Leticia membuka mata di pagi buta. Wanita itu berkecimpung di dapur menyiapkan sarapan untuk sang Ayah. Tangannya begitu lincah seolah koki yang profesional. Dia memang pandai memasak.
Gerakan tangan Leticia terhenti saat ekor matanya melirik setumpuk keju dan tepung gandum di lemari sudut dapur. Dia berpikir. David hanya memberinya sedikit uang. Haruskah dia membawa stok makanan untuk di Catania. Ya. Dia harus berhemat, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menemui Tuan Vanderson Raymondo.
Beruntung jika semua berjalan lancar. Jika tidak? Memikirkan itu membuat Leticia bergidik dan menggeleng-geleng, dia tak ingin jadi gelandangan di kota orang. Akhirnya, dia mengemas beberapa bungkus kopi, coklat, keju, susu, dan tepung. Ckck.
Di rumah mewah dan harta yang berlimpah merupakan suatu ironis saat dia melakukan hal itu. Namun, dia amat menyadari ini adalah hukuman yang pantas karena keegoisan saat memilih bersama Daniel.
Matahari memancarkan restunya seolah menghangatkan jiwa yang sepi.
Leticia dan David sarapan bersama di ruang makan. Hening. Dinding bercat putih seolah menjadi saksi bisu bagaimana kecanggungan tercipta antara seorang anak perempuan dan lelaki tua.
"Aku akan mengantarmu ke Bandara." David memecah keheningan. "Kau akan tinggal di apartemen yang jauh dari perkotaan." Lelaki berkharisma itu menyeruput secangkir kopi yang masih mengepul.
Leticia menggeleng. "Tidak perlu merepotkan, Ayah. " Tangan halus kemulai itu meraih selembar roti yang kemudian dia oleskan selai coklat favorit. "Aku bisa pergi dengan taksi." Wanita itu menoleh ke arah sang Ayah dengan senyum manis.
"Kau yakin? Tak ingin berhemat?" Seringai senyum penuh sindiran tersirat jelas dari pupil hitam David.
Leticia tercengang lalu mengangguk diiringi jawaban, "Baiklah." Dengan anggunnya dia menyesap secangkir coklat panas favorit.
David mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet lalu meletakkan di depan Leticia seraya berkata, "Untuk ongkos taksi pulang pergi dan tiket kembali, orangku tak bisa menjemputmu di Bandara. Apartemen itu berada di Pearl Eleonore, 18, 501248."
Leticia mengangguk. "Tasku sudah di dalam mobil," gumamnya seraya meraih uang dan menyimpan di saku celana jeans.
Ritual sarapan berlalu, mereka bergegas pergi. Dalam perjalanan, Alfonso, sahabat David menghubungi dan meminta datang lebih awal karena rapat penting. Lalu lintas padat membuat lelaki tua itu semakin geram karena harus segera tiba di perusahaan.
Satu jam berlalu, mereka tiba di Bandara. Leticia bergegas turun dan mengeluarkan koper lalu menghampiri David. "Ayah, segeralah kembali. Paman Alfonso menunggumu. Kau akan terlambat." Leticia mengangkat jam di pergelangan kiri. David tak mengatakan apa pun lalu masuk mobil dan menancap gas.
Leticia segera masuk lalu check in dan menunggu keberangkatan. Namun, sayangnya pesawat delay selama 3 jam.
"Awal yang buruk!" gumam Leticia seraya mengembuskan napas panjang. Jika saja dia punya uang, tentu akan menghabiskan waktu dengan berkeliling Mall. Ckck. Dia menertawakan diri sendiri. Akhirnya dia memasang earphone lalu memejamkan mata.
Lima jam berlalu, Leticia baru saja menginjakkan kaki di Kota Catania. Kepalanya berputar ke segala arah, seperti yang dikatakan David, tak ada orang yang menjemput di sana. Dia segera memanggil taksi dan pergi ke tempat tujuan.
Lagi-lagi sesuai perkataan sang Ayah. Jauh dari pusat kota hingga memakan waktu dua jam untuk menempuh tempat itu. Begitu tiba di alamat tersebut, Leticia mengerutkan dahi melihat apartemen di hadapannya.
Rasanya tidak cocok jika disebut apartemen, hanya bangunan bercat krem bertingkat dua bahkan terlihat tua. Dia menggelengkan kepala mengenyahkan pikiran lalu berjalan sambil menyeret koper.
Tangan Leticia melayang di udara ketika hendak mengetuk pintu bergandengan bercat putih. Dia dihampiri seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun yang mengenakan celana bahan berwarna hitam dan sweater rajut biru.
"Selamat siang, apakah Anda Nona Leticia?" Lelaki tua itu menyapa dengan ramah.
Leticia mengangguk. "Ya, itu saya," jawab Leticia, "maaf, apakah Anda orang yang diatur ayah saya?" Leticia tersenyum tak kalah ramah.
Pria itu mengerutkan alis tak mengerti pertanyaan Leticia. "Anda cukup memanggilku Benny, saya pemilik apartemen ini," ucapnya sambil mengulurkan tangan. Leticia menjabat tangan lelaki tua itu dengan canggung.
"Seseorang memesan tempat ini dan meminta saya menunggu Anda, Nona." Benny menuturkan ketika melihat Leticia seperti kebingungan.
Leticia mengangguk paham. "Maaf jika Anda menunggu lama, pesawat tertunda selama 3 jam, Tuan Benny." Leticia mengemukakan alasan.
Leticia terkejut ketika Benny membawa masuk. Awalnya dia mengira isi bangunan akan horor, ternyata di dalam sangat rapi. Lantai satu terdapat sofa setengah lingkaran yang tak jauh dari dasar tangga. Sekitar tiga meter dari sofa itu tampak dua pintu bercat putih yang saling berhadapan.
Leticia menduga Benny akan mengajaknya ke salah satu apartemen tersebut. Ternyata tempat tinggalnya berada di lantai dua. Lukisan deburan ombak berbingkai hitam terpampang di tengah dinding seolah menyambutnya ketika menginjakkan kaki di lantai atas. Satu sofa panjang berwarna abu gelap dengan meja kayu minimalis tampak senada dengan dinding krem.
"Ini apartemenmu, Nona," ucap Benny sambil membuka pintu no 608.
Leticia mengangguk lalu menoleh ke pintu apartemen no 609 yang saling berhadapan. "Apa ruangan itu ada penghuninya, Tuan?" tanya Leticia penasaran.
"Ya, seseorang tiba semalam. Aku khawatir melihatnya seperti orang frustrasi, sejak pagi aku sengaja di sini sambil menunggu kedatanganmu. Sudah hampir sore dia tak menampakkan batang hidungnya." Benny mengembuskan napas panjang.
"Nona, aku akan kembali. Jika membutuhkan sesuatu kau bisa menemuiku di kafe Bens 100 meter ke arah selatan dari apartemen," tutur Benny. Leticia menjawab dengan anggukkan sambil tersenyum ramah. Benny pun segera beranjak.
Leticia mengedarkan pandangan ke seluruh apartemen. Meskipun kecil, di dalam ruangan itu tampak sebuah kamar, sofa di ruang tamu, meja makan dengan dua kursi dekat dapur yang lengkap dengan peralatan memasak.
Ketika Leticia hendak menutup pintu, pandangannya tertuju ke pintu no 609. Dia mengingat ucapan Benny, orang itu frustrasi dan belum muncul sejak malam.
Benaknya tak berhenti berpikir. Bagaimana jika orang itu bunuh diri, bagaimana jika sakit kritis dan butuh pertolongan, bagaimana jika dalam kondisi bahaya. Dadanya terasa sesak mengingat diri kala dianiaya Daniel. Saat itu ingin rasanya ada seseorang yang muncul untuk menolong.
Memikirkan hal buruk yang mungkin terjadi membuat Leticia menarik napas panjang untuk membulatkan tekad. Dia berjalan cepat lalu membungkukkan badan dan menempelkan telinga kanan pada daun pintu selama beberapa detik. Sunyi. Tak terdengar suara apa pun.
Leticia menggigit bibir, jantungnya berdegup semakin kencang. Apa penghuni apartemen itu bunuh diri? Kemudian menegapkan tubuh. Matanya berputar sambil berpikir apakah dia harus memanggil Benny dan mendobrak pintu.
Leticia menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan. Dia kembali menempelkan telinga kiri ke daun pintu. Di saat bersamaan pintu terbuka dalam satu tarikan. Hal itu membuat Leticia yang tidak siap menjadi kehilangan pijakkan dan jatuh dengan posisi mengenaskan. Dadanya terhempas keras membentur paha kanan yang terlipat.
Mata Leticia terbelalak ketika....
"Aduh, aduh dadaku, aduh kakiku sakit sekali." Leticia menggosok-gosok kaki kanan yang terkilir. Matanya terbelalak saat cairan hangat mengalir di dada. Luka jahitan kembali terbuka. Tangannya refleks menekan luka yang semakin perih seraya menggigit bibir menahan sakit. Sayangnya, darah terlanjur menembus kaus merah muda yang dia pakai.Leticia menunduk hingga tak menyadari sosok pria bertubuh tinggi tengah memerhatikannya di ambang pintu. Wanita itu mengerjap tersadar setelah beberapa detik terkejut. Sekilas dia melirik pria yang mengenakan celana bahan hitam dan kaus putih panjang. Gorden apartemen yang tertutup membuat dia tak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.___Vanderson Raymondo baru saja terbangun. Kepalanya begitu berat hingga keningnya terasa berdenyut-denyut. Dia membuka mata melihat ke balkon. "Sudah siang? Berapa lama aku tidur? Jam berapa ini?" Ray bergumam. Tubuhnya seolah enggan untuk bangkit dari ranjang.Membuka
Segelintir lamunan mengantarkan Leticia hingga ke apartemen. Leticia melirik pintu di lantai satu yang saling berhadapan sambil mengingat-ingat tulisan dalam dokumen. Di apartemen no berapa arsitek itu tinggal? Nihil. Tak ada yang bisa dia ingat kecuali ucapan sang Ayah. "Tuan Vanderson Raymondo adalah orang arogan dan angkuh!"Ucapan David terngiang jelas dalam benak Leticia. Kebuntuan informasi membuat wanita itu semakin frustrasi. "Seperti apa wajah tuan Vanderson Raymondo?" Tak henti-henti dia bertanya pada diri sendiri."Daniel dan ayah adalah orang arogan!"Kedua bayangan lelaki itu menghujam tubuh Leticia laksana pemecah es, dingin, tajam, dan menusuk. Nama Daniel seakan menusuk organ-organ penting dalam tubuhnya. Menggemuruh dalam benaknya. Memikirkan kedua sosok itu membuat tubuh Leticia lemas hingga merosot di belakang sofa.Leticia memicingkan mata teringat wajah pria bermata hazel yang tinggal di apartemen 609.
"Cukup! Obrolan kalian membuat ingin muntah," kata Ray datar. Kemudian, dia meraih segelas wine dan menyesap perlahan. Seketika suasana menjadi senyap. Ray melirik ketiga sahabatnya satu persatu lalu tertawa terbahak-bahak."Kalian cukup ganti topik saja, Kawan!""Tentu. Bersenang-senanglah dengan wanita sexy di klub mu, Ray," goda Alex. "Setidaknya mereka takkan menipumu dengan penampilan lugu." Alis Alex naik turun."Sial! Kau menyarankan ide yang menakjubkan saat aku tak bisa berjalan," timpal Marco sambil melempar sebatang rokok yang menyala pada Alex."Kau membuatku ingin menangis, Marc," cibir Max. "Yang cedera hanya kakimu, bukan berarti kejantananmu tak bisa berdiri. Kau bisa meminta jalangmu meliuk-liuk di atas paha."Max meraih stick billiard dari wall mount dan melemparkan pada Raymond. "Lupakan Nikita! Tunjukkan bakatmu, pemuda tampan!" Max berjalan ke ujung meja billiard.Alex dengan sigap segera op
Leticia terjaga di lobi apartemen. Tak selangkah pun beranjak dari tempat itu sejak terjadinya insiden penjambretan. Kecuali, tak sadar saat dirinya tertidur beberapa menit sore tadi. Dia mondar-mandir di depan pintu apartemen 606. Entah berapa kali cacing-cacing dalam perut berteriak meminta diberi makan.Untuk kesekian kali dia mengangkat jam di pergelangan kiri. "Enn, pukul 11 malam. Pantas saja aku kelaparan," desahnya pelan. Kemudian wanita itu berjalan cepat menaiki tangga. Uang makan yang diberikan David raib dirampok. Beruntung dia membawa stok makanan mentah. Langkahnya terhenti saat meraba saku celana jeans bagian depan.Bibir Leticia tersenyum ketika mendapati ongkos taksi dan tiket masih utuh. Leticia keluar dari apartemen. Kepalanya berputar ke berbagai arah, mencari tempat makanan yang mudah dicapai. Sesaat, dia mengingat ucapan Benny saat mempromosikan kafe. Wanita itu berjalan ke arah selatan.Tak lama kemudian dia tiba di kafe
Leticia mengerjap kaget dengan sikap Ray yang tiba-tiba, membuat pasokan napasnya seakan menipis. "Lapar," sahut Leticia, dia menjauhkan tubuh dari pria itu."Setidaknya kau bisa melahap makananmu dulu. Lidahmu bisa terbakar, minuman itu masih panas, Nona."Ray tak menyadari suaranya yang lembut dan perhatian membuat lutut Leticia gemetar. Wanita itu menatap Ray, hatinya terasa hangat oleh sikap pria itu. "Ya, terima kasih, Tuan." kata Leticia dengan gelagapan.Ray mengangguk santai lalu menegapkan posisi duduk. Dengan elegannya dia meraih secangkir espresso yang masih mengepul, menyesapnya perlahan. "Nona, ucapanmu tadi belum selesai." Ray mengeluarkan sebungkus rokok dari parka hitam. Tak lama kemudian, jemarinya mengapit sebatang rokok yang menyala.Leticia tengah asyik melahap sebungkus roti lapis coklat dengan gigitan besar. "En, intinya aku harus menemui tuan Vanderson. Ada yang harus ku selesaikan dengannya," terangnya.
Kemeja putih, celana kain hitam, jas yang juga hitam. Dasi merah bergaris gold dan sepatu pantofel yang mengilap, tampak seperti eksekutif muda. Leticia hampir tak percaya pria setampan itu berada di apartemen kecil.Ray terpaku beberapa detik, menatap hitam panjang rambut Leticia yang anggun terikat. Bukan rambutnya yang menarik perhatian Ray, tetapi leher jenjangnya yang mulus membuat tenggorokan pria itu tersendat. Pria itu mengerjap lalu berdeham, "Ehem, kau bertamu sepagi ini, Nona?" Ray menatap wajah Leticia yang memakai riasan tipis, tetapi mampu menyamarkan memar di pipinya. Polesan lipgloss membuat wajah wanita itu tampak lebih segar dan energik.Ray tak sadar baritonnya yang seksi membuat Leticia seperti kehabisan napas. "Aku … apa kau sudah sarapan?" tanya Leticia gelagapan yang kemudian tersenyum merekah saat Ray menggeleng pelan."Kau tak mengajakku masuk?" Leticia tersenyum menampilkan gigi putih yang rapi.
Leticia sangat yakin bahwa pria itu adalah sang arsitek. Sangat cocok disebut arogan ketika Leticia melihat penampilannya bagai mafia. Kepala botak, celana jeans dan jaket kulit hitam. Membayangkan bagaimana arogannya tuan Vanderson, membuat bulu kuduk Leticia berdiri hingga bahunya bergidik.Segelintir pikiran menemani langkah Leticia ke Bens kafe. Tentu saja dia harus memastikan pada Benny di apartemen nomor berapa sang arsitek tinggal. Leticia ternganga tak percaya ketika membaca selembar kertas di pintu kaca. Rupanya kafe tutup selama dua pekan. Berkali-kali dirinya menghela napas lelah."Kenapa tuan Benny pergi saat ini?" Leticia bergumam ketika merasa semakin sulit mencari sang arsitek. Dia kembali dengan bahu yang merosot. Hanya pemuda tampan itu harapan satu-satunya untuk menemui tuan Vanderson.Segelintir harapan menemani langkah Leticia kembali. Dia mondar-mandir dalam ruang apartemen, tanpa sadar bibirnya tersenyum ketika membuka pintu belakang
"Vanderson Raymondo, aku yakin kalian mengenal pemuda ini sebagai arsitek yang namanya kini melambung tinggi karena karya-karya yang luar biasa. Tak banyak dari kalian yang tahu Vanderson sebelum mencapai karirnya sekarang. Dia yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan di Catania," lanjut Arthur ketika melirik Ray, pemuda itu tampak menahan kesal."Di usia 12 tahun ibu panti meminta Vanderson mengurus sebuah toko kecil, dalam satu tahun berhasil membuat toko menjadi yang terbesar di Catania. Namun, cita-cita sebagai arsitek telah ia pendam sejak usia 8 tahun. Karena melihat kecerdikannya mengelola uang, saat usia 15 tahun aku memintanya bekerja di Bank Swasta milikku di kota itu," sambung Arthur. Ada jeda beberapa detik ketika mata Ray membidik tajam padanya, tetapi tidak membuat Arthur menghentikan pidatonya."Vanderson tak paham apapun soal perbankan. Dia belajar dari bagian kliring, cash dan checking account sebulan penuh. Pemuda ini akhirnya mengerti proses