Dua belas jam penuh kami mengudara bersama mobil terbang. Kadang, Nia yang menggantikan Nai, ketika dia lelah. Sebenarnya, aku ingin menggantikan, masalahnya aku belum bisa mengemudikan mobil terbang itu.
Sekarang malam tiba, namun belum terlalu gelap. Atau mungkin, planet Kulstar tidak pernah gelap? Lampu-lampu menyala indah, dari berbagai atap rumah. Aku melihat jam tangan milikku, pukul setengah sepuluh malam.
Kenapa, ya, jam tangan ini masih sesuai dengan waktu planet Kulstar? Apakah sama waktu Bumi dengan Kulstar? Kebingunganku terjawab ketika Hanai menjelaskan.
“Jadi, semua mesin waktu dengan otomatis akan menganut waktu Kulstar. Belum lama sebenarnya alat pemersatu itu digunakan, baru sekitar lima tahunan. Jadi, jika kita melalui suatu wilayah yang waktunya berbeda, mesin waktu milik kita akan menyesuaikan dengan posisi.”
“Tapi, kan, jamku ini bukan buatan Kulstar?” aku masih minat bertanya.
“Ini untuk semua alat waktu, karena pada dasarnya mesin penyusunnya adalah sama.” Terangnya lagi.
Jadi begitu. Pantas saja jam tanganku ini sesuai dengan jam digital mobil terbang. Tidak selisih sama sekali. Bahkan, kalau dibumi sendiri, stasiun televisi satu dengan yang lain masih ada yang berselisih barang satu menit.
“Safa, kamu tidur saja. Nanti kalau sudah sampa aku bangunkan.” Hanai memberi saran.
“Kamu tidak apa-apa sendirian?”
“Tidak apa-apa. Biasanya, bahkan, ketika aku dan Nia keliling Kulstar, Nia selalu tidur, aku yang mengemudikan sendiri.” Tambahnya.
“Heh, enak saja, aku belum tidur kali.” Nia tiba-tiba bangun.
“Tidak ada yang salah, kan?” Nai menggoda adiknya.
Nia diam, melanjutkan tidurnya sambil menunjukkan raut wajah sebal. Baiklah, aku akan tidur selama perjalan ini. Rasanya juga sudah mengantuk pula.
“Aku tidur dulu, Nai.” Kataku pelan.
Tidak ada jawaban. Dia sangat fokus dengan kemudinya. Kalau malam seperti ini, mobil terbang indah dengan lampu-lampu hias diseluruh badannya, warna-warni. Sebelum tidur, aku menyempatkan melihat mobil-mobil terbang itu. Dan akhirnya terbawa dalam mimpiku.
Dari kejauhan nampak mobil terbang berwarna merah, dengan lampu hias putih menyala. Indah sekali. Bahkan, mobil terbang yang aku naiki kalah indah dengan dirinya. Mobil itu nampaknya sejalur dengan kami, disamping kami sejak tadi.
Hanai mempercepat laju mobil terbang, dia juga menambah kecepatan. Nampaknya, dia sengaja berjalan beriringan dengan kami. Atau, aku saja yang merasa demikian.
Bukan, bukan aku yang merasa diikuti, memang rasanya dia mengikuti kami.
“Safa, kamu lihat moter (mobil terbang) itu, yang berwarna merah dengan lampu hias putih menyala?” tanya Hanai padaku.
“Iya, aku melihatnya sejak tadi.” Jawabku.
“Apa kamu merasa bahwa ada yang aneh dengan dia?”
“Nah, itu yang ingin aku bicarakan padamu sejak tadi. Aku merasa bahwa dia mengikuti kita sejak hari mulai gelap.”
“Tidak, bahkan sejak kita keluar dari restoran, siang tadi.”
Bagus-lah, ternyata bukan hanya aku yang merasakan situasi ini. Hanai semakin mempercepat moternya. Sampai batas maksimal, dia melepaskan kemudi manual, beralih menjadi kemudi otomatis. Aku hanya geleng-geleng kepala dengan keberanian Hanai. Bayangkan, kecepatan saat ini adalah 500km/menit. Aku membayangkan, jika kepalaku keluar kaca sekarang, mungkin akan segera terpisah dengan lehernya, saking luar biasanya kecepatan kami.
Syukurlah, aman, mobil merah tidak lagi terlihat. Dia sudah tertinggal jauh di belakang. Namun, Hanai tidak melambankan kecepatan, malah menambah lima puluh lagi. Jadi sekarang menjadi 550km/menit. Luar biasa keberaniannya.
“Safa, kalau kamu takut, aku bisa mengurangi kecepatannya.”
“Tidak, ini luar biasa, aku suka.”
Hanai tertawa dari balik kursi kemudi. Memang, sekarang perjalanan kami sedang menuju arah lurus, menjadikan kemudi manual bisa beroperasi. Hanai mengangkat tangan ke-atas, meluruskan sendi-sendi yang lelah sejak tadi, mengemudi sendirian.
Bukan, ini bukan mimpi lagi, aku tersadarkan. Moter hitam kami benar-benar terbang dengan kecepatan ekstra. Ini sungguh luar biasa.
Tapi, naas, Hanai terlena. Dari depan kami, terlihat moter biru gelap berada pada jalur lurus. Dan... brakk...
Tabrakan tidak dapat terhindarkan. Aku berteriak histeris, takut. Baru kali ini aku merasakan nuansa kecelakaan. Jantungku berdebar cepat. Mataku hampir saja mengeluarkan air mata.
Oh, ini yang tidak aku duga. Bukan, ternyata kami tidak tabrakan. Kami hanya bergesekan dengan moter biru tadi. Hanai dengan cepat beralih pada kemudi manual, dan mengarahkan moter menjauh. Begitu pula yang dilakukan oleh moter biru, menjauh dari kami. Tapi, tidak dapat dielakkan lagi, bahwa gesekan sudah terjadi.
Aku memandang dari kejauhan moter biru yang masih mencari keseimbangan, lecet badan kanannya. Hampir saja warna biru pada badan kanannya berubah menjadi warna besi tua.
Namun sial, rupanya pengawas jalur moter memberikan peringatakan kepada kami. Speaker moter kami mengeluarkan suara seorang laki-laki tua, mengantuk pula.
“Mohon perhatian untuk moter dengan nomor badan 10022001 untuk segera mendarat pada pos keamanan jalur 288882!”
“Sial, kenapa harus mendarat juga.” Kata Hanai marah-marah.
“Kenapa?” tanyaku belum mengerti.
“Petugas keamanan menyuruh kita mendarat segera.” Katanya,
Hanai mulai menuju titik yang dimaksud oleh petugas keamanan jalur. Setelah mengetikkan tujuan pada layar moter, pelan-pelan jalur menujunya mulai terlihat. Itulah jalur kami selanjutnya, menuju pos keamanan.
Pelan tapi pasti moter kami turun. Berhenti disebuah parkiran milik petugas keamanan. Disana banyak moter yang mungkin mempunyai kasus sama dengan kami. aku melirrik kesamping, subhanallah, Hinia belum bangkit dari tidurnya. Aku segera membangunkannya.
“Kenapa lagi?” tanya Nia dengan menguap.
“Moter kita tabrakan.”
“Apa? Yang benar kamu?” matanya langsung terbuka lebar.
“Iya, kali ini aku tidak berbohong.” Jawabku lagi.
Akhirnya dia bangun, dan melihat moter kami yang sedang parkir.
“Apakah aku bisa ikut keluar?” tanyaku.
“Silahkan, mungkin disini tidak terlalu berbahaya untukmu.” Kata Nai.
Aku ikut keluar, menuju ruangan petugas keamanan. Ruangannya besar, tidak seperti pos pilisi Indonesia, yang lebih mirip dengan Wc umum. Bahkan, kantor ini lebih mirip dengan hotel sederhana.
“Pengemudi dengan nomor badan 10022001hadir.” Kata Nai setelah sampai di depan pintu pengawas.
Pintu pelan terbuka, menampilkan pemandangan yang biasa untuk sebuah kantor keamanan jalan. Teriakan-teriakan tidak terima menyeruak dari sembarang mulut pengemudi.
“Saya tidak salah, pak, dia yang melewati jalur.” Teriak salah satu orang.
“Tidak, dia yang makan jalur saya.” Kata satunya lagi.
“Apa kamu punya bukti?”
“Apa kamu juga punya bukti?”
Petugas keamanan geleng-geleng kepala, seperti mengajari anak Tk saja, batinnya. Lalu, dia memerintahkan seorang asisten untuk mengurus perkara ini, dengan melihat kamera semesta.
“Kamu lihat dari kamera semesta, mana diantara mereka berdua yang salah.” Kata petugas keamanan.
Lalu, dia menghadap pada kami, mempersilahkan kami duduk. Disana, disamping tempat duduk yang ditunjuk petugas, sudah terduduk satu orang laki-laki. Dia sama ekspresinya dengan kami, kesal dengan panggilan polisi.
“Anda sudah tahu apa kesalahan anda?” tanya petugas pada Hanai.
“Melaju dengan kecepatan berlebih.” Jawab Nai datar.
“Baiklah.” Lalu menengok pada laki-laki sebelah, “Apakah anda juga tahu apa kesalahan anda?”
“Melaju dengan kecepatan berlebih.” Jawabny juga datar.
“Lalu, siapa yang salah dari kalian?” petugas lagi.
“Kami berdua.” Jawab Hanai dan laki-laki serempak.
“Baiklah, kalian sudah mengerti. Lalu, ini sebaiknya bagaiman? Apakah ada yang rusak dengan moter kalian?”
Nai menjawab terlebih dahulu, “Moter saya baik-baik saja, catnya tidak lecet dengan gesekan tadi.”
Lalu, laki-laki menjawab, “Moter saya lecet parah pada badan kanan.” Sebal.
“Lalu apa yang kalian inginkan? Apakah anda minta ganti rugi?” kata polisi pada laki-laki.
“Tidak, seandainya bapak tidak memanggil saya, saya tidak akan pernah minta ganti rugi.” Katanya tegas.
“Syukurlah, anda adalah orang yang bijak. Kesala-han memang berasal dari kalian berdua, jadi tidak ada yang berhak minta ganti rugi.” Katanya lagi.
“Lalu untuk apa kami dipanggil?” tanya Nai dengan nada sedikit sebal.
“Pihak kami hanya ingin memastikan bahwa semua pengemudi aman. Silahkan meneruskan perjalanan.” Dia mempersilahkan kami keluar ruangan.
Ini yang aku sukai dari Kulstar, petugas keamanan dan pengemudi sama-sama bijaknya dalam menyikapi masalah. Berbeda jauh dengan petugas keamanan bumi, atau bahkan pengendara bumi. Jelas-jelas dia yang salah, tapi masih saja minta ganti rugi. Atau bahkan petugas keamanannya yang minta ganti rugi. Apakah sebenarnya yang dirugikan dari pihak keamanan?
Kami berjalan beriringan bersama dengan laki-laki itu. Dia melirik kami, dan Nai balas melirik dia. Jadilah mereka berdua lirik-lirikan.
“Lain kali, kalau jalan hati-hati. Jangan terlalu ngebut.” Kata Hanai.
“Aku seharusnya yang bilang begitu.” Jawab laki-laki datar.
Tertawalah mereka berdua. Apakah sudah saling kenal? Tidak, ternyata mereka tidak saling kenal. Nia sejak tadi hanya diam, mungkin masih mengantuk dari tidurnya tadi.
“Anda mau kemana, pak?” tanya Hanai sok ramah.
“Oh, saya akan menuju kuil Damsaqie. Anda?” dia bertanya balik.
“Lha, kok, sama? “ Hanai menabak.
“Jadi, anda juga akan menuju kuil Damsaqie?” tanyanya lagi.
“Iya, benar.” Hanai meyakinkan.
“Tapi, kok, anda malawan arus menuju kuil Damsaqie?”
Nah, ini dia yang tidak aku inginkan. Nai salah tingkah. Tidak tahu apa yang harus dia bicarakan. Jujur?
“Iya, kami bertiga harus lewat jalan rahasia.” Jelas Hanai.
“Kenapa?” tanya dia.
“Sebuah alasan.”
“Jelas, saya boleh tahu alasan itu?” mendesak.
“Apakah anda bisa menjaga rahasia?”
“Tentu. Apakah anda belum mengenal siapa saya?”
“Baiklah, mungkin anda adalah orang yang dapat dipercaya. Kami membawa seorang manusia dari bumi.”
Orang itu tercekat, kaget.
“Apakah benar demikian?”
“Iya, apa ada yang salah?”
“Tidak, tidak. Saya hanya tidak menyangka saja. Saya juga sudah lama sekali tidak bertemu dengan manusia dari bumi.” Menjelaskan kekagetannya.
“Apakah anda pernah bertemu dengan manusia bumi?” Hanai serius.
“Pernah, tapi itu sudah lama sekali.”
Akhirnya percakapan kami berakhir ketika kami memasuki ruang parkiran. Hanai segera membukakan pintu untukku dan Nia.
“Sampai bertemu di Kuil Damsaqie, jangan ngebut.” Teriak laki-laki dari dalam mobilnya, dengan kaca terbuka.
“Sama-sama. Hati-hati juga.” Balas Hanai.
Setelah itu, moter kami berlawanan arah. Untuk apa, ya, kira-kira orang itu menuju kuil Damsaqie? Tanyaku dalam hati. Apa sebenarnya kuil Damsaqie itu? Hingga, dia yang mengaku pernah berhubungan dengan manusia bumi akan pergi kesana Juga? Sama dengan kami?
Moter sudah mengudara dengan normal. Dan kali ini, rupanya Nai bertambah hati-hatinya. Dia menjaga jarak dengan moter lain, tidak terlalu dekat. Begitu pula dengan kecepatannya, tidak terlalu ganas lagi. Kemudi manual beroperasi.“Kenapa, Nai, bisa sampai tabrakan?” tanya Nia yang tidak tidur lagi.“Siapa yang tabrakan?” Nai menjawab.“Kita-lah.”“Tidak, hanya srempetan.”“Sama saja. Kenapa?”“Tidak sengaja. Terlalu cepat moternya.”Kemudian Nia melanjutkan tidurnya. Mudah sekali dia tidur. Padahal, aku yang dari tadi menginginkan tidur, tidak lekas juga menutup mata. Aku menyempatkan diri melihat jam tangan, pukul satu pagi.“Safa, lanjutkan tidurmu.” Nai berkata.“Tidak, belum ngantuk lagi.”“Kalau begitu ceritalah!”“Cerita apa?”“Kehidupanmu di Bumi.”“T
Benar, pukul delapan pagi aku dibangunkan oleh tangan lembut Nai. Matanya terlihat merah, wajah lesu. Mungkin tadi semalaman dia tidak tidur.“Silahkan, manusia Bumi itu harus segera masuk ruang rahasia.” Kata Kanisan.“Dimana?” tanya Nai.Kanisan mengetikkan sebuah kode pada layar depan moter. Lalu, setelah dia selesai menuliskan, keluar sebuah cahaya putih dari bagian belakang moter. Dari sana, terbentuk sebuah pintu besi, hitam. Apakah itu ruangan yang akan aku masuki?“Nah, itu, silahkan masuk, manusia.” Kanisan lagi.“Nanti, setelah dia masuk, dia akan dikemanaka-kan?” tanya Nai lagi.“Dia hanya berada di balik ruang moter ini. Tidak usah terlalu khawatir.” Kanisan tersenyum.“Safa, masuklah. Jangan takut.”Akhirnya aku menuruti apa yang dikatakan oleh Nai. Aku masuk ruangan itu tanpa adanya sebuah rasa takut. Tapi, rasa-rasanya aku juga takut.
Malam-malam Ketua Keamanan datang pada Pemimpin Keamanan. Dia melaporkan bahwa ada hal aneh beberapa hari terakhir ini.“Pai, sistem keamanan kota beberapa hari terakhir mendapatkan hasil pantauan kurang menyenang-kan.” Katanya pada Pemimpin Keamanan.Pemimpin Keamanan tidak bertanya begitu saja, melihat mimik wajah Ketua Keamanan dengan seksama, barulah mengeluarkan intrgasi.“Apa makudmu?” begitu.Pemimpin Keamanan itu berbadan tegap, meskipun dalam posisi duduk. Demikian, ketika berdiri badannya semakin tegap, semacam tentara. Wajahnya merah padam, selalu begitu. Namun dari wajah yang merah padam itu, keluar sebuah sinar kehalusan hati.Pimpai, adalah nama Pemimpin Keamanan itu. Sedangkan Ketuan Keamanan, yang badannya hampir sama dengan Ketua, tinggi besar, bernama Dolkai. Wajahnya menunjukkan bahwa dia adalah orang kasar, tidak sabaran, namun teliti. Tidak gampang menyerah pula.“Sistem kami mendeteksi bahw
Setelah Kalsti berhenti bekerja pada sore itu, dia pulang menuju rumahnya. Dalam otaknya hanya ada satu angan-angan, satu keinginan, satu rencana, menangkap secepat mungkin makhluk aneh yang sedang menjadi berita terhangat.Bukan hanya soal keamanan Kulstar, tapi lebih pada sebuah pangkat. Andai dia segera mendapatkan cara terbaik, jitu, segera menangkap makhluk yang dipercaya adalah manusia, maka dia akan naik pangkat. Tidak akan hanya menjadi asisten saja seperti saat ini.Maka, setelah sampai rumah dia melupakan istirahat. Hanya makan, minum, mandi, setelah itu kembali bekerja pada ruangan pribadinya. Kalsti adalah orang yang sangat suka dengan perkembangan teknologi, selalu mengikuti perkembangan yang terjadi. Tidak disanksikan lagi bahwa di rumahnya, disetiap sudut remahnya, terpapar sebuah alat-alat canggih.“Apa alat yang bisa aku gunakan untuk saat ini?” katanya dalam sepi ruangan kerja pribadinya.Dia berpikir, berpikir, dan berpikir.
Pagi hari, mataku sudah terbuka lebar, terkena deburan sinar matahari. Nai, juga terlihat sudah bersiap dengan kegiatan hari ini. Nia, kemana dia? Apakah masih berada dalam ruangan kamarnya?Ah, sial sekali anak itu. Pagi seperti ini masih belum bangun. Mungkin dia lelah dengan mengemudikan moter selama seharian penuh.Ternyata tidak, Nia sudah bangun sejak tadi malahan. Dia, sekarang berolah raga ria di depan bangunan penginapan. Ceria sekali malahan dia. Entah mimpi apa yang dia lalui semalaman.“Safa, setelah sarapan nanti kita berangkat menuju Kuil Damsaqie kembali.” Kata Nai padaku ketika sarapan pagi.Sarapan kami lakukan dengan diam-diaman, tidak banyak perbincangan yang terjadi. Kanisan, entah kenapa pagi ini begitu diam. Hanya Nai, yang sekali-kali mengeluarkan suara, mengomentari masakan penunggu penginapan. “Terlalu banyak garam masakan ini.”***Setelah sarapan, benar-benar kami berangkat menuju Kuil Damsa
Kalsti telah mantap untuk meluncurkan kamera mikro ketika pagi datang. Saat itu, Safara dan teman-temannya tengah masak di dapur penginapan.Wajahnya cerah ceria, tidak merasakan letih yang tercip malam tadi. Kalsti, menamakan kamera mikro itu dengan sebutan ‘Gadiang Gioreng 23’. Sekarang, perwajahannya sudah sangat berbeda dengan kamera yang berada di tembok ruang kerjanya.“Alat ini sudah siap mengudara. Dan, tentunya aku sudah siap untuk diangkat menjadi Pemimpin Keamanan.” Katanya sendiri dalam hati.Dia mengambil moternya dengan bantuan beberapa kode dari ponselnya. Dari kejauhan, terdengar desingan mesin moter, pelan, tidak menyakitkan telinga. Moter Kalsti sungguh indah. Berwarna kuning kehijau-hijauan, dengan hiasan lampu hitam.Setelah sampai di depan rumahnya, segera dia mendekati moter, dan membuka pintu moter. Pertama-tama, dia membuka pintu belakang moter, dan meletakkan Gadiang Gioreng 23 pada kursi belakang. Setelah
“Apakah kamu sudah mendapatkan mantra untuk kembali pulang?” tiba-tiba Nai bertanya kepadaku.Aku dengan lantang menjawab belum mendapatkan. Bagaimana aku bisa mendapatkan? Bentuknya saja aku tidak mengerti. Sebenarnya, apakah dia berupa mantra dengan lukisan simbol, atau bahkan berupa benda yang menjadi peninggalan sejarah? Aku tidak tahu. Lebih tepatnya belum mengetahuinya.“Ah, mungkin jawaban yang kita inginkan tidak ada dalam Kuil ini.” Nia ikut numpang bicara.“Lalu, dimana lagi kita harus mencari?” Nai mengeluh, seperti tidak kuat menjalani hidup ini. Lebay.Lebih baik, sekarang aku pasrah saja. Aku sudah mencari dan tidak menemukan, berarti sudah saatnya berserah diri kepada Tuhan. Apakah Tuhan akan mengabulkan? Nanti dulu, kita akan menantikan bersama apakah Tuhan akan mengijinkan aku pulang kembali pada Bumi.Tuhan, ujian apa lagi sekarang yang harus aku tanggung? Apakah kurang berat ujian yang se
Sekitar lima jam perjalanan dengan moter, kami akhirnya sampai pada sebuah tempat, tempat paling eksotis menurutku selama beberapa hari di Kulstar ini. Bayangkan, rumah yang kami tempati saat ini, meskipun tidak terlalu besar, semua dindingnya berlapis emas, kuning mengkilap. Atapnya juga demikian, berbalut emas. Nampaknya bangunan ini hampir mirip dengan kelenteng orang Cina kebanyakan. Dominan dengan warna emas, tapi ini adalah emas asli, bukan pewarna yang mirip dengan emas.Sepertinya kami sudah tidak berada di areal Kuil Damsaqie lagi. Kami sudah sangat jauh terbang tadi pagi menjelang siang dengan moter. Sekarang waktu hampir petang, lampu-lampu rumah mulai otomatis menyala. Waw, menambah indah bangunan yang tadinya hanya emas, sekarang menjadi emas menyala.“Hai, anak-anak, ini adalah tempat terindah dalam hidupku. Tidak akan ada yang mengetahui tempat ini. Apalagi, kamera murahan buatan Dewan Keamanan tadi.” Kanisan berkata sambil tertawa lepas, sep