Share

Bab 5

"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."

Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam.

"Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.

Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai  dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.

Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."

Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara.

"Mata aku ke laptop, aku gak bisa ngetik kalau gak lihat layarnya." Jawab Diva santai, "Apa waktunya sangat mepet sampai harus selesai sekarang?"

"Kamu lupa? Saya pernah ngasih tau hal ini jauh hari, periksa lagi sebelum kamu email biar gak kerja dua kali." Liam mengingatkan dengan suara berwibawa.

"Baik, Pak." Lagi-lagi Diva tidak melihat wajah Liam.

"Kenapa kamu bersikap dingin kepada saya? Sangat menjengkelkan sekali. Saya gak pernah diperlakukan seperti ini oleh staf lain," Liam mengeluh, terganggu dengan cara Diva berkomunikasi dengannya. Mereka saling menatap beberapa saat.

"Kamu gak bertanya kenapa aku bersikap seperti ini?" Diva tidak tahan lagi, dia sengaja bicara kasar. Sorot mata Liam menjadi serius.  "Gaya perfeksionis kamu dengan kepribadian kamu, jauh banget." Diva menghinanya.

"Kamu lagi ngebahas kejadian malam itu? Saat saya-kamu." Liam mengingat malam itu yang membuat mereka berdua mabuk kepayang.

"Aku gak bahas ciuman bapak yang hambar itu." Tukas Diva, dia tidak boleh terlihat menyukai saat Liam menciumnya. Saat dia menyukai aroma maskulin pria itu saat memeluknya.

Liam tertawa sinis, "Terus kenapa yang dicium  diem aja? Jangan-jangan kamu sudah biasa diciumin, iya?" Ujar Liam kekanak-kanakan. Diva menatapnya tajam.

"Ternyata Bapak lebih membosankan dari dugaanku!" Diva memukul meja, Liam menahan senyumnya, "untuk apa aku  terpengaruh sama pencium amatiran." Lalu kembali melihat layar laptop sambil menggerakkan giginya. Dia berjanji pada dirinya untuk tidak lagi berurusan dengan pria brengsek, playboy yang punya istri ini.

"Dan kamu wanita yang gak pernah salah." Ujar Liam merasa terhina, dia tidak akan salah menilai... Diva pernah sengaja menggodanya, kalau dia ingat. "Saya amat menghargai malam itu kamu ngasi saya akses untuk menyentuh kamu." Tambah Liam. Diva ingin menggigit bibirnya, dia benar-benar menggigitnya.

Sebenarnya pekerjaan Diva telah selesai, tapi dia menunggu Liam menjelaskan kenapa ciuman itu terjadi dan permintaan maaf  pria itu atas ucapannya. Dan sampai akhirnya Diva yang kalah, Liam sama sekali tidak membahas lagi tentang adegan panas mereka yang pindah-pindah tempat itu. Bahkan jika Liam bilang itu karena pengaruh alkohol, itu jauh lebih baik.

Diva membuka mulutnya dengan kesal. "Aku single, bebas ciuman dengan siapa aja. Nah, Bapak gimana? Apa kabar istri kamu kalau tahu suaminya grepek-grepek wanita lain."

"Kamu ngancem saya?" Liam meliriknya tajam dengan wajah datarnya.

Diva cekikikan. "Menurut kamu?" Wajahnya kembali serius.

"Jangan macem-macem, Diva."  Liam nyaris membentaknya, "Kamu akan menyesal bawa-bawa istri saya dalam hal ini. Saya gak akan tanggung jawab." Ditambah satu fakta lagi, keadaan waktu itu tidak akan terjadi kalau Diva tidak meresponnya.

Diva menatap kesal laki-laki angkuh itu dengan mata berkaca-kaca, karena sikap Liam seolah Diva ingin mengambil keuntungan padahal, dia ingin mengubur perasaannya pada laki-laki itu.  Diva sadar perkara ciuman tidak perlu di besar-besarkan.

"Saya minta maaf," gumam Liam. Diva menajamkan pendengarannya, seolah tidak percaya Liam berkata itu, "Kamu gak denger saya minta maaf?" Mata mereka bertemu beberapa menit. Lalu Liam kembali bersuara, "Malam itu keadaan kita lagi gak waras. Terutama saya." Bagusnya dia mengakui. Liam ingin berkata banyak lagi tapi dia mengurungkan niatnya. Jika dia bersuara lagi Diva akan tahu keadaan rumah tangganya sedang dalam zona merah.

🌹🌹🌹

Pukul sembilan seperti kemarin. Liam dan Diva pulang belakangan, semua staf di kantor itu sudah pulang. Naasnya ban mobil Diva bocor, kakinya menendang kuat pada badan mobilnya--harinya semakin menjengkelkan. Dia tidak tahu harus minta tolong siapa. Hanya ada Liam, pria brengsek itu.

 

"Sialan!" geram Diva.

 

Dia menelengkan kepalanya melihat apakah mobil Liam masih ada, dan tiba-tiba mobil Liam berjalan ke arahnya. Diva melambaikan tangannya agar Liam berhenti. Dia bisa melihat wajah Liam yang menahan senyum itu.

"Bagusin mobil aku! Ban-nya bocor aku gak bisa pulang." Ketus Diva. Liam bersimpatik dengan nada suara Liam.

 

"Kamu minta tolong apa nodong orang?" Liam bersuara di mobilnya, sedangkan Diva merengut di depan kaca mobil Liam.

"Kurasa karena kamu adalah atasan, harus punya tanggung jawab pada bawahannya. Apalagi suasana di sini sangat sunyi. Tapi aku lupa Bapak kan gak punya hati... "

Liam menghadiahi Diva senyuman, "Gak perlu ngancem. Saya bukan orang jahat yang tega ninggalin  wanita  di tempat sepi." Diva menatap Liam menimbang-nimbang.

"Bapak Liam Kavindra bisa minta tolong untuk memperbaiki ban mobilku?" Kata Diva setengah hati. Liam mengangguk pelan, "Kalau bukan karena keadaan genting udah ku lempar batu ke kepalanya." Gumam Diva pelan yang tidak akan di dengar Liam, pria itu sedang keluar dari mobilnya lalu memeriksa mobil Diva.

Liam membuka jas-nya dan menyerahkan pada Diva, wanita itu melempar ke jendela  mobil. Liam tak peduli. Lalu Diva  bersedekap dada bersender di badan mobilnya, memandori Liam mengganti ban mobilnya. Entah kenapa Liam menuruti kemauan wanita itu.

 

"Harusnya aku sudah di atas kasur, kayak pekerja yang lain." Diva kembali lagi menggerutu.

"Jangan samain kamu sama mereka. Kerjaan mereka selalu beres tepat waktu," desis Liam. Dengan tangan masih sibuk-sibuknya.  Dahi Diva mengerut tidak suka, "Dan yang harusnya marah itu saya. Karena kamu saya mesti kerja dengan porsi jam bertambah."

Mulut Diva ternganga, "Apa Bapak pernah ber-interaksi dengan orang? Aku yakin gak pernah." Komentar Diva melihat sikap datar Liam.

"Saya gak suka banyak bicara dengan orang asing. Terkadang begitu."

 

Diva tahu dia tidak akan menang berdebat dengan Liam, dari cara Liam mengganti ban mobilnya terlihat tidak tulus dan bersungguh-sungguh. Mereka hening dalam beberapa lama, biasanya Diva akan memancing obrolan tapi kali ini dia lebih banyak diam memandori Liam.

Sungguh lucu melihat tingkah kebodohan mereka, di saat Liam butuh alat mendongkrak mobil, wanita itu memakai bahasa tubuh setelah meletakkan di belakang Liam. Karena terlalu lama menunggu. Diva merasa pegal berdiri dari tadi. Dia pun duduk di aspal melihat cara kerja Liam, di samping pria itu. Pria ini segalanya bisa... hebat.

Dua puluh menit berlalu, kalau di posisi Diva adalah Samira istrinya. Wanita itu pasti menukar mobil mereka lalu meninggalkan Liam memperbaiki mobilnya sendiri. Menurutnya Samira lebih cantik, lebih anggun dari pada Diva. Walaupun Samira pengangguran, dulu dia adalah wanita karir yang cemerlang. Sedangkan Diva adalah wanita yang selalu membuatnya susah.

Lalu Diva bertanya dengan santai. "Istri Bapak gak nyariin bapak pulang kemaleman?"

Liam menghentikan kegiatannya sejenak. Tatapan kosong di matanya. "Palingan juga dia belum pulang. Hobi banget dia ngumpul sama Genk squadnya."

Diva menangkap sesuatu yang tidak beres. Selama beberapa detik dia diam, mulut Diva kembali bersuara, "Masa sih bapak pulang kerja jarang di sambut istri? Kan dia pengangguran." Diva harusnya tidak mengatakan ini.

"Saya bukan suami yang suka mengekang kegiatan istri saya." Liam menggerutu, "Berumah tangga itu rumit, gak semua yang kamu lihat bahagia ya bahagia. Tapi kalau dia tahu saya ciumam sama wanita---kamu tinggal nama." Menurut Liam kesintingan Samira lebih parah dari Diva.

Wajah Diva tampak biasa saja, "Kalau begitu kirim salam deh sama istri Bapak. Aku dengan tangan terbuka ngeladenin dia--istri macem apa yang gak bisa ngatur waktu untuk suaminya. Apalagi dia pengangguran."

Liam mendengus, seperti tercekik.

Liam menoleh pada Diva dengan tatapan hampa, "Jangan ngomong yang nantinya kamu nyesalin." Suami macem apa yang membiarkan wanita lain menjelekkan istrinya, "Bisa gak, jangan bahas istri saya lagi?" Diva merasa bersalah mengorek tentang kehidupan Liam. Dia tidak berani lagi bertanya apa-apa.

Selanjutnya dengan suara pelan, Liam berkata, "Kamu tahu? Kamu  bikin hati saya goyah." Diva seperti tercekik mendengar itu. Pekerjaan Liam sudah selesai, dia malah ikutan duduk di aspal menghadap Diva.

"Tapi aku gak mau terlibat affair dengan kamu. Aku  gak akan mengorbankan diriku untuk dijambak-jambak gara-gara pria yang gak cinta sama aku." Diva hendak bangkit, tapi lagi-lagi Liam menutup jarak antara mereka.

"Misalnya saya beneran suka sama kamu?"

"Cintanya kamu palingan gara nafsu. Dan istri kamu posisi teratas di hati kamu, jadi aku gak akan buang-buang waktu," decak Diva. Dia ingin segera pergi sebelum terpengaruh oleh laki-laki itu, tapi Liam sepertinya belum mau melepaskan Diva.

Liam berwajah serius menatap Diva. "Satu-satunya alasan laki-laki pindah hati itu karena dia gak lagi mencintai istrinya. Dan saya tipe orang yang bercinta lebih suka pakek perasaan. Itu jauh lebih nikmat."

Apa Liam berniat ingin membuatnya sebagai simpanan? Tangan Diva ingin sekali melayang di wajah tampan Liam. Diva mendapati dirinya tertawa, dengan rona di pipinya. "Aku gak percaya pria brengsek kayak kamu."

Liam menunggu sampai tawa Diva hilang, lalu dia berkata. "Affair not bad. Saya serius."

Diva terkesiap, dia tidak menyangka pria seperti Liam ini akan menawarkan hal gila padanya. Dia pikir Liam akan menutup kisah mereka, ternyata malah perkataannya semakin menjauh.

"Dan setelah itu, kamu dengan gampangnya akan meninggalkan simpanan kamu untuk kembali sama istri tercinta kamu," mata Diva memandang Liam tak berkedip. "Aku gak akan masuk ke jurang sama kamu, Pak Liam Kavindra."

Liam malah tersenyum pongah, "Sejak kamu bales ciuman saya... sejak itu juga kita sama-sama udah jatuh."

"Sayangnya... Bapak Liam yang terhormat, sekarang aku udah sadar. Aku gak akan jatuh untuk kedua kali." Diva tegas. Liam mendekat, membuat tubuh Diva mundur menempel pada badan mobilnya.

"Tapi kenapa saya ngebaca sesuatu di mata kamu yang beda." Ucap Liam dengan wajah yang dibuat misterius. "Mungkin ciuman lumrah buat kamu." Liam melambatkan ucapannya. "Tapi masa iya... Kamu ngasih tubuh ini juga untuk dicumbu." Jemarinya menyentuh kulit leher Diva.

"Walaupun aku lakuin itu sama kamu. Bukan berarti aku suka sama kamu." Diva mendorong dada Liam untuk menjauh, berada dalam radius sedekat ini membuatnya gak bisa nafas.

"Jadi kamu mau bilang, kalaupun Doni atau pria lain yang lakuin. Kamu juga bakal biarin gitu aja..." Diva menarik nafas tidak suka dengan ucapan Liam.

"Aku bukan wanita  kayak gitu." Diva mendongakkan kepalanya melihat Liam, matanya berapi-api.

Liam menatap Diva dengan percaya diri yang penuh, dan tersenyum tipis. "Berarti saya pengecualian... istimewa?"

Tiba-tiba meletakkan bibirnya di atas bibir Diva, wanita itu berusaha mendorong dada Liam tapi Liam lebih kuat. Kedua tangannya menahan tangan Diva yang memberontak. Ciuman Liam semakin dalam dan penuh. Dia begitu merindukan bibir manis Diva dan menginginkannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status