"Iya, Mas. Saya baru saja pulang."
Nadia berbicara di balik telepon. Dia sedang duduk bersandar di punggung tempat tidur. Dia berada di dalam kamar tidurnya. Menselonjorkan kakinya, rata dengan tempat tidur. Memanjakan dirinya dengan sikap santai di kamar yang tak terlalu lebar.
"Mas, sudah pulang kerja?" tanya gadis itu, tentu saja masih di jalur komunikasi elektronik. Ada sedikit nada manja terdengar dari suara Nadia.
"Oh. Iya... iya, Mas. Enak dong, siang sudah pulang, kan jadinya tidak diatur-atur orang lain karena punya usaha sendiri,” jelasnya lagi. Nadia berusaha mengungkapkan pendapatnya.
Gadis berambut panjang itu mengambil bantal dan meletakkan di atas pahanya. Tangan kirinya tanpa sadar memutar-mutar ujung sarung bantal yang berada di paha, berwarna merah muda. Sesekali dia menekukkan batang lehernya bertingkah sedikit aneh, terlihat dari gerakannya. Wajahnya terlihat sumringah.
"Enggak boleh gitu, Mas. Pamalih, Mas Am sudah dikasih rezeki sama Allah punya usaha toko buah. Harus disyukuri.” Lagi-lagi Nadia menjelaskan dengan suara yang sedikit manja. Nadia masih memutar-mutar ujung sarung bantal. Terkadang dia menariknya sesekali.
"Loh, kok gitu. Kok membandingkan dengan pekerjaan aku. Kalau aku mas ya, tidak masalah nanti jika suamiku punya pekerjaan yang beda dariku. Asal pekerjaannya itu halal." Keningnya berkerut ketika mengucapkan kalimat itu. Tangannya berhenti memelintir ujung sarung bantal. Dia memasang wajah serius saat ini. Dia ingin mendengarkan lawan bicaranya lebih baik karena itulah dia memberhentikan gerakan tangannya.
"Ya sudah. Kalau datang ya datang saja, Mas. Kabari aku kalau mau datang. Tapi dari dulu ngomongnya mau datang ke rumah, mau kenalan dengan Bapak dan Ibuku, eh... enggak pernah nongol tuh." Nadia cemberut. Kali ini nada bicara sedikit jengkel, namun terselip nada manja di sela-sela nada jengkel itu.
Lawan bicara Nadia adalah seorang wiraswata bernama Amrun. Dia mengenal lelaki itu dari temannya. Kebetulan teman dekatnya adalah adik dari lelaki itu.
Belum sampai setahun dia kenal dekat dengan lelaki yang menelponnya saat ini. Mereka sering berteleponan tapi tidak pernah bertemu. Urusan tak pernah bertemu, tidak dipermasalahkan oleh Nadia. Tapi dia mempermasalahkan janji laki-laki itu yang mau datang ke rumahnya tapi tidak pernah terealisasi. Nadia bukan mau dipinang tapi dia ingin lelaki itu datang ke rumah dan berkenalan dengan kedua orang tuanya.
Sejak kecil sampai remaja, bahkan sampai sekarang ini Nadia tidak pernah pacaran. Karena dia sibuk menafkahi diri sendiri dan terkadang memberikan penghasilannya kepada Ibu dan adik-adiknya ketika dia sudah bekerja. Kalau dahulu dia sibuk mencari uang untuk biaya sekolah dan kuliahnya. Karena itulah, dia tidak pernah memikirkan akan dirinya yang tidak pernah pacaran.
Ayah dan Ibunya tahu karakter anak gadis mereka, yang sibuk mencari uang untuk biaya sekolah dan biaya kuliah. Itu dulu. Tapi setelah dia bekerja, ayahnya menyarankan untuk mencari lelaki pilihan saat ini dan cepat menikah. Karena pikiran untuk membiayai kuliah sudah tidak ada lagi.
Umurnya sudah hampir dua puluh lima tahun sekarang ini, beberapa bulan lagi genaplah seperempat abad dan perkataan ayahnya terngiang di telinganya.
Lelaki yang bernama Amrun adalah lelaki pertama yang disukainya. Dia biasa berteman dengan lelaki dan perempuan, tapi sepertinya beda dengan Amrun. Dia sangat suka dengan Amrun walaupun bertemu hanya ketika dia mengunjungi rumah sahabatnya dan Amrun tentu saja ada di rumah itu. Mereka tidak pernah pergi berdua, berjalan atau makan atau nonton bioskop atau layaknya seperti orang pacaran, bahkan status Nadia dan Amrunpun bukan pacaran saat ini.
Beberapa kali lelaki itu meneleponnya dan ditanggapinya dengan sopan. Tapi sepertinya Amrun tak seperti yang diharapkan. Bukan tipe pria pemberani yang memperjuangkan orang yang dicintai.
Nadia sangat mengimpikan seorang laki-laki yang datang ke rumahnya. Berani berkata kepada Ayah dan Ibunya bahwa dia mencintai Nadia dan lelaki itu berjanji akan menjaga Nadia setelah menikah nanti. Hal itu yang sangat diimpikannya.
Kehidupan tidak seperti sinetron atau drama korea tapi dia yakin lelaki yang selalu diucapkan dalam setiap do’anya akan datang dan mengisi hari-hari berikut bersama dirinya.
Cukup lama dia berbicara melalui telepon dengan Amrun, seperti biasa. Akhirnya mereka menyudahi pembicaraan itu, tentu saja dengan kalimat yang dipegang Nadia yaitu 'Mas akan datang ke rumah, nanti'. Tapi entah kapan. Saat ini Nadia tidak ingin terlalu berharap banyak dari lelaki itu.
Nadia bergegas untuk membersikan wajahnya agar bisa tidur dengan tenang. Dia duduk di meja rias yang tak jauh dari tempat tidurnya. Mengambil beberapa kapas dan meletakkan cairan tonic pembersih wajah di kapas yang sudah diambilnya. Kemudian membersihkan wajahnya yang putih cerah, menghadap ke cermin di kaca rias.
Terpikir olehnya, apakah Mas Amrun memang akan menjadi suaminya. Atau Tuhan mempersiapkan lelaki lain untuk dirinya. Dia harus segera menikah. Itu yang terpikir olehnya saat ini karena ayahnya sudah menyarankan hal itu. Tapi... bagaimana mau menikah, pacar saja tidak punya. Hubungannya dengan Amrun juga tidak jelas. Apakah mereka hanya berteman atau memang benar pacaran. Amrun tak pernah menyatakan cinta kepadanya. Amrun juga tidak pernah memenuhi janjinya untuk datang ke rumah, walaupun sudah hampir lima kali lelaki itu berjanji kepadanya. Dia menjadi pesimis dengan Amrun karena beberapa janji yang tak ditepati.
Nadia melakukan rangkaian membersihkan wajahnya, tapi pikirannya melayang ke hal lain. Lebih tepatnya bukan ke hal yang dikerjakannya saat ini, tapi memikirkan masa depan. Masa depan dengan siapa yang akan dijalaninya nanti. Bagi dirinya tidak masalah jika dia berkarir dan beberapa tahun lagi akan menikah, tapi keluarga terutama Ayahnya mendesak agar dia segera berumah tangga.
Gadis bertubuh semampai dengan tinggi di atas rata-rata gadis Indonesia, bangkit dari tempat duduknya menuju ke tempat tidur. Merebahkan dirinya dengan perlahan ke tempat tidur yang beralaskan kain berwarna coklat dipenuhi bunga-bunga berwarna krem sebagai pembungkus tempat tidur. Menepuk bantal yang berada di atas tempat tidur dan menarik guling yang sudah berada di sampingnya. Sarung bantal dan guling berwarna senada dengan bed cover tempat tidur itu.
Tiba-tiba dia berbalik, melihat ke arah meja kaca rias tempat dia duduk tadi. Dilihatnya meja itu masih berantakan dengan kapas dan beberapa botol pembersih yang belum disusun rapi. Belum dikembalikan ke posisi semula. Nadia lupa untuk membereskan meja rias itu. Dia mendesah. Menyesali sikapnya yang sembrono, tapi dia membalikkan kembali badannya dan melanjutkan niatnya untuk ke alam mimpi. “Besok saja aku bereskan, gampanglah itu,” gumamnya. Kemudian dia berusaha memejamkan mata dan berharap bermimpi indah malam ini.
Nadia menyetir mobilnya secara perlahan, berbelok ke kanan menuju pintu masuk utama rumah sakit. Mobil diberhentikan pas di bawah gapura utama bertuliskan RUMAH SAKIT Dr. OEN SOLO BARU dan dibawah ada tulisan berukuran kecil dibandingkan dengan tulisan di atas tadi yaitu SUKOHARJO.Mesin otomatis untuk parkir juga pas berada di bawah gapura itu. Nadia menghentikan mobil untuk mengambil kertas parkir. Gadis itu membuka kaca jendela dan menekan tombol warna hijau di mesin parkir otomatis, kemudian dia mengambil kertas parkir yang menyembul keluar dari satu bibir di mesin itu.Nadia kemudian kembali menutup kaca jendela mobil dengan menekan satu tombol sekali, menjalankan kendaraan itu dan mengambil ke kanan, mengarah ke lapangan parkir."Besar rumah sakitnya ya, Dek?"Seorang perempuan yang duduk di kursi tengah untuk penumpang tiba - tiba berkata. Dia sedang memeluk seorang anak laki - laki yang duduk
Lorong utama Rumah Sakit dr. Moewardi sangat ramai dikunjungi pasien setiap hari. Begitu juga dengan pagi ini. Berbagai macam manusia dengan tingkah, gaya dan bau beraneka ragam sudah berkumpul di lorong itu. Padahal matahari belum sampai sepenggalahan di hari ini. Tak tahu mengapa hari ini begitu banyak manusia yang berlalu lalang dan berdiri di lorong utama.Nadia berusaha berjalan di lorong utama menuju lobi dengan berhati-hati agar tidak berbenturan dengan orang lain. Sesekali dia menebarkan senyum kepada orang yang berselisih jalan dengannya, terutama dengan tenaga medis yang dikenalnya.Gadis yang memakai baju dinas berwarna putih, lebih menyerupai seperti jas, ingin menuju ke ruangan administrasi. Ada beberapa berkas yang ingin dilihat. Ketukan sepatunya terdengar cepat, dia berjalan seperti biasanya, lincah dan gesit. Kelincahan juga teruji dengan menghindari beberapa orang di lorong yang berjalan dengan seenaknya. Tak memedulikan or
"Kita ambil sampel darah Dek Rafi ya, Mba?" Arkan menoleh ke arah Ibu pasien setelah memeriksa tubuh anak laki-laki yang berumur sembilan tahun. Berdiri menghadap ke Ibu Pasien."Tidak ada hal yang serius kan, Mas Dokter?"Ibu pasien yang ternyata adalah Kakak Nadia menimpali pernyataan dr. Arkan dengan cemas."Mudah-mudahan tidak, saya hanya memastikan saja. Karena sudah seminggu dari pemeriksaan pertama, suhu tubuhnya kembali naik." Dokter Arkan memberi kode kepada perawat laki-laki yang berada di sebelahnya. Kode agar mengurus anak laki-laki yang sudah diperiksa olehnya.Perawat yang bertubuh tinggi dan ramping, langsung merapikan pakaian anak laki-laki yang sedang berbaring dalam keadaan sadar. Perawat laki-laki yang memiliki rambut lurus dipotong pendek, membantu Sang Pasien duduk di atas tempat tidur yang dibalut dengan kain berwarna biru muda, pada gerakan selanjutnya.Ibu pasien, berus
"dr. Arkan sedang istirahat, Mba.""Tapi... sekarang sudah hampir jam 2 siang....""Biasanya setelah makan siang, dr. Arkan langsung Sholat Zhuhur, dia memang selesai istirahat jam 2 siang, baru kembali masuk ke ruang praktek."Perawat perempuan yang berkacamata menjelaskan dengan lembut kepada Nadia.Nadia manyun. Dia hanya bisa keluar dari tempat kerjanya pas istirahat juga. Itu pun... tadi dia izin keluar dari jam 11 siang agar bisa kembali dengan cepat. Ternyata jalanan macet, seharusnya perjalanan dari Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi ke Rumah Sakit dr. Oen Solo Baru,bisa ditempuh dalam waktu setengah jam, akhirnya menjadi satu jam perjalanan.Nadia kembali ke Rumah Sakit Swasta yang berlokasi di Sukoharjo untuk mengambil hasil tes darah keponakannya. Sampai di Ruang Sampling, dia harus menunggu 1 jam lagi. Dan akhirnya hasil tes sudah keluar dan akan diserahkan
"Hai...."Arkan menyembulkan kepalanya dari dalam mobil melalui kaca jendela, keluar. Tersenyum manis. Wajah tampannya terpapar sinar matahari sore. Mobil berhenti di samping gadis yang ditegur.Nadia terkejut. Langkahnya terhenti. Menoleh ke arah asal suara."Bu dokter mau ke mana?"Arkan melihat ke arah gadis yang di tegur, sedang berjalan di lapangan parkir. Kedua mata Arkan yang indah dengan alis mata yang tebal, menatap dengan tatapan yang ramah."Eh... Pak Dokter. Saya mau pulang," tukas Nadia dengan cepat setelah menyadari siapa yang menegurnya dari dalam mobil. Gadis yang berprofesi sebagai dokter umum sedikit menunduk ketika melihat lelaki di dalam mobil."Panggil saja dengan nama Arkan. Ditambah kata Mas juga boleh."Arkan masih tetap berbicara dari balik jendela mobil yang terbuka lebar. Kedua matanya dengan alis mata yang tersusun rapi, seperti menggoda gadis ya
Nadia dengann cepat mengangkat handphone yang berbunyi di meja ruang tamu. Tertera satu nama di layar handphone. Nama yang tertera adalah nama seseorang yang menelepon dia dua malam yang lalu."Halo...."Gelagatnya sekarang sedang mempersiapkan hati yang sudah berdebar-debar."Selamat sore, Bu Dokter....""Ya. Sore juga, Pak Dokter."Nadia berusaha menjawab dengan santai."Saya sedang berada di Jalan Veteran sekarang ini. Rumah Bu dokter di bagian mana?""What?" batinnya menjerit.Nadia terdiam. Di sore Minggu yang tak ada angin atau hujan, dia seakan disambar petir di siang bolong."Halllllloooo...." Suara di ujung telepon bernada mendayu."Ehem... ya... halo...." Nadia gelagapan. Santai sorenya tidak seperti biasa. Sore ini dia sedang menikmati novel koleksinya."Saya sedang di Jala
Di ruangan kerja yang lumayan besar, hanya terdengar satu suara. Suara hiruk pikuk rumah sakit di luar ruangan sudah tidak terdengar lagi.Terdengar suara beberapa ketukan dari laptop di depan meja praktek. Laptop itu seakan tersiksa dengan ketukan jari yang cepat dan terlalu kasar. Jari-jari tangan yang bergerak dengan lincah mengetik sesuatu di laptop dan... terakhir menekan tombol enter dengan mengangkat tangan perlahan tapi jari telunjuk menekan tombol itu dengan ketukan keras pada akhirnya.Tuk.Nadia tampak kesal di balik meja kerja di ruangannya. Sudah tiga hari dokter spesialis itu tidak menghubunginya. Itu yang membuatnya kesal. Pertama kali, dokter muda itu datang ke rumah-Minggu sore-Nadia tak terlalu banyak berbicara karena Ibunya yang menguasai waktu pada saat itu. Dari pertama datang sampai dokter spesialis bernama Arkan itu pulang, selama 2 jam Ibunya ikut nimbrung ke dalam pembicaraan mereka. Nadia tak bi
Tok... tok... tok..."Ya. Masuk...."Nadia masih menundukkan kepala, menulis beberapa kalimat di atas selembar kertas yang ada di meja. Matanya fokus ke tulisan ketika mengatakan kalimat mempersilakan tadi.Terdengar suara pintu terbuka."Pasien selanjutnya ya, Bu Tisna?"Dokter umum yang masih fokus dengan kerjaannya, tidak mengangkat kepala sedikit pun. Pandangannya tetap ke kertas dan terus menulis di benda putih di atas meja praktek. Dia melontarkan kalimat pertanyaan tanpa melihat ke perawat yang tak lain adalah Tisna. Dia tahu pasti kalau yang mengetuk tadi adalah perawatnya. Dia hapal ketukan itu."Ada tamu, Bu dokter. Tapi bukan pasien...."Tisna berbicara sedikit pelan. Dia menyunggingkan senyum kecil. Kedua pundak sedikit naik ketika mengucapkan kalimat terakhir."Lantas...." Tangan Nadia masih sibuk menggoreskan pena ke kertas putih. Kepala belum j