Share

BAB 4: "Namanya Adelio"

Bagiku Lio–nama panggilan Adelio–adalah titik balik di hidupku. 

Masih terbayang jelas di benakku ketika dia menatapku dengan sorot mata dingin, jijik, dan... Yah, intinya yang buruk-buruk. 

"Aku membencimu!

Dan kalimat itu juga pasti akan selalu terputar di otakku ketika mendengar namanya. Bagai lagu yang tak sengaja terputar di radio rusak, berulang-ulang hingga aku ingin menghancurkan segalanya. 

Lio lah yang membuatku seperti ini. Membenci dan menyalahkan diriku sendiri tanpa sebab. Aku tidak tahu kami akan bertemu di dunia ini. 

"Jawab aku! Kau benar Alana kan?" Lio berteriak membuat lamunanku buyar.

Aku beringsut mundur, "Bukan! Aku tidak mengenalmu!" 

Lio tampak begitu menyedihkan sekarang. Dia seperti kehilangan arah. Aku tidak tahu pasti, tapi kelihatannya dia tersesat di dunia ini. Atau dia bukan Lio, melainkan orang lain yang hanya menggunakan visual dirinya? 

"Kenapa kau bisa ada di sini? Dimana ini? Kenapa aku tidak mengenal siapapun?!" Lio berteriak frustasi. 

Aku tidak mampu berkata apapun. Yang ingin ku lakukan hanyalah pergi sejauh mungkin dari dirinya. Aku tidak ingin melihat wajahnya. Karena melihatnya saja sudah membuatku menderita. 

Lio merangkak ke arahku, aku tidak bisa menghindari tangannya yang mencengkram bahuku. Dapat kurasakan, tangannya bergetar. "Jawab aku! Kita ada dimana?!" 

"Sudah kubilang aku tidak mengenalmu!" Aku balas berteriak. Aku juga berusaha melepaskan cengkeramannya, tapi sulit karena aku sendiri sudah kehabisan tenaga. 

Lio seperti ketakutan, aku juga sama. Tapi yang jelas aku ingin menghindarinya terlebih dahulu.

"Lepaskan aku! Jangan seperti orang gila." Desisku.

"Tentu saja aku gila! Aku tidak tahu dimana aku berada! Aku juga hanya mengenalmu!" 

"SUDAH KUKATAKAN AKU TIDAK MENGENALMU!" 

Nafasku memburu dengan kepala yang diisi oleh amarah dan ketakutan luar biasa. Tanpa sadar aku membalas Lio dengan berteriak lebih keras dan lebih histeris. 

Kulihat Lio menjatuhkan kedua tangannya ke sisi tubuh dengan tatapan putus asa, "Kau..." Lio membasahi bibirnya, air mata pria itu terjatuh, "Tidak mengenalku?" 

Disaat aku ingin menjawabnya, kepalaku yang sakit berdenyut semakin kuat membuatku tidak dapat melanjutkan ucapanku. Apa ini efek bangun tiba-tiba? Atau karena stres? Aku tidak tahu, rasanya seperti ingin pecah. Ditambah lagi situasi yang gila serta tak masuk akal, membuatku semakin pusing memikirkannya.

"Setidaknya katakan kalau kau mengenalku. Kumohon..."

Aku memegangi kedua sisi kepalaku yang semakin sakit. Aku tidak dapat lagi mendengar suara Lio, mungkin kalimat itu adalah kalimat terakhir yang dapat kudengar darinya. Aku sudah berusaha untuk fokus padanya, tapi tidak bisa. Kepalaku begitu sakit dan nyeri. 

"Alana!" 

Aku mendengar suara familiar lain yang memanggil namaku, tapi aku tak mampu menoleh karena sakitnya kepalaku ini. Kulihat Lio sudah tidak sadarkan diri. Aku ingin membangunkannya, tapi tak lama... Semuanya menjadi gelap.

***

“Kenapa dia tidak sadar juga?” 

Hm? Suara siapa itu? 

“Mana kutahu! Aku menemukannya pingsan bersama seorang lelaki. Dokter masih belum datang untuk menjelaskan.” 

Suara itu sepertinya familiar. 

“Kalian berdua tenanglah. Biarkan Alana beristirahat dengan tenang!” 

Suara wanita? 

Aku terus menebak-nebak suara siapa yang sedang beradu mulut itu. Aku ingin membuka mata, tapi rasanya terlalu berat untuk kubuka. Seperti ada lem yang membuat mataku lengket dan sulit untuk dibuka. 

Aroma yang tercium di indera penciuman ku adalah aroma obat-obatan. Jadi bisa kutebak kalau aku di rumah sakit kan? 

Perlahan tapi pasti, aku membuka mataku. Hal pertama yang menyapa penglihatanku adalah langit-langit berwarna putih. Dan baru kusadari tubuhku itu rasanya nyeri luar biasa. Lebih nyeri daripada tadi pagi. Belum lagi kepalaku yang rasanya seperti ingin pecah. 

“Alana? Kau sudah sadar?” Dapat ku dengar nada luar biasa lega dari mulut wanita yang memanggil dirinya ibuku itu. 

Adnan dan pria paruh baya itu buru-buru menghampiri ku karena mendengar perkataan si wanita. 

“Akhirnya kau sadar juga!” Teriak Adnan, “Kau kemana saja?! Untung saja aku yang menemukanmu! Kalau orang lain mencari kesempatan disaat kau sedang pingsan bagaimana?!” 

Aku kaget mendengar pertanyaan dengan nada tinggi itu. Aku sedikit takut mendengarnya. Dan lagi, ternyata Adnan yang menemukan ku. Tentu saja aku bersyukur dan lagi apa yang dia katakan itu benar. Walau cara penyampaiannya kurang enak didengar.

“Benar, nak. Kau kemana saja? Kami semua mencarimu kemana-mana, tapi kami tidak dapat menemukan dirimu dimana pun.” Pria itu menambahkan dengan nada yang sama khawatirnya, tapi tidak membentak. 

Jujur...aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ah, rasanya aku ingin menangis lagi. 

“Kenapa kau diam saja?! Kami sangat cemas mencarimu dimana-mana!” Suara Adnan kian meninggi dengan wajahnya yang mulai memerah. 

Dia sangat marah. 

Wanita itu berdiri dan menghadap ke arah Adnan, “Tenangkan lah dirimu. Kita sedang berada di rumah sakit.” 

“Tapi dia harus menjelaskannya ibu.” 

Pria itu mengangguk, menyetujui ucapan Adnan, “Kakakmu benar, nak. Kemana saja kau?” 

Mereka bertiga kini menatapku yang masih terkulai tak berdaya di atas ranjang pasien. Aku seperti didesak untuk mengatakan yang sebenarnya. Dan itu membuatku tertekan. 

Apa yang harus kukatakan pada ketiga orang asing ini? Aku sama sekali tidak mengenal mereka dan mereka mengatakan bahwa aku bagian dari keluarga mereka. Aku tahu aku sedang berada di dalam novel! Aku tahu itu! Tapi... 

“Apa kau akan tetap diam?” Adnan terus mendesakku untuk menjawab. Dan tatapan menuntut yang mereka tujukan padaku. 

Benar-benar... Aku sudah tidak tahan! 

“Aku bahkan tidak mengenali kalian!” Nafasku tidak beraturan saat aku mengatakan itu. Aku berusaha untuk duduk dengan susah payah walau aku merasakan sakit luar biasa yang menyelimuti setiap sendi ku, “Kalian tiba-tiba ada di rumahku lalu mengatakan aku adik dan anak kalian. Bagaimana aku tidak kaget?!” 

Aku benar-benar tidak dapat menahan semua ini. Bahkan sehari sebelum aku memasuki dunia ini pun aku sedang dalam suasana hati yang buruk. Lalu kalian ingin aku menerima kenyataan gila ini?! 

“Aku... Aku tidak tahu apa-apa!” Aku kembali berteriak, suaraku gemetar karena meluapkan emosiku. “Kenapa kalian terus mendesakku?!” 

Tubuhku kembali terjatuh ke belakang sangking lemasnya. Orang-orang itu yang tadinya menatapku kaget kini menjadi panik. 

Bahkan di kondisi lemas seperti ini pun aku masih terus ingin mengeluarkan apa yang sedang tertimbun di hatiku. Tapi keterbatasan tenaga membuatku tak dapat melakukannya. 

“Panggil dokter! Cepat!” Teriak si pria pada Adnan dengan panik. Pria itu memegangi tanganku dengan lembut, “Tenanglah putriku, dokter akan segera memeriksa mu.” 

Sementara si wanita, kulihat ia menangis sesegukan sambil mengelus rambutku dengan sayang. 

Situasi menjadi lebih kacau karena mereka panik. Padahal aku hanya lemas dan pusing saja, ya tetap saja ini menyakitkan walau tidak perlu seheboh itu. 

Dokter memeriksa tubuhku. Wajahnya cukup serius apalagi setelah memegang kepalaku. “Sepertinya kami harus memeriksa putri tuan dan nyonya secara menyeluruh.” Ujar dokter itu dengan serius. 

“Ada apa dengan adik saya, dokter?” 

“Sepertinya ada sebuah benjolan di kepalanya. Seharusnya penanganan Alana ditangani secepatnya, sebuah keajaiban karena dia tidak koma dan sudah sadar.” 

Bagai disambar petir, paman, bibi, dan Adnan membeku. Tak lama mereka mulai menangis. Aku kaget tentu saja, bahkan dokter dan perawat yang ada di ruang inap ini kaget dan berusaha menenangkan mereka. 

Astaga... situasinya benar-benar kacau. 

***

Dokter mengatakan kalau diriku terkena amnesia retrogade fokal. Singkatnya aku kehilangan ingatanku, tapi tidak kehilangan kemampuanku seperti menulis, berbicara, menggambar, bahkan belajar. 

Dokter juga mengatakan kalau tubuhku–maksudku, tubuh Alana di dunia novel ini seperti terkena benturan kuat sehingga bisa menyebabkan amnesia tersebut. Tapi cukup Adnan, paman, dan bibi sama sekali tidak mengetahui hal itu. Yang mereka tahu Alana di dunia ini hanya terkena demam karena hujan-hujanan. 

Andai aku membaca buku itu terlebih dahulu, pasti aku mengetahui apa yang terjadi sebenarnya kepada Alana. 

“Ada yang ingin kau makan?” Bibi bertanya dengan nada lembut padaku. Paman dan Adnan sedang pulang ke rumah untuk mempersiapkan pakaian kami semua dan juga menitipkan toko pada salah satu sahabat Adnan, karena tidak ada satupun yang mau tidur di rumah. Katanya mereka ingin menemaniku.

Aku hanya mampu menggeleng. Rasanya situasi kami menjadi canggung setelah dokter memvonis ku tadi. Tidak ada yang berbicara kalau tidak ada yang perlu. Mungkin mereka perlu waktu untuk menerima kenyataan. Dapat kulihat, mata mereka memerah akibat menangis. 

Entah kenapa, aku malah jadi merasa bersalah. 

Tak hanya keluarga Alana dari novel yang membuatku merasa bersalah, wajah pucat Lio sebenarnya dari tadi juga sudah menghantui pikiranku. Aku ingin bertanya, tapi selalu ku urungkan. Kali ini aku harus bertanya. Setidaknya aku hanya ingin memastikan dia ada di rumah sakit dan mendapatkan pertolongan.

"Ehm, bibi," 

Bibi itu langsung menoleh padaku, "Panggil aku ibu. Kita mulai pelan-pelan, ya?" 

Aku menipiskan bibirku, biar bagaimanapun tubuh ini tetap anak mereka. Walau berat, aku tidak boleh membuat mereka cemas.

"Ibu boleh saya bertanya?" 

"Tentu saja. Dan juga tidak perlu terlalu formal, nak. Santai saja." Lagi, wanita itu tersenyum lembut. Walau aku tahu dia sedang menahan tangisnya mati-matian.

"Kata kak Adnan, aku ditemukan pingsan bersama seorang anak laki-laki. Apa..." Astaga, aku jadi ragu untuk bertanya.

"Tanya saja. Tidak apa-apa." 

"Apa dia pingsan juga? Dia ada di sini?" 

Bibi mengangguk, "Dia pingsan dan masih belum sadarkan diri." 

Aku sedikit terkejut. Jujur, aku sedikit kasihan. Apalagi dia tidak mengenal siapapun. 

"Jangan khawatir. Ibu sudah menelepon keluarganya. Tapi nak, bolehkah ibu bertanya?" 

Hatiku sedikit lega mendengarnya. Setidaknya Lio di dunia ini memiliki keluarga. "Boleh, bu." 

"Siapa dia? Kalian sama-sama pingsan tadi saat ditemukan." Bibi bertanya dengan nada hati-hati, mungkin dia takut aku akan berteriak seperti tadi.

"Aku juga tidak mengenalnya." Aku memilih untuk berbohong, lagipula aku kan didiagnosis amnesia bagaimana bisa aku mengatakan aku mengenalnya? 

"Baiklah. Istirahat saja, ya. Jangan terlalu stres, tidak baik untuk kesehatan mu. Kau harus cepat-cepat keluar dari rumah sakit." 

Bibi tersenyum sambil menggenggam lembut tanganku, aku pun balas tersenyum. 

Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan di dunia ini. Aku takut karena aku tidak mengenal siapa-siapa selain Lio yang situasinya tidak jauh berbeda denganku. 

Aku memang kasihan pada Lio, tapi aku akan berusaha menghindarinya. Lagipula dunia ini pasti tidak jauh berbeda dengan dunia ku. Aku akan pastikan kami tidak pernah bertemu lagi!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status