Share

BUKAN URUSANMU

Ele keluar dari kamarnya usai membersihkan diri.

Di ruang tamu, tampak Effendy duduk dengan seorang laki-laki muda berwajah oriental yang tampan dalam balutan jas putihnya. Laki-laki itu langsung bangkit dari duduknya saat melihat Eleanor muncul dengan didorong oleh Maritha di atas kursi rodanya.

"Anda pasti Nona Eleanor. Saya Andika, dokter yang akan membantu Anda melakukan terapi mulai pagi ini."

Ele tampak sedikit kebingungan, namun akhirnya dia hanya bisa mengangguk. Effendy berdiri, dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.

"Mulai hari ini, Andika yang akan membantu penyembuhanmu. Bersikaplah dengan baik, dan ikuti arahannya. Jika kau perlu bantuan, kau bisa memintanya pada Maritha.”

Effendy menatap matanya, tetapi Ele langsung melengos, menghindari tatapan tajam pria itu. Untuk sekarang ini, menghindari Effendy adalah pilihan yang terbaik.

Effendy tidak terlalu menyadarinya. Ia menatap ke arah Andika sebentar, kemudian berlalu meninggalkan mereka. Entah ke mana pria itu pergi, Ele juga tidak mau tahu.

Sementara itu, Andika berjalan ke arahnya dan mengambil alih kursi roda Ele. Ia membawanya ke taman samping yang berumput hijau dengan diikuti oleh Maritha. Dia perlahan memberikan beberapa pijatan di kaki Ele kemudian membantunya berdiri. "Di mana yang sakit?"

"Lututku," balas Ele sambil meringis.

"Tidak apa, pelan-pelan saja," balas Andika pula. Mereka pun mulai berjalan bersama, meski tidak cukup jauh dan sang dokter harus menggendong Ele lagi dan mendudukkannya di atas kursi roda karena Ele nyaris menangis saking sakitnya.

"Itulah yang dinamakan proses, Nona. Langkah pertama pasti akan lebih terasa sakit dan berat. Tapi, asalkan kau tidak menyerah, kau akan baik-baik saja," ucap Andika, mencoba menyemangati Ele.

Ele mengangguk sambil mengelap keringat yang memenuhi wajahnya.

Sesi terapi itu kemudian berlanjut lagi saat Ele sudah kembali siap. Sampai akhirnya satu jam berlalu, dan Andika berpamitan serta berjanji akan kembali minggu depan. "Jangan lupa melakukan terapi seperti ini setiap pagi agar tulang kakimu semakin kuat.”

Selepas kepergian Dokter Andika, Maritha mendorong kursi roda Ele kembali ke dalam kamarnya. "Sepertinya Tuan sangat memperhatikan istrinya sampai mendatangkan dokter ke rumah," gurau Maritha sembari membantu Ele duduk di atas sofa dalam kamar.

Eleanor tersenyum sedikit. "Mungkin itu akan bagus untukku supaya aku tidak terus-terusan bergantung pada orang lain.”

Maritha menghela napas sembari tersenyum, ia memperhatikan wanita yang dinikahi tuan mudanya itu dengan tatapan kagum. Wajah Ele mengingatkan Maritha pada perempuan muda bangsawan Jawa yang kerap disaksikannya pada lukisan dan potret-potret zaman dulu.

Kulitnya kuning langsat, hidungnya kecil dan bangir. Bibirnya merah muda kecokelatan. Bulu matanya pendek, tapi lentik ke atas. Sepasang mata Eleanor hitam kecokelatan, meski tanpa riasan, Ele memang sudah cantik.

Tetapi Ele tidak terlalu percaya diri, mungkin karena ia sedang sakit dan harus berada di kursi roda. Kadang, Maritha bisa melihat Ele seperti menahan beban yang begitu berat. Tatapan matanya sendu. Seperti pagi ini setelah tuan muda menemui istrinya.

"Anda cantik, Nona. Pasti itu menurun dari ibu Anda," puji Maritha.

Senyum kaku muncul di sudut bibir Eleanor. "Terima kasih. Saya sendiri sangat penasaran wajah ibu kandung saya seperti apa."

Wajah Maritha agak berubah. Dia tampak sedikit menegang. "Nona, maaf, saya tidak tahu..."

"Tidak apa-apa. Saya dibesarkan di panti asuhan." Jawaban tenang yang kali ini diikuti senyum lembut Ele, membuat Maritha sedikit prihatin. 

Mereka terdiam beberapa saat. "Apa.. apa Nona butuh sesuatu?" tanya Maritha. Sesungguhnya ia tidak ingin membuat suasananya menjadi canggung.

Ele mengangguk pelan. "Bolehkah kamu mengambilkan laptop saya?"

Tanpa banyak bicara, Maritha meraih benda yang disebut Ele dari atas meja dan menyerahkannya. Eleanor menaruh laptop tersebut dipangkuan dan mulai membuka draft novelnya.

"Maaf jika saya lancang, Anda seorang penulis Nona?" tanya Maritha yang tidak sengaja melihat draft bab novel Eleanor. Elle menjawab dengan anggukan. Wajah Maritha tampak berbinar. "Saya sangat suka membaca novel-novel fiksi.”

"Kamu pernah baca Sorrow in The Rain?" tanya Ele menyebut novel fiksi thriller yang pernah ditulisnya.

Maritha benar-benar terkejut. "Pernah. Apa… Nona Eleanor yang menulis itu?" Dia menutup mulut dengan mata membelalak, membuat Ele tertawa lepas karena tidak menyangka akan mendapat reaksi seperti itu. "Ya. Aku senang kamu pernah membacanya."

"Saya sangat menyukai novel Anda, Nona! Saya bahkan mengoleksi semuanya!” balas Maritha dengan semangat, kemudian ia tersenyum malu-malu. "Lain kali, bolehkan saya meminta tanda tangan Nona di novel koleksi saya?"

"Tentu saja. Mengapa tidak?"

Maritha tersenyum sangat lebar dengan mata berbinar-binar. “Saya sering menghabiskan waktu senggang dengan membaca novel fiksi. Tapi sungguh, saya sangat menyukai cara penulisan Nona. Apalagi di novel Sorrow in The Rain, Anda membuat plot twist yang tidak terbayangkan. Ternyata ibu kandung tokoh utamalah dalang dari semuanya. Padahal Anda menggambarkan perempuan itu begitu lembut, keibuan dan lemah."

"Jika tidak ada plot twist, maka itu bukan thriller," tawa Eleanor pula.

Maritha ingin bertanya lagi, namun dia menutup mulutnya, menyadari sesuatu. "Maaf sudah bersikap di luar batas, Nona. Seharusnya saya tidak bertanya hal diluar pekerjaan.."

"Tidak apa. Kita bisa menjadi teman selagi Tuan Chislon tidak di sini."

Maritha tersenyum hangat, ia kemudian pamit pergi karena ingin mengurusi beberapa hal, sekaligus memberikan Ele waktu untuk beristirahat dan menyelesaikan pekerjaannya.

Setelah berbincang dengan Maritha, Eleanor merasa mood-nya menjadi lebih baik. Tak terpikirkan lagi perkataan Effendy. Dan rasa sakit akibat terapinya tadi sudah berangsur hilang. Akhirnya, Ele bisa menulis novelnya dengan tenang dan cepat.

Tidak tahu sudah berapa lama Ele menghabiskan waktunya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ele menatap gawainya dan setelah melihat nama Tristan, ia segera mengangkatnya.

Tanpa ditanya, Ele segera melaporkan pekerjaannya. "Naskahku masih on progress. Tenang saja, kok.”

"Eh, Ele? Hahaha… Padahal, aku menghubungimu karena aku ingin tahu kabarmu.”

Ele menutup mulutnya, merasa malu. “A-aku.. aku baik-baik saja.”

Dari jauh terdengar Tristan menghela napasnya dengan panjang. "Yasudah. Tetap jaga kesehatan, ya."

Ele tersenyum. "Iya, Mas juga."

Lalu pembicaraan mereka berakhir, tetapi Ele masih menatap layar ponselnya. Tidak biasanya Tristan bersikap manis seperti ini. Ele jadi merasa senang kembali.

Tapi…

"Siapa?" Suara seseorang yang menegur dari arah belakang, membuat Ele sedikit terkejut. Dia menoleh dan mendapati Effendy tengah menatapnya dengan raut tajam.

Sejak kapan Effendy masuk ke kamarnya?

Belum sempat menjawab, Effendy berjalan ke arahnya dengan langkah tegap. “Aku tanya, siapa yang kau hubungi itu?”

Mendadak mood Ele menjadi jelek kembali. Ia menaruh ponselnya dan menutup layar laptopnya. "Saya rasa itu bukan urusan Anda, Tuan."

"Kau istriku," tekan Effendy. "Setidaknya jaga harga dirimu saat kau masih terikat status denganku. Jangan berbicara seperti perempuan murahan seperti itu kepada laki-laki lain."

Ele mendongak, menatap Effendy dengan tajam. "Ini hanya pernikahan sementara. Lagi pula kita tidak benar-benar harus terikat dengan status ini, Tuan."

Effendy tersenyum sinis. "Sepertinya Ibuku sudah salah mengira bahwa kamu adalah perempuan baik."

Setelah mengatakan itu, Effendy berbalik pergi dengan wajah menahan marah. Sementara Ele, hanya bisa terpaku menatap punggung laki-laki itu dengan tangan yang mengepal.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status