Share

BAB 2

Kalyna merasakan kesadarannya berangsur-angsur kembali. Ia mencoba membuka matanya yang terasa berat, dan begitu berhasil membuka sedikit kedua kelopak matanya ia langsung didera pusing yang sangat hebat karena cahaya terang yang dilihatnya.

Perutnya serasa diaduk, ia mulai merasa mual, dan tanpa aba-aba langsung memuntahkan isi lambungnya. Kalyna bisa mendengar samar-samar suara gaduh di sekitarnya, orang-orang berbicara dengan cepat, pintu digeser, dan badannya yang dituntun untuk kembali berbaring.

“Ibu Kaluna?” panggil seseorang yang terasa berada di samping kiri Kalyna. “Ibu Kaluna?” orang itu kembali memanggil.

Kalyna kembali mencoba membuka matanya, kini dengan pengelihatan yang lebih baik, matanya mulai menyesuaikan dengan cahaya di ruangan. Ia mencoba berkedip beberapa kali, pandangannya yang buram mulai tampak jelas. Kalyna mendapati seorang pria peruh baya dengan wajah serius tengah menatapnya. Ingin bertanya, tapi tenggorokannya terasa perih, jadi ia memilih berkedip dengan pelan.

“Syukurlah Ibu sudah sadar,” pria itu mengangguk dengan senyum tipis dan mulai mengeluarkan benda serupa pena dari jas putihnya serta memasang stetoskop. “Saya periksa sebentar ya, Bu.”

Setelah melakukan pemeriksaan singkat, pria itu tampak berbicara pada beberapa orang di sekitarnya, yang Kalyna duga sebagai perawat. Ia sendiri tak paham apa yang disampaikan oleh pria itu.

Wanita itu memilih untuk mengamati ruangan tempatnya berada saat ini. Dinilai dari bentuk pintu, warna dinding, beberapa peralatan medis, dan orang-orang yang mengelilinginya saat ini, Kalyna yakin ia sedang berada di salah satu ruang rawat inap di rumah sakit.

Pria yang memeriksanya tadi—mungkin dokter yang menangani Kalyna—meninggalkan kamar setelah selesai memberi penjelasan dan instruksi. Seorang perawat perempuan membersihkan sisa-sisa cairan muntah dari sekitar mulut Kalyna, seorang lainnya mulai mengganti selimut yang sudah kotor, dan satu orang perawat terakhir menyuntikkan sesuatu pada cairan infus Kalyna.

Selesai dengan tugas masing-masing, para perawat itu pamit undur diri, mereka membungkuk sopan pada Kalyna dan pada seseorang yang baru disadari keberadaannya oleh gadis itu.

Orang itu berjalan mendekati ranjang, dan Kalyna hanya meliriknya dari ujung mata. Seorang pria, mengenakan setelan jas abu-abu dan jam tangan perak yang terlihat mahal.

Kalyna mencoba mendongak untuk melihat wajah pria itu, tapi matanya semakin terasa berat, sepertinya salah satu perawat menyuntikkan obat yang membuatnya mengantuk pada infusnya.

Sebelum Kalyna kembali tertidur, ia merasakan tangannya digenggam pelan, dan sayup-sayup didengarnya pria itu berkata,

“… syukurlah, Luna, syukurlah…”

**

Selama beberapa hari kemudian, kondisi Kalyna berangsur membaik. Seiring dengan peningkatan itu, Kalyna pelan-pelan mulai menyadari berbagai kejanggalan yang ia alami.

Satu, orang-orang yang ditemuinya terus memanggilnya dengan nama Kaluna dan Osmond, di mana nama itu jelas bukan namanya meskipun terdengar cukup familiar.

Kedua, ia mendapatkan fasilitas dan pelayanan rumah sakit yang luar biasa mewah. Kalyna ingat betul kalau ia bukan berasal dari keluarga yang sanggup mengeluarkan uang sangat-sangat banyak untuk biaya perawatan rumah sakit. Ia saja selalu menggunakan kartu BPJS selama ini saat pergi ke rumah sakit maupun puskesmas.

Seingatnya pula, ia tidak memiliki teman dari kalangan atas yang bisa dengan sukarela membiayai perawatan kesehatannya setara perawatan first class.

Ketiga, setelah ia tersadar dari koma, begitu kata Dokter Rahadi—dokter yang bertanggung jawab menanganinya, Kalyna tidak mendapati orang-orang yang dikenalnya datang menjenguk. Entah itu teman-teman yang dikenalnya di indekos, maupun teman-teman kantornya, tidak ada yang datang.

Keempat, Dokter Rahadi mengatakan bahwa ia mengalami koma karena terjatuh dari tangga lantai dua rumahnya. Selain memar dan lecet, tulang kering kaki kanan yang retak, ia juga mengalami gegar otak berat.

Fakta itu tentu saja membuat Kalyna begitu bingung, karena seingatnya ia tidak memiliki rumah tingkat, kamar kosnya pun berada di lantai dasar, dan ia yakin sebelum kehilangan kesadaran ia ditabrak oleh truk kuning, bukan jatuh berguling dari tangga.

Semua kejadian yang dialaminya beberapa hari ini, termasuk fakta-fakta tidak masuk akal yang diungkap, juga keyakinan akan fakta dalam dirinya sendiri, membuat Kalyna nyaris gila.

Kalau semua orang mengatakan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang diyakininya, lalu mana yang merupakan sebuah kebenaran?

Kalau ia bukan Kalyna, lalu siapa Kaluna yang selalu disebut orang sebagai dirinya? Semakin lama memikirkannya semakin ia tidak mendapat jawaban.

Memutuskan untuk berpikir dengan kepala dingin dan tenang, Kalyna akhirnya mencapai kesimpulan bahwa ia sekarang tidak lagi menempati raga seorang Ayudia Kalyna Prameswari, melainkan seseorang dengan identitas Kaluna Osmond, sejauh yang ia ketahui selama beberapa hari terbangun dari komanya.

Tapi hanya itu saja, Kalyna hanya mengetahui nama pemilik tubuhnya dan tidak ada lagi yang lainnya. Ia sudah mencoba bercermin, kalau-kalau wajahnya saat ini dapat ia kenali, tapi nyatanya tidak, wajah itu hanya terasa familiar.

Kulit putih pucat, lesung pipi di sebelah kanan, mata hazel, hidung mungil tapi mancung, dan rambut bergelombang sepunggung yang berwarna ash brown.

Seluruh fitur wajahnya terasa asing, kecuali pada bagian mata. Warna mata gadis bernama Kaluna ini sama dengan warna matanya di raga aslinya.

Dua hari berlalu, dan Kalyna belum juga menemukan informasi baru mengenai siapa Kaluna Osmond ini, siapa keluarganya, dan berada di dimensi dunia mana kini ia berada.

Kurangnya informasi yang dapat dicarinya juga karena keterbatasan Kalyna dalam berkomunikasi selama beberapa hari terakhir. Suaranya seolah-olah menghilang setelah ia tersadar dari koma, tenggorokannya terlalu kering karena cukup lama tidak terkena air.

Mengeluh pun percuma, ia hanya perlu menikmati dan fokus pada proses pemulihannya sehingga dapat kembali sehat dengan cepat. Setelah itu baru ia akan mencari banyak informasi yang dibutuhkan dan mengurai benang kusut dalam otaknya.

Sampai satu hari, pria berjas yang menemaninya di hari pertama ia tersadar, datang lagi untuk menjenguknya setelah beberapa hari tak terlihat. Kali ini pria itu tidak datang sendiri, ada dua anak kecil dengan wajah yang begitu menggemaskan di kanan-kirinya.

Satu anak laki-laki berusia sekitar lima tahun yang menggandeng tangan pria itu, dan satu anak perempuan lebih kecil yang sekiranya berumur dua atau tiga tahun menggandeng tangan si anak lelaki.

Ternyata pria itu hanya mampir sebentar untuk mengantarkan dua anaknya, kemudian pamit untuk kembali ke kantor dan berjanji akan datang lagi malam hari.

Entah kenapa, Kalyna merasakan ikatan yang cukup kuat antara dirinya dengan kedua anak yang diantar pria itu. Keduanya sudah memandangi Kalyna dengan binar kerinduan sejak pertama kali mereka bersitatap. Yang lebih mengejutkan, dua anak itu memanggil Kalyna dengan sebutan Mami Luna.

Perasaan aku belum pernah jebol gawang, deh. Masa udah dipanggil Mami aja sekarang?

Meski masih kebingungan, Kalyna tetap menanggapi kedua anak itu dengan tenang. Mereka mulai berbincang ringan dengan posisi anak laki-laki itu duduk di kursi samping ranjangnya, sedangkan adiknya duduk di ujung ranjang dekat kakinya yang tidak terluka.

“Mam, kapan boleh pulang sama Pak Dokter? Abang sama Adek kangen tidur bareng Mami,” anak laki-laki yang menyebut dirinya ‘Abang’ itu menatap Kalyna penuh harap.

“Sabar ya, nanti kalau Pak Dokter bilang... em, ehm... Mami udah sehat, baru bisa pulang,” Kalyna menjawab dengan ringisan, tidak terbiasa dan merasa geli menyebut dirinya dengan sebutan Mami.

“Sehatnya itu kapan, Mam? Kan, Mami udah lama tinggal di rumah sakitnya. Kenapa belum sehat juga?” si Abang bertanya lagi, seolah benar-benar ingin Kalyna segera pulang ke rumah mereka.

Kalyna sendiri merutuk dalam hati karena pertanyaan pintar anak itu. Meski menyukai anak kecil, ia tidak terlalu sering berinteraksi dengan mereka sehingga terkadang bingung harus bersikap seperti apa atau menjawab bagaimana jika ada anak yang bertanya hal sulit.

Maka saat ini, Kalyna akan menggunakan jawaban andalannya jika ditanya hal yang tidak diketahui, yaitu dengan melemparkan jawaban ke orang lain. “Kalau gitu, kita nanti tanya Papi ya, kapan Mami bisa pulang.”

“Maksudnya Papa?” anak laki-laki itu membetulkan.

“Eh, iya, nanti kita tanya Papa,” Kalyna mengangguk kikuk. Mana tahu ia soal panggilan pria itu, dikiranya kalau ia Mami maka pria itu pasti sang Papi.

“Abang sama Adek selama ditinggal Mami baik, kan?” Kalyna mencoba berbasa-basi setelah beberapa saat tidak ada yang bersuara. Ia menatap anak laki-laki di sampingnya yang asyik memainkan kaki dan anak perempuan di ujung ranjangnya yang sibuk menarik-narik kecil selimut.

“Baik Mam, Abang kemarin dapet bintang paling banyak buat tugas menggambar,” anak laki-laki itu tiba-tiba bersemangat menceritakan hasil gambarannya yang dinilai bagus oleh sang guru.

Kalyna menikmati cerita anak itu dan berbagai ekspresi lucu yang ditunjukkannya saat bercerita.

“Abang, Mami lupa nih, nama lengkap Abang sama Adek siapa, sih?” Kalyna akhirnya tidak bisa menahan penasarannya akan kedua nama anak itu, siapa tahu nama mereka juga terdengar familiar, syukur-syukur memberinya petunjuk akan identitasnya saat ini.

Meskipun merasa heran, anak laki-laki itu tetap menjawab, “Nama Abang Damian Emiliki Mahawira, panggilan Abang kalau di sekolah Damian, kalau dirumah Ian. Nama Adek Lavanya Shaenette Mahawira, panggilannya Lava, kalau nama Papa Edgar Emiliano Mahawira.”

Kalyna terkekeh garing karena merasa anak laki-laki itu sepertinya tau ia tidak mengingat nama ayahnya pula, sehingga ia turut menyebutkannya. Hebat juga anak seusianya dapat menebak jalan pikiran Kalyna, ditambah menyebutkan nama-nama sulit dan panjang itu dengan lancar, pasti otak anak itu cemerlang.

Kalau dipikir-pikir semua nama itu terasa tidak terlalu asing, apalagi nama Edgar, terasa bergema di dalam kepalanya.

“Nama Mami, Kaluna Hermione Osmond. Mami itu adik Mama, Mama Elvina,” secara tak terduga Damian melanjutkan menyebut nama Kaluna dan Mamanya.

“Sebentar, Abang. Mama Abang, Mama Elvina?” Kalyna bertanya saat menemukan kejanggalan. Damian mengangguk mengiyakan.

“Kenapa Mami dipanggil Mami sama Abang? Kan, masih ada Mama Elvina?”

Wajah Damian menjadi murung. “Kan, Maminya Abang sama Adek sekarang Mami Luna. Mama itu udah di surga, udah jadi malaikatnya Tuhan,” jawaban Damian membuat Kalyna seketika tertegun.

Otaknya perlahan mulai kembali bekerja, menghubungkan kejadian, fakta-fakta yang didapatnya selama beberapa hari ini, dengan nama-nama yang baru disebutkan oleh Damian. Ada dua nama yang kini terasa makin jelas dalam ingatannya.

Kaluna Hermione Osmond.

Edgar Emiliano Mahawira.

Kaluna Osmond.

Edgar Mahawira.

Begitu otaknya mencocokkan semua, tubuh Kalyna bersandar lemas pada bagian atas ranjang yang dinaikkan. Matanya menatap langit-langit kamar ruang rawatnya penuh ketidakpercayaan.

“Mustahil,” bisiknya nyaris tak terdengar. Otaknya terus memutar dua nama itu seperti kaset rusak. Tak berapa lama ia terduduk tegak dan mulai mengacak rambutnya frustasi.

Rupanya Kaluna Osmond yang terasa familiar ini adalah salah satu tokoh dari komik

favoritnya semasa kuliah dulu. Komik

dengan judul “Lily Princess” yang menemaninya bersantai di tengah badai tugas kuliah yang tidak pernah surut, cerita romansa ringan yang bisa membuatnya tersenyum dan berandai-andai indah tentang kisah cinta.

Kisah klise dengan tokoh utama perempuan semurni bunga lili, tokoh utama pria sedingin gunung salju bagi orang lain dan sehangat matahari pagi untuk sang tokoh utama perempuan, serta tokoh utama antagonis yang semenyedihkan bunga sweet pea yang berarti perpisahan.

Dan ia, kini menjadi sosok menyedihkan itu, sang antagonis “Lily Princess”, yang kisahnya digambarkan penuh ironi, campuran antara rasa iri-dengki, obsesi, dan kesepian. Menciptakan tokoh Kaluna Hermione Osmond yang dibenci sekaligus dikasihani.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status