Share

Memilih Pergi Untuk Menemukan Titik Terang

“Om, aku pamit, ya?” ujar Jordhy yang memilih untuk berkelana sejak hari itu.

Sejak kelulusannya dari SMA, masih ada waktu baginya bersantai sebelum masuk ke perguruan tinggi. Hal itulah yang membuat hati Joe sedikit terbuka.

Pria setengah baya itu tampak tidak begitu senang. Ia seolah tidak rela dengan kepergian keponakannya itu. Baginya, dunia luar hanya menyediakan ancaman dan bahaya.

Trauma adalah perasaan dan prasangka yang paling tepat yang dialami saat ini. Sungguh, ia tengah menunjukkan ketidaksukaannya sekarang berharap anak itu akan merubah keputusannya.

“Om, kalau aku kelamaan di sini, bakal ketinggalan bus, dong.”

Iya, Jordhy juga memilih untuk naik bus dengan alasan agar bisa mendapatkan pengalaman lebih banyak. Nyatanya, ia hanya ingin menikmati waktu.

“Ya sudah, pergilah sana. Jangan lupakan kami di sini. Setiap busnya berhenti, kasih kabar!” titah Joe pada akhirnya.

“Siap, Om!” Menjawab dengan penuh energik agar si paman lebih merelakannya.

“Nak, jangan sampai kamu tidak makan. Ini, mungkin cukup untuk dua kali makan. Tante masakin khusus untuk kamu.” Devi memberikan tiga kotak makanan yang baunya begitu khas.

“Terima kasih, Om dan Tante. Aku pamit, ya?” Menyalim sepasang suami istri itu.

Joe bergerak mengantarkan Jordhy hingga ke depan pintu bus. Ia memeluk dengan sangat erat. Tak terasa, air matanya bahkan menetes yang membuat pertahanan Jordhy hampir luntur.

“Om, aku janji akan jaga diri di sana. Tenang saja.”

“Jord, kamu harus ingat bahwa ibumu adalah dalang dari segala malapetaka waktu itu. Nak, kamu sudah punya om dan tante sebagai orang tua kamu.”

Jordhy hanya mengangguk dan menyimpan kalimat itu di kepalanya. Urusan memikirkannya, nanti saja.

Singkatnya, ia duduk di kursi bus sekarang. Ia sendirian. Yang ia tahu, pasangan kursinya akan masuk di pemberhentian selanjutnya.

Sesaat, ia teringat akan masa lalunya yang begitu kelam. Ia tak lagi menjadikan itu sebagai siksaan batinnya, namun sebuah motivasi untuk dirinya segera mengungkap kejadian yang sebenarnya. Ia masih sangat yakin jika ibunya sama sekali tidak bersalah, bahkan jika pamannya telah mencoba mendoktrin seribu satu kali banyaknya.

Mencoba melihat ke sekeliling, ia merasa tenang sebab mungkin Joe menepati janjinya untuk tidak mengirimkan ia pengawal. Hal itu ia pastikan setelah tidak mendapatkan pengawasan dari orang-orang di sekitarnya, walau ia masih harus tetap berjaga.

Kali ini, ia mencoba tidur.

***

“Huft! Rumah ini sangat sepi sekarang. Tidak ada yang main basket, golf, bulu tangkis, berenang. Kasihannya aku yang tidak punya anak kandung ini. Punya istri malah rahimnya yang tidak berguna.”

Sindiran dari keras dari seorang Joe untuk istrinya. Hal itu tentu saja menyakiti hati seorang Devi.

Namun, hal itu coba ia tahan lalu bergerak menjauh dari sana. Namun, masih tiga langkah bergerak, sebuah kalimat yang lebih menyakitkan kembali ia dapatkan.

“Dasar mandul!”

“Joe!” teriaknya pada akhirnya.

Panas di hatinya tak lagi dapat ia tahankan. Ia mendorong pria itu walau tak bergeming dari tempatnya. Mungkin semenjak ia memilih pensiun dini demi melayani keluarga ini, pertahanan tubuhnya kian menjadi lemah.

“Apa ha, apa? Mau melawan? Tidak tau diri.”

“Sssh ….” Lagi, Devi menahan kebenciannya. Tangan yang ia kepalkan perlahan ia buka kembali kemudian menjauh dari sana.

Joe yang ingin melampiaskan amarahnya, pun memanggil anak buahnya untuk menyiapkan wahana baginya.

Hanya dalam hitungan menit, ia sudah berada di ruangan kosong di rumah itu. Terdengar pukulan bertubi-tubi yang ternyata tidak lagi di tubuh manusia.

Kebiasaan buruk lamanya sudah berubah sejak permintaan Jordhy yang begitu dalam. Hal itu cukup membuat perubahan berkenan dalam hidupnya.

Ia menghancurkan begitu banyak barang-barang yang memang sudah tidak berguna. Terakhir, ia menghancurkan helm yang ia kenakan untuk menjaga matanya dari percikan pecahan benda-benda itu.

Sesaat kemudian, setelah ia merasa puas. Langkah kakinya membawa ia ke luar dari sana, menemui sang istri yang sudah menyambutnya dengan segelas teh hijau. Sepertinya hal itu sudah begitu lumrah.

“Bagaimana, Mas? Sudah puas?”

“Hm.”

Devi kemudian duduk mendekat di sisi suaminya. Ia menarik tangan pria itu lalu meletakkannya di dadanya.

Dengan sikap Joe yang meledak-ledak, tak jarang jika ia merasa takut memang. Namun, ia juga tahu jika cinta untuknya tak pernah luntur. Joe akan tetap mencintainya.

“Mau bicara apa? Katakan saja sekarang.” Joe tampaknya sudah bisa menebak sikap wanita itu.

“Mas, bagaimana kalau kita adopsi anak saja? Terserah kamu mau pilih yang umur berapa.”

Diam sembari menatap istrinya dengan tatapan kosong. Ia masih tidak ingin menjawab.

“Mas, katamu rumah ini sepi tanpa Jordhy. Ada baiknya kalau dia punya adik. Kita akan tetap memperlakukan anak itu sebagaimana mestinya. Dia tetap anak kita satu-satunya.”

“Hm.”

“Mas?” Hampir saja Devi kehabisan kesabarannya.

“Dapat rekomendasi di mana saja?” tanya Joe yang segera membuat wanita itu bersemangat. “Kapan kita ke sana?” tanyanya lagi setelah ia melihat tempat-tempat yang direkomendasikan.

“Besok pagi saja, Mas.” Menjawab dengan penuh senyum.

“Baiklah.”

“Mas, ini sungguh-sungguh?” Devi melompat kegirangan. Ia seperti anak remaja yang baru saja mendapatkan uang jajan tambahan sekarang.

“Apa wajahku terlihat seperti sedang bercanda?”

***

“Woi! Apaan sih dari tadi ngelihatin saya? Ada masalah dengan penampilan saya?!” teriak seorang gadis berumur 17 tahun yang duduk di sebelah Jordhy.

Suara kencang nan cempreng itu benar-benar mengganggu pendengaran Jordhy. Ia segera bangun dari tidurnya dan baru sadar jika bus sudah penuh dengan penumpang sekarang.

Ia juga tidak tahu jika ada gadis di sebelahnya. Tak ingin peduli, ia memilih tidur kembali. Namun, otaknya segera bekerja memikirkan perkataan gadis itu. Dengan hati-hati, ia memperhatikan ke arah tempat yang tengah ditatap gadis itu.

Ia baru sadar sekarang jika dirinya tengah diawasi. Entahlah seberapa banyak orang yang mengawalnya.

“Sialan!” umpatnya kesal.

“Kamu juga, tidurnya ngorok! Ganggu tau!”

“Tante, setidaknya saya tidak teriak-teriak seperti anda.” Jordhy mencoba membalas dengan lembut.

“Hah, apa? Barusan bicara apa kamu? Manggil tante segala. Nah, nah, baru ingat aku. Tadi juga kamu ngumpat, kan? Tidak sopan sama sekali!” Menjitak kepala Jordhy hingga pria itu meringis.

Nasib apa ini? Pria itu melongo keheranan sekarang. Entahlah ia harus berbuat apa untuk menyelamatkan diri.

Tatapannya tertuju pada dua pria yang sekarang malah berpindah tempat. Mereka membuat jarak yang sedikit lebih jauh darinya.

“Hei, diam! Jangan cari-cari masalah. Di bus ini ada orang jahat, jadi diamlah!” Jordhy mencoba mengamankan gadis itu yang malah semakin heboh.

“Hei, hei, woi! Siapa di antara kalian orang jah-“

“Diam!” pekik Jordhy menahan rasa kesalnya kemudian menarik rambut gadis itu.

“Sssh ….”

“Kamu harus tau kalau ….” Ia mulai menjelaskan keadaannya sekarang hingga berhasil membuat gadis itu mengubah sikap dalam hitungan menit.

“Dasar manipulatif,” gumam Jordhy yang kemudian memilih tidur agar tidak terlalu mencolok dalam pandangan kedua pria bejat itu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status