeras, bahkan saking marahnya dia hingga membuat urat-urat di leher dan tangannya terlihat begitu jelas.

Tampak, matanya yang melebar ketika manik mata coklatnya itu melihat tangan Aara dan papanya yang saling memegang satu sama lain.

Dari pandangannya, mereka terlihat begitu mesra. Seperti tidak memikirkan ada hati dari seseorang yang mereka sakiti.

Menjijikkan, setidaknya itulah yang Zayden pikirkan pada wanita yang sudah menjadi istrinya itu juga ayah kandungnya sendiri.

Mereka orang-orang tidak tahu malu, yang rela menyakiti orang lain demi kepuasan mereka sendiri.

“Aara, kau yakin tidak ingin om antar?” tanya Zion.

“Tidak Tuan, terima kasih. Saya bisa pulang sendiri. Lebih baik Anda pulang sekarang, dan beristirahatlah. Terima kasih untuk hari ini,” ujarnya.

Zion mengangguk. Dia tahu Aara keras kepala, karena itu dia memilih untuk mengalah, lalu masuk ke dalam mobilnya, dan pergi dari sana.

Sementara Aara, dia berniat untuk berjalan dulu sebentar sebelum memesan taksi online untuk mengantarnya pulang.

Tanpa Aara sadari, sorot mata tajam milik Zayden terus tertuju padanya.

Terlihat api membunuh yang begitu jelas di sana.

Hingga dengan kemarahannya yang besar, Zayden pun menginjak pedal gas mobilnya dan membuat mobilnya itu melaju dengan begitu kencang.

Dia tidak bisa berpikir jernih, karena di dalam pikirannya saat ini. Dia hanya ingin menghabisi wanita itu, dan membuatnya hilang dari dunia ini.

Sementara Aara yang tengah berjalan itu seperti merasakan firasat aneh.

Dia mendengar suara mobil yang melaju kencang semakin dekat ke arahnya.

Sontak, Aara pun menoleh ke belakang. Dia terkejut, matanya membelalak ketika mobil berwarna hitam melaju kencang ke arahnya seperti ingin menabraknya.

“Aaaaaaa!”

Brugh!

Ckittt!

Zayden seketika memberhentikan mobilnya, saat berhasil menyerempet tubuh Aara.

Dia menoleh ke belakang, melihat Aara yang tersungkur di aspal jalan seraya meringis kesakitan.

“Beruntungnya kau, karena aku masih memiliki akal sehat untuk tidak menabrakmu sampai mati. Karena aku sadar, kau tidak boleh mati begitu saja sebelum aku memberikanmu seluruh penderitaan di dunia ini. Kau, harus tetap hidup dengan wajah yang selalu penuh dengan air mata penderitaan. Karena itulah hukuman yang pantas untuk wanita tidak tahu malu sepertimu,” ucapnya.

Zayden melajukan kembali mobilnya, ketika orang-orang di sekitaran sana mulai berhamburan dan menghampiri lokasi di mana Aara terjatuh.

Tampak Aara yang terus meringis kesakitan, seraya melihat siku tangan dan juga lututnya yang terluka karena bergesekan dengan aspal saat terjatuh tadi.

“Mbak, apa Mbak tidak papa?” tanya salah seorang yang datang menolong Aara.

“Saya tidak papa, Pak. Ini hanya luka kecil saja,” jawabnya.

“Hei mobilnya melarikan diri!” ujar orang lainnya. “Sebentar Mbak, kami akan mengejarnya, dan meminta pertanggung jawaban untuk Anda.”

“Ah tidak papa Pak,” tahan Aara. “Sepertinya itu orang yang mabuk, mengingat daerah ini dekat dengan klub malam. Saya bisa memakluminya,” lanjutnya.

“Tapi Mbak, bukankah ini tidak bisa dibiarkan? Anda terluka cukup parah, dan Anda membutuhkan perawatan. Orang itu harus bertanggung jawab.”

“Saya tidak papa Pak, terima kasih karena sudah mau menolong saya.”

Mendengar kekukuhan Aara, sepertinya orang-orang di sana tidak bisa mengatakan apa pun lagi. Mereka pun hanya bisa pasrah, karena bahkan Aara pun menolak dengan halus ketika salah satu dari mereka akan mengantarkannya ke rumah sakit atau pun ke rumahnya. Alhasil mereka hanya bisa melihat Aara yang berusaha untuk tetap pergi dari sana walau dengan terpincang-pincang.

Tatapan Aara juga mengarah pada jalanan yang baru saja dilewati oleh mobil yang baru saja menabraknya.

Dia mengingat sesuatu dari mobil itu, yaitu sebuah pelat nomor yang melekat di sana.

“Kenapa aku merasa mobil itu menabrakku dengan sengaja. Jelas-jelas aku berjalan di sisi jalan, dan masih banyak ruas jalan yang tersisa. Siapa sebenarnya orang itu, apa dia memiliki dendam padaku,” gumamnya seraya terus melihat ke arah mobil itu pergi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ummu Kaltsum
ara ini msh ada kaitanya sama Laura atau farah kah?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status