"Mas Rian!" teriak Yuan ketika melihat layar ponsel yang menyala.
Riana yang terkejut pun bergegas menghampiri Yuan. Dia meneliti sang kakak ipar untuk mengetahui apakah ada hal yang salah. Namun, tawa Riana pecah ketika Yuan memperlihatkan layar ponsel kepadanya.
Di sana terlihat sebuah nama dengan foto wajah Rian. Deretan huruf itu membentuk kata 'My Hubby'. Ya, Rian sedang melakukan panggilan suara.
Akan tetapi, Yuan yang masih kesal hanya membiarkan panggilan tersebut. Dia meletakkan ponsel ke atas meja begitu saja. Perempuan tersebut mendaratkan bokong ke atas sofa, begitu juga dengan Riana.
"Kamu kayaknya udah move on dari Mas Andri, ya? Baru semalam malam pertama sama Mas Rian, nama kontaknya udah berubah aja!" seru Riana seraya mencubit pelan lengan atas Yuan.
"Dih, mana ada? Aku aja nggak pernah simpan nomor Mas Rian! Ini pasti ulah masmu itu!" tebak Yuan seraya mendengkus kesal.
"Apa? Jadi kamu nggak nyimpan nomor Mas Rian dalam ponselmu? Keterlaluan banget!" Riana melipat lengan sambil menyipitkan mata.
"A-aku simpan, kok! Tapi, di ponsel Sinta." Yuan tersenyum konyol seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Dasar istri durhakim!"
Perdebatan antara Yuan dan Riana berhenti ketika pintu kantor terbuka lebar. Rian berdiri di ambang pintu sambil menyandarkan lengan atasnya pada kusen. Dia tersenyum lebar seraya melambaikan tangan ke arah Riana.
"Halo, Sayang! Baru beberapa jam, tapi rasanya aku sangat rindu!" Rian membentuk hati kecil menggunakan jempol dan telunjuk, lalu ditunjukkan kepada Yuan.
"Saranghaeyo!" seru Rian menirukan adegan ala drama Korea.
Yuan dan Riana melongo detik itu juga. Tak lama berselang lelaki tersebut menyugar rambut, kemudian berjalan ke arah Yuan. Dia mengulurkan tangan, tetapi Yuan tidak menyambutnya.
"Kamu itu suka drakor, tapi kenapa terlihat kesal ketika mendapat perlakuan manis dariku yang mirip oppa Korea ini?" Rian berdecap kesal kemudian meraih tangan Yuan dan mengecupnya secara paksa.
"Ih, kamu ngapain sih, Mas? Malah bikin aku zizik!" seru Yuan seraya menghapus bekas ciuman Rian di telapak tangan menggunakan tisu.
"Ayo, kita berangkat sekarang! Pihak sekolah sudah memberitahu kalau Sinta pulang sebentar lagi!" Rian melirik arloji yang melingkar pada pergelangan tangannya.
Mau tak mau Yuan pun berkemas. Dia berpamitan kepada Riana kemudian berjalan berdampingan bersama Rian. Rian membukakan pintu mobil untuk Yuan dan perempuan tersebut langsung masuk tanpa protes.
Perempuan tersebut sudah malas menghabiskan energi untuk kesal kepada sang suami. Dia lebih memilih diam dan tidak menanggapi ucapan Rian dengan serius. Sepanjang perjalanan Yuan hanya diam karena merasa kesal terhadap sang suami.
Yuan kesal karena Rian sudah mengganti gambar layar ponsel miliknya dengan foto lelaki itu tanpa izin. Belum lagi Rian yang menyimpan nomornya dengan nama yang menurut Yuan berlebihan. Ketika mengingat itu semua membuat Yuan semakin sebal.
"Kenapa cemberut?" tanya Rian ringan seraya tersenyum lebar.
"Nggak apa-apa!" seru Yuan ketus.
"Kamu masih kesal karena aku mengganti gambar layar dan menyimpan nomor ponselku dengan nama manis itu?" Rian terkekeh seraya melirik Yuan melalui ekor mata.
"Menurutmu? Sudahlah, Mas! Jangan bahas ini lagi! Bikin aku semakin kesal saja!" bentak Yuan sambil mengerucutkan bibir.
Rian tersenyum kecut. Kali ini dia ingin membuka mata Yuan. Dia ingin mengingatkan sang istri bahwa dia adalah suami sahnya sekarang.
"Begini, Yuan. Aku memang tidak bisa mengontrol hatimu. Aku tahu betul kamu masih mencintai adikku. Tapi, bukankah kita sekarang suami istri?" Rian kembali melirik Yuan yang masih diam tak menanggapi.
"Aku tidak menuntut lebih untuk saat ini. Aku melakukannya agar kamu mau memberikanku kesempatan. Aku tidak menuntutmu untuk melupakan Andri. Aku melakukan semua itu agar kamu sadar bahwa suamimu yang sekarang adalah aku, bukan Andri."
Jantung Yuan seakan berhenti berdetak. Entah mengapa mendengar semua perkataan Rian membuat hatinya begitu nyeri. Dia seperti mengalami dejavu.
Ya, Yuan pernah merasakan apa yang kini dialami oleh Rian. Menjadi pengantin yang tidak dianggap. Namun, Yuan memilih untuk menutup mata untuk saat ini.
Melihat Yuan hanya diam dan malah membuang muka membuat Andri mengembuskan napas kasar. Lelaki itu memilih untuk diam untuk sementara waktu. Sesampainya di sekolah Sinta, Yuan langsung keluar dan menunggu sang putri sambil bersandar pada badan mobil.
"Bunda!" seru Sinta dan Arjuna bersamaan.
Yuan berjongkok sambil merentangkan kedua tangannya. Dua bocah TK tersebut berlari dan masuk ke dalam pelukan Yuan. Setelah itu, Yuan membuka pintu penumpang dan keduanya masuk ke dalam.
Perjalanan pulang kali ini terlihat begitu meriah. Sinta dan Arjuna saling sahut dan melemparkan lelucon. Mereka secara bergantian menceritakan apa yang terjadi di kelas.
Yuan dan Rian menikmati semuanya sampai tidak terasa tiba di rumah. Ketika Yuan membantu Sinta dan Arjuna berganti pakaian, Rian dipanggil oleh Anton. Lelaki itu masuk ke dalam ruang kerja sang ayah dan memilih untuk duduk di sofa.
"Kenapa nggak ambil cuti saja." Anton beranjak dari meja kerja kemudian duduk di samping Rian.
"Nggak, Pak. Rian mau fokus belajar dulu di rumah sakit. Ada beberapa hal yang bisa aku tangani untuk sarana belajar. Sayang kalau dilewatkan."
"Aku rasa liburan lima hari tidak akan membuat urusan rumah sakit kacau, Ian." Anton menyodorkan sebuah amplop kepada Rian.
Rian mengerutkan dahi ketika menerima amplop tersebut. Lelaki itu perlahan membuka benda tersebut. Di dalamnya terdapat dua buah tiket pesawat, serta struk pemesanan kamar hotel bintang lima yang ada di Bali.
"Apa ini, Pak?" tanya Rian berusaha mencerna apa maksud dari sang ayah.
"Hadiah dari bapak. Besok berangkatlah ke Bali bersama Yuan."
"Apa? Kenapa mendadak sekali, Pak?" tanya Rian.
"Sudah, sama berangkat dan takhlukkan Yuan dalam lima hari! Perempuan hanya butuh perhatian lebih. Terus curahkan perhatian dan tunjukkan kasih sayangmu kepadanya. Lambat laun, hatinya yang membeku akan mencair." Anton memberi nasehat kepada sang putra, lalu menepuk bahunya.
Semangat Rian mendadak bangkit. Dia mengantongi dukungan dari orang-orang sekitar. Sekarang tugasnya tinggal satu, yaitu meluluhkan hati Yuan.
"Baiklah, terima kasih, Pak. Doakan saja Rian segera bisa meluluhkan hati Yuan dan memberikan Bapak cucu lagi." Senyum Rian mengembang dan mendapatkan angguk kepala dari dang ayah.
Rian pun berpamitan dan kembali ke kamarnya. Malam itu, Rian memutuskan untuk tidur di kamarnya sendiri. Dia tidak mau punggungnya patah karena kembali didorong oleh sang istri dari atas ranjang.
Semalaman Rian tidak bisa tidur, dia memikirkan cara untuk membawa Yuan ke bandara tanpa perlawanan. Ayam jantan mulai berkokok bersahutan. Rasa kantuk kini menyerang Rian.
Di antara rasa kantuk itu, sebuah ide cemerlang muncul. Rian menjentikkan jari dan matanya kembali segar. Lelaki tampan tersebut langsung menyiapkan koper dan memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya.
"Maaf, Yuan! Semoga kali ini kamu bisa mengerti dan mau membuka hati untukku." Rian tersenyum tipis sambil menutup rapat koper yang sudah terisi penuh.
Rian langsung bangkit menemui Drini yang sedang ada di dapur. Dia pun akhirnya mengungkapkan rencananya kepada sang ibu. Drini pun langsung menyetujui dan mendukung rencana Rian.Tak lama kemudian, Yuan keluar dari kamarnya bersama Sinta. Sinta langsung berlari ke ruang tengah untuk bermain bersama Arjuna, sementara Rian memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan mandi.“Yuan bantu, Bu,” ucap Yuan “Baiklah, terima kasih, Sayang!”Aroma masakan kini menguar di seluruh penjuru dapur. Perempuan yang dulunya tidak bisa memasak itu, kini semakin rajin belajar masak sejak kehadiran Yuan di rumah itu. Terlebih lagi ketika cucunya mulai lahir.Setelah menyelesaikan masakannya, Yuan menghidangkan makanan ke atas meja. Perempuan tersebut berteriak ke arah ruang tengah, di mana Sinta dan Arjuna sedang bermain. Dua bocah kecil itu langsung berlari menuju meja makan.Setelahnya itu Rian, Anton, dan Riana menyusul dan bergabung di meja makan. D
Bab 7. Banjir!Rian terbelalak ketika membuka pintu rumahnya. Banjir ternyata datang dengan arus yang sangat deras. Air itu terus naik mengikuti langkah kakinya yang terus mundur. Rian berlari sampai naik ke lantai rumah, tetapi air terus bertambah tinggi. Dalam pandangannya, atap rumah terbang karena angin. Tak lama kemudian air dari langit langsung turun dan membasahi tubuh Rian."Banjir!" teriak Rian histeris saat merasa air hujan membasahi tubuhnya.Yuan melongo melihat sang suami yang sedang mengigau. Antara rasa kesal dan geli bercampur menjadi satu. Dia kali ini memercikkan air ke wajah Rian agar lelaki itu segera terbangun dari tidurnya."Banjir!" Kali ini Rian langsung terduduk seraya mengusap wajah yang basah karena ulah sang istri.Rian bengong sejenak untuk kembali mengumpulkan kesadaran. Dia perlahan menoleh ke arah Yuan. Perempuan tersebut tengah berkacak pinggang seraya menatapnya tajam."Banjir, banjir!
Yuan terbelalak saat melihat pemandangan yang ada di dalam koper. Tidak ada baju layak pakai di sana. Hanya ada beberapa baju tidur seksi serta pakaian dalam."Bagaimana aku bisa memakai ini semua? Mas Rian benar-benar gila!" Yuan mengembuskan napas kasar berulang kali.Semua emosi seakan berkumpul di hidung Yuan. Jika digambarkan sekarang hidung Yuan tidak hanya mengeluarkan karbon dioksida, melainkan seperti naga yang tengah mengembuskan napas api. Dia mengira kalau Rian adalah tersangka dari semua kekacauan ini."Mas Rian!" teriak Yuan penuh amarah.Yuan pun berjalan ke arah nakas. Di atas meja kecil itu terdapat tas yang biasa dia pakai. Yuan mengobrak-abrik isi tasnya untuk mencari ponsel.Namun, Yuan tidak menemukan ponselnya di sana. Yuan justru mendapati ponsel Sinta yang ada di dalam tasnya. Tidak ada uang tunai, kartu ATM, bahkan aplikasi perbankan dalam ponsel Sinta.Rencana Yuan yang ingin kabur dari Bali
Yuan mengerutkan dahi ketika menatap kantong plastik hitam yang dia genggam. Dia melirik curiga ke arah Rian dan kantong itu secara bergantian. Namun, perempuan tersebut berusaha menepis semua kecurigaannya kepada Rian.Ketika membuka bungkusan itu, Yuan menautkan kedua alisnya. Dia mengeluarkan isi dari kantong plastik tersebut. Sebuah daster berbahan kain rayon dengan motif bunga semboja terlihat begitu cantik."Aku nggak tahu pakaian seperti apa yang kamu sukai. Aku juga tidak suka warna kesukaanmu. Jadi, aku hanya bisa mengira-ngiranya dan membelikan daster itu untuk kamu." Rian membuang pandangan seraya mengusap leher bagian belakangnya.Yuan tersentuh mendengar pengakuan Rian. Suaminya itu sedang berusaha memperhatikannya. Rasa bersalah kini bergelayut di hati Yuan."Terima kasih, Mas. Aku pakai, ya? Habis ini kita bisa jalan-jalan dan cari makan."Yuan tersenyum dan mulai melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Dia bergant
Rian segera berlari ke arah Yuan. Dia melompat kemudian memeluk tubuh sang istri. Melindungi kepala Yuan menggunakan kedua telapak tangannya.Keduanya pun akhirnya ambruk ke atas aspal. Mereka sempat bergulung beberapa kali, lalu berhenti tepat di depan lampu samping restoran Korea. Tak lama berselang terdengar dentum keras dari ujung jalan.Motor yang hampir menabrak Yuan kini menumbuk gapura. Saat mendengar suara keras itu Yuan langsung menangis histeris. Dia membayangkan bagaimana kondisinya jika benar-benar tertabrak motor tersebut."Sudah, nggak apa-apa. Aku ada di sini. Mengislah agar lebih lega. Tapi, ingatlah, Yuan. Aku selalu ada untukmu di sini." "A-aku takut, Mas. Hampir saja aku tertabrak. Jika saja Mas Rian nggak ...." Rian memotong ucapan Yuan."Sssttt, jangan bicara seperti itu. Sekarang semuanya sudah baik-baik saja." Rian membelai lembut rambut panjang sang istri.Mereka berdua perlahan bangkit. Rian
"Mari kita bersenang-senang malam ini, Sayang!"Yuan langsung terbelalak ketika mendengar suara asing yang menyapa telinganya saat ini. Lelaki yang sedang mendekapnya kini melonggarkan pelukan. Yuan pun berhasil mendongak.Mata Yuan langsung membola karena mengetahui orang yang sedang mendekapnya. Dia adalah Burhan, mantan kekasih Yuan sekaligus mantan suami Riana. Yuan mendorong dada bidang Rian sekuat tenaga.Namun, tubuh Burhan layaknya batu karang. Saat Yuan berusaha mendorong tubuhnya menjauh, Rian tidak bergeser sedikit pun. Kondisi Yuan sekarang ini kacau karena ada sesuatu dalam dirinya terus bergolak."Lepaskan aku, Bajingan!" seru Yuan."Ayolah! Cuma malam ini! Toh, kamu sudah menjanda, kan?""Matamu! Aku sudah menikah dengan orang lain lagi!" Yuan mengangkat kakinya kemudian menginjak jempol kaki Burhan sekuat tenaga.Akhirnya Burhan melepaskan pelukannya. Yuan pun memanfaatkan kesempatan ini unt
"Maaf." Rian langsung memasukkan Yuan ke dalam bak mandi. Yuan menyilangkan kedua lengannya di depan dada. Melihat tingkah Yuan membuat Rian menyeringai. Dia mencondongkan tubuh untuk mendekati Yuan. "Mundur! Kamu jangan ambil kesempatan, Brengsek!" umpat Yuan dengan tatapan tajam kepada Rian. Rian terkekeh, kemudian mengangkat lengan. Tiba-tiba dia menyentil dahi Yuan menggunakan jari tengahnya. Yuan pun mengaduh seraya mengusap jidat yang sedikit merah. "Apa yang ada dalam pikiranmu?" Rian menjauh dari Yuan kemudian melipat lengan di depan dada. "Kamu berendam saja dengan air hangat. Aku akan pergi sebentar ke apotek untuk membeli obat sakit kepala. Pasti setelah ini kamu akan merasa pusing karena efek dari obat perangsang." “Obat perangsang?” Yuan mengerutkan dahi ketika mendengar kalimat yang keluar dari bibir sang suami. “Hem, aku melihat Burhan memasukkan sesuatu ke dalam gelap kopi yang dia bawa, lalu menukarkannya dengan milikmu.” “Astaga! Bagaimana aku bisa tidak menya
Rian merasa sedang tertangkap basah. Dia menelan ludah kasar dan bersiap untuk mendapatkan caci maki dari sang istri. Rian hanya diam dan terus mengamati pergerakan Yuan selanjutnya. Akan tetapi, setelah menunggu selama beberapa detik, Yuan tidak lagi bergerak atau berbicara. Justru Yuan kembali mendengkur. Rian akhirnya bisa mengembuskan napas lega. "Ternyata cuma mengigau! Dasar!" Rian tersenyum kecut dan mulai merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Rian memiringkan tubuh dan menggunakan lengannya sebagai bantalan kepala. Lelaki itu menatap lembut sang istri. Rasa cintanya kepada Yuan semakin meledak-ledak karena sikap baik yang ditunjukkan olehnya hari ini. "Semoga ini pertanda baik. Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Semoga besok tidak berubah pikiran, ya?" Rian tersenyum lembut, jemarinya membelai lembut puncak kepala Yuan, dan mulai memejamkan mata. Keduanya tidur bersebelahan tanpa ada kontak fisik. Rian berprinsip untuk tidak menyentuh Yuan dengan sengaja jika istrinya itu tidak