Share

Gagal un-boxing

Setelah pembicaraan dengan Kang Aldi Dua minggu yang lalu, Hari ini adalah hari pernikahanku. Saat ini, aku sedang menunggu kedatangan rombongan keluarga Bang Halim. Pernikahanku tidak megah, hanya acara Walimatul Ursy tanpa resepsi. Karena aku dan Bang Halim tidak mau terlalu membebani orang tua.

Bang Halim dan rombongannya datang, ku lihat Bang Halim dari jendela kaca kamarku. Ia memakai kemeja putih dibalut dengan jas hitam tanpa dasi. Sungguh rupawan Bang Halim. Diantara semua mantanku, hanya Bang Halim lah yang paling oke. Meski tidak segagah yang sering aku baca di Novel, meski tak setampan oppa oppa korea, tapi Bang Halim tetap termanis dari yang pernah kenal denganku, termasuk mantanku. Ternyata Allah kabulkan keinginanku yang dulu pernah aku utarakan didepan teman-temanku. Yaitu ingin memiliki suami yang hitam manis.

Jantungku berdetak dengan cepat, Aku gugup.

Sebentar lagi Bang Halim akan melaksanakan Ijab Qabul dengan Waliku, yaitu Kak Akbar Kakak sulungku. Sebentar lagi statusku akan berubah menjadi istrinya. Aku berharap di pernikahanku ini, Allah memberikan keridhoan serta keberkahan yang banyak untukku dan Bang Halim.

Bang Halim membacakan Shalawat sebagai mahar, kenapa maharnya tidak memakai Emas? Kenapa Shalawat? Karena aku menginginkan mahar yang abadi. Sebagaimana Rasulullah bersabda 'barang siapa membaca sholawat satu kali, maka Allah SWT akan membalasnya dengan 10 kali shalawat.

Pernah aku mendengar hikayat seorang pemabuk yang banyak dosa, namun ketika meninggal dirinya diagungkan dan selamat, itu karena berkat sholawat yang pernah ia baca selama hidupnya. Jadi, aku berpikir, bahwa mahar sholawat itu sangatlah bagus. Sebagaimana Nabi Adam menikahi Siti Hawa dengan mahar sholawat.

Aku duduk disamping Bang Halim, sesuai arahan yang guruku perintahkan. Agar aku bisa mendengar Bang Halim mengucapkan Ikrar yang sangat Agung. Setelah Ijab Qabul selesai, Aku disuruh mencium tangan Bang Halim untuk pertama kalinya, dan ia pun mencium keningku dan mendo'akan untuk kebaikanku.

Aku dan Bang Halim menyalami orang tua kami, serta para Ustadz yang membimbing kami. Aku salami dan peluk Ibu yang saat ini tersenyum padaku. Sungguh aku merasakan kebahagiaan yang amat besar. Di mana aku bisa memenuhi keinginannya. Meski bukan Kang Aldi yang menjadi suamiku, tapi aku sangat berharap, Bang Halim bisa menjadi lelaki yang sesuai dengan harapanku, dan semoga menjadi lelaki yang bertanggung jawab melebihi Kang Aldi.

Meski acaranya sederhana, tapi tamu yang hadir begitu banyak. Hingga sore menjelang semua tamu baru pulang.

"Cape ?" tanya Bang Halim sambil membereskan barang-barangnya.

"Lumayan." Aku tersenyum menanggapinya.

"Sekarang Abang harus ke masjid ya," Ia bertanya ragu.

" iyah, sekarang ada acara di Masjid, kan malam ini malam Nisfu Sya'ban."

"Oh iya yaa... Enggak sadar dengan pernikahan kita, kita yang berganti status dari lajang menjadi suami istri, buku catatan amalan kita pun berganti. Semoga kedepannya amalan kita lebih baik dari sebelumnya ya." Ucap Bang halim mengutarakan harapannya. Aku tersenyum menganggukan kepala.

"Aammiinn.."

Menjelang waktu Maghrib. Bang Halim bersiap untuk shalat berjama'ah di Masjid terdekat. Malam ini bertepatan dengan hari digantinya buku catatan amalan para hamba selama setahun, yaitu hari Nisfu Sya'ban. Jadi aku tidak bertemu dulu dengan Bang Halim karena Bang Halim berada di Masjid dari waktu maghrib hingga pukul sembilan.

Dan ada yang lucu di pernikahanku. Ketika orang lain gugup dengan malam pertama. Aku malah tenang-tenang saja. Karena saat ini aku sedang dalam keadaan haid. Dulu, aku sering berdo'a kalo seandai aku menikah, aku ingin di hari pernikahanku, aku sedang halangan, yaitu haid. karena sejujurnya aku juga takut dengan malam pertama. hehe..

Selesai mengikuti kegiatan Nisfu Sya'ban, kami berdua makan bersama. Kecanggungan masih menghampiri antara aku dan Bang Halim. Semua keluargaku pada mengerti dengan dengan kami yang pengantin baru, sehingga di rumah hanya ada aku dan Bang Halim. Ibu malah menginap di rumah saudara, katanya malu. Memang seperti itu Ibu sekarang, karena sedikit menurun daya ingatannya, sehingga terkadang tingkahnya membuat orang terdekatnya harus sering bersabar, serta beristighfar.

Kulihat Bang Halim sedang membereskan bantal, dan bersiap untuk tidur. Sebelum tidur ku beranikan diri untuk mengajaknya ngobrol.

"Bang, bukannya mau membacakan do'a yang di ijazahkan oleh guru ngaji Abang?" tanyaku padanya. Tentang Amalan do'a yang sangat baik dilakukan oleh pengantin baru.

"Oohh iya lupa. Sini!" Bang Halim menepuk ranjang di sisinya, agar aku duduk di sana. Aku pun menuruti untuk duduk di sisinya. Bang Halim memutar posisinya, sehingga kami saling berhadapan. Tangan Bang Halim memegang ubun-ubun kepalaku. Lalu akupun mencium tangannya. Selanjutnya Bang Halim membacakan do'a untuk meminta kebaikan untuk sang istri.

"Bissmillahirrahmanirrahim.. Allahumma Inni Asaluka khoirohaa wa khoiro maa jabaltaha 'Alaihi. Wa 'audzubika ming Syarrihaa wa Syarimaa jabaltaha 'alaihi... Aammiinn.." Bang Halim mencium ubun-ubunku sangat lama, entah apa yang dido'akan, aku berharap semoga Allah mengabulkannya.

"Maafin Abang ya, kalo seandainya nanti Abang lalai, tolong Adek ingetin Abang. Abang harap Adek bisa memaklumi Abang yang bukan santri seperti mantan Adek. Ya?"

"Insya Allah Bang, kita sama-sama belajar dan saling mengingatkan, karena Adek juga belum ngerti semuanya."

"Iyaa... Ya udah, ayo tidur, sudah malam." ajaknya yang membuatku gelagapan.

"Abang enggak apa-apa tidur di sini sendirian?"

"Lho! Emang Adek mau kemana?" Beliau bertanya heran.

"Tidur di kamar sebelah, Bang." jawabku malu.

"Emang kenapa?"

"Adek, lagi haid Bang." Kulihat raut wajah Bang Halim, kukira dia akan kecewa ternyata malah terkekeh geli.

"Oohh. Di sini aja, enggak bakal diapa-apain kok. Tenang aja." ucapnya terkekeh.

"Beneran? kata Kak Rani tidurnya harus misah, takutnya Abang enggak tahan, dan kebablasan."

"Hah! yaa enggak lah, meski Abang bukan santri, tapi Abang juga tahu kok, kalo seorang istri tidak boleh digauli ketika sedang haid." jawab Bang Halim sambil membaringkan tubuhnya. "Di sini aja tidurnya." Dia menepuk-nepuk tempat tidur disebelahnya.

"Hmm ya udah, Adek ambil selimut dulu di kamar sebelah." Bang Halim menjawab dengan anggukan pelan.

Setelah mengambil selimut yang lain, Kami bergegas untuk tidur, tidak lupa juga dengan guling dan bantal yang membatasi anatara aku dan Bang Halim. Entah kenapa, hawanya begitu terasa panas. padahal, biasanya juga di kampungku selalu dingin, apalagi ini sedang musim hujan. Tentunya suasana semakin dingin.

Keadaan di kamar bersama orang asing semakin membuatku gerah, dan membuatku tidak bisa tidur. Karena sudah satu jam berlalu, namun mata masih susah diajak merem, akhirnya, aku coba tengok Bang Halim dibelakangku, semoga saja dia sudah tidur, pas aku lirik dia, dia juga sedang melihatku. eh! aku kira hanya aku saja yang susah tidur. Ternyata Bang Halim juga sama.

"Susah tidur ya?" tanya Bang halim karena melihatku gelisah. Aku hanya tersenyum, lalu Bang Halim mengambil guling yang membatasi kami, dan menyimpannya ke sisi ranjang.

"Sini!" Bang Halim menggeser tubuhnya mendekatiku, lalu menyodorkan lengan kokohnya untuk aku tiduri. entah siapa yang memulai, bukannya kami tidur, malah aktivitas lain yang terjadi. Hingga rasa ngantuk itu pergi total hingga subuh menjelang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status