Share

4. Tidak Ada Hasil

Sekarang pukul 5 pagi. Langit masih gelap dan pria yang memperdaya Rahee juga masih terlelap. Sesudah membersihkan diri, Rahee menghabiskan lima belas menit dengan termenung di depan wastafel. Kejadian semalam berputar kembali dan dia ingin muntah. Tubuhnya hancur. Ada banyak jejak keunguan disetiap jengkal tubuhnya, pun bekas kemerahan akibat ikatan dipergelangan tangannya juga nampak mengerikan. Jangan lupakan kewanitaanya bahkan masih terasa sakit.

Rahee menunduk dan benar muntah.

Setelahnya dia bergegas, kemudian mengambil dompet dan jaket milik pria itu. Memalukan jika dia keluar dengan pakaian mini ini. Tidak lupa dia juga memungut tisu bekas dari tempat sampah. Rahee melirik sekilas pada pria yang masih tertidur pulas di ranjang. Hatinya lagi-lagi merasakan sakit luar biasa. Satu permintaannya, yaitu jangan sampai ada pertemuan-pertemuan lain.

Berjalan keluar, Rahee terkejut mendapati ada seseorang yang meringkuk di depan paviliun. Seorang pria berusia sekitar 30-an.

"Selamat pagi. Apa Sean masih tidur?" orang asing itu menyapa dengan mata setengah terbuka. Dilanjut menguap lebar-lebar sebelum beranjak dari kursi yang semula dijadikan tempat tidur. "Kau sepertinya tidak mengenaliku. Aku Aditya, manajer Sean. Kau artis dari agensi mana?"

Jadi, nama pria itu Sean? Dan manajer? Untuk apa?

Saat Rahee akan berlalu, Aditya menghadang dengan merentangkan kedua tangan, "Mungkin aku terkesan tidak sopan, tapi bisakah kau menandatangani surat ini terlebih dahulu? Dan di tas ini ada uang untukmu."

"Surat pernyataan tutup mulut," setelah membaca judul teratas dari kertas yang Aditya berikan, Rahee tak segan merobeknya. Batinnya menerka, apakah yang terjadi semalam sudah direncanakan? Sehingga Sean langsung menyuruh orang untuk mengetik draft sampah semacam ini?

"Katakan pada pria bajingan itu, bahwa seumur hidupnya dia harus merasa bersalah padaku. Aku akan pastikan itu."

Aditya menganga. Baru kali ini dia menerima penolakan. Oke, memang di sini konteksnya adalah Sean yang ditolak. Namun biasanya semua gadis yang ditiduri Sean patuh, terlebih jika melihat jumlah uang yang Aditya bawa sekarang. Dia penasaran, kesalahan apa yang Sean perbuat sampai-sampai ada gadis yang menolak bekerjasama dengan mereka.

---------

"Minumlah dan tenangkan dirimu."

"Terima kasih," kata Rahee.

Segelas kopi hangat melingkar di telapak tangannya. Dia menyeruput pelan-pelan. Kerongkongannya membaik dan dihabiskanlah setengah. Lambungnya persis kosong sejak semalam. Ah, semalam. Mengingat itu menjadikan batinnya berkecamuk lagi.

"Kau bisa menceritakan kronologinya jika sudah siap," tutur si polisi.

Ya, Rahee memutuskan mendatangi kantor polisi. Melapor sebagai korban pemerkosaan memang cukup sulit, bukan prosesnya, melainkan lebih ke diri korban. Rahee mengalami itu. Dia sungguh malu, takut, risih, namun di saat bersamaan diharuskan mengingat baik-baik kejadian semalam agar pria bernama Sean mendapatkan hukuman setimpal.

Diceritakanlah dari awal. Polisi pria itu mulai mengetik laporan di laptop. Ketikannya terhenti manakala Rahee menyebutkan tempat terkutuk, Yayasan Black Diamond.

"Apa kau mabuk?" tuduh si polisi. Rasa simpati berubah menjadi arogan.

"Tidak. Aku tidak minum alkohol. Aku bahkan membawa barang bukti."

"Kau ternyata salah satu gadis dari Yayasan Black Diamond," gerak tangan Rahee yang tengah merogoh tasnya terhenti. Padahal dia memiliki kartu pengenal Sean dari dompet yang diambilnya, juga beberapa lembar tisu –ada sperma Sean di sana. Itu bisa menjadi bukti kuat. Tapi apa maksud dari ucapan polisi tadi? "Di Black Diamond hanya ada pelacuran, bukan pemerkosaan."

"Pelacuran?"

Si Polisi berdiri, menarik Rahee keluar dari kantor dengan perasaan jengah, "Semalam aku bergadang memecahkan kasus pembunuhan dan baru tertidur dua jam. Kau mengganggu waktu berhargaku! Pergilah!"

Rahee bergeming di luar gedung kepolisian. Kakinya mati rasa dan dia menjadikan undakan anak tangga sebagai pilihan untuk duduk sejenak. Apa Rahee salah dengar? Yayasan Black Diamond tempat pelacuran? Dengan demikian pikirannya resmi bercabang. Salah satunya yaitu kemungkinan jika Lia sudah menipunya. Tidak, itu tidak mungkin. Lia adalah temannya. Teman.

"Rahee? Kau sedang apa di sini?"

Suara seseorang yang familiar menyapa. Di hadapan Rahee sudah ada sosok Angkasa Jeno, sahabatnya, atau lebih tepatnya sahabat dari mendiang kakaknya Rahee. Usai kematian kakak satu-satunya, persahabatan Jeno beralih kepada Rahee.

"Aku sedang... mencarimu. Ya, mencarimu. Kau hari ini bekerja, kan?"

"Aku sedang cuti, tapi pimpinan menyuruhku mempelajari berkas penting. Uh, menyebalkan sekali!"

"Kau terlihat aneh," Rahee bergidik.

Jeno melakukan peregangan ringan dengan berbagai macam ekspresi lucu, membuat Rahee setidaknya sedikit terhibur. Jeno berusia 25 tahun dan merupakan seorang polisi junior. Dia baru bergabung di kepolisian selama dua tahun terakhir. Dan Rahee berpura-pura tidak tahu bahwa Jeno sebenarnya sedang dalam masa skors, bukan cuti. Mengambil tempat di sisi Rahee, Jeno melirik penuh curiga.

"Mengapa semalam kau tidak pulang ke rumah? Bimo juga bilang kau tidak ada di rumah sakit."

"Aku sudah dewasa, kak. Berhenti mendatangi rumahku seperti seorang penguntit."

"Kalau begitu berhenti memblokir nomorku."

Rahee mengotak-atik ponsel, lalu mempertontonkan layar ponselnya, "Puas?"

Jeno mengacak-acak rambut panjang itu, yang langsung direspon dengan tepisan. Biasanya Rahee tak mempermasalahkan sentuhan kecil semacam ini. Rahee pun sudah menganggap dirinya sebagai pengganti mendiang sang kakak. Pandangan Jeno pun jatuh pada tampilan Rahee yang berantakan.

"Kau baik-baik saja? Apa semalam terjadi sesuatu?"

"Tidak ada," akting ceria Rahee agaknya berhasil, sebab setelahnya Jeno hanya mengangguk kecil. "Kak Jeno, apa aku boleh bertanya sesuatu?"

Sebenarnya Rahee agak ragu untuk mengajukan pertanyaan, mengingat dirinya adalah alasan Jeno diskors sementara. Jeno sempat menyalahgunakan statusnya sebagai polisi, lantaran beberapa kali kedapatan memukuli pria hidung belang yang berniat mesum terhadap Rahee. Namun di satu sisi Rahee juga penasaran dengan fakta mengenai Black Diamond.

"Tentu, pengetahuanku luas. Kau bisa tanyakan apa saja."

"Yayasan Black Diamond. Apa itu benar tempat prostitusi?"

Raut Jeno berubah drastis. Dia jadi enggan membanggakan wawasannya bila berkaitan dengan hal semacam ini, "Kau... tahu dari mana? Siapa yang memberitahumu?"

Jawaban Jeno menjelaskan segalanya, menjadikan jiwa Rahee seolah dilepaskan paksa dari raganya. Rahee bungkam. Dia ingin denial bahwa semalam dia sudah menjual tubuhnya di tempat pelacuran. Sekalipun dia dijebak oleh Lia, toh kenyataan tak berubah. Rahee yang mendatangi Black Diamond dengan kesadaran penuh dan terlalu naif terhadap keadaan disekitar.

"Mengapa polisi diam saja? Bukankah banyak orang penting terlibat?" suaranya tertahan di kerongkongan.

"Justru karena banyak orang penting yang terlibat, maka Black Diamond menjadi kasus tak tersentuh. Komisaris kami sering main di sana. Prostitusi elite itu sengaja diabaikan," Jelas Jeno. Entah ada angin apa Rahee jadi peduli dengan kasus yang bahkan tak tercium media. "Kau berantakan, Rahee. Ayo, aku akan mengantarkanmu pulang."

Lagi, Rahee menolak begitu Jeno akan memberi rangkulan, "Aku bisa sendiri. Kau masuklah. Bukankah kau masih ada urusan kantor?"

"Kau yakin?"

"Iya, sana kau masuk ke dalam," Rahee pun berdiri, kemudian melangkah menuruni anak tangga.

"Nanti aku akan menghubungimu. Ingat, jangan blokir nomorku lagi."

Rahee melambaikan tangannya, sementara Jeno memerhatikan hingga gadis itu benar-benar hilang dari pandangannya. Jeno berharap, setidaknya Rahee menoleh walau sekali saja. Namun gadis itu tak pernah melakukannya. Rahee tak pernah 'melihat' Jeno.

Di jalan pulang, Rahee menghubungi manajer mini market untuk izin cuti. Dia benar-benar tak sanggup pergi bekerja dalam situasi ini. Baru saja Rahee tiba di rumah, dia harus melihat sosok yang paling dirinya benci. Untuk apa Sean ada di sini? Pria itu sedang menginjak puntung rokok, kemudian memberi makan kelinci milik Bimo dengan tampang tak berdosa.

Dengan mengepalkan kedua tangan, Rahee berjalan melewati Sean seolah tak ada orang. Pun Sean yang sadar segera menyentak pergelangan tangan Rahee.

"Mengapa tadi pagi kau pergi begitu saja?" tanyanya seduktif. Sean tak menyukai fakta bahwa dirinya telah diabaikan. "Jawab aku, Angelia Rahee. Gunakan mulut kecilmu itu untuk menjawab pertanyaanku."

"Jika kau kemari untuk mengambil dompet dan jaketmu, ini! Pergi dari rumahku sekarang!" dilemparkanlah seluruh barang milik Sean ke tanah. Amarahnya lepas sudah. Pria di hadapannya telah merenggut kesuciannya tanpa gurat penyesalan ataupun kata maaf. Polisi pun sama-sama tidak bergunanya. Jadi, kemana Rahee harus menyuarakan ketidakadilan ini? "Pergi!"

"Selain pelacur, ternyata kau juga seorang pencuri," Sean terkekeh ketika memungut dompetnya. "Berapa banyak lagi yang kau mau? Ambil semuanya! Aku tidak butuh itu!"

Lembaran uang dilemparkan Sean tinggi-tinggi. Alhasil semuanya berterbangan diantara mereka. Hati Rahee berdenyut nyeri dan matanya terasa panas. Berapa kali lagi dia harus direndahkan oleh pria ini?

Memilih memutar tumitnya, Rahee berniat masuk ke rumah sekaligus menyebunyikan tangisannya yang hampir pecah. Sayang, Sean selalu satu langkah lebih cepat. Pergelangan tangan Rahee lagi-lagi dicengkram keras.

"Mengapa kau senang menentangku? Kau pikir dirimu siapa?" Sean menatap mata Rahee. Ada amarah besar dari sorot itu sekalipun mata kecoklatan Rahee sudah berkaca-kaca. "Tandatangani dokumen yang diberikan manajerku."

Rahee tertawa mengejek, "Jangan harap aku akan menandatangi dokumen tutup mulut itu."

"Kontrak yang akan aku tawarkan adalah kontrak berbeda. Kau akan bekerja padaku, Angelia Rahee."

"Apa maksudmu?"

Sean pun menarik pinggang Rahee menggunakan tangan besarnya. Nafasnya menggelitik persis di tengkuk indah Rahee, lalu diberikanlah kecupan sensual dijejak keunguan itu. Jejak keunguan yang membuktikan bahwa Sean menyukai permainan panas mereka semalam. Tidak ada dalam kamus Sean Ivano untuk meninduri gadis yang sama, tapi kali ini pengecualian. Sean tertarik pada tubuh indah Rahee sampai-sampai dia menginginkan Rahee menjadi miliknya seorang.

"Kau harus jadi milikku. Dan aku tidak membutuhkan jawabanmu, karena ini adalah pernyataan bukan pertanyaan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status