It’s always a lot easier to let something fall apart than to try to hold it together
“Selamat ulang tahun, Adhela!”
Seluruh tamu yang hadir berteriak menyambut kedatanganku. Dengan terpaksa aku berusaha untuk tersenyum dan menunjukkan kalau aku bahagia serta berterima kasih untuk kehadiran mereka. Bagi sebagian besar tamu yang hadir bukan hal mudah mengosongkan jadwal di malam Sabtu seperti sekarang.
“Ma,” aku menghampiri Mama yang berdiri di di tepi panggung kecil yang dibangun di sudut taman lalu mencium kedua pipinya lembut.
“Senyum, Dhe,” Mama berbisik ketika aku mencium pipi kirinya dan aku memilih untuk tidak memedulikan komentar Mama. Aku sudah berusaha tapi kalau menurut Mama itu tidak cukup, aku tidak tahu lagi harus melakukan apa.
“Selamat ulang tahun, Dhe,” untuk kesekian kalinya Papa mengucapkan selamat ulang tahun dan aku masih merasakan ketulusan yang sama. Sebagai jawaban aku memeluk Papa erat.
Setelah melepaskan pelukan aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut halaman belakang. Bagian tengah taman penuh dengan meja dan kursi yang ditata dengan rangkaian bunga lily Casablanca, baby breath dan mawar kuning di setiap meja. Seluruh kursi dilapisi dengan kain berwarna putih. Lampu-lampu kecil menggantung, selain sebagai alat penerang juga untuk menambahkan kesan hangat. Aku tahu tidak mudah merencanakan ini semua tapi tetap saja itu tidak berhasil membuatku merasa lebih ringan atau terlarut dalam suasana bahagia. Terlalu banyak wajah yang tidak aku kenal.
“Suka?” Mama sudah berpindah berdiri di sampingku.
“Dekorasinya cantik,” aku mengusap kedua telapak tangan ke gaun, “Tapi Dhe mohon tahun depan nggak ada pesta ulang tahuan lagi. Dhe nggak suka,” aku sengaja tidak menutupi nada mengeluh dalam suaraku.
“Masih belum berubah, Dhe? Ulang tahun itu lebih menyenangkan kalau dirayakan bersama orang yang kamu sayang,” Mama menepuk punggungku sambil menaikkan dagunya.
Orang yang aku sayang? Aku bahkan tidak mengenal sebagian besar tamu yang datang. Selain itu aku juga bukan Alena yang dekat dengan hampir seluruh keluarga besar Papa dan Mama. Aku tidak dekat dengan sepupu, kecuali Ahsan. Dengan saudara Papa dan Mama aku selalu menjaga jarak agar tidak saling mengusik. Aku tidak suka kehidupan pribadiku diusik. Sekalipun ada hubungan darah yang mengikat, bukan berarti mereka berhak mengatur dan mengetahui segalanya. Cukup Mama yang berusaha melakukannya.
Dan sahabat. Aku tidak pernah memiliki yang namanya sahabat. Tidak seorang pun. Aku tidak membutuhkan seseorang yang selalu ingin tahu dan mengikutiku ke manapun.. Walau aku tahu alasan sebenarnya bukan itu. Aku takut dikasihi seandainya mereka tahu kenyataan sebenarnya tentangku. Aku memilih untuk berjalan seorang diri. Saat ini dan selamanya.
“Dan gaun hitam untuk pesta ulang tahun? Ini bukan pemakaman,” sepertinya Mama tidak bisa menahan kritikannya lebih lama lagi.
“Aku suka dan aku rasa nggak ada masalah dengan gaun pilihanku,” aku berusaha untuk tidak melemparkan tatapan tidak senang ke arah Mama walau itu membutuhkan usaha ekstra keras.
“Papa setuju, Dhe kelihatan cantik,” Papa meremas bahuku lembut dan Mama melemparkan tatapan penuh kritik ke arahku dan Papa.
Untung saja sebelum Mama melancarkan serangan lanjutannya, Alena menghampiri kami dan langsung menarikku, “Waktunya tiup lilin dan potong kue, Dhe. Kamu nggak mau bikin semua orang menunggu sampai malam, kan?”
Merasa tidak memiliki pilihan lain, aku mengikuti Alena ke bagian depan panggung dan berdiri tepat di balik kue ulang tahunku. Kue itu terlihat sangat cantik dan menggugah selera dengan cokelat yang membalur sempurna dan hiasan berbentuk perhiasan dan pantulan cahaya darilampu dekorasi membuatnya perhiasan itu seakan terlihat nyata membuat kue itu terkesan mewah. Alena dan perhatiannya.
Segera seluruh perhatian para tamu beralih kepadaku. Suara percakapan perlahan menghilang begitu juga dengan denting peralatan makan. Mereka berkumpul di depan panggung dan menatapku. Menunggu dengan tidak sabar.
Aku memilih untuk tidak membalas tatapan seorang pun. Aku menatap api lilin yang baru dinyalakan oleh Alena. Api yang membakar sumbu lilin terlihat bergoyang tertiup angin. Aku melakukan ini untuk menguatkan diri. Tidak mudah melakukan ini. Menjadi pusat perhatian seluruh tamu dan tatapan mereka seakan berisi satu pertanyaan yang sama tentang apakah kali ini aku akan memperkenalkan calon suamiku. Pertanyaan yang jawabannya tidak akan pernah aku miliki.
Kesadaranku kembali ketika Alena menggoyang lenganku lembut. Ternyata mereka sudah selesai menyanyikan lagu ulang tahun untukku dan sekarang waktunya aku mengucapkan harapan dan meniup lilin. Melompati bagian mengucapkan harapan, aku langsung meniup lilin ulang tahun bertuliskan 25. Padamnya lilin diikuti dengan tepuk tangan dari seluruh tamu. Tepukan mereka terdengar begitu bersemangat sangat bertolak belakang denganku.
“Potong kuenya,” Alena mengulurkan pisau kue ke arahku.
Tanpa mengucapkan sepatah kata aku menerimanya. Setelah mencabut lilin dan hiasan lainnya aku menggoresnya. Hanya menggores lapisan cokelat untuk formalitas. Sama sekali tidak bermaksud untuk memotongnya.
“Potong, potong,” Alena dan Mama yang pertama kali berseru dan tidak lama kemudian itu diikuti oleh seluruh tamu undangan. Lagi-lagi aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti kemauan mereka.
Aku segera memotong kue ulang tahunku, sebuah potongan berbentuk segitiga sempurna lalu meletakkan pada piring kertas yang sudah disediakan oleh Alena. Setelah itu aku memutar pandanganku dengan cepat. Sama seperti ulang tahunku di tahun-tahun sebelumnya, saat ini seluruh tamu sedang menatapku dengan penasaran dan menunggu siapa yang akan mendapatkan suapan dari potongan pertama.
Siapa yang memulai tradisi potongan pertama harus diberikan kepada mereka yang istimewa?
“Dhe, kita nungguin, lho. Siapa, nih, yang beruntung dapatin potongan pertamanya?” Alena. Kadang sikapnya membuatku tidak punya pilihan selain membencinya.
“Mama sama Papa,” aku mendekati Papa dan Mama yang berdiri tidak jauh dariku, “Nggak ada yang lebih pantas selain kalian, orang tua terbaik di dunia untuk Dhe dan Alena. Makasih Ma, Pa,” Aku memberikan piring kue itu kepada Mama lalu mencium pipi mereka bergantian.
“Potongan kedua. Kali ini pasti buat seseorang yang istimewa, kan?” Alena masih berusaha dan kali ini terlalu keras.
“Buat kamu, Alena, kakak terbaik di dunia walau kadang-kadang suka bikin aku kesal,” sambil tersenyum aku memberikan piring itu kepada Alena.
“Makasih, Dhe,” Alena menerima piring itu kemudian menyerahkannya kepada Bri sebelum memelukku erat, “Selamat ulang tahun.”
“Makasih,” aku balas berbisik di telinganya. Dan sebelum Alena menambah masalah dengan usaha yang berikutnya aku segera menyapa para tamu, “Terima kasih untuk kehadirannya dan selamat bersenang-senang!”
Kemudian dengan tergesa aku menuruni panggung kecil itu. Sekarang saatnya untuk menghilang di tengah keriuhan tamu sebelum para tante, sahabat lama Mama, menemukanku dan mulai memberondongku dengan pertanyaan yang paling menyebalkan.
Terlambat.
We are all dreamers, wanting to be completely out of touch with realityTanpa perlu menunggu hingga ujung tangga, aku tahu keinginanku tidak akan pernah terwujud.Di ujung tangga sahabat Mama, yang aku sebut para tante, sudah menunggu. Mereka semua terlihat sama karena mengenakan gaun dengan model yang nyaris serupa, jenis aksesoris yang sama ditambah dengan tatanan rambut yang semodel. Hanya Tante Rianti yang terlihat sedikit berbeda karena membiarkan rambutnya yang mulai dihiasi uban tidak tersentuh cat rambut. Sejak dulu Tante Rianti memang berbeda dan itu yang membuatku cukup dekat dengan beliau.“Selamat ulang tahun, Sayang,” Tante Rianti memelukku, “Tante udah takut aja kamu nggak sempat pulang tepat waktu.”“Nggak ada yang bisa melawan keinginan Mama, Tan,” aku tersenyum tipis.“Kapan kamu nyusul Alena? Tahun ini kamu udah dua puluh lima, lho,” Tante Lilis yang kali ini menyapaku
I'm slowly drowning and you won't even notice“Ahsan!” Aku segera bangun dan berlari ke arahnya lalu memeluknya erat.Kedekatanku dengan Ahsan bahkan mengalahkan kedekatanku dengan Alena. Padahal Ahsan hanyalah seorang sepupu dan selisih usia kamu cukup jauh, lima tahun. Tapi jarak usia ditutupi oleh bintang dan dunia desain, dua hal yang paling kamu suka. Selain itu ketika SMA aku juga berbagai apartemen dengannya. Aku sengaja memilih sekolah di Jakarta untuk menjauh dari Alena dan melupakan kejadian buruk itu sementara Ahsan karena ingin membuktikan diri kepada orang tuanya kalau dia bisa sukses sekalipun melepas kesempatan mewarisi bisnis keluarga.“Selamat ulang tahun, Dhe!” Ucapan ulang tahun yang ingin aku dengar. Ucapan yang tulus dan tidak mengandung pertanyaan atau keingintahuan yang berlebih.“Makasih, San,” aku tersenyum lebar menatapnya, “Email gue nggak lo balas! Eh, mal
Don’t use such strong words like hate, it only makes you look weak“Are you okay, Dhe?” Ahsan memecah keheningan yang tercipta sejak aku dan dia meninggalkan rumah dengan pertanyaan yang paling kubenci.Sebelum ini tidak ada pembicaraan yang terjadi. Ahsan membiarkanku tenggelam dalam ruang sendiri yang aku bangun. Dia bahkan tidak berkomentar apa pun ketika aku memutar CD Yiruma yang sengaja aku tinggalkan di mobilnya. Padahal biasanya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar dan mengejek selera musikku.“Fine,” akhirnya aku memilih untuk berbohong walau aku tahu kebohonganku ini percuma. Kami sudah menghabiskan begitu banyak waktu bersama hingga saling mengenal begitu dalam. Setiap kebohongan akan terlihat dengan jelas.“Boleh gue minta lo berhenti bohong?” Datar.Kapan terakhir kali aku mendengar Ahsan menggunakan nada suara seperti ini? Ah,
I can't...I never can't show you my weakness “Alena nggak salah, San,” aku berbisik. Tidak peduli apakah Ahsan mendengarnya atau tidak. Aku hanya harus mengucapkannya agar aku meyakininya sebagai kenyataan. “Gue tahu. Lo selalu bilang kalau nggak ada yang salah. Itu takdir,” Ahsan menataku dengan lembut, “Tapi bukan berarti lo harus terus-terusan bohong kalau lo baik-baik aja, Dhe. Gue tahu kalau lo marah sama Alena. Dan, walau gue males ngakuiannya tapi gue juga tahu kalau Alena ngerasa bersalah sama lo. Sampai sekarang.” Alena merasa bersalah? Ini sesuatu yang baru untukku. “Kalau lo mau marah, marah. Teriak ke Alena. Biarin Alena tahu apa yang lo rasain. Tapi habis itu, udah. Baikan lagi.” “Aku nggak pengin ngelakuin itu.” Kalimat yang baru saja keluar dari mulutku penuh dengan kebohongan. Aku sering ingin berteriak untuk menyalahkan Alena. Membiarkannya merasa sedikit saja dari apa yang aku
I like being alone, but lately I've been so alone and it hurtsAku menatap Ahsan tidak percaya, “Lo ngomong apa?!”“Gue bilang lo menyedihkan,” lagi-lagi Ahsan menggunakan nada suara itu. Nada suara yang selalu membuatku merasa terintimidasi dan ingin membela diri. Menunjukkan kalau aku tidak seperti ucapannya.“Lo bilang gue menyedihkan?! Setelah semua yang berhasil gue lakuin lo masih bisa bilang gue menyedihkan?!” Emosiku kembali tersulut.“Nggak ada yang lebih menyedihkan dari yang pakai topeng kayak lo,” Ahsan menantang dengan membalas tatapanku, “Persetan dengan apa yang berhasil lo lakuin, selama lo nggak jujur ke diri lo sendiri, buat gue lo itu menyedihkan. Persis kayak pengecut yang sembunyi di balik pencapaiannya dan nggak berani nunjukin sosok aslinya.”“Gue nggak yang kayak lo bilang!” Mungkin Ahsan benar tapi aku tidak ingin mengakui
Those who do not know what love is likened it to beautyAku mengeluarkan cermin dan memeriksa penampilanku untuk kesekian kalinya. Bukan untuk memeriksa riasanku tapi memastikan kalau aku berhasil menyembunyikan mata yang sembab karena terlalu banyak menangis, aroma air mata dan keringat yang lengket di sekujur tubuhku sudah tidak tercium lagi. Pertemuan pertama dengan klien baru tentu harus memberikan kesan sempurna untuk meyakinkan mereka, bukan sebaliknya.Tadi pagi aku menghabiskan sepanjang pagi untuk mengompres mataku menggunakan irisan mentimun, menyegarkan wajah dengan menggunakan masker kesukaanku yang berorama mint dan tea tree selain itu aku juga berulang kali menggosok dan menyabuni seluruh tubuhku. Berulang kali hingga aku yakin sisa air mata dan keringat tidak lagi tersisa. Aku melakukannya untuk menghilangkan jejak kejadian di malam hari ulang tahunku.Aku beruntung karena kemarin Julia tiba-tiba menghubungi
Maybe if I fall in love with my depression it will leave me too“Halo, kamu Dhe, bukan?” seorang gadis berpenampilan tanpa cela bertanya sambil berdiri di samping mejaku dan aku refleks memutuskan sambungan telpon yang untungnya belum diangkat oleh Alena.Gadis berwajah sedikit oriental menatapku dengan penasaran. Rambut hitamnya tergerai sempurna seakan dia baru saja melangkah keluar dari salon. Gaun yang dikenakannya seakan memang dirancang dan dijahit khusus untuknya. Pas tanpa ada lipatan berarti yang menganggu. Melihat dari desainnya tebakanku gaun itu keluaran rumah mode Herve Leger. Sepasang sepatu dengan warna senada gaun dan oversized bag dari Bottega Veneta melengkapi penampilannya. Penampilannya membuatku sedikit terintimidasi tapi senyum yang terulas di bibirnya membuatku lebih rileks.“Hai. Iya, aku Dhe,” aku menjawab sambil berdiri dan mengelap ujung jariku menggunakan tisu.&ld
I'm tired. I want to give up“Boleh email foto ini ke aku?” Aku mengembalikan smartphone Julia.Dia menerima smartphone dengan tatapan bingung.“Itu bisa jadi inspirasi untuk cincin kalian,” aku tidak berhasil menahan godaan untuk menikmati sepotong éclair lagi.“Done,” Julia kembali menyimpan smartphone-nya, “Apa lagi yang kamu butuhin sebelum bisa mulai proses pengerjaan? Kalau masalah budget nggak usah kamu pikirin. Anggap aja unlimited.”“Serius?” Mataku melebar. Bukan pertama kali aku mendapatkan klien yang memiliki budget tidak terbatas tetapi tetap saja tidak membuatku terbiasa.“Serius. Selama aku suka desainnya, no probs.”“Hm, oke,” aku bergumam dan menghabiskan éclair sebelum melanjutkan ucapanku, “Dari obrolan kit