Bab 6
Rambut Bang Hafiz kering. Yang berarti ia tak keramas pagi ini.Jadi kenapa Nabila keramas sepagi ini? Gadis itu juga seperti tak mengeringkan rambutnya. Apa ia sengaja?"Kenapa?" tanya Bang Hafiz yang menyadari perhatianku pada rambutnya."Nggak kenapa-kenapa...."Kepalaku kembali tertunduk, lalu melangkah melewatinya.**Sore harinya."Assalamualaikum..."Dari ruang tengah, aku mendengar suara salam Bang Hafidz yang baru pulang dari mengurus Pesantren sekaligus memberi pengajian untuk santri yang sudah menjadi pengajar di pondok ini.Lalu terdengar suara Ummi Rahma menjawab salamnya.Aku beranjak untuk menyambutnya seperti biasa, namun langkahku terhenti saat Ummi Rahma mengatakan sesuatu."Hafiz, Ummi lihat istrimu ini selalu pakai gamis yang itu-itu saja. Kenapa tak kau carikan gamis baru untuknya?""Iya, Ummi... Nanti Hafiz bawa mereka belanja.""Mereka?""Iya, Maysa dan Nabila.""Tidak, bukan dua-duanya yang Ummi maksud, tapi Nabila. Dia yang tak punya banyak pakaian. Kau menikah dengan anak yatim-piatu, harus ingat itu..."Aku terhenyak. Oh, ternyata Nabila yatim-piatu?"Iya Ummi, Hafiz harus mandi dulu."Aku segera menyingkir begitu mendengar langkahnya. Entah kenapa hati ini menjadi enggan menemuinya. Tapi tak mungkin aku masuk ke dalam kamar, karena Bang Hafiz pasti akan masuk juga untuk mandi dan berganti pakaian. Kaki ini pun terayun ke arah dapur."Abang bisa mandi di kamar Bila, bajunya udah Bila siapin."Suara lembut Nabila kali ini yang membuat langkah ku kembali terhenti."Tuh, Nabila ternyata sangat siaga. Jangan kau kecewakan." Suara Ummi Rahma menimpali.Dadaku kembali sesak. Ummi Rahma semakin jelas ingin Bang Hafiz memperhatikan Nabila dan melupakanku. Mertuaku itu semakin terlihat ingin membuang menantu pertamanya ini. Apa karena aku belum bisa memberikannya cucu laki-laki untuk penerus pesantren?Seperti yang semua orang tau, Ummi Rahma adalah orang yang sangat mementingkan kelangsungan Pesantren ini. Bukan lagi hanya mementingkan, tapi terobsesi.Beliau tipe orang yang tak bisa dibantah. Bahkan untuk semua masalah Pesantren harus sesuai keputusannya. Walau Bang Hafiz yang menjalankan nya.Sedangkan Abi, sebenarnya tipe orang yang tegas. Tapi, sampai sekarang aku tak mengerti, kenapa Abi selalu mengalah pada istrinya.Menurut Bibi Halimah, Abi itu orang yang tawadhu. Ilmu agama nya sudah sangat tinggi, jadi beliau lebih suka menghindari perdebatan.Tapi bukankah membiarkan istri semena-mena terhadap dirinya itu juga sebuah dosa?Entahlah... Aku yang hanya memiliki ilmu agama secetek ini, tak berani berasumsi.Akhirnya kaki ini melangkah menuju ke kamar. Toh Bang Hafiz akan mandi di kamar Nabila.Setelah menutup pintunya, tiba-tiba perut ini terasa perih. Apa mungkin akan datang bulan? Tapi baru satu minggu lalu mendapat halangan.Tangan ini segera memutar kunci pintu kamar, agar bisa memeriksanya. Tapi ternyata tak ada noda apapun di celana. Sementara perutku semakin perih.Aku langsung menghampiri tempat tidur. Meringkuk dengan menekuk lutut mungkin akan mengurangi sakitnya. Tapi rasa melilit semakin menyiksa. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhku.Sepuluh menit kemudian, aku tak lagi bisa berdiri. Sakit ini membuatku terkapar tak berdaya di atas kasur. Bahkan untuk memanggil seseorang pun tak lagi kuasa. Air mata karena menahan rasa sakit mengalir di pipi hingga merembes ke kasur.Tok... Tok...Pintu kamar diketuk dari luar. Aku tak bisa merespon. Tangan yang sudah lemah ini hanya bisa terus berusaha menekan perut untuk mengurangi sakitnya.Tok..tok...Ketukan kembali terdengar. Namun tak ada suara memanggil yang mengiringi ketukan. Aku yakin itu Bang Hafiz. Dia yang tak pernah memanggil saat mengetuk pintu.Empat kali ketukan sudah, akhirnya suara bariton itu menyebut namaku."Maysa... Buka pintunya.""Ma ... May ... sa ... nggak ... bisa ... bangun ... Bang...." Suara yang keluar terbata-bata dan lemah. Tertahan oleh rasa sakit."Maysa!" Bang Hafiz kembali memanggil. Yang berarti ia tak mendengar jawabanku."Aku mau belanja ke Mall. Kamu ... mau ikut tidak?"Ya Allah... Ternyata Bang Hafiz tetap mengajakku. Sungguh hati ini terharu. Tapi apalah daya, tubuh tak mau berkompromi. Aku malah tak bisa menyambut kebaikan nya yang berusaha bersikap adil."Kalau tidak, tidak apa-apa... Aku berangkat dulu..." ucapnya kemudian setelah lama menunggu jawaban yang tak kunjung ku berikan.Di sela sakit yang mendera, aku merasa dada ini sesak. Sedih. Air mata pun semakin deras mengalir.**"Non Maysa!" Sayup kudengar suara teriakan Bibi Halimah di sisiku. Namun mata ini tak tak lagi bisa melihat. Semuanya gelap."Benar kan dugaan Ibu, ada sesuatu yang terjadi pada Non Maysa! Gawat ini! Semua keluarga Abi pada nggak ada di rumah lagi! Cepat Bara! Angkat Non Maysa nya!"Pendengaranku semakin sayup. Hingga kemudian kesadaran pun ikut menghilang.**Mata ini perlahan terbuka. Namun kembali menyipit saat cahaya lampu membuat silau. Ku edarkan pandangan ke sekeliling. Hingga berhenti di sebelah sisi kiri ranjang kecil yang ku tiduri.Seorang laki-laki duduk dengan menyenderkan kepalanya di samping lenganku. Sepertinya sedang tertidur. Walau tak terlihat wajahnya, tapi aku tau itu Bang Bara.Terakhir ku ingat, laki-laki ini dengan Bibi Halimah yang menemukanku. Ku edarkan kembali pandangan, ini di rumah sakit. Tanganku pun terpasang selang infus.Bang Bara pasti kelelahan menungguiku.Aku menghela nafas panjang. Perut tak lagi terasa sakit. Mungkin Dokter telah menyuntikkan obat anti nyeri untuk meringankan sakit.Apa yang terjadi sebenarnya padaku? Kenapa perut ini begitu sakit sampai membuatku kehilangan kesadaran?Kepala Bang Bara bergerak. Aku pikir ia terbangun. Ternyata sedang mencari posisi nyaman. Dengan satu gerakan, kepalanya yang berambut tebal bergeser merapat ke lengan kiri ku.Ingin mendorongnya tapi tak tega. Tak mungkin juga menyentuh kepalanya. Perlahan tangan kanan yang terjulur untuk menarik hijab ku yang terjepit kepalanya agar bisa bergeser.BRAK!Pintu ruangan terbuka dari luar dengan tergesa. Bang Hafiz muncul dengan raut panik. Namun kemudian kakinya yang panjang urung melangkah masuk. Mata coklat terangnya menatap ke arah ke tanganku yang masih tergantung di atas kepala Bang Bara.Belum sempat ku tarik kembali tangan ini, dari belakang Bang Hafiz muncul Ummi Rahma dan Abi."Oh! Begini ternyata kelakuan menantu pertama keluarga Haji Marzuki? Kau mencoreng nama baik keluarga kami!" teriaknya.Bersambung..."Oh! Begini ternyata kelakuan menantu pertama keluarga Haji Marzuki? Kau mencoreng nama baik keluarga kami!" teriak Ummi Rahma dengan mata melotot.Aku tersentak. Apa maksudnya? Apa yang aku lakukan hingga bisa dituduh mencoreng nama baik keluarga? "Sedang diberi teguran begini masih bisa kau melakukan maksiat?!" tambah wanita itu semakin menggebu-gebu."Ummi!" sentak Abi.Namun seperti biasa, suara Abi tak pernah masuk ke telinga istrinya.Kepala Bang Bara terangkat. Pria itu cepat-cepat duduk tegak begitu menyadari kehadiran keluarga majikannya. "Lihat itu, Hafiz! Sudah Ummi bilang, istrimu ini ada main dengan Bara!""Astaghfirullah Ummi," lirihku. Tak menyangka, fitnah seperti itu keluar dari mulut wanita yang pernah ku hormati sebagai mertua dan istri dari seorang pendiri pondok besar.Bang Bara yang duduk tegak di kursinya jelas jadi bingung. Baru saja membuka mata telah ditodong yang tidak-tidak."I-ini ada apa, ya?" "Tidak ada apa-apa. Ini hanya salah faham," jawab Abi cepat.
Tiba-tiba Bang Hafiz melangkah ke arah pintu. Ah... Dia meninggalkanku begitu saja. Rasanya lebih menyakitkan. Bagiku, lebih baik dia berteriak marah atau mencaci-maki sekalian, daripada meninggalkan ku dalam diam.Namun dugaan ini salah. Ia malah mengunci pintu dan kembali menghampiri ku.Jantung ini semakin berdebar. Apa yang akan dilakukannya?"Aku akan meminumnya.""Nggak! Maysa sumpah Bang, Maysa liat Ummi sama Nabila bisik-bisik di dapur membahas teh ini. Bahkan, Maysa dengar Ummi nyuruh Nabila cepat-cepat ngasih teh ini biar cepat ngefek!" sanggahku bersikeras.Bang Hafiz kembali terdiam. Tapi aku masih tak mengerti apa yang dipikirkan laki-laki berekspresi datar dan dingin ini."Aku akan minum setengah untuk membuktikan. Setengahnya harus kamu yang minum.""Lah, kok Maysa harus ikutan?" protesku."Karena aku tak mau mati sendirian.""Lho, kan Maysa nggak bilang ini racun. Maysa curiganya ini obat tidur atau ... obat perangsang..." jawabku, sedikit jengah menyebut obat yang berk
"Kamu kenapa?" suara renyah mengagetkan aku yang sedang menjemur ikan kering kesukaan Abi. Ummi selalu menyetok ikan kering yang banyak dan memberiku tugas menjemurnya seminggu sekali. Aku tak keberatan, karena ini untuk Abi."Kenapa apanya?" tanyaku tanpa perlu melihat siapa yang mengajak bicara."Kenapa sedih?""Oo... Ada yang mati, tapi nggak ada yang mau nguburin.""Oh ya? Kok bisa? Siapa? Orang kampung ini bukan?""Bukan. Di kampung kita nggak ada laut. Mereka pendatang.""Oalah! Kamu ngerjain Abang, ya..." Bang Bara menyeringai. "Maksudnya ikan-ikan ini? Kalau mau dikuburkan ya harus dikafani dulu. Bayangin tuh, kalo ikan teri yang dikafani satu-satu, haha..." Bang Bara terbahak. Membuat bibir ini mengulas senyum."Serius nih, kamu sebenarnya kenapa?" Laki-laki itu mengulang pertanyaannya."Maysa nggak kenapa-kenapa kok, Bang..." Bang Bara melangkah ke seberang terpal tempat ikan-ikan itu tergeletak tak berdaya. Lalu berjongkok dan ikut menjejerkan ikan yang masih bertumpuk."Ma
Ruangan itu adalah tempat khusus untuk hobinya Ummi Rahma, yaitu menenun kain,Jadi buat apa si ustadz menuju ke sana? Membuatku penasaran saja.Tanpa pikir panjang, kaki ini melangkah pelan untuk mengikutinya.Namun baru selangkah terangkat, aku langsung berhenti. Ini bukan urusanku. Aku tak suka mencampuri urusan orang lain. Perlahan aku berbalik, menuju ke dapur untuk membantu pekerjaan Bibi Halimah seperti biasanya. Tapi hati ini tak bisa dipaksa untuk tak peduli. Bagaimana kalau laki-laki itu berniat jahat? Bukankah kemungkaran harus di tegah? Gelagatnya tadi memang mencurigakan. Ia tampak panik saat menabrak ku. Aku kembali berbalik arah. Laki-laki itu telah masuk dan kemudian menutup pintunya. Nah lho! Kenapa harus tutup pintu segala? Apa tak ada Ummi di dalam? Setelah beberapa saat, aku menghampiri pintu itu dan mengintip melalui lubang kunci. Aku menahan nafas, saat teringat sudah dua kali mengendap-endap dan mengintip seperti ini. Rasanya sama sekali tak nyaman, karena
Sayup-sayup suara deburan ombak menyusup ke telingaku. Membuat otak ini aktif kembali untuk menganalisa suara kencang itu. Perlahan kelopak mata terbuka setelah lelap yang teramat nyenyak menenggelamkan kesadaran.Namun mata ini seketika menyipit kembali saat cahaya senja yang merah menerpa netra. Ini sudah sore?Aku mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan mata dengan cahaya yang masuk melalui kaca depan mobil. Benar, ini sudah sore. Aku tertidur sampai sore begini? Bagaimana dengan berkas hasil pemeriksaan RS-nya?"Oh, sudah bangun?" Suara Bang Hafiz menyapa dari samping kananku. Kepala ini menoleh cepat. Mataku bertabrakan dengan netra coklat terangnya. Netra yang seindah cahaya senja itu menatap hangat."Ya," jawabku. "Kenapa Abang nggak bangunin Maysa? Kita kan mau ngambil hasil pemeriksaan medis di Rumah Sakit?""Karena kamu tidur terlalu nyenyak. Hasil pemeriksaan itu tidak penting, kamu kan sehat sekarang," jawabnya santai.Entah darimana munculnya emosi. Yang pasti, hat
Begitu masuk ke dalam kamar, aku langsung menuju jendela. Sehelai kerudung berwarna hijau pastel, sengaja ku lampirkan di celah jendela sebagai kode untuk Bang Bara beraksi.Sepuluh menit berlalu. Nina akhirnya tertidur. Aku mulai resah. Bagaimana kalau Bang Bara masih di kamar pribadinya Ummi?Ummi Rahma melirikku sekilas. "Nina sudah pulas. Selimuti dia dan keluar. Masih banyak pekerjaan dapur yang harus dikerjakan. Nabila saja yang baru beradaptasi sudah pintar berinisiatif membuatkan sambal untuk suaminya. Kamu sudah siang begini baru selesai mengurus anak, itupun harus Ummi bantu!" omelnya dengan wajah mengkerut.Aku cuma mengangguk. Ummi tak tau saja kalau sambal yang dibawa menantu kesayangannya itu hasil buatan menantu yang mau diusir.Namun saat ini aku tak berniat menjelaskan. Rasa panik karena takut Bang Bara akan ketahuan benar-benar membuatku tegang.Ayo berfikir Maysa! Pokoknya harus bisa memastikan dulu kalau Bang Bara tak lagi di sana sebelum Ummi kembali ke kamarnya
Jadi Bang Hafiz tak tahu bahwa Ummi Rahma bukan ibu kandungnya? Aku benar-benar membatu. Masih syok mengetahui kebenaran yang mencengangkan ini."Tapi... Masak nggak ada yang tau selain Abi dan Ummi? Warga pasti tau, dong?" ujarku ragu."Kalo warga tau, masak Hafiz yang udah segede ini nggak tau kenyataan itu dari mereka? Mulut warga itu mana mungkin nggak ada yang usil?" bantah Bang Bara. Wah.... Ini semakin misterius! KRETEK! Suara ranting patah karena diinjak terdengar dari arah belakang kami. Aku langsung menoleh. Begitu pula dengan Bang Bara. Namun tak ada siapapun di sana. Hanya ada perdu rumput gajah yang ditanam bapaknya Bang Bara untuk pakan sapi Abi. Tingginya hampir se dada orang dewasa. Bisa saja ada yang bersembunyi di baliknya.Bang Bara segera memeriksa. Menyibak rumput yang tajam itu dengan kedua lengan berototnya. Namun tetap nihil. "Nggak ada siapa-siapa," ujarnya sembari berjalan kembali. Bibirnya tampak meringis melihat lengan yang tergores rumput."Abang ter
Klik.Terdengar suara pintu yang sedang dibuka dari arah belakangku. Seketika tubuh ini menegang kaku."Maysarah! Sedang apa kamu di sini?!" Suara yang sangat ku kenal itu seumpama petir yang menyambar di telingaku.Aku langsung berbalik. Ummi Rahma berdiri menjulang di ambang pintu. Menatapku tajam dengan mata yang menyipit.Habis lah aku hari ini!"Sedang apa kamu di kamar Ummi, Maysa?!" Ummi Rahma mengulangi pertanyaannya, penuh penekanan."Ma-Maysa..." jawabku terbata. Tenggorokan ini tercekat. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja dadaku seperti kehabisan oksigen, sesak.Ummi Rahma menatap ke sekeliling. Memeriksa keadaan kamarnya. Seolah takut salah satu barang berharganya menghilang. Untunglah lemarinya sudah tertutup. "Hafiz!" teriak Ummi sembari tetap mengawasi ku. Aku merasa seperti tikus yang terperangkap kucing di sudut ruangan, tak bisa kemana-mana. Berdiri dengan tubuh panas dingin. Berharap keajaiban datang ataupun kucingnya berubah pikiran."Hafiiiz!" teriak Ummi semakin k