Share

Bab 6

Bab 6

Rambut Bang Hafiz kering. Yang berarti ia tak keramas pagi ini.

Jadi kenapa Nabila keramas sepagi ini? Gadis itu juga seperti tak mengeringkan rambutnya. Apa ia sengaja?

"Kenapa?" tanya Bang Hafiz yang menyadari perhatianku pada rambutnya.

"Nggak kenapa-kenapa...."

Kepalaku kembali tertunduk, lalu melangkah melewatinya.

**

Sore harinya.

"Assalamualaikum..."

Dari ruang tengah, aku mendengar suara salam Bang Hafidz yang baru pulang dari mengurus Pesantren sekaligus memberi pengajian untuk santri yang sudah menjadi pengajar di pondok ini.

Lalu terdengar suara Ummi Rahma menjawab salamnya.

Aku beranjak untuk menyambutnya seperti biasa, namun langkahku terhenti saat Ummi Rahma mengatakan sesuatu.

"Hafiz, Ummi lihat istrimu ini selalu pakai gamis yang itu-itu saja. Kenapa tak kau carikan gamis baru untuknya?"

"Iya, Ummi... Nanti Hafiz bawa mereka belanja."

"Mereka?"

"Iya, Maysa dan Nabila."

"Tidak, bukan dua-duanya yang Ummi maksud, tapi Nabila. Dia yang tak punya banyak pakaian. Kau menikah dengan anak yatim-piatu, harus ingat itu..."

Aku terhenyak. Oh, ternyata Nabila yatim-piatu?

"Iya Ummi, Hafiz harus mandi dulu."

Aku segera menyingkir begitu mendengar langkahnya. Entah kenapa hati ini menjadi enggan menemuinya. Tapi tak mungkin aku masuk ke dalam kamar, karena Bang Hafiz pasti akan masuk juga untuk mandi dan berganti pakaian. Kaki ini pun terayun ke arah dapur.

"Abang bisa mandi di kamar Bila, bajunya udah Bila siapin."

Suara lembut Nabila kali ini yang membuat langkah ku kembali terhenti.

"Tuh, Nabila ternyata sangat siaga. Jangan kau kecewakan." Suara Ummi Rahma menimpali.

Dadaku kembali sesak. Ummi Rahma semakin jelas ingin Bang Hafiz memperhatikan Nabila dan melupakanku. Mertuaku itu semakin terlihat ingin membuang menantu pertamanya ini. Apa karena aku belum bisa memberikannya cucu laki-laki untuk penerus pesantren?

Seperti yang semua orang tau, Ummi Rahma adalah orang yang sangat mementingkan kelangsungan Pesantren ini. Bukan lagi hanya mementingkan, tapi terobsesi.

Beliau tipe orang yang tak bisa dibantah. Bahkan untuk semua masalah Pesantren harus sesuai keputusannya. Walau Bang Hafiz yang menjalankan nya.

Sedangkan Abi, sebenarnya tipe orang yang tegas. Tapi, sampai sekarang aku tak mengerti, kenapa Abi selalu mengalah pada istrinya.

Menurut Bibi Halimah, Abi itu orang yang tawadhu. Ilmu agama nya sudah sangat tinggi, jadi beliau lebih suka menghindari perdebatan.

Tapi bukankah membiarkan istri semena-mena terhadap dirinya itu juga sebuah dosa?

Entahlah... Aku yang hanya memiliki ilmu agama secetek ini, tak berani berasumsi.

Akhirnya kaki ini melangkah menuju ke kamar. Toh Bang Hafiz akan mandi di kamar Nabila.

Setelah menutup pintunya, tiba-tiba perut ini terasa perih. Apa mungkin akan datang bulan? Tapi baru satu minggu lalu mendapat halangan.

Tangan ini segera memutar kunci pintu kamar, agar bisa memeriksanya. Tapi ternyata tak ada noda apapun di celana. Sementara perutku semakin perih.

Aku langsung menghampiri tempat tidur. Meringkuk dengan menekuk lutut mungkin akan mengurangi sakitnya. Tapi rasa melilit semakin menyiksa. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhku.

Sepuluh menit kemudian, aku tak lagi bisa berdiri. Sakit ini membuatku terkapar tak berdaya di atas kasur. Bahkan untuk memanggil seseorang pun tak lagi kuasa. Air mata karena menahan rasa sakit mengalir di pipi hingga merembes ke kasur.

Tok... Tok...

Pintu kamar diketuk dari luar. Aku tak bisa merespon. Tangan yang sudah lemah ini hanya bisa terus berusaha menekan perut untuk mengurangi sakitnya.

Tok..tok...

Ketukan kembali terdengar. Namun tak ada suara memanggil yang mengiringi ketukan. Aku yakin itu Bang Hafiz. Dia yang tak pernah memanggil saat mengetuk pintu.

Empat kali ketukan sudah, akhirnya suara bariton itu menyebut namaku.

"Maysa... Buka pintunya."

"Ma ... May ... sa ... nggak ... bisa ... bangun ... Bang...." Suara yang keluar terbata-bata dan lemah. Tertahan oleh rasa sakit.

"Maysa!" Bang Hafiz kembali memanggil. Yang berarti ia tak mendengar jawabanku.

"Aku mau belanja ke Mall. Kamu ... mau ikut tidak?"

Ya Allah... Ternyata Bang Hafiz tetap mengajakku. Sungguh hati ini terharu. Tapi apalah daya, tubuh tak mau berkompromi. Aku malah tak bisa menyambut kebaikan nya yang berusaha bersikap adil.

"Kalau tidak, tidak apa-apa... Aku berangkat dulu..." ucapnya kemudian setelah lama menunggu jawaban yang tak kunjung ku berikan.

Di sela sakit yang mendera, aku merasa dada ini sesak. Sedih. Air mata pun semakin deras mengalir.

**

"Non Maysa!" Sayup kudengar suara teriakan Bibi Halimah di sisiku. Namun mata ini tak tak lagi bisa melihat. Semuanya gelap.

"Benar kan dugaan Ibu, ada sesuatu yang terjadi pada Non Maysa! Gawat ini! Semua keluarga Abi pada nggak ada di rumah lagi! Cepat Bara! Angkat Non Maysa nya!"

Pendengaranku semakin sayup. Hingga kemudian kesadaran pun ikut menghilang.

**

Mata ini perlahan terbuka. Namun kembali menyipit saat cahaya lampu membuat silau. Ku edarkan pandangan ke sekeliling. Hingga berhenti di sebelah sisi kiri ranjang kecil yang ku tiduri.

Seorang laki-laki duduk dengan menyenderkan kepalanya di samping lenganku. Sepertinya sedang tertidur. Walau tak terlihat wajahnya, tapi aku tau itu Bang Bara.

Terakhir ku ingat, laki-laki ini dengan Bibi Halimah yang menemukanku. Ku edarkan kembali pandangan, ini di rumah sakit. Tanganku pun terpasang selang infus.

Bang Bara pasti kelelahan menungguiku.

Aku menghela nafas panjang. Perut tak lagi terasa sakit. Mungkin Dokter telah menyuntikkan obat anti nyeri untuk meringankan sakit.

Apa yang terjadi sebenarnya padaku? Kenapa perut ini begitu sakit sampai membuatku kehilangan kesadaran?

Kepala Bang Bara bergerak. Aku pikir ia terbangun. Ternyata sedang mencari posisi nyaman. Dengan satu gerakan, kepalanya yang berambut tebal bergeser merapat ke lengan kiri ku.

Ingin mendorongnya tapi tak tega. Tak mungkin juga menyentuh kepalanya. Perlahan tangan kanan yang terjulur untuk menarik hijab ku yang terjepit kepalanya agar bisa bergeser.

BRAK!

Pintu ruangan terbuka dari luar dengan tergesa. Bang Hafiz muncul dengan raut panik. Namun kemudian kakinya yang panjang urung melangkah masuk. Mata coklat terangnya menatap ke arah ke tanganku yang masih tergantung di atas kepala Bang Bara.

Belum sempat ku tarik kembali tangan ini, dari belakang Bang Hafiz muncul Ummi Rahma dan Abi.

"Oh! Begini ternyata kelakuan menantu pertama keluarga Haji Marzuki? Kau mencoreng nama baik keluarga kami!" teriaknya.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status