Sepanjang perjalanan mereka menuju kediaman keluarga Dewangga. Kamila hanya diam membisu, di sampingnya ada Arfin yang sudah tertidur pulas. Perjalan mereka membutuhkan waktu satu jam, dan ini pertama kalinya Kamila keluar dari kampung halamannya menuju pusat kota. Kamila yang hendak memejamkan mata langsung tersentak ketika suara bariton memanggil namanya.
“Nona Kamila, sudah sampai. Anda bisa mengikuti saya.” Bimo berujar sopan.
Kamila mengangguk gugup, lalu membangunkan Arfin. Ia mengikuti langkah Bimo dalam keheningan, sementara Aron sudah melangkah lebar menuju rumah yang terlihat lebih besar dari yang lainnya.“Kakak, rumah ini sangat besar dan luas! Apakah kita akan tinggal di sini?” Kamila hanya tersenyum tipis sembari mengusap sayang kepala sang adik.
Ia melihat lagi bangunan kokoh di hadapannya, walau Kamila begitu kagum, tapi sebisa mungkin ia menyembunyikannya. Mungkin ini adalah rumah termegah di kota ini, udara di sekelilingnya juga sangat menyejukkan. “Ini adalah rumah bagian selatan, dan Anda akan tinggal di sini. Setelah pernikahan Anda dengan Tuan Aron terlaksana, baru akan dipindahkan ke rumah utama.” Bimo menjelaskan sembari menunjuk objek yang dimaksud.“Apa di sana ada semua keluarganya, Tuan Aron?” Kamila tak tahan ingin bertanya.“Tidak, kediaman utama hanya diisi kedua mertua Anda serta Tuan Aron.” Bimo tersenyum simpul. “Anda lihat bangunan megah di seberang rumah ini?” Kamila mengangguk seraya mengikuti arah pandang Bimo. “Itu adalah rumah para sepupu, Tuan Aron.”
Kamila mengusap tengkuknya yang tak gatal, ternyata keluarga Dewangga hidup berdampingan. Ia gugup sendiri membayangkan ketika akan bertemu mereka semua. “Baiklah, saya pamit undur diri. Anda bisa langsung masuk untuk membersihkan diri, dua jam lagi Tuan Aron akan kemari.” Kamila membuka mulutnya, lalu mengatupkannya secara perlahan, tangannya saling meremas gugup. “Apa ada yang Anda butuhkan?” tanya Bimo setelah melihat gelagat aneh Kamila.“Em, itu … soal pakaian saya—” “Anda tidak perlu khawatir, semuanya sudah disiapkan oleh pelayan,” jelas Bimo. Kamila tersenyum tak enak, lalu mengucapkan terima kasih. Setelahnya pria itu pun berlalu pergi, Kamila menghebuskan napas berat. Ia berharap ini adalah keputusan yang tepat, dan semoga kehidupannya ke depan akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Selang tiga puluh menit, Kamila sudah membersihkan tubuhnya dan berpakain rapi, ia melihat sekitar rumah yang ditempati. Menurutnya ini terlalu besar untuk ia tempati berdua dengan sang adik, Kamila melihat ke arah luar jendela kamarnya, terdapat hamparan kebun apel yang memanjakan mata. Ia melangkah menuju kasurnya, melihat sang adik yang tertidur pulas. Arfin mengeluh pusing karena tak terbiasa menaiki kendaraan roda empat. Untung saja sang adik tidak muntah di dalam limousine mewah itu. Suara ketukan mengalihkan atensinya, ia bergegas membuka pintu kamarnya. Dan menemukan Aron yang sedang bersedekap dada. “Selamat siang, Tuan,” sapa Kamila sopan, Aron hanya menaikkan sebelah alisnya sebagai respon, lalu melangkah masuk ke dalam sebelum dipersilahkan. Ia mendudukkan bokongnya pada sofa yang tersedia, sesekali melihat keadaan sekitar. “Bagaimana? Ini berkali-kali lipat dari kandang sapimu, bukan?” sindir Aron dengan nada mengejek.Kamila mengernyit bingung. “Maaf, Tuan Aron. Tapi saya tidak memelihara sapi.”Sudut bibir pria itu berkedut menahan geli, ia berdehem singkat sebelum memasang wajah penuh ejekan. “Rumahmu itu tak lebih dari kandang sapi. Bahkan kandang kuda saya jauh lebih bersih dan terawat.” Kamila menggigit bibir bawahnya kuat, wajahnya memerah mendengar perkataan pedas Aron yang tanpa dosa. Mulut pria itu memang tajam, belum lagi wajah tampannya terlihat menyebalkan ketika menghina seseorang.“Jadi, saya harus apa setelah ini?” Kamila mengalihkan pembicaraan, walau dalam hati bersungut-sungut.
Aron menyerahkan map yang ada di tangannya pada Kamila. “Baca dan pahami.”Gadis itu mengangguk pelan sembari mengikuti instruksi dari Aron. Namun, wajah Kamila berubah pias kala membaca poin-poin yang terdapat pada lembaran kertas putih itu.“Melahirkan seorang keturunan, Dewangga,” ucapnya dengan napas tercekat.” Tid–tidak boleh saling mencintai, dan—jika tak kunjung hamil dalam waktu satu tahun, segera angkat kaki dari kediaman, Dewangga ….” Tanpa sadar tangan Kamila bergetar, ia menatap Aron tak percaya. “A–apa maksudnya, Tuan? Bukankah saya begitu dirugikan dalam perjanjian ini?”
Aron terdiam sejenak, ia cukup tercengang dengan gadis muda di hadapannya. Sejak awal gadis ini terlalu berani, bahkan menatap matanya secara langsung dan menentang perintahnya. “Mendiang Kakek saya hanya menyuruh menikahimu, tapi saya yang akan menjalaninya. Dan itu adalah perjanjian yang saya buat, jika kau keberatan—” Aron tersenyum miring, mencoba mempengaruhi lawan bicaranya. “Maka detik ini juga saya pulangkan, dan kau akan menikah dengan rentenir mesum itu,” lanjutnya penuh ancaman.Kamila meremas kuat map yang ada di tangannya, pria di hadapannya ini seolah-olah tahu segala hal yang menyangkutnya. Entah sebesar apa koneksi seorang Aron Dewangga, dan Kamila tentu sangat bodoh jika ingin melawannya.“Hutang kedua orang tuamu sudah saya lunasi, dan seperti yang saya janjikan di awal, kau akan hidup lebih baik dari sebelumnya. Adikmu juga akan mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik.” Aron kembali memprovokasi, walau sejujurnya ia bukanlah orang yang tak sabaran.
Sedangkan Kamila menundukkan kepala, begitu banyak kemungkinan-kemungkinan yang bersarang dalam pikirannya. Ia menghembuskan napas berat sebelum menatap lurus pada, Aron.”Baik, saya setuju,” ucapnya mantap. Demi kehidupan adiknya yang lebih baik lagi, makan Kamila akan melakukan apa pun.Aron menaikkan sudut bibirnya—puas, lalu bangkit dari duduknya. “Ayo, ikuti saya ke rumah utama.” Kamila mengangguk gugup, ia menunduk sembari mengikuti langkah lebar, Aron. Sepanjang koridor yang dilewati, ia tak berani mengangkat wajahnya, Kamila begitu segan melihat para pekerja yang berlalu lalang dan sesekali berbisik-bisik. “Akh!” Gadis itu meringis kala kepalanya terbentur sesuatu yang keras, ia mendongak, seketika itu juga matanya membelalak saat Aron sudah berdiri di hadapannya. Jadi, yang ia tabrak adalah dada pria itu! Kamila menelan ludah susah payah, tanpa sadar atensinya meneliti dada bidang sang empu. “Mau sampai kapan kau berdiam diri dan memikirkan tentang hal mesum, ayo ke dalam. Ayah dan Ibu saya tidak suka menunggu,” tukas Aron telak.Wajah Kamila seketika merona karena ketahuan mengamati dada bidang, Aron. Gadis itu mengangguk seraya mengangkat kepalanya, secara perlahan kaki mungilnya memasuki ruangan yang begitu megah nan elegan. Ditambah lagi dengan furniture berbahan dasar kayu gaharu, semakin menambah kesan mahal.“Beri salam pada Ibu dan Ayah,” titah sang tuan muda. Kamila langsung mengalihkan atensinya pada pasangan paruh baya yang begitu serasi, pantas saja Aron begitu tampan. Ternyata kedua orang tuanya sangatlah elok nan rupawan. “Se–selamat siang, Nyonya Dona, Tuan Tama.” Kamila menundukkan kepalanya, tangannya meremas ujung bajunya—gugup.Wanita cantik dengan bibir merah merona itu menyorot Kamila tajam, raut angkuh dan tegasnya membuat siapa pun akan segan. “Angkat kepalamu, jika ingin menjadi bagian dari keluarga Dewangga, jangan pernah sekali-kali menunduk!”Wanita cantik dengan bibir merah merona itu menyorot Kamila tajam, raut angkuh dan tegasnya membuat siapa pun akan segan. “Angkat kepalamu, jika ingin menjadi bagian dari keluarga Dewangga, jangan pernah sekali-kali menunduk!”Kamila tergugu, ia langsung mengangkat kepalanya, menatap tepat pada Dona. Sang nyonya besar di rumah ini. “Ba–baik, Nyonya.” “Berapa usiamu?” tanya Tama, meneliti gadis muda di hadapannya itu. Kini atensi Kamila beralih pada pria paruh baya yang begitu mirip dengan Aron. “Sembilan belas tahun, Tuan.”Aron berdeham melihat kedua orang tuanya yang saling melirik satu sama lain. “Apa kau sedang melanjutkan pendidikan saat ini?” balas Tama. Pancaran matanya terlihat ramah kala menatap Kamila.“Tidak, Tuan. Saya seorang pedagang dan buruh cuci.” Hening, tak ada yang membuka suara kembali. Kamila juga mulai merasakan atmosfer tak enak di sekelilingnya. Benar saja, firasatnya memang tak pernah salah tatkala nyonya besar di rumah ini melayangkan protes pedas. “Menga
Aron yang sudah mendekatkan wajahnya pada Relin menjadi terhenti tatkala mendengar anda lirih itu, ia menoleh dan menemukan Kamila yang menatapnya kaku. “Aron, lepas. Istrimu melihatnya.” Relin mencoba melepaskan diri, tapi semakin kuat pula dekapan Aron pada pinggang rampingnya. “Diam, Sayang. Aku akan mengusir gadis kampung ini terlebih dahulu.” Aron berkata penuh penekanan. Netranya menyorot gadis muda di depannya dengan amarah berkobar, seolah mengatakan tak suka kegiatannya diganggu. “Kembali ke kediamanmu sekarang, atau kau akan menerima akibatnya!” titah Aron kasar. Kamila meremas kedua tangannya gugup, ia seharusnya berlari menjauh ketika melihat aura kemarahan dari sang tuan muda. Namun, kakinya seperti jelly. Pun dengan jantungnya yang sedari tadi berdegup begitu kencang, ia tergugu tak bisa mengeluarkan suara. “Aron … lepaskan dulu, aku akan menjelaskannya pada Kamila, agar tidak terjadi kesalahpahaman.” Relin menangkup wajah tampan sang kekasih, tak lupa diselingi senyu
Tubuhnya terasa dibelah dua, seluruh tenaganya sudah terkuras habis. Napas gadis—yang sudah menjadi wanita itu terengah, suaranya pun serak akibat teriakan dan rontaan akibat ulah sang tuan muda. Harta satu-satunya yang ia jaga sudah direnggut secara paksa, Kamila tak menyangka jika Aron benar-benar mengambil haknya malam ini, tak peduli tangisan pilu dengan suara sengau meminta ampun itu. Aron Dewangga, tetaplah seorang penguasa dalam hidup Kamila mulai sekarang.Kamila menangis dalam diam seraya menarik selimutnya, ia begitu mati rasa sekarang. Seluruh tubuhnya terasa luluh lantak. “Berhenti menangis, dan sekarang bersihkan dirimu, karena besok pagi adalah hari pertamamu sebagai pelayan di kediaman utama.” Setelah mengatakan itu, Aron berlalu pergi. Meninggalkan Kamila yang masih menangis pilu. Keesokan harinya, Kamila dikejutkan oleh tepukan pada pipinya, ia membuka mata perlahan. Senyuman manis dari adik satu-satunya adalah hal yang pertama ia lihat. “Arfin,” ucapnya serak. “Ka
Satu minggu kemudian, Aron sudah mulai mengajar. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kelas, lalu melangkah menuju ruang dosen. Para mahasiswi yang melihatnya hanya mampu memekik dari jauh, mereka tak berani mendekat pada keturunan Dewangga itu. Di kelas saja seramnya bukan main, belum lagi nada dingin serta tatapan tajamnya yang membuat nyali menciut. “Ar, kau sudah selesai mengajar?” Aron menoleh, melihat ke arah sahabatnya yang mantap padanya. “Sudah,” jawabnya singkat.“Kau langsung ke perkebunan setelah ini? Aku dengar-dengar ada panen anggur yang akan dibawa ke luar kota.” tanya Erza. Selaku rekan dosennya sekaligus sahabat Aron sendiri. “Ya.” Aron membereskan meja kerjanya, diikuti oleh Erza. “Kenapa kau juga ikut beres-beres?” Erza menyengir, lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Aku ikut.” Aron tak merespon, ia dengan cepat keluar dari ruang dosen menuju parkiran, dan sudah disambut oleh Bimo. “Hai, Bim. Kau semakin tampan saja, walau aku lebih tampan.” Bimo hanya t
Kamila meregangkan ototnya, ternyata jadi pelayan di rumah orang kaya tak seindah yang ada di kepalanya. Dari pagi ia bekerja tanpa henti, belum lagi melayani sang tuan muda. Wanita itu mengalihkan atensinya pada dapur yang mewah ini, terdapat meja makan untuk para pelayan. Kamila mulai menyendok nasi putih serta mengambil satu potong ayam, ketika hendak memulai menyantapnya, terdengar suara pelayan yang memasuki dapur. Ia tersenyum kecil seraya menawarkan, tapi tak ada tanggapan. Justru pelayan itu bersedekap dada sambil menatapnya sinis. “Enak sekali kau, saya saja yang senior di sini belum makan siang!” sindir wanita itu.Kamila menaruh kembali sendoknya, ia meremas kedua tangannya gugup. Perutnya perih karena belum sarapan. “Saya … saya minta maaf, tadi saya sudah izin sama Bibi Atika, dan diperbolehkan untuk makan siang terlebih dahulu.” Wanita itu mendengkus sinis, terlihat sekali ia tak menyukai keberadaan Kamila di sini. “Pantas saja kau berani membalas ucapan saya! Ternyata
“Relin!” seru Aron keras, pria itu langsung menggendong Relin ala bridal style menuju kamar tamu. “Bimo! Telepon Dokter Meyda sekarang!” teriaknya kembali ketika melihat eksistensi Bimo yang mengikutinya. “Baik, Tuan muda.” Pria tiga puluh lima tahun itu berujar tegas seraya mengikuti instruksi dari Aron.Sedangkan para pelayan yang sejak tadi berbaris di depan pintu dapur sontak saja langsung pucat pasi, apalagi yang kebagian masak untuk hidangan malam ini. “Atika! Kumpulkan para pelayan yang bertugas menyajikan makan malam!” titah Dona tegas. “Siap, Nyonya!”Sementara Panji, mengikuti langkah Aron tergesa-gesa, ia yang sebagai suaminya Relin saja kalah sigap dengan Aron, padahal mereka duduk bersebelahan. Tiba-tiba rasa cemburu menyusup dihati Panji, tapi ia segera menepisnya. Karena ini bukanlah momen yang pas untuk memikirkan hal itu. “Kamila, tunggu!” Kamila yang akan menaiki undakan tangga menjadi terhenti, ia menoleh pada ibu mertuanya. “Iya, Ib—Nyonya,” jawabnya gugup, unt
Wanita paruh baya itu terkejut bukan main, begitu pula para pelayan yang ada di sana, termasuk Kamila. Atika membungkuk meminta maaf pada Aron, lalu mengangkat wajahnya dan menunjuk ke arah samping pria itu. “Kamila, Tuan. Dia yang mengolah bagian lauk pauk." Kamila tersentak, ia menatap Atika dengan tatapan tak percaya. “Bibi, apa maksudmu mengatakan semua ini? Bukankah saya hanya membantu pelayan yang lainnya, dan itu karena instruksi dari Bibi Atika sendiri?” balasnya cepat, tak ingin Aron salah paham.“Sama saja, kau membantu di dapur juga, Kamila. Bahkan kau sendiri yang menyelesaikan masakannya, ” kelit Atika tak mau kalah.Kamila tergugu, perasaan kecewa yang dirasakan membuatnya sesak, ia tak menyangka wanita yang dikira baik ternyata sama saja dengan pelayan yang lainnya. Kamila ingin menangis meraung, ia seperti dijebak. “Sudah cukup, kini giliran kalian yang memberi kesaksian. Apakah benar yang dikatakan Atika?” Aron beralih pada tiga pelayan yang memang bertugas memasak d
Sekitar pukul lima pagi, Kamila dikejutkan oleh seseorang yang masuk pada gudang kosong itu, pria berbadan kekar itu menyuruhnya untuk kembali ke kediamannya atas perintah dari Aron. Kamila dengan cepat pergi dari tempat pengap yang membuatnya tak tidur nyenyak semalaman, setelah sampai di kediamannya, ia segera mandi dan bersiap-siap untuk membuatkan Arfin sarapan, lalu bergegas menuju kediaman utama. Ia tak mau membuat kesalahan, takut Aron kembali menghukumnya. “Selamat pagi, Nyonya Kamila.” Kamila yang sudah sampai dapur dikejutkan oleh sapaan Atika, wanita itu terdiam dengan tatapan lurus pada kepala pelayan di hadapannya. Setelah membuatnya tak tidur tenang semalam, serta dilanda ketakutan setiap saat. Dan bisa-bisanya Atika bersikap seolah tak terjadi apa-apa? Kamila menggeleng tak percaya, apa ia dianggap sebuah lelucon?Kamila hanya mengangguk, sekarang ini ia tak percaya siapa-siapa lagi. Kamila dan adiknya hidup tenang itu sudah lebih dari cukup. “Nyonya Kamila, Anda ja