Share

10. Awal Penderitaan

Seseorang yang tumbuh menjadi pribadi keji, terkadang bukan karena mereka memang terlahir keji melainkan akibat dari bentuk pertahanan atas luka-luka lampau. Analogi sederhana, bagaimana cara kau bertahan di tengah terjangan kejahatan? Tentunya menjadi jahat lebih memabukkan daripada kau tertindas. Mungkin pemikiranku terdengar konyol. Namun, bukankah setiap insan berhak berkesimpulan?

Aku memiliki beberapa prinsip dalam hidup. Pertama, Kaneena tidak akan menikah. Kedua, Kaneena tak sudi memiliki anak. Ketiga, ia akan tetap membara dan tak akan diinjak oleh insan. Tiga aturan tersebut telah bulat, kutulis dalam setiap langkah perjalanan. Tidak muluk-muluk. Kuakui bahwa prinsip dapat tercipta sempurna setelah kepercayaan dicampakkan oleh cinta dan kebahagiaan.

Aku tertampar ketika Zillo mendongak. Tatapan polosnya seolah berkata, Bagaimana jika Tuhan berkata lain?

"Jangan menatapku begitu, bocah." Netra ini berputar malas sebelum fokus pada bianglala. Dalam hati, aku berdecak. Jika Tuhan berkata lain, itu urusan Tuhan, bukan urusanku. Bukankah manusia bebas berkehendak meskipun kehendaknya dibatasi oleh ketentuan takdir?

Setelah sadar, aku menggeleng. Membayangkan raga ini berada di salah satu kapsul bianglala, kepalaku berdenyut hebat, mengingat kejadian beberapa waktu lalu ketika Kaneena mengeluarkan isi perut setelah menaiki roller coaster. Aku menarik napas kuat sebelum mengusap dada dengan satu telapak tangan karena satu telapak tangan lain sibuk menggenggam tangan Zillo.

"Tante, itu tinggi." Kuperhatikan, anak itu tampak takjub. Telunjuknya fokus pada bianglala yang berputar.

Menemukan wajah polos Zillo, Entah mengapa, muncul ide gila di otakku. "Kau ingin naik itu?" Untuk merayunya, tentu saja ucapan ini harus manis. Kuusap rambut bocah itu pelan yang kini berkibar karena angin di sela seringaian.

Netra polosnya menatapku dan bianglala tersebut bergantian. "Illo boleh?"

Bahuku mengedik, menahan senyuman dalam hati. "Tentu. Siapa yang tidak mengizinkan?" Tak menunggu ucapan apa pun, aku menariknya untuk mendekati wahana. Namun, lautan manusia seolah menyorot kami dengan kebencian.

Siapa anak itu?

Apakah Kaneena telah memiliki anak?

Karena geram dengan ucapan mereka, aku pun menyorot penuh kebencian. "Heh, aku bukan artis lagi. Jadi, berhenti membicarakan apa pun tentang Kaneena!" Di sela protes, aku tersentak karena Zillo tiba-tiba histeris. "Diam, Zillo. Kau menangis di waktu yang tidak tepat," geramku dengan suara lirih.

Anak itu makin histeris, membuatku menyerah, memilih berbalik arah dengan langkah tergesa. Apakah Kaneena harus mengundurkan diri dari dunia hiburan di saat aku sendiri pun telah dicampakkan?

"Diam, bocah!"

Entah apa penyebabnya, tapi ketika menoleh ke belakang, lautan manusia seolah mengejar. Mereka tampak hendak memburu foto kami yang mungkin dapat dijadikan uang. Jika tahu begini, aku tak akan menuruti ucapan sialan Baeck yang mengatakan bahwa Zillo amat bahagia jika diajak ke pusat bermain.

Refleks, kudekap tubuh anak itu erat, seolah tak ingin wajahnya terpampang di berita sialan televisi. Sesuai praduga, Zillo kesulitan menahan tangis. Ia tampak ketakutan, menyebabkan kebodohanku berdesis geram setelah mengingat bahwa kami kemari dengan taksi, pertanda aku harus menyetop terlebih dahulu. Beruntung jika langsung dapat. Jika tidak, mereka akan menangkap dan menjadikan kami objek pemberitaan hari ini.

Hari-hariku benar-benar sial. Sesuai perjanjian, aku akan mengasuh Zillo selama Baeck tidak ada. Keinginan ini berpikir bahwa pria itu akan pergi sesekali, tapi mengapa seminggu lamanya ia tak pulang-pulang seperi Lagu Bang .... Ah, entahlah.

"Kaneena!"

Suara itu ....

"Ayah!" Zillo memekik di sela isak tangisnya. Meskipun ia anak kecil, tapi dalam keadaan seperti ini aku sangat memercayai insting bocah itu.

Netra ini refleks menyorot sekitar, mencari-cari keberadaan Baeck sebelum tersenyum lega ketika pria itu berlari ke arah kami dengan lengannya yang melambai. Aku tak lagi memedulikan hiruk-pikuk selain fokus pada Baeck yang makin mendekat. Ketika nyaris sampai, pria itu meraih Zillo dari dekapanku, kemudian menarik pergelangan tangan ini untuk lari makin kencang. Kami bagaikan pemain drama india yang sibuk memecah taman bunga.

Apakah mereka berkencan?

Aku tidak percaya bahwa Kaneena telah memiliki anak.

Jangan-jangan, ia selingkuhan.

Dentuman pintu mobil yang tertutup membuatku mengembuskan napas lega karena praduga-praduga sialan dari bibir mereka tak lagi terdengar. Sementara Baeck masih beku. Ia tampak shock berat dengan kejadian beberapa menit lalu. Berbeda dengan Zillo yang kini histeris di dekapan sang ayah.

Untung kaca mobil ini berwarna gelap. Jadi, rayapan-rayapan mereka tampak dari dalam, tapi kekhawatiran kami sama sekali tak tertangkap dari luar. Yang membuatku jijik adalah, mereka bagaikan lintah yang lupa daratan. Mencaci, membenci, tapi mengapa masih membutuhkan informasi?

"Cepat lajukan mobilnya!" titahku sebelum terkesiap karena Baeck menyerahkan Zillo. Beberapa saat kemudian, tubuh kami melaju dalam kelegaan.

Netraku terkatup rapat, merasakan dengungan yang memecah atmosfer gundah di dada. Aku sama sekali tak berniat menenangkan Zillo yang histeris. Pasalnya, kepala ini amat berdenyut.

"Tidak ada apa-apa, Nak. Jangan takut, Sayang." Baeck berusaha menenangkan sang putra sebelum menyenggol lenganku. "Hug my son." Ia menyerahkan Zillo.

"What?!" Aku menyorot anak itu geli sebelum beralih pada Baeck. Demi Tuhan, memeluk anak kecil bukan tipe Kaneena sama sekali, berlebih memancarkan aura kasih sayang.

"Ini tugasmu. 500 juta tidak sedikit, Kaneen!"

Di sela mendengar protes Baeck, kami terhuyung ketika kuda besi ini berbelok. Karena enggan mendengar dumalan sialan itu terus menerus, kudekap Zillo dengan pergerakan ragu. Hebatnya, makhluk itu berhenti dari isak tangis.

"Tante ...." Ia merengek sangat manja, membuatku amat muak dan geli ketika wajah basahnya mendongak.

Bibir ini hanya bungkam. Sorotku masih fokus ke perjalanan. Dalam diam, aku bertanya, Sebenarnya, apa yang mereka inginkan?

"Pelukan Tante mirip dengan pelukan bunda."

Netraku membulat, terkejut. Karena Baeck pun tampak terkesiap, wajah ini beralih pada wajahnya hingga kami saling tatap cukup lama sebelum aku membuang muka.

"Illo suka."

Aku tak sudi menanggapi ucapan bocah sialan itu, memilih terpejam sebelum merasa ringan.

***

Baeck membanting pintu apartemen setibanya kami di sini. Ia tampak marah. Namun, apakah aku peduli? Dan, pria itu membawaku ke apartemen yang terletak di dekat Bundaran HI.

"Mulai saat ini, kau tidak usah keluar. Tinggal di apartemenku dan urus Zillo." Dengan wajah kesal, pria itu menggulung lengan kemeja hingga siku sebelum melepas kancingnya yang tampak amat mencekik. Kemudian, Baeck mengempaskan tubuh di sofa.

Tungkaiku nyaris memasuki ruang tamu, tempat di mana pria itu berada. Refleks, kuselisik wajahnya dengan alis menyatu sebelum mengetatkan gigi karena geram. "Kau pikir, aku buronan?"

Baeck melempar ponselnya asal, mengabaikan ekspresi kesalku.

"Di mana aku harus meletakkan anak ini?" Demi Tuhan, aku benar-benar menahan geram. Seharusnya pria itu yang menggendong Zillo, bukan aku!

"Kamar." Dagunya mengedik ke pintu yang terbuka beberapa senti.

Sesuai arahan, aku meletakkan Zillo di ranjang dengan perasaan gondok sebelum menghampiri Baeck yang tampak masih betah berada di tempat semula.

"Jika kau berkeliaran, Zillo harus ikut. Namun, aku sebagai ayahnya, tak ingin kejadian tadi terulang." Ia menyorotku tajam, berusaha meremas keberanian Kaneena. Namun, satu hal yang tidak pernah Baeck ketahui, yaitu aku tidak memiliki rasa takut.

"Kau egois!" Aku berdiri di hadapannya dengan tangan bersilang, mengabaikan Zillo yang mungkin saja akan terjaga. Refleks, telunjuk ini mengacung geram. "Aku ini memiliki kehidupan dan kau tidak berhak mengekang!" Kutantang sorotnya ketika beranjak.

Pria itu mendekat ke arahku dengan wajah merah padam. "Aku berhak karena Zillo bersamamu! Ia putraku! Aku telah membayarmu sangat mahal!"

Demi Tuhan, karena makhluk sialan itu, aku jadi terikat dan dikekang. "Terserah!" Aku memasuki kamar setelah membanting pintu yang entah milik siapa.

***

Rasa bosanku melirik Zillo yang sedari tadi terlelap. Napas bocah itu teratur, senada dengan gerak dadanya yang kembang kempis. Aku beralih ke penjuru sebelum beranjak dengan helaan napas. Baeck entah pergi ke mana, menyisakan kami yang bagaikan burung di sangkar emas.

Waktu luang aku gunakan untuk membuka platform kepenulisan. Ketika menemukan banyak sekali komentar dari para pembaca, hati ini bersorak senang.

Seharusnya, cerita sememukau ini dijadikan film layar lebar.

Demi Tuhan, aku ingin sekali menjadi pemerannya jika cerita ini naik layar.

Sayang sekali, Ares terlalu berengsek.

Tiba-tiba, aku mengingat Ares dan agak meringis bersalah setelah menyadari bahwa nama pria itu abadi di cerita Kaneena.

Demi Tuhan, aku menjadikan Ares dan sang istri tokoh dalam novel bukan tanpa alasan. Mereka memiliki karakter pekat yang mampu mengembangkan imaji ini. Ares, pria keparat. Rhea, istri berkarakter kuat.

Nyaris dua jam aku membalas komentar mereka satu per satu. Tak jarang netra ini melirik Zillo yang masih terlelap damai. Namun, rasa bosan tak mampu terobati. Itu sebabnya aku beranjak, menyusuri sudut ruangan perlahan.

Entah mengapa, aku berharap menemukan sesuatu di apartemen ini. Tak ingin tahu, tapi aku pun tak dapat berbohong bahwa ada sepercik rasa penasaran dalam dada Kaneena perihal siapa wanita yang Zillo panggil sebagai bunda. Setidaknya, mengapa sang istri dirawat di rumah sakit atau minimal foto pernikahan mereka. Namun, sepertinya mimpi Kaneena hanya akan sia-sia.

Aku mengelilingi ruangan. Furniture apartemen ini gaya minimalis, khas pria itu sekali. Selain garang dan mengesalkan, Baeck adalah tipikal seseorang yang menyukai hal-hal simple. Kian mengatakan demikian.

Lidah ini berdecak malas. "Mengapa aku harus peduli, sih?" Namun, tungkaiku masih melangkah.

Satu per satu pintu ruangan kumasuki karena seluruhnya sengaja dibuka oleh Baeck sebelum pria itu pergi. Mungkin agar tidak pengap atau pria itu tengah berusaha membunuh kebosananku karena ia tahu bahwa Kaneena memiliki tingkat penasaran yang tinggi.

Tak menemukan apa pun, aku memutuskan kembali ke kamar untuk memeriksa Zillo. Namun, kesadaran ini menemukan satu kejanggalan, yaitu pintu berwarna pastel, tidak senada dengan warna pintu lainnya—cokelat.

Rasa penasaranku membawa tubuh ini tiba di depannya. Di permukaan pintu tersebut bertuliskan sesuatu. Namun, aku tak mampu membacanya karena bukan Bahasa Indonesia yang tertera di sana. Refleks, jemari ini memutar kenop. Gagal. Pintu terkunci. Menyerah, aku hendak berbalik, tapi sudut netra ini tanpa sengaja menemukan besi yang menyembul di atas lemari sepinggul tepat di bawah buku bacaan anak-anak.

Alisku makin menyatu. "Mungkin itu kuncinya," gumanku. Tanpa rasa takut, aku membuka pintu kamar misterius itu perlahan. Sesuai praduga, pintu terbuka.

Ruangan ini gelap. Namun, tak mampu menyulut rasa takutku. Dengan langkah mengendap, aku berusaha mencari sakelar lampu sebelum sinar menyala terang. Netraku terpanah. Untuk ukuran Kaneena yang membenci makhluk kecil bernama bayi, pertunjukan saat ini lumayan hebat karena sukses membuatku terperangah. Kamar mungil ini amat cantik dan memukau, penuh dengan warna pastel yang disempurnakan oleh aroma bayi.

Aku melangkah perlahan sebelum membeku ketika menemukan foto Baeck, satu wanita cantik, dan satu bayi mungil yang kupastikan adalah Zillo. Kuselisik dua dimensi tersebut dengan alis bertaut. Pasalnya, kamar ini amat mencurigakan. Namun, rasa takutku sungguhan tak bersisa hingga memutuskan untuk melangkah lebih dalam ke pintu yang terletak di ujung kamar sebelum terkesiap ketika pekikan nyaring Zillo mengentak pendengaran.

Aku berlari ke sumber suara sebelum terperangah ketika menemukan Zillo yang telah dipenuhi darah pada bagian kepalanya dan yang terparah adalah sorot tajam Baeck. Ia seolah hendak membunuh dengan cara mengulitiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status