"Kau yakin?" tanya Fico memastikan. Tak lama kemudian dia keluar dari mini bar lalu duduk di samping Leticia. Sambil melipat kedua tangan di depan dada, matanya menelusuri penampilan wanita itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Kau tak bisa berpenampilan seperti ini saat jadi wanita penghibur," kata Fico. "Kau harus bermake up sedikit tebal untuk menyamarkan memar di wajahmu, Leticia." Pria itu memanyunkan bibir sambil memainkan alis.
"Kau juga harus memakai mini dress dan setidaknya high heels 10 cm. Pekerjaannya mudah, hanya menemani para pria minum, dansa, karaoke atau bahkan sesekali kau akan diminta untuk menemani mereka tidur." Tatapan Fico penuh syarat akan arti.
Mata Leticia terbelalak mendengar penuturan pria berambut cepol itu. Jika hanya menemani minum, dansa, dan bernyanyi dia akan menyanggupi. Hanya saja, menemani tidur, dia takkan bisa menentang prinsip menjaga kesucian hanya untuk sang suami kelak.
"Apa aku bisa menolak
"Jaga ucapanmu, brengsek! Seorang pemabuk tahu batas toleransi alkohol!" Ray mendongak menyanggah tuduhan Alex. Seketika Alex bungkam. Ingin rasanya dia dia mengumpat pada Ray. Pria arogan! Alex menjerit-jerit dalam hati. Tak sampai sepuluh menit, mereka tiba di Bens apartemen. Ray meminta Alex membuka pintu apartemen Leticia terlebih dulu sebelum kembali ke kediaman Marco. Tentu saja Ray pun berpesan untuk menjemputnya esok hari. Ray bergegas masuk membaringkan Leticia di atas ranjang. Gerakannya begitu hati-hati saat melepas sepatu wanita itu. "Ibu, tolong aku …." Racauan serak Leticia membuat Ray tercenung saat menyelimuti tubuh wanita itu. Dia menatap bulu mata lentik Leticia yang
Terangnya langit biru perlahan berubah jingga, jingga itu berlalu. Kini, menjadi langit hitam pekat. Di bawah temaram lampu jalan dan sinar oren dari mobil-mobil yang melintas, Leticia melangkah menyusuri trotoar. Dia hendak pergi ke klub dan berharap menemukan sang arsitek di tempat itu. Tak sampai sepuluh menit berjalan kaki, wanita itu tiba di klub tersebut. "Hai, selamat malam, Fico." Leticia melambaikan tangan pada pria bertubuh tinggi di belakang mini bar. Pria itu menoleh ke arah suara cempreng Leticia. Dia mengerutkan dahi ketika melihat penampilan wanita itu. "Kau berpakaian seperti ini? Mau jadi wanita penghibur atau pelayan?" celetuk pria yang tengah menyusun champagne itu.
Leticia kembali ke apartemen pukul 01.00. Malam ini sang arsitek tidak berkunjung ke klub, dia berharap esok hari segera menemukannya. Sepanjang perjalanan, air mata wanita itu berderai membasahi pipi. Dia mengabaikan orang-orang yang berlalu lalang dan melihatnya dengan tatapan terheran. Untuk kesekian kalinya dia dipaksa kuat oleh keadaan ini. Rasa kecewa, kesedihan, dan rasa sakit seolah kian memuncak. Ingin sekali dia berteriak meluapkan segala perih yang menggerogoti jiwa. Begitu tiba di apartemen, dia kembali disuguhkan pemandangan pria bermata hazel. Pria itu tengah asyik duduk berdua dengan seorang wanita berambut pirang. Ekor mata Leticia melirik wajah pria yang menatapnya begitu dalam. Dia me
Leticia tak henti memikirkan ucapan Ray. Benarkah dia sang arsitek yang dicarinya? Entahlah, wanita itu tak yakin. David mengatakan sudah berkali-kali memerintahkan asistennya menemui tuan Vanderson, tetapi tak kunjung berhasil memintanya menangani proyek karena orang itu angkuh dan arogan. Berbeda dengan pria yang tinggal di depan apartemennya. Pria itu begitu ramah dan selalu lembut saat berbicara. Tak ada keangkuhan dan kearoganan yang terpancar dari matanya. Apakah Leticia harus mempercayai pria itu? Bagaimana jika itu hanya tipu muslihatnya? Bagaimana jika dia kembali tertipu seperti yang Daniel lakukan dulu? Tidak. Leticia berpegang teguh pada keyakinan diri. Dia tak ingin mengalami hal yang sama untuk kedua kali. Leticia bersiap-siap pergi ke k
Fico memberengut terheran, kenapa tuannya itu mengenal Leticia?"Dia mencarimu, dan kau memberitahuku untuk mengatakan sibuk pada siapapun yang mencarimu, Tuan Vanders," timpal Fico tanpa dosa.Ray menarik napas panjang dan mengembuskan kasar hingga tangannya mengepal. Sial! Dia tak pernah menduga ucapannya akan berdampak buruk pada Leticia. Lengkap sudah rasa berdosa yang bersemayam di hati Ray.Ray bergegas menghampiri Leticia di sudut sofa. Di bawah cahaya lampu strobo, Ray bisa melihat dengan jelas Leticia begitu tersiksa. Ray menarik tangan Alex yang sedang menahan tubuh Leticia dalam pemeriksaan Max."Selesaikan Jonny, Lex! Aku tak ingin dia membuka mata esok hari! Katakan pada paman Arthur tarik semua saham d
"Jika kau ragu cepat katakan sekarang." Suara Ray parau.Leticia menggeleng cepat. Tubuh Ray membeku saat mengartikan itu adalah penolakkan. Leticia melihat jelas perubahan raut wajah pria itu. Tak perlu berkata-kata untuk memberi tahu Ray bahwa Leticia sangat yakin. Wanita itu mundur satu langkah dari Ray.Ray semakin yakin bahwa Leticia ragu, tetapi pria itu tidak memaksakan hasratnya pada Leticia."Aku tidak ragu, aku menginginkanmu," ujar Leticia sambil menurunkan kedua tali gaun hitam itu.Leticia melucuti pakaiannya hingga menyisakan kain tipis yang menutupi tubuh bagian bawah. Ray menatap keindahan tubuh Leticia. Tubuh wanita itu lebih indah dari yang biasa dia lihat sebelumnya. Ray me
Leticia menggeleng sambil membuka mata. "Aku malu," jawab Leticia. Dia mengelus bulu-bulu halus di rahang pria itu.Ray memeluk Leticia lalu mencium pucuk kepalanya. "Istirahatlah, kau sangat lelah."Leticia mendongak menatap lekat wajah pria itu, tiba-tiba bening kristal menumpuk di kelopak matanya."Apa kau memperlakukan semua wanita seperti ini? Kenapa kau begitu perhatian?" tanya wanita itu dengan Lirih. Ray menggeleng tak mengatakan apa pun."Maaf ...." Leticia menyentuh pipi kiri Ray yang dia tampar tadi pagi."Sakit tidak?" tanya Leticia sambil menatap mata Ray yang menenangkan.
Leticia membuka mata melihat langit-langit putih dengan tatapan kosong. Kepalanya berdenyut kencang, tumpukan bening kristal seolah tertahan di kelopak matanya.Ray yang menyadari mata Leticia terbuka segera berdiri dan menghampirinya. Dia duduk di samping Leticia, membelai lembut pucuk kepala wanita itu, lalu menghapus air mata dengan ibu jarinya."Mana yang sakit?" tanya Ray lirih.Leticia bergeming, matanya seolah enggan berkedip. Raga yang terbaring lemah itu bagai tak bernyawa."Leticia ...." Ray menelungkupkan tangan di pipi Leticia.Air mata Leticia mengalir lebih banyak mendengar suara lembut Ray, tetapi mulutnya seolah terku