04:55 sore.
Rasa sesak itu benar-benar terasa menghimpit di dada Elara.
Ia baru saja menemukan dirinya memang berada di jalan buntu.
Setelah penandatanganan satu berkas, Elara mendapatkan sejumlah uang --cukup banyak, dari ayah tirinya. Namun saat ia mengutarakan maksudnya pada pihak Rumah Sakit, ia tidak mendapatkan jawaban sesuai harapannya.
Meskipun tadi Elara mengatakan bersedia membayar mahal pada pihak Rumah Sakit untuk darah neneknya, pihak Rumah Sakit menolak mentah-mentah.
Mereka mengatakan tidak mampu mencari atau mendapatkan darah Rh-Null dalam waktu sesingkat itu. Itu darah yang langka. Bahkan jika pun ditemukan, pihak lain telah lebih dulu membelinya dengan harga sangat tinggi.
Elara membuang napas beratnya. Ia kini berdiri di depan pintu ruangan yang sama.
Kamar dengan angka 707 di atasnya.
Itu bangsal di Rumah Sakit tempat nenek-nya dirawat. Tapi bukan bangsal milik sang nenek. Melainkan milik pria yang memiliki golongan darah langka, yang sama seperti nenek nya.
Pria yang Elara temukan, atas informasi dari salah satu petugas di ruang IGD saat pertama kali ia datang setelah menerima berita kecelakaan neneknya.
Pria yang kebetulan ada di Rumah Sakit itu dan terluka, diketahui memiliki darah yang berjenis sama dengan sang nenek.
Pria yang juga memberikan persyaratan gila sebagai pertukaran untuk darahnya.
Elara mendorong pintu dan melangkah masuk.
Pria bajingan itu kini telah berganti pakaian pasien dan duduk santai di sofa samping brankar dengan tangan menyilang di depan perutnya. Bersikap menunggu, seolah tahu Elara akan datang.
Ia mengangkat kepala dan menatap Elara yang melangkah ragu, namun terlihat bertekad mendekat padanya.
Elara memantapkan hati dan balas menatap pria itu tanpa takut.
Langkahnya terhenti tepat satu meter di hadapan pria itu dan Elara mendadak sedikit linglung.
Mata pria itu seperti lautan dalam, menghipnotis dan tajam, dengan kilatan yang tak terbaca.
Elara nyaris merasa kehilangan diri pada pusaran intens di dalamnya.
Selama hidupnya, ia baru menyaksikan keindahan seperti ini. Wajah pria itu adalah contoh kesempurnaan.
Konon, setiap orang mempesona dengan cara yang berbeda. Dan pria ini membawa definisi pesona tersebut ke tingkat yang sungguh sangat berbeda.
Bibirnya berwarna merah muda yang memikat, dan fakta bahwa bibir itu melontarkan kalimat gila dan licik, tidak mengurangi pesona misterius yang dimiliki pria itu.
Ia tampak seperti berada di usia akhir dua puluhan --mungkin dua puluh tujuh atau dua puluh delapan, dengan bahu lebar dan tangan yang berurat.
Pria itu benar-benar bajingan yang tampan --secara harfiah, secara fisik dan dengan semua cara lainnya.
Aneh memang.
Bahkan sekalipun --dari pakaian yang dikenakan pria itu sebelumnya, pria itu seorang buruh kasar, ia memiliki aura kewibawaan yang definit.
Senyum miring mengembang di wajah pria itu saat dia berbicara, dan keterlenaan gadis bermata zamrud itu langsung terhempas.
"Jadi apa keputusanmu?” Suara malas itu tetap tidak bisa menutupi efek seksi dan sensual yang menguar dari pria tersebut.
Elara menelan ludah. “Ba-baiklah. Aku akan menyerahkan diriku.”
“Itu bagus.”
“Dengan satu syarat,” Elara buru-buru menambahkan.
Pria itu menunggu.
“Terserah kau mau menyebutku kuno atau apa. Tapi aku tidak melakukan hubungan badan sebelum menikah.”
Kedua alis pria itu melangit. “Kau ingin aku menikahimu?”
Dengan tangan saling meremas kuat, Elara mengangguk, memantapkan hati dan mengusir sisa keraguan terakhir dengan tindakan nyata. “Ya.”
Pria itu menatap Elara sekian detik, lalu menunduk.
Terlewat oleh pengamatan Elara, seringai samar terbentuk di wajah pria yang masih menunduk itu.
Fokus Elara terlalu melekat pada jemari pria tersebut yang melakukan gerakan mengetuk di atas pegangan kursi.
Demi apapun, saat ini Elara begitu tegang dan berdebar hebat. Bukan debar yang bagus, melainkan kecemasan.
Andai pria itu menolak, maka ia benar-benar berada di ujung kebuntuan. Ia hanya akan memberikan tubuhnya sukarela, tanpa ikatan apapun.
Dan itu penghancuran harga diri dan kehormatan yang mutlak bagi Elara.
“Baiklah.”
Elara terkesiap dan mengerjap. “Hah? Apa?”
“Kau mendengarnya. Kita menikah.”
* * *
Jemari lentik Elara sedikit bergetar saat ia menggerakkan pena untuk menandatangani satu berkas yang disodorkan pria bermata kelabu itu padanya.
“Sudah kau baca semuanya?” Pria bermata kelabu bertanya.
“Ya.” Elara menyerahkan pena itu pada pria di depannya yang segera mengambilnya, beserta map berisi lembaran perjanjian yang baru ditandatangani Elara.
Perjanjian yang berisi Elara bersedia menikah dengan pria itu, dengan imbalan pria itu memberikan darahnya.
“Lalu…” Gadis bermata zamrud itu menaikkan pandangannya. “Apa kau sekarang bisa melakukannya?”
Kedua alis pria itu terangkat. “Melakukannya sekarang? Di sini?”
Menyadari pria bermata kelabu itu salah menafsirkan kalimatnya, Elara buru-buru menyilangkan tangan di depan dadanya dan berkata. “Darahmu! Melakukan donor darahmu! Bukan soal ‘itu’!”
“Hm…”
“Apa? Mengapa kau diam? Kau tidak akan berkelit kan?”
“Itu sudah dilakukan.”
“Hah? Apa?”
“Darahku. Sudah dilakukan pengambilan darah sejam sebelum kau datang.”
“Kau menipuku?!” Kedua mata Elara membulat.
“Menipu apa?” Pria itu menepis santai. “Aku tahu kau akan kembali, jadi aku sudah melakukannya lebih awal.”
Elara ingin marah karena merasa ditipu pria itu, tapi ia sadar tidak ada yang salah dengan itu. Pria itu memang telah menyiapkannya lebih dulu, itu membuat prosesnya lebih cepat.
“Darahmu sudah siap? Jadi…”
“Ya, kau bisa segera menyelamatkan nenekmu.”
“Ah..” Elara tertegun sesaat, sebelum ia segera berbalik untuk keluar dari bangsal pria itu.
“Ck.” Pria itu berdecak melihat ketergesaan gadis bermata zamrud tersebut. Ia lalu melirik map di tangannya.
“Dia bahkan tidak membaca dengan teliti.” Pria itu hanya tersenyum miring kemudian meletakkan map di atas meja dekat ia duduk lalu bersandar santai ke belakang.
Di lantai bawah.
Elara meremas ujung kemeja longgarnya dengan kedua kaki berderap cepat --nyaris berlari hingga mencapai ruang ICU.
Rasa gelisah menyelimuti hatinya dan tidak mampu terhindarkan dari ekspresi di wajah cantik miliknya.
Ia bertanya pada petugas di sana tentang darah untuk neneknya itu.
“Ya benar Nona. Darah sudah tersedia dan telah dilakukan transfusi pada nenek Anda,” jawab petugas itu yang seketika membuat Elara membuang napas lega.
“Lalu bagaimana.. bagaimana dengan operasinya?”
“Kami akan segera melakukannya setelah Anda menandatangani persetujuan, melunasi biaya yang timbul dari penanganan sebelumnya dan juga menyimpan deposit.”
“Aku akan lakukan! Aku akan membayarnya!” Elara dengan tergesa menjawab petugas itu.
“Silakan Nona ke bagian pendaftaran untuk mengurus administrasi dan lainnya,” ujar petugas itu.
Elara mengangguk lalu berbalik untuk menuju konter pendaftaran. Ia memberikan deposit sejumlah uang dari yang ia dapatkan dari Tony White.
Ia baru saja bernapas lega, menyelesaikan urusan administrasi untuk neneknya, ketika pundaknya ditepuk dari belakang.
“Apa-- Kau?” Kening Elara mengernyit melihat pria bermata kelabu itu telah ada di belakangnya. “Ada apa lagi?”
“Sekarang kita ke balai kota.”
“Apa? Ini… terlalu sore. Untuk apa ke balai kota?”
“Kita urus pencatatan pernikahan kita.”
Sungguh Elara telah pasrah.Tangannya yang memegang akta pernikahan, sedikit bergetar.Demi Tuhan, dirinya masih muda dan memiliki begitu banyak mimpi serta hal-hal yang ingin ia lakukan. Tapi saat ini, ia telah menjadi istri seseorang.Elara melirik pria yang berdiri di sampingnya yang tengah menerima telepon.Pria itu kembali mengenakan pakaian proyek yang tadi siang Elara lihat. Namun itu sama sekali tidak mampu menutupi kharisma misterius pria tersebut.Wajah tampannya terlalu angkuh. Dengan rupa sempurna seperti itu --meski ia mengenakan pakaian lusuh sekalipun, wanita mana yang tidak terhipnotis oleh pesonanya? Elara terkesiap, pria itu telah mengakhiri teleponnya dan menoleh pada Elara.“Aku kerja dulu. Mulai hari ini ada satu mulut lagi yang harus kuberi makan. Kau. Setelah selesai urusanku, aku akan kembali ke Rumah Sakit. Sekarang aku akan mengantarmu dulu kembali ke sana.” Tanpa berjeda, pria itu berkata pada Elara. “Tidak perlu. Aku akan pergi sendiri. Kau urus saja ker
“Nenek! Tidaak! Bangun Nek! Kumohon! Jangan tinggalkan aku! Neneek…!” Ratapan pilu Elara terdengar begitu menyayat hati.Tubuhnya membungkuk, memeluk tubuh kaku sang nenek di atas brankar yang telah ditutupi selimut hingga muka.Rasa sakit yang bagai mengiris seluruh sisa jiwa dan harapan dalam dirinya, membuat Elara tak henti memohon dalam tangis.“Neneek…”Ia tidak ingin ditinggalkan seperti ini.Ia sudah tidak memiliki siapapun lagi.Bagaimana ia akan merasa rela ditinggalkan begitu saja oleh seseorang yang paling memerhatikan dan tulus menyayangi dirinya, setelah mendiang ibunya?“Kami telah berusaha semaksimal yang kami bisa, maaf kami tidak bisa menolongnya,” Seorang dokter berkata untuk kesekian kalinya pada Elara, sebelum ia akhirnya meninggalkan bangsal tempat Elara dan tubuh kaku Nyonya Willow berada.Elara tidak lagi menanggapi dokter tadi, karena ia telah menghujani dokter itu dengan puluhan, bahkan ratusan pertanyaan mengapa tindakan operasi yang dilakukan justru membuat
“Aku benar-benar minta maaf, El!” Jeanne mendekap erat tubuh Elara dan berulang kali mengatakan penyesalan, permintaan maaf serta belasungkawa kepada Elara.“Tidak apa, J.”“Apanya yang tidak apa!” Jeanne tergugu mendengar jawaban Elara. “Aku seharusnya berada di samping mu saat kau melalui itu semua kemarin. Aku benar-benar minta maaf!”Gadis teman dekat Elara itu baru saja kembali dari luar kota dan ia menerima berita duka dari Elara tentang neneknya.Yang lebih menyedihkan lagi untuk Jeanne, saat mendengar dari Elara bahwa anggota keluarga White tidak satu pun yang hadir pada pemakaman itu.Jeanne adalah salah satu yang mengetahui bahwa Elara bukanlah anak kandung Tony White, dan satu-satunya yang mengetahui serta melihat sendiri perlakuan keluarga White yang kurang manusiawi terhadap Elara.Sekali waktu ia pernah berkunjung ke rumah Elara yang tidak masuk kuliah karena sakit.Betapa terkejutnya Jeanne saat menerima hinaan dari wanita paruh baya yang kemudian ia ketahui, sebagai bib
Elara berada di dalam kamarnya yang sempit. Kamar itu tidak seperti kamar lainnya yang berada dalam kediaman White ini. Tentu saja tidak, karena Elara menempati salah satu kamar di samping area servis. Kamar untuk pelayan di sana. Sejak Annie Willow --ibu kandungnya-- meninggal, Elara dipaksa untuk keluar dari kamar miliknya dan berpindah ke kamar pelayan, dengan alasan kamar Elara akan digunakan oleh Dianne Palmer, anak dari Tina. Elara menghela napas yang terasa begitu berat dan menyisakan sedikit sesak dalam dadanya. Ia masih dalam masa berkabung, rasa kehilangan yang nyata dan begitu membuat dirinya --sekali lagi-- merasa luar biasa kesepian, semenjak kepergian mendiang ibunya. Namun Elara tahu, ia tidak boleh terus terlarut dalam duka ini. Amarahnya pada keluarga White, membuat Elara bertekad untuk betul-betul tidak tergantung lagi pada mereka dan membalas mereka kelak. Elara lalu meletakkan album foto yang sejak tadi ia pegang dengan erat. Rasa rindu yang kuat, membuat Ela
“El!”Elara mendongak dan mengarahkan pandangan pada sumber teriakan itu. Mata zamrud-nya menangkap sosok Jeanne yang berlari padanya.Kantin tempat Elara berada sedang tidak terlalu ramai, sehingga lengkingan suara Jeanne terdengar begitu jelas.“El!”“Tidak perlu berteriak, aku mendengarmu,” ujar Elara.“Apa kau sudah dengar?” Jeanne terengah saat berhenti di dekat Elara.“Iya. Aku dengar. Kau berteriak begitu kencang, bagaimana aku tidak mendengarnya?” ledek Elara.“Bukan!” Jeanne menggeleng kuat-kuat. Ia menarik kursi di depan Elara dan duduk dengan tergesa. “Edric sudah pulang dan sedang dipanggil dekan.”Elara menatap Jeanne. “Dipanggil dekan?”Anggukan kuat dari Jeanne menjawab pertanyaan Elara itu.“Kenapa?”“Mana ku tahu!” Jeanne menyorotkan tatapan menuding pada Elara. “Kup
“Apa kau percaya ini? Kita akan kehilangan satu teman baik kita!” keluh Jeanne sambil mengangkat gelas berisi cairan keemasan.“J, sudah. Kau hampir mabuk!” cegah Elara dengan dahi mengernyit.Malam ini, teman sekelas Edric mengadakan perpisahan untuk Edric di satu klub ternama di kota mereka untuk bersenang-senang dan perpisahan dengan Edric.Elara dan Jeanne tentu saja diundang.Elara tidak pernah bersentuhan dengan minuman beralkohol dan ia sejak tadi hanya menonton Jeanne minum, dengan kursi terpisah dari kumpulan teman-teman sekelas Edric yang sebagian besar lelaki.Edric terjebak dengan teman-teman sekelasnya dan hanya bisa sesekali memandang ke arah meja tempat Elara dan Jeanne duduk untuk mengawasi keduanya dari jauh.Ia sengaja memisahkan tempat duduk Elara dan Jeanne, tidak ingin teman-teman sekelasnya yang barbar memanfaatkan situasi pada Elara dan Jeanne.Botol demi botol mulai kosong. Di meja Edric
Dianne bersiul dan berjalan menuju satu sudut begitu riang dengan tangan terus menepuk tas yang tersampir di bahu kanannya. “Aku punya uang untuk beli tas dan sepatu yang itu…” gumamnya berulang kali dengan mata berbinar. Sebenarnya ia bukan sedang membutuhkan uang. Namun melihat Elara berada di dalam bar tadi, membuat Dianne seketika memiliki rencana untuk merusak nama baik sepupu tirinya itu. Dianne selalu merasa iri melihat Elara yang memiliki wajah cantik dan tubuh indah dan selalu menjadi primadona sejak mereka sama-sama di sekolah menengah dulu. Meskipun sejak kuliah Elara mengenakan kacamata yang membosankan, itu tidak menghilangkan fakta, sepupu tirinya itu memiliki rupa yang memikat. Belum lagi, Elara selalu memiliki semua barang yang ingin dirinya miliki. Dulu, Elara mempunyai bibi Annie dan paman Tony yang selalu bisa membelikan semuanya untuk Elara, sementara dirinya hanya dibelikan barang-barang yang lebih murah dari yang dimiliki Elara. Ibunya --Tina, menikahi Ian
Matahari telah beranjak lebih ke Barat, telah lewat tengah hari ketika Elara tiba di depan pintu rumah.Tidak ada prasangka apapun dalam pikiran Elara, ia melangkah masuk dan cukup terkejut saat melihat beberapa orang di ruang keluarga.Bukan hanya Tony --ayah tirinya.Namun juga Tina --sang bibi tiri, lalu Dianne --sepupu tiri dan bahkan Nyonya Besar White --nenek tirinya pun ada di sana.Elara terkesiap, melihat Tony berderap mendekat dengan cepat ke arahnya.“Ayah, ada ap--”PLAKK!Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Elara, hingga kepala gadis cantik itu terpaling ke kiri dan kacamata yang ia kenakan, terlempar jatuh.“Ayah?!” Dengan memegangi pipinya yang terasa perih dan memerah, Elara menoleh pada Tony dengan tatapan sangat terkejut yang tidak kuasa ia sembunyikan. “Kenapa ayah menamparku?”“Kau tidak perlu sampai menjadi jalang hanya untuk mengambil hati ayahmu, Ela