Share

11. Masih Hari Minggu

Kaluna berpisah dengan Evan, adiknya itu ijin bermain basket bersama teman-temannya yang kebetulan sedang ada disana sedangkan Kaluna tetap bersama Delvin yang mulai membagikan kertas dan krayon. Kaluna duduk manis disebelah Nara yang sedang memilih warna. 

Delvin mengatakan bahwa tema menggambar hari ini adalah pemandangan yang biasa mereka temui. Tak hanya anak-anak ini saja yang menggambar, Delvin juga memberikan selembar kertas buram kepada Kaluna. 

"Aku juga?" tanya Kaluna. 

"Biar adil," jawab Delvin. 

Kaluna menerima dengan senang hati dan menggambar sebuah meja beserta perlengkapan kantor yang memang Ia temui setiap hari. Pemandangan paling membosankan yang membuat Kaluna terkadang berpikir mengapa Ia bisa betah bekerja disana. 

Kaluna berkali-kali dibuat tertawa oleh tingkah lucu anak-anak disana. Ada yang berebut warna, ada yang saling meledek atau sedikit tidak terima karena gambarannya hampir sama. Kaluna tersenyum kecil, namun jauh dalam lubuk hatinya Ia iri dan juga rindu. 

Dari kecil Kaluna adalah sosok yang tak mudah bergaul. Ia punya banyak teman dulu namun bukan karena Kaluna yang memulai pertemanan melainkan teman-temannya lah yang datang padanya dan dari situ mereka mulai berteman. Sama halnya dengan Lila. Sahabatnya itu yang notabene adalah anak baru tiba-tiba datang ke mejanya dan meminta untuk berteman. 

Saat menginjak sekolah dasarpun semua itu terjadi berulang. Kaluna punya teman namun tak ada yang sampai menjadi sangat dekat. Begitulah kiranya sebelum Ia bertemu dengan Anna, si murid pindahan yang tomboy dan penuh ambisi. 

Keduanya berteman dan selalu pergi kemana-mana bersama. Kaluna yang pendiam dan lemah lembut selalu dijadikan target kejahilan oleh teman-temannya namun Kaluna selalu diam, sampai suatu saat Anna datang dan menghajar satu persatu anak yang mengganggu Kaluna. Dari sana mereka menjadi lebih dekat lagi. 

Tanpa sadar mata Kaluna menjadi buram dan berair, Ia kemudian mengadahkan kepalanya untuk mencegah cairan bening itu jatuh. Ia juga bertanya-tanya bagaimana hubungannya dengan Anna menjadi merenggang dan mulai saling menjauh, intinya semua terjadi begitu cepat sampai-sampai Kaluna lupa dari mana semuanya mulai berubah.

"Jangan ngelamun," ujar Delvin. 

Kaluna terkesiap dan berusha bersikap sebiasa mungkin. 

"Nggak ada," elak Kaluna.

"Pemandangan yang cukup membosankan?" tanya Delvin sambil mengamati hasil karya Kaluna yang terlihat sangan pro.

"Yeah, tapi harus dijalani," ujar Kaluna. 

Delvin mendudukkan dirinya disamping Kaluna. 

"Manusia, selalu menjalani sesuatu yang harus memaksa hatinya," ucap Delvin. 

"Manusia harus terpaksa, baru terbiasa dan mulai bisa menyukai sesuatu,bukan?" kata Kaluna.

"Tapi sebagian besar orang menyerah karena terpaksa saat melakukan sesuatu."

Kaluna tersenyum, omongan Delvin memang tidak ada yang salah. Manusia itu pelik begitu pula dirinya. 

"Kalau kamu?" tanya Kaluna. 

"Saya kenapa?" kata Delvin balik bertanya.

"Kamu manusia yang mana? melakukan dengan terpaksa atau memang suka?" 

Delvin tidak langsung menjawab, laki-laki itu mengadah melihat langit lalu tersenyum. 

"Seperti kata kamu, saya suka karena awalnya terpaksa dan mulai terbiasa," jawab Delvin. 

Kaluna tersenyum kecil lalu tanpa sengaja melihat hasil gambaran Delvin. Matanya terpaku pada sebuah tulisan tangan yang lebih mirip sebuah paraf di ujung kertas milik Delvin, namun Kaluna sedang tak ingin menanyakannya sekarang. 

Kaluna kembali terdiam saat melihat apa yang digambar oleh Delvin. Sebuah jendela yang memperlihatkan jalanan. Kaluna familiar dengan gambaran Delvin. 

"Naluna?" tanya Kaluna. 

Delvin mengangguk dan menyerahkan kertasnya pada Kaluna. 

"Yang saya lihat setiap hari, yang awalnya tidak saya sukai namun karena sudah terbiasa ya apa boleh buat, sekarang jadi ketagihan," ujar Delvin. 

"Mulai kapan bekerja di cafe?" tanya Kaluna. 

"Sepertinya sejak saya masih kecil," jawab Delvin yang membuat Kaluna menoleh bingung. 

"Itu cafe milik Ibu saya sebelum jadi milik saya," jelas Delvin yang membuat Kaluna paham. 

Kemudian kembali hening diantara keduanya. Delvin beranjak karena seorang anak memanggil dirinya sedangkan Kaluna melihat ke arah Nara yang sedang mewarnai sebuah kotak.

Kaluna tertegun saat melihat gambar milik Nara. Lagi-lagi anak kecil ini menggambar hal yang seharusnya tidak ada dipikiran anak kecil biasanya. 

"Itu apa?" tanya Kaluna. 

"Rumahku," jawab Nara. 

Kaluna hampir menangis jika saja Delvin tidak memperingatkannya dengan tatapan mata. 

"Gambarnya bagus," ucap Kaluna yang sedang bersusah payah mengendalikan emosinya. 

"Apa yang bagus dari rumah kardus kak? Nara pingin bangun istana buat nenek," ujar Nara sekali lagi membuat lidah Kaluna kelu. 

Kaluna tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Ia hanya diam memperhatikan Nara yang masih sibuk menyelesaikan gambarnya dengan riang. Tak jarang hal itu membuat Kaluna ikut tersenyum. 

"Saya terima kasih karena sudah mau bantuin," ucap Delvin  sembari membereskan alat gambar. 

"Sama-sama."

"Nara itu beda sama anak kebanyakan, cara berpikirnya lebih unggul dari pada anak seusianya," ucap Delvin. 

"Saya tahu," sahut Kaluna. 

Delvin mengangguk dan memakai jaketnya. 

"Adik kamu gimana?" tanya Delvin. 

"Sudah di parkiran," jawab Kaluna. 

"Saya duluan kalau gitu," pamit Delvin.

Kaluna mengangguk namun sedetik kemudian Ia memanggil Delvin kembali. 

"Delvin!"

Delvin yang dipanggil pun menoleh.

"Iya?"

"Mau jadi teman saya gak?" tanya Kaluna. 

***

Kaluna tak bisa menyembunyikan senyumnya barang sedetik sejak meninggalkan jalanan sudirman. Hal itu tentu saja membuat Evan menatap ngeri Sang Kakak. 

"Mbak gak kesurupan penunggu pohon beringin kan?" tanya Evan. 

Bukannya menjawab, Kaluna malah mengusap kepala Evan gemas. 

"Itu tadi pacar mbak?" tanya Evan lagi. 

"Belum," jawab Kaluna ambigu. 

"Dasar gila," desis Evan.

"Mbak denger ya," seru Kaluna. 

Sepulang dari jalan-jalan, Kaluna memutuskan untuk memasak masakan keskaan Evan yaitu ayam bumbu kemangi. Sebenarnya Kaluna bukan yang pintar sekali mengolah masakan, namun ada beberapa masakan yang Ia kuasai dan selebihnya Kaluna hanya bisa mengandalkan resep dari internet.

Yang membuat Kaluna seperti orang gila saat ini adalah ucapan Delvin yang membuatnya salah tingkah sendiri. Padahal ucapan laki-laki itu tidak ada spesialnya namun entah mengapa bagi Kaluna itu terasa berbeda. 

"Boleh, sampai jumpa lagi teman."

Kaluna mau gila rasanya. Sepertinya Kaluna berhasil terpikat oleh seorang Delvin. Laki-laki pendiam cenderung cuek namun juga baik hati dan tidak sombong. Cocok untuk Kaluna yang apa adanya, setidaknya itu yang sekarang ada dipikiran Kaluna. 

Brakkkk!

Kaluna terperanjat kaget saat seseorang dengan seenak jidat mendobrak pintu kontrakan mereka. Evan menatap pintu rumanya dengan prihatin, semoga saja pemilik ruman ini tidak tahu tragedi semacam ini terjadi dihari minggu yang cerah. 

"Dateng lagi mahkluk gila satunya," cibir Evan sambil menatap pelaku pendobrakan dengan tanpa minat.

"Kalau bertamu di rumah orang itu ketuk pintu dulu yang sopan bisa kan?" ucap Kaluna dengan senyum yang semakin merekah menahan emosi. 

"Habisnya aku kesel!" seru Lila sambil menarik kursi dan duduk disamping Evan. 

"Kenapa?" tanya Kaluna. 

"Bu Dian pagi-pagi minta laporan keungan dan mintanya dianterin ke kantor, sumpah Na ini hari minggu!" ucap Lila dengan menggebu-gebu. 

"Tarik nafas ... hembuskan," ucap Evan sambil mengintruksikan hal yang sama berulang kali dan diikuti dengan baik oleh Lila. 

"Jadi kamu habis dari kantor?" tanya Kaluna. 

Lila mengangguk dan menenggak habis minuman yang ada dihadapannya, minuman milik Evan. 

Evan hanya bisa melihat dan pasrah saat minumannya dihabiskan tanpa sisa. Kaluna yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum dan mengambilkan minuman baru untuk Evan dan juga mengisi kembali milik Lila. 

Ketiganya menghabiskan jam makan siang dengan sesi curhatan melas dari Lila yang menceritakan dengan semangat bagaimana Bu Dian memperbudaknya seminggu ini. Kaluna juga bingung pasalnya sudah dua minggu ini Bu Dian tidak merecoki kerjaannya sedangkan semua perbudakan diserahkan pada Lila, hal itu membuat Kaluna hanya bisa senang dan menatap sahabatnya prihatin. 

Setelah makan semuanya kembali pada kegiatan masing-masing. Evan membaca buku di dalam kamar sedangkan Kaluna dan Lila menonton televisi yang sedang menayangkan kartun. 

"Kata Evan tadi kamu main sama cowok, siapa?" tanya Lila tiba-tiba. 

"Delvin," ucap Kaluna. 

Kaluna kembali tersenyum karena diingatkan lagi tentang kejadian pagi ini. 

"Mas barista ganteng ngapain?" tanya Lila sangat antusias. 

"Ngajarin gambar anak-anak sudirman," jelas Kaluna. 

"Anak-anak sudirman? anaknya jendral sudirman? udah pada tua dong,'' ucap Lila. 

Dengan geram Kaluna menoyor kepala Lila pelan. 

"Anak-anak jalanan sudirman Lila," ucap Kaluna mengoreksi. 

Lila mengangguk. 

"Terus ada kemajuan apa?" tanya Lila sekali lagi. 

"Kita temenan."

"Iya aku tau kalian temenan, terus habis itu apa?" desak Lila. 

"Lah iya temenan, kita sebelumnya sekedar tau nama dan jadi orang asing terus temenan sekarang, aku ajak dia temenan tadi," ucap Kaluna polos. 

Lila yang gemas hanya bisa melampiaskan kekesalannya pada banal dihadapannya. Sahabatnya ini benar-benar polos, entah polos atau bodoh Ia tak tau, Kaluna memiliki dua sifat itu sekarang. 

Sebuah notifikasi pesan di ponsel Kaluna mengalihkan fokus keduanya. Kaluna segera membuka aplikasi pesan diponselnya. Ia tercengung sebentar ketika melihat siapa yang berhasil menghubunginya. 

Kaluna tak punya akun sosial media apapun kecuali aplikasi chat untuk forum kantornya, Ia hanya punya email yang digunakan untuk sebatas keperluan pekerjaan. Namun ada pesan masuk dari seseorang yang sejak beberapa hari lalu mencoba untuk berbicara dengannya itu membuat Kaluna tak bisa berkata-kata dan memilih untuk mengabaikan pesan tersebut. 

Bukannya menyerah, nomor baru itu kemudian menelfon Kaluna. Kaluna binging apakah Ia harus mengangkat atau mendiamkan atau bahkan Ia harus memblokir nomor itu, Kaluna hanya bisa diam sampai sambungan telfon tersebut mati sendiri. 

Sampai kapan Ia harus bersembunyi, sampai kapan Kaluna harus dikejar-kejar bahkan setelah kematian kedua orang tuanya. Bisakah Kaluna hidup tenang sampai bertahun-tahun lagi? Apakah Kaluna bisa? 

"Ini aku Anna." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status