“Lilah! Gimana caranya bawa bonekamu yang sebesar ini?” tanya Kak Maya—kakak Malilah—ketika menyusul adek satu-satunya itu.
“Bonceng tiga,” sahut Yonna.
“Bonceng tiga gimana? Si Lilah mau ditaruh di mana? Roda?” Kak Maya tertawa kecil membayangkan adeknya berputar-putar di ban motor.
“Tega banget jadi Kakak, masa adeknya yang mau disimpan di ban,” ucap Malilah kesal.
“Tenang, kakak ipar. Nanti bonekanya aku yang bawa.”
“Kakak ipar, apanya? Masih kecil juga, masih SMA! Main sebut kakak ipar aja,” cerocos Kak Maya galak.
“Aduh, adek kakak sama aja galaknya,” gumam Dovis.
“Bercanda, kok, Kak Maya. Jangan dibawa serius, lah,” sambungnya.
“Kak May, ikut makan bareng kita, yok. Bakso beranak,” ajak Yonna.
“Wih, bakso beranak, nggak sekalian cucunya, nih? Hayuk, lah,” terima Kak Maya.
Tiba di stan makanan, mereka menyatukan dua meja sekaligus agar semuanya bisa duduk bersamaan. Mengabaikan tatapan tak suka dari pendatang lain, mereka mulai memesan makanan dan minuman yang diinginkan. Semua perempuan memesan makanan yang sama, yaitu bakso beranak yang menjadi sorotan di stan tersebut. Sedangkan bagian lelaki, memesan makanan yang lebih bervariasi.
Saat menunggu datangnya pesanan, Petunia izin ke toilet yang kebetulan berada tak jauh dari stan makanan. Luther menahan tangan Yonna saat gadisnya itu hendak menambah satu sambal lagi, dan justru mengarahkan satu sendok penuh sambal itu ke dalam mangkoknya. Membuat sang empu tangan, cemberut tak terima.
“Jangan kebanyakan, nanti perut kamu sakit.”
“Sedikit lagi,” pinta Yonna penuh harap, tetapi mendapat penolakan tidak terbantahkan dari Luther.
“Nurut aja dulu, Yon. Nanti kamu bisa bungkus satu, buat dimakan di rumah. Nah, habis itu, kamu bisa tambah sambal banyak-banyak tanpa doi tahu,” tutur Kak Maya seraya mengedipkan mata kirinya.
Yonna tertawa kecil lalu menganggukkan kepalanya setuju, sambil melirik Luther yang berakting seolah tidak mendengar saran nakal Kak Maya. Luther tahu pasti gadisnya tidak akan melakukan hal tersebut. Lagi pun, dia melarang Yonna mengonsumsi banyak cabai demi kesehatan lambungnya.
“Eh, teman kalian yang tadi kenapa lama sekali di toilet? Ini kuah baksonya sampai dingin, loh,” tanya Kak Maya mengarah pada mereka semua.
“Kyaaaa!!! Tolong!!”
Teriakan cempreng tersebut langsung menarik perhatian seluruh pengunjung pasar malam yang berada di sekitar lokasi itu. Nampak seorang gadis dengan gaun berwarna kuning berlari panik keluar dari arah toilet.
“Itu Siri, kan?” Malilah menoleh menatap Yonna yang berdiri dari posisi duduknya.
“Dia kenapa?” tanya Akia membiarkan dahinya mengernyit heran.
Tanpa menjawab satu pertanyaan pun, Yonna berjalan tergesa mendekati Siri. Ditangkapnya tubuh perempuan itu sebelum terjatuh akibat tersandung oleh kakinya sendiri.
“Siri? Apa yang terjadi?”
“I-itu! Di sana! Di dalam toilet ada-“
“Kyaaaa!!!”
Teriakan segerombolan wanita lagi-lagi terdengar hampir memecahkan gendang telinga. Semuanya berlarian panik sambil mengangkat sisi bawah rok agar lebih mudah berlari. Seketika mata Yonna membeliak kaget menyaksikan di belakang gerombolan wanita itu ada seorang perempuan bertubuh tinggi besar sedang mengejar entah siapa, sambil mengangkat tinggi kapak dalam genggaman kedua tangannya.
Naas, Yonna menyaksikan perempuan bertubuh besar itu berhasil memenggal kepala seorang perempuan yang jatuh tersungkur. Teriakan perempuan malang itu terhenti bersamaan dengan darah segar yang menyembur sangat deras, menciptakan genangan merah, membasahi sepatu pantofel pemilik kapak.
Menyadari keadaan yang menggila, Yonna membantu Siri berdiri, mengajaknya berlari untuk memanggil teman-temannya yang menatap kejadian tadi dengan horor. Tidak ingin membuang waktu, Luther menarik Yonna menuju luar arena pasar dilaksanakan, diikuti yang lain.
“Apa-apaan ini?!” teriak Malilah ketakutan. Matanya melirik ke arah belakang, di mana perempuan berkapak itu berlari seraya mengayunkan kapak tak tentu arah, mengikuti jalur pelarian mereka.
“Aku belum mau mati, oi! Jadian sama Mak Lilah kesayangan saja belum,” pekik Clovis tak terima dengan keadaan yang dia alami.
Terlihat jelas, satu persatu pengunjung yang tidak diberkati oleh Dewi Fortuna berjatuhan bersama aliran darah juga sekaligus menjadi pertanda nyawa sudah melayang tinggi ke udara lepas. Seolah tidak melihat siapa yang berada di hadapan, tangan kejam itu terus saja mengayunkan kapak, mengoyak setiap senti daging yang tersentuh termasuk tubuh lemah anak kecil tak berdosa.
Bahkan, saat ini gagang kapak sudah berubah warna, seakan baru diwarnai dengan cairan merah. Tangisan tak ayal mengikuti setiap bertambahnya nyawa yang meninggalkan raga.
“Tunggu! Petunia mana? Dia tadi ke toilet itu, kan?” Yonna menahan Luther untuk berhenti berlari.
“Kenapa berhenti?! Ayo, kamu nggak perlu mikirin dia. Kalau sudah takdirnya, kamu bisa melihat dia besok.” Luther kembali menarik gadisnya berlari ke arah parkiran.
“Tapi-“
“Yonna! To-tolong saya!!!” pekik seseorang dari jauh.
Menoleh ke arah pekikan penuh kepanikan, Yonna terkejut melihat ternyata Petunia berusaha melepaskan diri dari genggaman wanita berkapak tersebut.
“Luther! Bagaimana ini?! Aku harus membantunya!”
“Jangan bodoh! Kamu bisa jadi sasaran selanjutnya!”
“Tapi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja!” Yonna melepaskan secara paksa genggaman Luther, berlari secepat mungkin untuk membantu Petunia.
“God! Yonna!!” teriak Luther menyusul dari belakang.
“Yo-yonna, to-tolong!” Segala kekuatan sudah dikerahkan Petunia agar bisa terlepas dari seretan wanita itu, di tangan kirinya kapak berdarah masih menggantung menunggu waktu untuk memotong.
"Bagaimana ini?" gumam Yonna kebingungan sembari kakinya terus berlari. Tanpa pertimbangan apa pun, Yonna menarik lengan Petunia yang mengambang di udara, menggapai tangannya. Karena merasa tarikan semakin memberat, wanita berkapak tersebut menoleh ke belakang. Ia menggeram, tapi kemudian senyum iblis tercetak di wajahnya. Kenapa tidak? Tidak perlu melempar umpan ke-dua, sasaran datang dengan sendirinya. "Lepaskan dia, monster!" seru Yonna sambil terus menarik Petunia terlepas dari pegangan yang ia sebut monster. Meskipun si wanita berkapak tidak bergerak sedikitpun, tawa darinya seakan menekan diri Yonna ke permukaan tanah. Meneror melalui tawa. Dengan kepala terangkat ke atas, muka yang dipenuhi darah korban itu tak berhenti menampakkan kesenangan, gelakannya semakin mengeras. "Kenapa kau peduli?" tanya wanita itu dengan pancaran yang lebih menyeramkan. "A
Mengendalikan setang motor, gas ditarik kuat, membawa pengendaranya menjauh dari lokasi semula. Memacu kendaraan secepat mungkin, meninggalkan kejadian yang mengait habis ketenangan. Di belakang Luther, Yonna melakukan panggilan suara ke Yulissa—mamanya, melaporkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Ternyata berita menyebar dengan cepat, Mama Yonna yang mengetahui ke mana anaknya itu pergi, melakukan banyak sekali panggilan suara yang tentu saja tidak mendapat respons dari Yonna. Setelah menyimpan ponsel ke dalam tas, ia kembali memeluk tubuh Luther, erat. Yonna masih bisa merasakan amarah yang meredam di dalam tubuh Luther. Tentu saja pemuda itu khawatir dengan kondisi kekasihnya. Beruntung setelah menelepon pihak kepolisian, Luther menemukan senjata api di pos pengamanan. Meski Luther sempat kesulitan menemukan keberadaan Yonna, dia beruntung berhasil muncul di waktu yang tepat. Sangat tidak bisa dibayangkan bagaimana jika Luther ter
Seisi penghuni sekolah menjadi sangat heboh mengenai kabar penyerangan wanita berkapak yang tiba-tiba muncul di pasar malam. Tak ayal, kepala sekolah meminta seluruh murid berkumpul di aula sekolah sembari membagikan bunga lily untuk menyampaikan duka kepada siswa dan siswi yang menjadi korban penyerangan tadi malam. Tidak sedikit yang menjadi korban, terhitung dua dari murid kelas 12 dan empat dari kelas 10. Pagi tadi, kepala sekolah langsung mendapat konfirmasi dari kepolisian sekitar mengenai muridnya yang turut menjadi korban penyerangan. Untuk menghormati setiap hal yang telah diberikan oleh korban untuk sekolah ini, juga sebagai bentuk kekeluargaan, mereka memberikan salam perpisahan dan doa-doa agar mencapai ketenangan. Tangis pun tak bisa dihindarkan. "Kalau aja Luther terlambat, aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sama kalian berdua." Malilah menatap sendu sepatu yang ia kenakan. "Demi
"Mas! Kenapa setiap aku ngomong kamu nggak pernah turutin?!" tanya Yulissa meninggikan suaranya. "Arghh! Kamu bisa tidak, sekali saja berhenti membicarakan ini? Saya capek. Baru sekarang saya bisa pulang awal, bukannya nawarin minum atau makan, malah teriak-teriak tidak jelas." "Alasan kamu, Mas! Palingan juga kamu habis senang-senang, kan? Giliran perayu itu minta ini, mobil, rumah, ATM, langsung kamu kasih. Sedangkan ketika aku minta pengertian kamu sedikit saja, nggak pernah kamu lakuin, Mas!" "Lissa! Jaga bicara kamu! Pengertian apa yang kamu mau?! Dari dulu sampai sekarang, pengertian, pengertian terus yang kamu minta. Kurang pengertian apa saya? Hah?!" "Mas! Kalau selama ini Mas pengertian seperti yang kamu bilang, kenapa masih berhubungan sama perayu itu? Tinggalin dia sekarang! Aku nggak mau tahu! Kita semua tahu tindakan kamu itu salah, Mas!" "Oh? Jadi sa
Di atas motor, Luther merasa risih. Terutama saat merasakan tangan Petunia menggenggam kedua sisi pinggang seragamnya, sangat erat. Seakan, bergeser sedikit saja, ia bisa terlempar ke tengah jalan. Sekitar sepuluh menit melaju, akhirnya Luther menghentikan motor saat Petunia menepuk-nepuk pundaknya. "Ke-kelewatan, Luther. Ru-rumah saya ya-yang gerbang e-emas," ujar Petunia masih duduk di jok belakang. Dengan malas, Luther melirik ke belakang, jarak rumah yang dimaksud Petunia terlewat dua rumah saja. "Cuma kelewatan dua rumah aja, kali. Jalan kaki kan, bisa," ucap Luther bernada ketus. "Sini helmnya, aku nggak mau biarin pacarku menunggu lama." Mendengar nada tak bersahabat Luther, Petunia pun turun dari motor. Setelah menerima helm tersebut, Luther langsung memacu motornya secepat mungkin. Bagaimana mungkin dia membiarkan pacarnya menunggu untuk
"Dasar curang, pakai senjata. Dikeluarkan, kan, dari geng! Huu!" kesal Yonna saat laki-laki yang menusuk Gun baru saja dikeluarkan dari gengnya, ditinggalkan oleh ketua. Meski geng itu adalah musuh dari Geng SP*RM—geng Gun dan kawannya—tetapi Yonna senang karena penusuk itu tidak mendapat dukungan dari mana pun. "Kalau aku jadi Song, sudah kutusuk-tusuk itu dada si pecundang. Selalu aja pakai senjata." "Beruntung Song masih ingat pesan Gun, kalau laki-laki berkelahi sampai ada yang menang bukan membunuh." "Oh, iya! Ngomong-ngomong soal membunuh, pas pulang dari toko roti, kau sempat nggak lihat ada yang saling bacok?" tanya Malilah mengingat pembicaraan Ayahnya di telepon. Yonna mendesah berat, "Nggak lihat aksinya, cuman sisanya. Asli, Lil, sampai muntah aku lihatnya." "Aku juga sempat mual waktu lihat postingan di media sosial,
Luther mengobrak-abrik isi tas pinggangnya, mengambil obat pereda pusing yang selalu dia bawa. Menyerahkan satu butir obat ke Yonna, lalu dibiarkannya gadis itu meneguk bersama air mineral yang tersedia di meja. Luther selalu berusaha menjadi pacar yang baik juga siaga, jangan terkejut bila suatu saat nanti akan ada adegan di mana Luther mengeluarkan pembalut wanita dari dalam tasnya. Bahkan Luther juga menyiapkan obat pereda nyeri haid, apabila dia mendapati Yonna kesakitan karena haid saat berada di luar. Karena jika Yonna merasakan nyeri ketika di rumah, Luther lebih menyarankan untuk mengompresnya dengan air hangat, dan banyak meminum air putih. "Aku nggak bisa meminta kamu buat berhenti memikirkan masalah ini, bagaimanapun semua itu berada di sekeliling mu. Aku juga nggak bisa bantu menyelesaikan, karena ini terjadi di dalam keluarga kalian. Aku orang luar, yang beruntung menjadi pacar kamu, hanya bisa membantu menenangkan. Se
Helaan napas lolos dari bibir kecil Yonna. "Luther," panggil Yonna dengan suara kecil. "Iya?" Luther memindahkan segala atensinya kepada Yonna. "Kapan masalah Mama sama Ayah selesai?" Mengerti arah pembahasan tersebut, Luther menggeser tubuhnya agar semakin dekat dengan pacarnya. "Aku nggak yakin kapan, yang pasti secepatnya. Tante sama Om juga nggak pernah mau menyentuh keadaan ini, 'kan?" "Secepatnya, ya? Kapan itu secepatnya? Enam bulan lagi? Satu tahun? Atau sampai hubungan mereka benar-benar berakhir?" "Sstt... Jangan ngomong kaya gitu, doakan aja semoga cepat ditemukan jalannya." "Aku capek, Luther. Aku kangen ngobrol bareng mereka, nonton tv ramai-ramai, kursi meja makan lengkap terisi, liburan bersama. Aku kangen semua itu, Luther. Suasana sekarang jauh lebih sesak. Iya, Mama masih peduli, Ayah kadang nanya kab