Dengan napas yang semakin tersengal, Monika berhasil memaksakan kakinya untuk tetap bergerak, menjauh dari para pengejarnya. Hanya lima meter lagi, dia akan sampai di jalan raya yang menjadi penghubung gang sempit ini dengan minimarket. Dia bisa berteriak meminta tolong nantinya. Ya, cara itu pasti efektif.
Sebuah tangan kekar berhasil mencengkeram pundak gadis cantik ini, membuat pergerakannya terhenti. Percobaannya untuk kabur gagal. Dia kalah cepat dari pria yang mengejarnya. Monika tertangkap.
"Lepas!" Monika meronta, berharap tenaganya cukup untuk memberikan perlawanan berarti.
"Amankan dia!" Teriak pria yang tampaknya adalah pemimpin orang-orang ini.
Tanpa menunggu waktu lama, pria yang berhasil menahan Monika kini mengangkat tubuh ramping itu di atas pundak seperti sekarung beras. Rontaan, teriakan, dan pukulan yang coba Monika lakukan, tak ada gunanya sama sekali.
Tubuh pria yang memanggul Monika begitu kokok, lebih keras dibandingkan samsak tinju. Perlawanan gadis itu tak membuatnya gentar sama sekali, justru langkahnya semakin mantap menuju mobil hitam yang terparkir di tepi jalan.
Tubuh ramping Monika terhempas di kursi belakang mobil edisi terbatas ini, menghantam jok hitam mengilat yang terlihat mahal. Hampir sama seperti mobil lainnya, hanya ada dua kursi di depan dan dua di belakang. Tapi, sekilas pandang saja sudah tahu bahwa kendaraan ini termasuk mewah dan elegan.
Pintu tertutup sempurna, membuat Monika tertahan di sana. Dia masih mencerna apa yang terjadi, mengamati keadaan sekitar demi menyelamatkan diri.
"Buka pintunya!" titah gadis 26 tahun ini sambil terus berusaha membuka pintu. Namun, teriakannya tak dihiraukan oleh pria yang ada di balik kemudi.
Bukannya menuruti permintaan Monika, pria itu justru menginjak pedal gas di bawah kakinya dalam-dalam. Mobil hitam berharga dua miliar lebih ini melaju dengan kecepatan tinggi, membuat tubuh Monika terpelanting ke belakang.
"Argghh." Monika memegangi kepalanya yang terbentur cukup keras. Dia tidak tahu apa salahnya sampai harus ada di situasi seperti sekarang ini. Siapa orang-orang ini? Kenapa mereka membawanya pergi dengan paksa?
"Duduk diam di tempat Anda, Nona! Jika tidak, ucapkan selamat tinggal pada dunia ini!" Suara dingin itu berhasil membuat Monika terhenyak. Dia takut dengan ancaman itu.
Kehidupannya terlalu berharga untuk ditinggalkan. Masih ada banyak mimpi yang harus dia perjuangkan, termasuk kisah cintanya bersama Sang Kekasih, Devan. Mereka akan menikah akhir tahun ini. Itu rencananya.
Monika duduk diam di tempatnya, mengamati jalanan di luar sana yang tampak asing baginya.
"Kita kemana?" tanya gadis bersurai kuning kecoklatan ini pada pria yang fokus dengan jalanan di depannya.
"Perusahaan."
Monika merutuk pria ini dalam hati. Dia tahu mereka akan pergi ke perusahaan tempat ayah kandungnya membuat masalah. Yang ingin dia ketahui, siapa yang akan dia temui untuk mengurus masalah itu.
"Nona akan mengetahui semuanya nanti."
Dan sisa perjalanan mereka berakhir dalam diam. Monika enggan bertanya karena pria ini pasti tidak akan menjawabnya.
Beberapa menit kemudian, mobil mewah berwarna hitam itu terhenti di pelataran parkir sebuah gedung pencakar langit. Monika segera digiring menuju lift khusus yang akan membawanya ke lantai paling atas gedung ini.
"Untuk apa kalian mengawalku? Aku tidak akan lari!" ketus Monika karena kelima pria ini berdiri mengelilinginya, seolah dia bisa lari kapan saja. Padahal itu tidak mungkin.
Tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab. Tubuh tegapnya bagaikan manekin, tak bergerak satu senti pun sejak mereka sampai di ruangan tak berpenghuni ini.
"Selamat datang, Nona Monika Alexandra." Sebuah suara terdengar menggema di ruangan ini, bersamaan dengan pengawalan kelima orang ini yang otomatis memudar. Mereka undur diri, menjauh dari Monika dalam keterkejutannya.
Netra sipit itu membola kala melhat pemandangan luar biasa di depan sana. Sebuah pintu terbuka lebar, menampilkan sesuatu yang membuatnya tak percaya.
Tubuhnya bergetar hebat saat itu juga. Hatinya mencelos, melihat sesosok pria yang sangat ia benci kini tergeletak di lantai dengan berbagai luka di tubuhnya. Darah yang mulai mengering terlihat di keningnya, mengalir melalui pelipis sampai ke samping wajahnya.
"PAPA!" teriak Monika, berlari menghampiri Jonathan Wu yang tengah sekarat. Bulir-bulir air mata itu tak terbendung lagi.
Sebesar apapun kebenciannya pada pria ini, tak bisa memusnahkan cinta kasih yang terhubung karena pertalian darah. Jauh di dalam lubuk hatinya, Monika menyayangi ayahnya.
"Monika, maafkan Papa," bisik pria itu. Suaranya lemah, hampir tak terdengar. "Maaf."
Detik berikutnya, mata itu terpejam. Nyawa Jonathan Wu telah meninggalkan raganya yang babak belur. Episode hidupnya telah berakhir hari ini, menyisakan luka dan lara di dalam hati Monika.
"Pa ...." Monika hampir tak bisa berkata-kata. Dia tidak bisa menerima fakta bahwa pria ini telah meninggalkannya, menyusul ibunya ke alam baka.
Tak ada yang bisa Monika lakukan. Dia memeluk tubuh ayahnya yang mulai terasa dingin ini dan berharap semua hanya mimpi.
"Hapus air matamu! Aku tidak ingin cairan itu mengotori lantai."
Suara dingin itu kembali Monika dengar, membuatnya menoleh ke belakang. Tatap mata tajam penuh kebencian ia tujukan pada pria berpakaian rapi yang berdiri menjulang, beberapa langkah dari tempatnya berada.
'Siapa pria ini? Bagaimana bisa ada orang yang tidak iba saat melihat seseorang meregang nyawa di depannya?' batin Monika mengumpat.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Bagaimana Monika menghadapinya?
Nantikan bab berikutnya,
Hanazawa Easzy
"Leo, siapkan kontraknya!" Belum sempat Monika menghapus air matanya, pria berpakaian hitam yang tadi membawanya kemari muncul di balik pintu. Di tangannya terdapat satu stopmap warna merah menyala. "Bangun!" Suara dingin itu kembali menggema, menyuruh Monika untuk berdiri dari tempatnya memeluk mayat yang semakin memucat. "Nona Monika, silakan," ucap pria yang diketahui bernama Leo tadi. Dengan isyarat tangannya, dia meminta Monika duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan ini. Monika masih terpaku di lantai, enggan meninggalkan ayahnya di sana. Tidak. Dia tidak ingin pergi barang sejengkal pun. "Nona..." Leo tampak gusar. Entah kenapa wajahnya tampak khawatir, seolah berada dalam pilihan antara hidup dan mati. Dia mendekat dan berjongkok di depan Monika. "Nona Monika Alexandra, silakan menghadap Tuan Muda. Jangan sampai membuatnya murka atau nyawa Anda taruhannya!" Monika menelan salivanya dengan paksa. Nada bicara Leo sa
Monika menelan salivanya dengan paksa. Ini pertama kalinya dia berada di jarak yang sangat dekat dengan seorang pria. Deru napasnya yang hangat menerpa, membuat keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Kita buktikan seberapa mesumnya pria tampan ini." Rio menarik tangan Monika dengan paksa, membawanya ke ruang istirahat yang ada belakang sana. Tentu saja hal itu membuat Monika panik. Dia berusaha melepaskan cekalan tangan Rio, namun usahanya gagal. "Tuan?!" Leo menghadang langkah atasannya. Dia menggeleng kuat, meminta tuannya untuk menghentikan apapun rencana busuknya. "Kamu ingin melindunginya?" geramnya. Aura iblis menguar di sekitar tubuh. Dia sungguh murka, tidak terima rencananya untuk menyiksa wanita ini harus ditahan oleh Leo. "Kita gunakan rencana cadangan!" Leo melirik tubuh Jonathan Wu yang terbujur kaku di lantai. Dia mengingatkan tuannya untuk memakai rencana kedua untuk menaklukkan wanita ini. "Mari, Nona." Leo melepa
"Ambil kontraknya! Jika dia menolak, buang mayat busuk ini ke hutan. Harimau dan serigala liar akan menerimanya dengan senang hati!" titah Rio pada asisten pribadinya, membuat Monika menggelengkan kepala. Dia tidak ingin tubuh ayahnya menjadi santapan hewan buas. "Jangan!" Monika coba melindungi ayahnya. Dia semakin mengeratkan pelukan pada tubuh pria yang semakin terasa dingin ini. "Nona Monika, tolong kerjasamanya." Leo berjongkok di sisi badan Monika sembari menyodorkan stopmap merah yang ia bawa. "Silakan." Dengan tangan gemetar, Monika terpaksa mengambil pena yang Leo berikan. Dia menandatangani perjanjian itu dengan air mata berlinang. Hatinya sakit, perih, seperti tertusuk ribuan sembilu. Cita-citanya untuk menikah dengan Devan pupus sudah. Dia justru akan menjadi istri kontrak pria tak dikenalnya. "Urus sisanya! Aku tidak mau tahu." Rio pergi, membanting pintu di belakangnya tepat setelah perjanjian itu ditandatanga
Rio kembali memasang wajah angkuh, kemudian berbalik menuju pintu yang menghubungkannya dengan ruangan pemotretan. Tangan pria ini mengepal erat, berusaha menenangkan jantungnya yang seolah ingin melompat keluar dari tempatnya. "Silakan, Nona." Leo mempersilakan gadis ini untuk menyusul Rio. Dia meraih tangan Monika dan membimbingnya berjalan agar tidak terjatuh. Di belakang mereka, dua orang pegawai butik membantu mengangkat pakaian pengantin yang terhampar di lantai. "Nyonya, ponsel Anda terus berdering." Seorang pegawai butik mendekat, menyerahkan benda pipih di tangannya pada wanita yang tengah membantu Monika berjalan di atas karpet merah. "Maaf saya permisi." Monika terhenyak saat wanita itu pergi begitu saja, membuatnya hampir terjerembab ke lantai. Dia tidak terbiasa memakai sepatu hak tinggi, langkahnya oleng saat kehilangan pegangan. "Hati-hati, Nona." Leo dengan sigap menangkap tubuh ramping Monika, mendekapnya dengan erat.
WARNING!!! 18+ BIJAKLAH DALAM MENYIKAPI SUATU BACAAN! * * * 'Shit! Dada indah itu!' geram Rio dalam hati. Cengkeraman tangannya di pinggang Monika semakin erat. Dadanya bergemuruh, ada gejolak yang tak bisa dia kendalikan. Semacam rasa ingin meraup, mencecap, dan menikmati kehangatan di dalam sana. Rio menarik pinggang Monika, membuat tubuh keduanya saling menempel. Napas pria itu semakin memburu, bersamaan dengan dadanya yang naik turun tanpa bisa dia cegah. "Rio," panggil Monika dengan suara yang lembut, membuat pikiran liar pria ini semakin menggila. Matanya terpaku pada bibir seksi istrinya. Lengang. Tak ada suara apapun yang tertangkap oleh indera pendengarannya kecuali panggilan Monika tadi. 'Aku tidak bisa menahannya lagi,' geram pria 31 tahun ini dalam hati. Tanpa aba-aba, Rio mendekatkan kepalanya pada Monika dan siap mencicipi bibir ranum warna merah d
Monika keluar dari dalam ruang ganti dan mendapati Leo berdiri membelakanginya. Tampaknya pria ini sengaja menunggunya di sana. "Ini ponsel dan tas Anda." Pria berpakaian serba hitam itu memberikan benda yang Monika tinggalkan di minimarket pagi ini begitu keduanya berhadapan. "Terima kasih," ucap Monika lirih. Dia memakai tas selempangnya dan kemudian duduk di bangku yang kebetulan ada di belakang tubuhnya. Hatinya hampa, mengingat ia baru saja kehilangan sosok yang begitu dia hargai. "Tuan menyuruh saya mengantarkan Anda untuk pulang. Mari." Monika tak merespon. Dia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sampai beberapa detik berlalu, wanita ini tak jua beranjak dari tempatnya. Tatap matanya kosong. Wajah cantiknya tampak sedikit pucat, membuat Leo khawatir. "Nona, apa Anda baik-baik saja?" Lagi-lagi Monika tak menjawab. Dia melirik Leo sekilas sebelum menangkup wajah dengan kedua tangannya. Leo salah tingkah. Dia tidak nya
Gemericik air segera terdengar dari dalam kamar mandi. Sampo beraroma greentea dan daun mint segera dia ratakan ke atas kepala, membuat mahkota indahnya tertutup busa. Setidaknya aromaterapi itu akan membuat tubuhnya lebih fresh. Beberapa menit kemudian, Monika keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk melilit tubuh rampingnya. Langkah kaki gadis itu terhenti di depan pintu saat mendapati lampu utama di kamar ini padam. "Eh? Apa lampunya rusak?" Monika menghadap ke atas. Seorang pria yang bersembunyi dalam kegelapan hanya bisa menelan ludahnya berkali-kali. Pemandangan di hadapannya sungguh membuat libidonya naik seketika. Otak mesumnya segera bekerja, mengimajinasikan segala kenikmatan bersama wanita ini. 'Shit!" umpatnya dalam hati. Hasrat laki-lakinya terus meronta. Bagaimana tidak? Tetes-tetes air yang turun melalui ujung surai pirang Monika, mengalir membasahi leher putih mulusnya. Siluet tubuh gadis ini terlihat begitu seksi dan menggo
WARNING !!! 21+ BUKAN UNTUK DITIRU. BIJAKLAH MENYIKAPI SEBUAH BACAAN. * * * Lengang. Tak ada respon dari Monika. Gadis ini telah masuk ke alam bawah sadarnya, tak merasakan apapun yang Rio lakukan. Kelima panca inderanya berhasil dilumpuhkan dengan obat tidur dosis rendah yang pria mesum itu tambahkan ke dalam air putih. Ya, Monika tak tahu sama sekali bahwa Rio sudah menaruh serbuk obat di dasar gelas kaca miliknya. Pria ini benar-benar licik. Rio menatap jam di pergelangan tangannya, pukul tujuh malam. Waktunya masih panjang. Dia bisa mempermainkan gadis ini sesuka hatinya. Bibir ranum yang tertutup menjadi sasaran utama pria mesum ini. Terasa manis. Dia sudah terobsesi, ingin menikmati seluruh tubuh wanita ini. "Shit!" Rio mengumpat saat aktivitasnya terganggu oleh getaran ponsel Monika di atas nakas. Nama 'Lovely' terlihat di sana, membuat emosi Rio kembali datang. Adegan c