Mencoba cerdas mengontrol emosi, meskipun hati tersakiti. – Delina Cantika.
*****
Chapter 15
Hari itu rapat pemegang saham dilangsungkan. Nyonya Mia akhirnya memulai rapat tersebut, meskipun tanpa kehadiran Abi, putranya. Akan tetapi, baru lima belas menit rapat berlangsung sosok pria yang berpenampilan berantakan datang dalam kondisi masuk.
“Abi, apa yang kamu lakukan?”
Nyonya Mia bangkit berdiri dan langsung menghampiri putranya.
“Mami, mami, mami, si pembunuh Papi ini ada di sini! Apa yang kau lakukan di perusahaan ayahku?” Abi yang sempoyongan menunjuk sang ibu dengan tatapan sinis dan menghina.
“Abi, jaga ucapanmu, tidak ada yang membunuh Papi!” Nyonya Mia mencoba membentak meskipun ia mengucapkannya dengan berbisik.
“Nyatanya Mami dan selingkuhan Mami itu membunuh Papi!” seru Abi masih membentak ibunya di hadapan para pemegang saham.
Indra langsung
“It does not matter how slowly you go as long as you do not stop.” — Confucius.*****Chapter 16"Kenapa sih kau selalu mengikuti aku?" tanya Abi menatap tajam pada Delina."Aku hanya ingin memastikan —""Memastikan apa?" Abi bertolak pinggang ke arah gadis itu."Ummm....""Buat laporan penjualan divisi otomotif yang ditinggalkan Rendi!" pinta Abi."Tapi, bukankah ada orang lain yang bertugas membuat laporan itu?""Aku tak peduli! Aku mau kau ambil alih tugas itu!""Tapi....""Bisa tidak jangan pernah ucapkan kata tapi, karena mulai sekarang aku tak suka kata tapi dan kata bantahan dari bibirmu itu, mengerti?"Abi mendorong dahi Delina dengan ujung telunjuknya."Baik, Bos."Pria angkuh itu lalu melangkah keluar, Delina masih berusaha mengikutinya. Ia harus pastikan kalau pria itu tidak mabuk untuk rapat esok hari."Delina! Kerjakan tugasmu, sekarang!" seru
“Perseverance is the hard work you do after you get tired of doing the hard work you already did.” — Newt Gingrich.*****Chapter 17Delina kembali ke gedung WE Corporation. Ia tatap gedung tinggi nan megah itu sesaat sebelum ia melangkahkan kaki kembali masuk. Gadis itu menghela napas panjang dan meyakinkan diri."Aku harus bisa bertahan," ucap Delina seraya menepuk tas jinjing yang ia gunakan. Di dalam tas itu ada senjata rahasia berupa semprotan merica dan alat kejut listrik. Ia akan gunakan alat tersebut jika Abi nekat berniat tak senonoh padanya."Non, kok balik lagi?" tanya salah satu penjaga keamanan gedung.
“Apakah kalian pernah berhenti sejenak dan berpikir soal manusia di belakang kutukan yang kalian tuduh?” – Kugisaki Nobara.*****Chapter 18Abi akhirnya tertidur, Delina memberanikan diri untuk mendekat ke arah pria itu. Ia menusukkan ujung pulpen di tangannya ke pipi sang bos. Tak ada gerakan yang tercipta dari pria itu selain dengkuran keras dan dada yang naik turun.Delina duduk bersila di samping pria itu. Dia mengamati dengan saksama wajah milik Abi. Hidung mancung sempurna dengan kulit kuning langsat. Dagu terbelah bahkan memiliki leasing pipi saat tersenyum. Pria itu benar-benar terlihat tampan sampai membuat gadis yang duduk di lantai samping bos angkuh itu berdecak kagum."Hmmm... sebenarnya dia tampan juga. Tapi sayang, wajahnya tak sebanding dengan kelakuannya," gumam Delina.Namun, sesuatu mengejutkan gadis itu. Tiba-tiba, pintu ruang kantornya terbuka dengan sendirinya
“What does not kill us makes us stronger.” — Friedrich Nietzsche.******Chapter 19 - Toxic Boss"Aku akan mengutukmu wahai Abimanyu Wijaya!"Abi menghentikan langkahnya saat ia menyentuh gagang pintu. Pria itu menoleh pada Wulan yang menundukkan kepala seraya menangis mencengkeram lututnya sendiri."Apa yang kau katakan?" tanya Abi."Aku bersumpah akan mengutukmu, aku harap senjata kebanggaanmu itu tak dapat berdiri lama dan memuaskan nafsu bejatmu lagi sampai ada wanita yang mencintaimu dengan tulus!" pekik Wulan.
"Jika kita tidak percaya akan sesuatu, bukan berarti kita tak punya etika. Jika kita tak paham, bukan berarti kita merasa apa yang kita percaya paling benar." — Sara Wijayanto.******Chapter 20"Oke, oke, oke. Aku akan katakan semuanya, terserah kau mau percaya atau tidak."Abi mulai melepaskan Delina dan mencoba memasang kedua telinganya lebih awas. Kedua mata pria itu memicing tegas ke arah gadis itu."Sejak kecil, aku bisa melihat mereka yang biasa disebut hantu," Delina melangkah menuju di sofa lalu duduk bersila.Abi mengikutinya.
"A smile is the best make up that any girl can wear." — Marilyn Monroe. ****** Chapter 21 Keesokan harinya, Delina sudah datang lebih awal ke kantor. Gadis itu sedang menikmati sandwich buatan ibunya. Tangan terampil wanita kesayangannya itu selalu berhasil membuat cita rasa masakan apapun yang dibuatnya. Brak! Tiba-tiba, seseorang menendang pintu kantor seraya tertawa mengejutkan Delina. Gadis itu sampai menyemburkan isi makanan dalam mulutnya ke tubuh Abi. "Cih, jorok sekali kau ini!" seru Abi. "Maaf, Bos… salah sendiri And
"Kau tak akan pernah tau bagaimana takdir bisa merubah dirimu dalam sekejap." – Vie Junaeni.******Chapter 22Kedua tangan Delina yang tadinya berusaha memberontak, mulai melemah. Gadis itu malah melingkarkan kedua tangannya di leher Abi. Tiba-tiba, suara seseorang masuk melalui pintu ruangan tempat mereka bercumbu."Wow, pemandangan macam apa ini?"Maria tersentak kala melihat adegan Delina dan Abi barusan. Gadis itu mendorong sang atasan sampai jatuh ke lantai."Jangan pernah menyentuhku lagi!" Delina menunjuk sang bos dengan tatapan marah.
"Cinta itu sederhana, jika kamu tidak mampu membuatnya tertawa, cukup tidak membuatnya terluka." – unknown.*****Sialnya, saat itu Abi memerintahkan pada Kevin agar membawa Delina ke kamarnya di lantai paling atas. Pria itu telah selesai dengan jamuan pertemuan dan berniat iseng pada sang sekretarisnya. Sosok pria tinggi tegap itu sedang memandang kaca jendela dari kamar president suite di dalam hotel yang ada di atas club house."Mau apa sih dia panggil aku ke sini?" tanya Delina setengah mabuk seraya memegangi kepalanya."Maaf ya, Lin, aku melakukan ini karena perintah Bos Abi. Aku juga nggak tau dia mau kasih kamu tugas apa sekarang, yang penting aku mau kamu berjaga-jaga," ujar Kevin dengan tampang