TBE 06
Titin yang sedang duduk di kursi ruang tamu, sontak berdiri saat melihat kami melangkah masuk. Mata bulatnya memandangi kami dengan sorot mata yang sedikit berbeda. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun perempuan muda itu melangkah masuk ke rumah.Saat aku dan Risty memasuki ruang tengah Titin tengah menyiapkan meja makan. Dia hanya menatapku sesaat sambil mengarahkan jempol tangan kanan ke arah meja. Aku menangkapnya sebagai sikap mempersilakan kami untuk duduk di kursi depan meja makan, setelahnya Titin membalikkan tubuh dan beranjak menjauh. Risty memandangiku sambil tersenyum. Kemudian, menyendokkan nasi ke atas piring dan mengulurkannya padaku yang segera menambahkan lauk pauk sebelum mengambil sendok dan bersiap-siap untuk mulai makan.Kami bersantap sambil mengobrol dengan santai. Sedikit melupakan pertemuan dengan Viana tadi dan fokus dengan menceritakan kehidupan masing-masing.Setelah makan, aku pamit pada Risty untuk menunaikan salat empat rakaat. Entah kenapa, saat ini aku ingin sekali mendekatkan diri pada Tuhan. Setelah sekian lama hanya beribadah bila ingat. Suara orang mengobrol terdengar dari ruang tamu saat aku ke luar kamar. Pak Tono sedang duduk di kursi. Di sebelah kirinya ada sang istri. Sementara Risty duduk di seberang mereka. "Mas, sekarang aku tahu siapa yang telah memasang pagar gaib di sekeliling villa," ucap Risty dengan senyuman yang menawan. "Siapa?" tanyaku sambil bergerak duduk di kursi sebelah kanan Pak Tono. "Saya, Mas Anto." Pak Tono menjawab dengan suara yang tenang. Sejenak kami saling berpandangan. Ada banyak pertanyaan berkelebat dalam benakku. "Pasti Mas Anto penasaran, kan?" tanya pria paruh baya itu sembari memajukan tubuhnya sedikit ke depan. Aku mengangguk membenarkan ucapannya. Lalu mengubah posisi duduk hingga kami saling berhadapan dan bersiap untuk mendengarkan penjelasannya."Itu karena, saya tidak mau noni Belanda itu memasuki rumah lagi. Tari masih ketakutan sampai sekarang," ungkap Pak Tono."Maaf, Pak. Saya mengerti alasan Bapak. Namun, kalau bisa, saya ingin dibukakan lagi pagar gaibnya. Atau, dipasangnya di sekitar rumah Bapak dan Ibu saja," pintaku dengan bersungguh-sungguh. Pak Tono tampak saling beradu pandang dengan sang istri. Mungkin mereka bingung kenapa aku meminta hal itu. "Mas Anto, yakin? Apa noni itu tidak menakutkan?" tanya Bu Ismi dengan mata membola. Aku tersenyum menanggapi pertanyaan beliau. Menggeleng dengan kuat agar terlihat bahwa aku betul-betul tidak takut bila nanti akan berpapasan dengan hantu Noni Belanda yang dimaksud."Sebetulnya, ada alasan lain juga, Pak. Kenapa Mas Anto meminta agar pagar gaib dibuka," sela Risty. "Alasan apa, Non Risty?" tanya Pak Tono dengan alis menekuk. Risty tidak menjawab, dan hanya menyunggingkan senyum yang terkesan misterius. Selama beberapa saat kami saling menatap satu sama lain dan sama-sama mengulum senyum yang hanya kami yang memahami artinya.***Pak Rohim yang malam ini kembali berjaga sendirian, menyambut kedatanganku dengan senyuman lebar. Pria bertubuh tambun tersebut membuka pintu pagar sedikit lebih lebar, agar aku bisa masuk sambil menyeret koper berukuran sedang."Silakan masuk, Mas. Non dan Bapak sudah menunggu di dalam," ujarnya sambil menutup pintu pagar kembali. Aku mengangguk, jalan tegak menuju rumah yang pintu depannya sudah terbuka lebar. "Assalamualaikum," sapaku sesopan mungkin. "Waalaikumsalam. Ayo, masuk, Mas," sahut Risty dengan wajah berseri. Detak jantungku sedikit tidak beraturan saat mendapati dirinya yang begitu memesona. Walaupun Risty hanya mengenakan setelan celana panjang yang sederhana, rambut panjangnya diikat menyerupai ekor kuda, tetapi entah kenapa perempuan itu tetap terlihat menawan. "Mau pandang-pandangan saja atau mau mengobrol nih?" tanya Kakek Munir--kakeknya Risty-- dari dalam ruang tamu. Aku menunduk untuk menyembunyikan rasa grogi. Sementara Risty langsung membalikkan tubuh dan jalan mendekati sang kakek. Duduk di kursi sebelah kiri pria tua itu dengan santai. Aku maju beberapa langkah dan bergerak menyalami Kakek Munir dengan hormat. Kemudian, duduk dengan punggung tegak di kursi seberang mereka. Obrolan basa basi dimulai dengan berbagai pertanyaan Kakek Munir tentang asal usulku. Aku menjawab semua pertanyaan dengan sejujur-jujurnya. Termasuk tentang alasan kenapa aku menyepi ke tempat ini. Seorang perempuan dewasa datang dari dalam rumah. Risty mengambil alih nampan dari tangan perempuan tersebut, kemudian menyajikannya di atas meja, dan mengembalikan nampan ke perempuan dewasa, yang langsung masuk kembali. "Orang tua kakek, membeli tanah ini sekaligus dengan kebun di bagian kiri dan belakang itu tahun 1957. Saat itu kakek masih kecil. Mungkin usia kakek baru sekitar tujuh tahun," ujar Pak Munir memulai menceritakan sejarah tempat ini. "Dulu, rumah ini bentuk bangunannya hampir sama dengan villa milik pak Ridwan. Pelan-pelan diubah dengan menambahkan dua buah kamar di bagian samping kanan. Persiapan kalau keluarga besar kami berkunjung ke sini.""Rumah ini awalnya juga hanya menjadi villa dan kebun, yang dikunjungi setiap akhir pekan. Hingga akhirnya, setelah ayah kakek pensiun, beliau menetap di sini. Sementara kakek dan kedua adik, tetap memutuskan untuk tinggal di Kota Bogor.""Zaman dulu, di sini itu sepi sekali. Kendaraan yang melintas juga bisa dihitung dengan jari. Kakek juga tidak menyangka bila akan seramai ini sekarang. Karena dulu, kakek dan adik-adik pernah berseloroh. Bahwa daerah ini adalah tempat jin main sepak bola," jelas beliau yang membuatku dan Risty tersenyum lebar. "Mengenai noni Belanda itu, kakek juga tidak terlalu paham. Yang kakek ingat, waktu sering main ke sini tiap akhir pekan, kakek dan adik-adik sering bermain di depan pekarangan villa sebelah," lanjutnya dengan pandangan menerawang. "Apa Kakek pernah bertemu dengan noni Belanda itu?" tanya Risty. "Pernah beberapa kali. Tapi tidak pernah mengobrol. Hanya pernah ikut masuk ke dalam villa, saat diajak bertamu oleh orang tua. Itu beberapa tahun sebelum bu Viana dinyatakan pindah ke kota lain," jawab Pak Munir sambil mengusap wajahnya dengan tangan kanan. "Waktu itu juga sebetulnya orang tua kakek agak curiga. Karena saat terakhir mereka bertemu dengan ibu itu, beliau sama sekali tidak menyebutkan akan pindah.""Sekitar tahun berapa itu, Kek?" tanyaku dengan hati berdebar. Benar-benar antusias sekaligus penasaran."Ehm, itu sekitar tahun 1966. Waktu itu kakek baru masuk SMU. Sudah banyak kegiatan sekolah hingga jarang ke sini. Mulai sering berkunjung kembali setelah orang tua kakek benar-benar menetap di sini. Sekitar tahun 1975," pungkasnya.***Kletak. Kletak. Kletak. Suara sepatu yang bertemu dengan lantai marmer, sontak membuatku menghentikan aktivitas di depan laptop. Berjalan cepat dan membuka pintu dalam satu kali gerakan. Viana terus berjalan melewati pintu kamarku. Menatap lurus ke depan tanpa mengacuhkanku sedikit pun. Aku yang hendak memanggilnya, seketika tercekat saat menyadari bahwa Viana sedang berjalan menghampiri sesosok pria yang berdiri tegak menghadap pintu kaca pembatas teras samping. Saat pria itu membalikkan tubuh, jantungku seakan berhenti berdetak. Pria itu menyambut kedatangan Viana dengan tangan yang direntangkan. Merengkuh pundak perempuan itu dan memeluknya dengan erat. Mata pria itu terpejam dengan wajah yang ditempelkan ke telinga kanan Viana. Sepertinya dia membisikkan sesuatu, karena perempuan itu menanggapinya dengan tawa yang sangat renyah. Kemudian pria itu melepaskan pelukan dan meraih jemari Viana. Mereka jalan ke luar sambil berpegangan tangan. Aku bergegas mengejar. Menyambar senter di atas meja bufet dan menarik taplak meja di ruang tengah. Setidaknya benda itu bisa sedikit melindungiku dari hawa dingin di luar sana. Saat aku keluar dari pintu, kedua sosok itu telah menghilang. Meninggalkanku sendirian dengan batin berkecamuk. Selama beberapa menit aku berdiri, berharap mereka akan kembali.Rasa dingin yang makin menusuk akhirnya membuatku menyerah. Membalikkan tubuh dan jalan masuk ke rumah. Tak lupa untuk mengunci pintu kaca kembali, sebelum jalan dan menghempaskan bokong ke kursi. Aku berpikir keras untuk mencari jawaban yang sejak tadi mengganggu. Siapakah pria itu? Lalu, kenapa wajahnya bisa sangat mirip denganku?TBE 07Suara mobil yang memasuki pekarangan siang ini sontak membuatku mengintip dari balik gorden kamar yang tersibak. Secarik senyuman terukir di wajah saat melihat Farid dan Johan--adiknya-- turun dari mobil dan disambut hangat oleh Pak Tono dan Bu Ismi. Aku bergegas ke luar dan menghampiri kedua bersaudara itu. Menyalami dan memeluk mereka dengan setitik rasa rindu. Kami bertegur sapa selama beberapa detik, sebelum aku mengajak mereka memasuki ruang tamu."Ini, barang-barang yang kamu minta bawakan tempo hari," ujar Farid sambil mengulurkan sebuah tas travel biru tua yang cukup berat. "Thanks, Far. Ini akan sangat membantu," sahutku sembari membuka tas dan memeriksa isinya. "Lidya titip salam, To. Dia nggak bisa ikut ke sini. Maklum, bawaan bayi, masih mabuk," jelas Farid seraya mengulaskan senyuman lebar. Lidya adalah saudara sepupu, sekaligus satu-satunya kerabat yang terdekat denganku saat ini. Ayahnya merupa
TBE 08Senyuman di wajah Viana melebar. Kemudian, dia menoleh ke belakang, seakan-akan memberi kode kepada pria itu untuk maju dan lebih dekat dengan kami. "Sudah kuduga bahwa dia akan bertanya seperti ini, Sayang," ucap pria itu yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah Viana. Terdengar suara tawa yang berdengung dari Viana. Perempuan berwajah blasteran dengan iris mata biru itu, tampak sedikit berbeda. Ada rona kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya yang berseri-seri. "Baiklah, Anak muda, aku akan mulai bercerita tentang diriku dan Viana. Jangan ada yang menyela sebelum aku selesai bercerita. Paham?" ujar pria itu yang langsung mendapatkan anggukan persetujuan dari kami bertiga. Farid sih tidak perlu ditanya, karena saat ini dia sedang mematikan diri. Bersembunyi di dalam tenda dan tidak mau keluar. "Namaku, Haryadi Atmaja. Aku adalah suami dari perempuan cantik ini," ujar pria itu sambil menoleh pada Viana. Seje
TBE 09"Siap?" tanya Johan. Aku mengangguk. Menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan degup jantung yang mulai turun naik secara ekstrim. Johan mencoba membuka gagang pintu, tetapi ternyata benda itu terkunci. Dia mencoba lagi dengan mendorong sedikit, tetap saja pintu tidak bergerak. "Sssttt. Lewat sini," panggil Risty dari arah samping kiri. Aku dan Johan bergegas menghampiri. Saat kami tiba, ternyata Risty telah berhasil membuka satu jendela berbahan kayu dengan lubang angin garis-garis khas rumah zaman dulu, dan kini gadis itu tengah melongok ke dalam. "Kok kamu tahu jendela ini nggak kekunci?" tanyaku sambil menatapnya penuh tanya. "Kan udah dibilang, Mas. Aku ini cenayang," jawabnya seraya tersenyum dan mengedipkan mata kiri yang membuat tampilannya makin menggemaskan. Aku menggeleng seraya tersenyum. Menaiki batas jendela yang kayunya masih bagus. Mengernyitkan
TBE 10"Ke mana?" tanyaku. "Tempat rahasia," jawab Viana, kembali dia mengedipkan sebelah mata dan merapikan rambut yang beterbangan oleh angin yang selalu muncul bersamaan dengan kehadirannya."Masih hujan, Vi." "Bukan ragamu yang akan ikut, tapi jiwamu." Kami saling berpandangan. Aku mencoba memahami maksud perkataannya, dan menggeleng setelah beberapa saat berpikir. "Tidak, aku tidak mau ikut," jawabku. "Apa kamu tidak ingin tahu tentang diriku?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kiri dan mengusap pipiku dengan sentuhan yang lembut. "Cukup kamu cerita aja. Aku nggak perlu ikut denganmu."Tiba-tiba Viana tertawa dengan suara berdengung. Menarik tanganku dan menggenggam jemari dengan erat. "Apa kamu takut tidak akan kembali?" tanyanya selesai tertawa. Aku sepersekian detik berpikir, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaannya. Perempuan berparas blasteran itu tertawa k
TBE 11Tubuh Risty yang semula menegang, perlahan berubah sedikit relaks. Dia melepaskan diri sambil mendorong tubuhku menjauh. Manik mata cokelat tua itu memandangiku dengan lekat. Seulas senyuman memikat dihadiahkannya padaku. "Mas, kita bicarakan nanti, ya. Sekarang, ayo, masuk. Kita bahas beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menolongmu," ucapnya pelan. "Jawab dulu, kamu cinta sama aku atau nggak?" tanyaku dengan rasa penasaran yang tinggi. Risty tidak menjawab, dia hanya menyentuhkan tangan ke pipi kananku. Kemudian, membalikkan badan dan berlalu untuk kembali ke ruang tengah. Aku menghela napas dengan cepat, berusaha mengusir rasa tidak enak di dalam hati. Tadinya aku sangat berharap agar dia juga membalas perasaanku. Akan tetapi, sepertinya aku harus bisa lebih lama untuk bersabar. Menunggu itu adalah hal yang paling tidak kusukai, tetapi aku bisa apa? Tidak mungkin juga memaksakan kehendak. Mungkin pernyataan c
TBE 12Kami terperangkap di dalam rumah. Berbagai usaha dilakukan Farid dan Johan untuk membuka pintu depan, tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Aku bangkit berdiri dan melangkah pelan, berpegangan pada meja dan kursi agar bisa mencapai satu-satunya tempat yang mungkin bisa dibuka. "Jo, angkat kursi itu dan hantamkan ke sini!" seruku.Pria bertubuh tinggi itu segera mengangkat kursi kayu di ujung sofa. Sekuat tenaga menghantamkannya ke jendela yang tidak berteralis. Kaca jendela yang tebal itu hanya terlihat retak. Johan mengangkat lagi kursi dan melakukan hantaman kedua. Prrraaannnggg! Kaca pecah dan berhamburan ke mana-mana. Farid menarik taplak meja dan meletakkan benda itu di pinggir jendela. "Jo, kamu duluan keluar!" titahnya. Johan bergerak ke luar dengan hati-hati, agar kakinya tidak menginjak pecahan kaca. "Sekarang giliran kamu, To," ujar Farid sambil menarik tanganku. Pria bertubuh agak tambun itu membant
TBE 13Di sebelah kananku, Opick tampak menggerak-gerakkan tangan sambil mengatur napas. Sesekali dia menyentuh kepala hingga pundak, seolah-olah sedang menyelubungiku dengan selimut gaib. Sosok di luar itu memandangi kami dengan raut wajah yang sangat dingin. Mulutnya bergerak mengucapkan sesuatu yang terdengar sangat jauh. "Anto, ikutlah denganku," ucap Viana berkali-kali. Opick menarik kepalaku agar berhenti memandangi Viana. Dia juga menepuk-nepuk pundak Johan yang tampak panik karena mesin mobil mati dan tidak bisa dinyalakan. "Tenang, Jo. Istigfar, kamu pasti bisa," ujar Opick. Aku sempat memajukan tubuh untuk memastikan kondisi Farid. Sahabatku itu sepertinya sudah pingsan. Dia tidak bergerak sama sekali dengan kondisi mata yang tertutup. Bug! Bug! Bug! Suara benda yang dibenturkan ke belakang mobil, membuat aku dan Opick sontak menoleh. Terkesiap saat melihat beberapa makhluk tak ka
TBE 14Gelap! Semuanya tampak pekat. Aku hanya bisa menghirup bau apek khas tempat lembap. Aku mencoba mengubah posisi tubuh agar bisa mencari udara segar, tetapi semuanya sia-sia. Tubuhku seolah-olah membeku dan sulit untuk digerakkan, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah memutar bola mata untuk mencoba mengira-ngira tempat ini. Setelah beberapa saat membiasakan diri dalam kegelapan, akhirnya aku bisa melihat bentuk tempat dan beberapa benda di sekitar.Mataku membeliak sempurna saat menyadari telah berada di dalam rumah tempat Viana dikurung atau diasingkan oleh kakaknya.Bagaimana mungkin aku bisa berada di sini? Bukankah saat ini seharusnya aku sedang berada di rumah Lidya dan Farid? Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam hati. Aku mencoba merunut peristiwa satu hari sebelumnya hingga saat terakhir, di mana aku sedang bersiap untuk tidur di kasur lipat. Nah, betul! Berarti sekarang aku sedan