“Hey!” Lara berteriak untuk menghentikan langkah kaki Aria, tetapi sahabatnya itu terus melangkah pergi.“Dasar aneh!” Umpat Lara, “Dia dan Bentara sama anehnya, seharusnya mereka berdua saja yang pacaran! Dia pikir aku benar-benar akan pergi menemui cowok itu apa, hah?!” Lanjutnya, menggerutu seorang diri.Lara kemudian melanjutkan langkahnya dan memilih jalan berputar agar tidak berpasasan dengan Aria dan juga agar dia tidak melewati parkiran kampus. Tetapi di tengah perjalanannya itu, Lara teringat sesuatu yang kemudian menghentikan langkahnya. Dia ingat ngobrolannya ddengan Anggi dan jika dia menemui Bentara maka dia memiliki kesempatan untuk mengatakan apa yang telah dirinya dan Anggi sepakati.“Benar juga, lagipula kapan lagi aku punya kesempatan untuk mengatakan ke Bentara bahwa aku sudah punya pacar kalau bukan saat ini.” Dia berbicara dengan dirinya sendiri, setelah itu memutar langkah dan bertekad akan menemui Bentara.Saat Lara hampir tiba di parkiran, dia melihat Aria dan
BRAKKH!Aria menggebrak meja kantin di mana Lara meletakkan makanan-makanan yang hendak di makananya. Sontak hal ini membuat Lara terlonjak dari bangkunya. Meskipun sudah mengantisipasi bahwa Aria pasti akan sangat marah padanya, tetapi apa yang sudah di lakukan Aria sudah berlebihan.“Apa-apaan, sih, Ar?” Lara bangun dari bangkunya.“Sudah keterlaluan kamu Ra.” Ujar Aria dengan penuh amarah.“Keterlaluan dalam hal apa? Masalah Bentara lagi?” Lara juga tak mau kalah untuk meninggikan suaranya.“Sumpah ya, aku nggak habis pikir sama kamu.” Cibir Aria, “Ternyata ada ya manusia berhati batu kayak kamu!” Lanjutnya.“Aku seharusnya yang nggak habis pikir sama kamu.” Balas Lara. “Bisa-bisanya kamu sangat ngejaga perasaan laki-laki itu daripada perasaan sahabat dan sepupu kamu sendiri!” Lanjutnya, beberapa detik kemudian Lara baru menyadari bahwa ada yang salah dari ucapannya barusan.“Sepupu?” tanya Aria untuk memperjelas.Lara tahu dia tidak boleh mengatakan apapun dan memilih untuk pergi.
“Halo, Ra.” Ujar Mas Gala dari sebrang telepon. “Mas beneran nggak ganggu kan?” Lanjutnya.“Enggak kok, Mas. Santai kok.” Jawab Lara.“Kamu lagi di mana?” Tanya Mas Gala.“Lagi di rumah, nih.” Jawab Lara.“Maksud Mas di dalam atau di luar?” Tanya Mas Gala lagi.“Di dalam, Mas. Di kamar.” Ujar Lara.“Yah sayang banget dong.” Ucap Mas Gala.“Kenapa emangnya, Mas?” tanya Lara.“Di luar langitnya sedang indah.” Gumam Mas Gala, “coba deh kamu keluar, Ra.” Lanjutnya.Lara bergegas ke luar, menuju balkon kamarnya. Ternyata langit sedang mendung dan mereka berdua lupa kalau mereka itu adalah dua orang yang saling terpisah pulau.“Hmm …” Lara menghela napas, “Mas Gala lupa ya, kalau di kota Mas langitnya bagus, belum tentu di sini juga bagus. Kita kan beda pulau.” Lanjutnya.“Astaga, kok bisa Mas gak kepikiran sampai ke sana, ya?” Ucap Mas Gala, “Apa karena Mas ngerasa kamu deket banget.” Lanjutnya.Lara terdiam, tak menjawab apa-apa, atau lebih tepatnya tidak tahu harus menjawab apa.“Halo, R
Lara tak kuasa melengkungkan senyum. Senyum yang telah lama tak menghiasi wajahnya. Senyuman yang hanya bisa terjadi pada orang-orang yang sedang jatuh cinta, semburat merah merekah di pipinya. Sekali lagi Lara terselamatkan karena dia hanya berbicara melalui sambungan telepon sehingga Mas Gala tak perlu melihat wajahnya yang memerah.“Mas Gala serius ngomong kayak gitu?” Tanya Lara.“Mas nggak tau sampai kapan bisa nahan ini semua, Ra.” Jawab Lara, “Maafin Mas ya kalau ini bikin kamu nggak nyaman.” Lanjutnya.“Sama sekali nggak kok, Mas.” Gumam Lara. “Sebenarnya, jauh sebelum malam hujan, Lara sudah merasa bahwa perasaan Lara buat Mas Gala berubah.” Lanjutnya.“Berubah gimana, Ra?” Tanya Mas Gala.“Berubah jadi lebih dari teman atau abang.” Jawab Lara.“Serius?”“Ya.”“Kenapa bisa?”“Nggak tau, Mas.” Jawab Lara. “Awalnya Lara sedih banget pas tau ada yang nyakitin Mas Gala. Setelah itu nggak tau kenapa Lara nggak pernah bisa berhenti mikirin Mas Gala.” Lanjutnya, Lara merasa sangat m
Lara berjalan sendiri tanpa menyadari Aria yang diam mematung di belakangnya. Aria dilema dengan perasaannya sendiri, antara senang atau khawatir dengan keadaan Lara. Di sisi lain dia senang akhirnya gunung es itu mencair juga, tapi di sisi lain dia khawatir apabila Lara mulai tak waras, karena melakukan hal seperti itu, bagi manusia yang bukan Lara itu wajar, tapi tidak bagi Lara dan manusia sejenisnya.Setelah menyadari lamuannya, Aria segera berjalan lagi dan menyusul Lara yang telah auh di depannya. Sesampainya di kelas, terjadi hal yang lebih tak terduga yaitu ketika Lara menyapa Ferdy, ketua tingkat kelas mereka. Salah satu teman sekelas yang paling bermusuhan dengan Lara terutama saat diskusi, mereka saling adu argumen dan tak ada yang mau mengalah, sampai-sampai beberapa dosen menyerah menghadapi Lara dan Ferdy saat berdebat.“Pagi, Ferdy.” Ujar Lara dan tak lupa memberikan senyuman termanisnya.Bukan hanya Aria kali ini yang dibuat ternganga, tetapi Ferdy dan seisi kelas yang
“Kalau mau bahagia, kamu harus jadi diri kamu sendiri, Ra.” Ujar Bentara, “Kamu harus mengambil keputusan karena kemauan kamu sendiri, bukan karena disuruh atau karena kasian sama orang lain.” Lanjutnya. “Kamu bener.” Ucap Lara, “Semua yang kamu bilang itu bener, kecuali satu hal. Menjauh dari kamu itu keputusan aku sendiri, dengan disuruh atau engga sama Anggi, aku tetap akan ngelakuin itu.” Lanjutnya dengan suara bergetar, itu adalah kalimat terkejam yang pernah Lara lontarkan pada seorang lelaki, bahkan pada Gaga yang pernah menghancurkan hidupnya, Lara tak pernah berkata sekejam itu. Benar, Lara seharusnya tak boleh mengatakan itu pada orang yang sangat mencintainya. Bagaimana pun juga Bentara tak pernah mengganggu atau menghancurkan hidupnya. Di detik berikutnya mungkin Lara menyesali kalimat itu terlontar dari mulutnya di hadapan Bentara secara langsung.Bentara mengangguk dengan tegas tanpa sepatah kata pun, tak ada lagi raut sedih dan memelas di wajahny
Dari seberang telepon, Mas Gala mendengar Lara tergelak. “Lara bercanda, Mas.” Ujar Lara. “Iya, sayang, Mas tau kok.” Jawab Mas Gala. Mendengar kata itu keluar dari mulut Mas Gala, Lara sedikit terkejut, perasaannya campur aduk. Antara senang dan aneh. Aneh karena di hari-hari sebelumnya Mas Gala biasanya mencibir, mengolok dan selalu melakukan hal-hal yang membuat Lara sebal. Aneh saja kalau saat ini Mas Gala berubah menjadi sangat manis padanya.“Mas?” Gumam Lara “Ya, sayang?” jawab Mas Gala. “Lara masih nggak nyangka deh.” Ujar Lara. “Nggak nyangka kenapa?’ Tanya Mas Gala.“Nggak nyangka aja kita bisa …” Jawab Lara terjeda, “Jadian.” Lanjutnya dengan nada yang terdengar malu-malu, untuk mengucakapan kata “jadian” pun terasa sangat janggal bagi Lara.“Sama, Ra. Mas juga nggak nyangka bisa dapetin perempuan seperti kamu.” Ucap Mas Gala.“Karena kita belum pernah ketemu, ya?” Tanya Lara.“Ya. salah satunya itu.” J
“Kenapa Kak Liza nelpon kamu?” Tanya Lara, dadanya berkecamuk cemburu. “Nanya-nanya kabar.” Jawab Mas Gala. “Oh, nanya kabar sampai berjam-jam, ya.” Cibir Lara. “Sama sedikit berantem juga, Ra.” Ujar Mas Gala dengan ragu-ragu. “Hah?” Lara ternganga, pertanyaan-pertanyaan baru mulai bermunculan menyesaki kepalanya, menimbun pertanyaan-pertanyaan sebelumnya yang tak sempat terjawab. “Ra, kamu jangan salah paham dulu ya, sayang.” Bujuk Mas Gala. “Apa sih sebenarnya, ada hubungan apa kamu sama Kak Liza, Mas?” Tanya Lara, suaranya terdengar sedikit gemetar. “Seharusnya kamu tau ini sejak awal, Ra.” Gumam Mas Gala. “Apa?” Lara sedikit membentak. “Mas nggak sebaik yang kamu pikirkan, Ra.” Ucap Mas Gala, “Mas sebenarnya nggak setuju saat kamu bilang Ma situ sosok laki-laki idaman untuk dijadikan suami, karena Mas nggak baik.” Lanjutnya. “Nggak baik gimana?” Tanya Lara, suara