“Bonjour, Mademoiselle Livia.”
Sapaan itu mengejutkan Livia yang baru saja bangun dari tidur lelapnya. Ia sudah mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, tetapi matanya masih belum membuka dengan sempurna.
“Haduh, ini sudah jam berapa?” tanya Livia panik saat ia menyadari pagi-pagi sekali mereka harus sudah berangkat ke Paris.
“Baru jam tujuh pagi,” jawab Kiara santai.
Livia melirik kepada Kiara yang berdiri di depan tempat tidurnya tampak sudah rapi, bahkan dua koper mereka telah siap di kanan kirinya.
“Apa? Jam tujuh? Kita harus sudah berangkat ke Paris, Ra!”
“Kita masih bisa naik kereta jam delapan. Karena itu aku sudah membereskan semuanya. Kamu tinggal mandi dan ganti baju. Sarapan nanti saja di kereta,” sahut Kiara tetap terlihat tenang.
“Aku nggak sempat mandi. Kiara, kenapa kamu nggak bangunin aku sih?” ujar Livia seraya segera melompat dari tempat tidur lalu bergegas ke kamar mandi membasuh wajahnya.
Hai. Terima kasih buat teman-teman yang berkenan baca terus lanjutan cerira ini. Tungguin bab berikutnya ya. Salam, Arumi
Beberapa menit sebelum pukul delapan pagi, kereta TGV yang akan membawa mereka ke Paris datang juga. Kiara dan Livia bergegas naik ke dalam gerbong yang sesuai dengan tiket mereka. Mereka memang sengaja tida membawa banyak barang. Masing-masing hanya travel bag berukuran sedang dan beroda, sehingga mereka masih sanggup membawanya sendiri. Sesampai di dalam gerbong dan menemukan nomor kursi mereka, mereka baru menyadari Livia telah salah memilih kursi. Nomor kursi yang tertera di tiket mereka memang berurutan, tetapi ternyata kursi itu tidak tidak berdampingan. Satu kursi di ujung kiri barisan sebelah kanan, satu kursi lagi berada di ujung kanan barisan sebelah kiri. Kedua kursi itu memang masih berdekatan dan bersebelahan, tetapi terpisah oleh selasar gerbong ini. Kiara tak berkomentar apa-apa. Ia sudah lelah mendebat Livia sejak kemarin. Livia pun enggan mengucapkan sepatah kata pun perihal kesalahannya memilih nomor kursi. Tadi ia sedikit panik dan terburu-buru, se
Pesawat yang ditumpangi Kiara dan Livia mulai lepas landas meninggalkan bandara Charles de Gaulle. Kiara menyandarkan tubuh penatnya di sandaran kursinya yang nyaman. Matanya terpejam. Perjalanan dari Paris menuju Jakarta akan memakan waktu lama dan ia berencana akan melelapkan dirinya dalam separuh perjalanan. Kunjungannya singkatnya di Perancis ini benar-benar telah membuatnya kelelahan. Kini saatnya untuk beristirahat sejenak, sebelum ia disibukkan lagi dengan tugas selanjutnya di Jakarta. “Ra, sekarang, boleh aku bertanya?” Walau matanya telah terpejam, tetapi sayangnya Kiara masih sadar. Membuatnya masih mendengar pertanyaan Livia yang juga sedang menyamankan dirinya di samping Kiara. “Nanya apa sih, Liv?” “Saat di Cannes kemarin, kamu pergi ke mana sih? Jam sembilan malam baru pulang? Aku sengaja menunggu saat ini untuk bertanya langsung ke kamu, ketika kita sudah benar-benar rileks.” Kiara menghela napas.
Gadis itu kehilangan pesonanya, lenyap dibalik penampilannya yang kusut masai. Wajahnya lelah, dengan lingkaran hitam di kedua matanya. Sudut-sudut bibirnya tertarik menciptakan lengkungan ke arah bawah.“Laki-laki sialan! Setelah bosan denganku, seenaknya saja mencampakkan aku!” ucap gadis itu dengan suara kasar.Ia meremas-remas perutnya, seolah ingin mematikan apa pun mahluk yang bersemayam di dalam perutnya itu. Kemudian emosinya ia luapkan dengan memukul-mukul tempat tidurnya sekuat tenaga.Ia beranjak dari atas tempat tidurnya yang juga berantakan. Dengan kasar pula gadis itu membuka laci meja riasnya, mengaduk-aduk isinya sampai menemukan sebuah gunting.Ia hampir saja menusukkan gunting itu ke arah perutnya, tetapi dengan sigap seorang pemuda bertubuh tegap menerjang masuk, langsung memegang erat pergelangan tangan kanannya, mencegah gunting dalam genggaman gadis itu menghujam perutnya.“Niken! Kamu mau apa? Bunuh diri?” teriak pemuda itu d
Hari masih pagi sekali. Pukul setengah tujuh. Kiara sudah bersiap dengan pakaian bersepedanya. Ia juga menyiapkan minuman. Sebelumnya ia sudah sarapan dengan setangkup roti berisi selai strawberrykesukaannya dan segelas susu non fat rasa vanilla.Ia siap menjalani olahraga rutinnya setiap hari minggu pagi. Bersepeda di trek yang alami dengan jalan berliku, terjal dan menantang.Ia sudah siap menenteng sepeda lipatnya dan menggantungkan helm di stang sepedanya, saat tiba-tiba Livia manajer pribadinya masuk ke dalam kamar apartemennya.“Kiara, aku punya berita bagus untukmu!”Kiara mengangkat wajahnya, merasa heran melihat wajah ceria manajernya itu. Jarang sekali Livia terlihat segembira itu. Gadis itu biasanya menghiasi wajahnya dengan ekspresi serius.“Berita apa? Kalau menurutmu bagus, pasti memang benar-benar bagus banget. Iya, kan?” balas Kiara.“Ada tawaran film baru untukmu,” ucap Livia, masih dengan mata ber
Kiara mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh, menelusuri jalan setapak dengan kondisi berbatu-batu kadang dipenuhi lumpur akibat sisa hujan semalam. Ia tak takut sedikit pun. Bersepeda gunung adalah hobinya. Satu-satunya olahraga yang disukainya untuk menjaga stamina tubuh dan menjaga kestabilan berat badannya. Sejak ia tinggal di Surabaya dahulu, ia sudah menyukai kegiatan bersepeda. Kemudian kegiatan ini tak sempat lagi ia lakukan sejak ia lulus kuliah, terutama setelah ia pindah ke Jakarta. Pertemuannya dengan Tristan Sanubari, sahabat masa SMA-nya dulu, membuatnya kembali menekuni kegiatan bersepeda di lahan terjal penuh tantangan. Sejak setahun lalu Tristan bekerja di Jakarta. Sahabat lama Kiara itu ternyata masih saja setia dengan kegiatan bersepeda. Bahkan pemuda langsing itu mengikuti komunitas “Bike to work”. Dua minggu sekali ia bersepeda dari tempat kosnya di Jakarta Selatan, menuju kantornya yang berada di wilayah Pusat Bisnis
Kiara bangkit dari duduknya. Setelah berdiri, ia mengambil sepedanya yang tadi diletakkan begitu saja di atas rumput di sampingnya.“Aku pulang sekarang,” ucap Kiara, tanpa menunggu jawaban Tristan ia menuntun sepeda lipatnya menuju keluar area trek bersepeda alami itu.Tristan terburu-buru bangkit, meraih sepedanya lalu secepatnya menyusul Kiara hingga mereka berjalan bersisian. Keduanya tak saling bicara. Mendadak Kiara enggan bicara, sedangkan Tristan sadar, Kiara sedang tak ingin diganggu.Sesampainya mereka di tempat mereka memarkir mobil masing-masing, Kiara memasukkan sepeda lipatnya ke bagian belakang mobil SUV miliknya yang ia kendarai sendiri.“Aku bisa sendiri,” tolaknya, saat Tristan ingin membantunya mengangkat sepedanya untuk dimasukkan ke bagian belakang mobil Kiara.Tristan mundur teratur, menyadari Kiara masih tak ingin diganggu. Sepedanya sendiri sudah ia masukkan ke dalam mobilnya sendiri.“Ud
Lelaki jangkung itu membuat Kiara tercengang. Bagaimana bisa, takdir berjalan seajaib ini? Berapa persen kemungkinan dua orang yang pernah bertemu sekilas di sebuah negara yang bermil-mil jauhnya, lalu bertemu lagi di negara lain?Alaric Kanigara. Kiara masih ingat nama pemuda itu. Pemuda yang duduk di sampingnya di dalam kereta dari Cannes menuju Paris, hampir setahun lalu. Kiara tidak pernah memikirkan pemuda itu secara khusus. Sosoknya kalah oleh Bertrand LaForce yang masih saja tersimpan di sudut hati Kiara. Tetapi Kiara tidak lupa nama pemuda yang mengaku lulusan jurusan sinema dari sebuah universitas di Paris itu.“Kiara Almira. Hm, kalau aku nggak salah ingat, kita pernah bertemu, kan?” tanya pemuda itu seraya mengulurkan tangannya pada Kiara.Kiara menerima uluran tangan pemuda itu sembari tersenyum.“Alaric Kanigara. Benar kan, itu namamu?” sahut Kiara.Erghan yang baru saja mengenalkan Kiara dan Alaric terlihat heran melihat sepasang pemu
Kiara baru saja keluar dari ruang pertemuan Star Entertainment, saat Oliver Antolin, lawan mainnya di film ini menyapanya. “Hai, Kiara. Kamu sudah ingin pulang? Ada waktu sebentar? Kita belum sempat ngobrol banyak tadi,” tanya pemuda itu. Sebelumnya, Oliver keluar lebih dulu dengan terburu-buru seusai pertemuan pertama semua pemain dan kru yang terlibat dalam film produksi Star Entertainmentterbaru ini. Ia belum sempat berbicara banyak dengan Kiara, karena harus berdiskusi dengan manajernya yang mengabarkan jadwalnya hari ini bentrok dengan jadwal pemotretan untuk sebuah majalah. Setelah urusan jadwal itu beres, ia segera kembali ke ruang pertemuan, berharap masih sempat bertemu Kiara Almira artis yang akan menjadi lawan mainnya nanti. Untunglah kedatangannya kembali bertepatan dengan Kiara yang baru saja keluar dari ruang pertemuan. “Hei, Oliver. Kamu masih di sini?. Ayo, kita ngobrol-ngobrol. Kita memang harus membicarakan tentang pe