Bagian 3
"Dasi kamu kok' berantakan, Mas?""Iya, soalnya Mas gerah!""Gerah? Kan ada AC? AC-nya tidak dihidupin ya? Sini biar aku cek ke dalam!""Tunggu!" Mas Hanif menghalangiku, tapi aku langsung saja menerobos masuk.Seorang wanita yang mengenakan rok di atas lutut sedang berdiri di depan meja kerjanya Mas Hanif. mungkin wanita itu tidak sadar jika kancing bajunya bagian atas terbuka sehingga menampakkan pemandangan yang tidak pantas untuk dilihat. Sepertinya ia sengaja, atau jangan-jangan telah terjadi sesuatu di ruangan ini."Oh, ada tamu, ya!" ucapku sambil memandangi wanita itu."Iya, staf baru," jawab Mas Hanif.Staf baru? Enggak salah? Tadi sekretarisnya bilang klien, sekarang staf. Aku semakin yakin bahwa suamiku memang ada main sama wanita ini."Sofia, kamu boleh keluar. Saya mau bicara dengan istri saya."Sofia? Ya, aku ingat sekarang. Kontak yang mengirim pesan ke nomor Mas Hanif bernama Sofia. Berarti mobilku ada bersama wanita itu.Jika saja aku menuruti emosi, sudah kuludahi wajah Mas Hanif dan menghajar habis-habisan wanita yang berada di depan mataku ini sampai babak belur. Tapi aku masih bisa mengendalikan diri. Aku ingin lihat sampai sejauh mana permainan mereka. Balas dendam dengan cara bar-bar itu tidak seru. Baiklah, aku akan membalas mereka dengan cara yang elegan."Baik, Pak!" Wanita itu mengangguk tanda patuh."Tunggu!" Aku mencegahnya."Kenapa, Mir? Kenapa kamu mencegahnya?""Staf baru kok' berani banget ya! Mau kerja atau mau jual diri? Pakaianmu sama sekali tidak sopan. Rok di atas lutut, kancing bajumu juga terbuka. Kamu sengaja ya ingin menarik perhatian suami saya?" Aku sengaja berkata seperti itu untuk melihat reaksi mereka berdua."Ma--maaf," ucap wanita itu terbata sambil merapikan kancing bajunya."Kamu kok' ngomongnya gitu, Mir?" Mas Hanif protes."Aku tidak suka melihat cara berpakaiannya, Mas! Dengan caranya berpakaian seperti itu, sama saja dia memamerkan auratnya.""Tapi kan bisa dibicarakan baik-baik, Mir!""Kelihatannya Mas tidak suka jika aku memprotes penampilannya. Atau jangan-jangan Mas malah menyukai wanita ini?""Bukan begitu, Sayang. Mas cuma tidak ingin kamu terlalu mengurusi urusan orang lain, Itu saja!" kilahnya, ia pikir aku ini wanita bod*h apa?"Aku tidak mau jika sampai kamu tergoda oleh wanita lain, Mas!" Terpaksa aku bervakting di depan wanita yang tidak tahu diri itu. Padahal aku sudah sangat muak dengan semua ini."Tidak akan, Sayang! Hanya kamu wanita yang Mas cintai di dunia ini. Tiada yang lain. Kamu harus ingat satu hal bahwa Mas tidak akan pernah tergoda oleh wanita lain. Tidak akan."Mas Hanif meraih tanganku, lalu mengecupnya.Gombal! Aku tidak akan termakan oleh rayuan manismu lagi, Mas! Cukup sudah!Sejenak kulirik wanita itu, wajahnya terlihat kesal. Tangannya juga mengepal. Pasti ia cemburu melihat kemesraan kami. Rasain! Itulah resikonya jika menjalin hubungan dengan lelaki beristri."Saya permisi, Pak!" Wanita itu berjalan menuju pintu, sesekali ia menoleh ke kebelakang.Akhirnya wanita itu pergi juga. Aku yakin, setelah ini, ia pasti akan marah pada Mas Hanif.Emang gue pikirin! Memang itulah yang kuharap kan."Oh ya, ngapain kamu kesini?" tanya Mas Hanif sesaat setelah wanita itu meninggalkan kami berdua."Enggak boleh?" tanyaku balik."Boleh dong! Kok' tumben?""Aku ingin mendesakmu agar secepatnya melaporkan kasus pencurian mobilku itu!""Itu pasti, tapi setelah kerjaan mas selesai ya! Mas janji!""Aku enggak mau, Mas! Maunya sekarang!""Belum bisa, Sayang. Kamu sabar, ya!""Kalau gitu biar aku saja yang buat laporan ke kantor polisi!""Jangan! Enggak usah!" Mas Hanif terlihat cemas. Aku tahu, ia pasti ketakutan sekarang. Takut rahasianya akan terbongkar!Mungkin ia lupa dengan kata pepatah.Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.Ya, sepandai-pandainya Mas Hanif menyimpan rahasianya, suatu saat pasti akan terbongkar juga."Apa bedanya sih, Mas! Kamu kan banyak urusan," protesku tidak suka."Jangan, Sayang. Kamu sedang menjalankan program kehamilan. Mas tidak mau jika hal ini menambah beban pikiranmu."Kamulah yang sengaja menambah beban beban pikiranku, Mas! Kamu sendiri yang telah menebarkan bendera perang di antara kita. Kamu jahat Mas, tega menghianati ketulusan cintaku."Sekali tidak tetap tidak. Jika Mas tidak bisa, baiklah, biar aku saja. Permisi!""Tunggu, Mira." Mas Hanif menghadangku. "Baiklah, Mas akan menemanimu.""Gitu dong, ayo kita berangkat sekarang!"Mas Hanif terlihat pasrah. Aku tahu ia melakukan ini dengan terpaksa.Mari kita lihat, apakah setelah ini masih ada alasan untuk menunda melaporkan kasus pencurian mobil tersebut.Sesampainya di parkiran, aku dan Mas Hanif masuk ke dalam mobil. LaluMas Hanif mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.Sepanjang perjalanan, Mas Hanif tampak gelisah. Aku tahu, ia pasti takut untuk melapor ke kantor polisi.Berulangkali mengecek ponsel, padahal tidak ada yang menghubunginya ponselnya. Mencurigakan!Tiba-tiba saja, Mas Hanif menginjak rem, membuatku terkejut."Apa-apan sih, Mas? Kok' ngerem mendadak gitu?" protesku, kesal padanya."Maafin Mas, Mir. Mas lupa bahwa mas harus menghadiri meeting lima belas menit lagi. Kamu pulang naik taksi saja, ya, Mas takut telat jika mengantarmu lebih dulu."Alasan! Pasti Mas Hanif hanya ingin mengelak. Kamu takut kedokmu terbuka kan' Mas?"Jadi Mas mau nurunin aku di pinggir jalan, begitu?" Aku memasang wajah tidak suka, biar ia tahu bahwa aku benar-benar kesal padanya."Bukan maksud mas seperti itu, Mir. Ini adalah tuntutan pekerjaan. Tolong mengertilah!" Mas Hanif berusaha merayuku."Kamu turun sekarang, ya, mas takut telat loh!" Mas Hanif seolah menginginkan agar aku segera turun dari mobilnya.Aku tahu, pasti ia hanya akal-akalannya saja."Kamu tahu, Mas, inilah alasannya kenapa aku mendesakmu untuk melaporkan kasus pencuri mobil itu ke kantor polisi. Aku ingin agar mobilku segera kembali, Mas. Aku malas kemana-mana naik taksi.""Kenapa enggak beli mobil lagi? Mobil yang sudah hilang akan sulit untuk ditemukan. Polisi juga tidak akan langsung menemukannya. Saran Mas sih lebih baik kamu beli mobil baru saja.""Engak! Itu mobil kesayanganku. Bahkan mobilku itu jauh lebih mahal dari harga mobilmu ini. Aku akan berusaha bagaimanapun caranya agar mobil kesayanganku itu segera ditemukan."Mas Hanif terlihat kesal mendengar jawabanku. Aku tahu, itulah maunya. Ia ingin agar aku membeli mobil baru agar aku tidak lagi mencari mobil yang telah diberikannya pada gundiknya itu."Sabar ya, Sayang. Mas janji akan segera mengurusnya. Sekarang kamu turun dulu, mas mau kembali ke kantor." Mas Hanif sedikit memaksa."Aku? Turun? Enggak! Kamu saja yang turun. Selama mobilku belum ditemukan, maka aku yang akan memakai mobilmu, Mas.""Jangan gitu, dong Mira. Masa iya mas harus naik taksi kemana-mana? Kan gak lucu." Mas Hanif protes pada keputusanku."Kan kamu yang ngilangin mobilku, jadi tanggung sendiri akibatnya. Udah sana, turun! Ntar telat loh!" Gantian, sekarang aku yang memaksanya turun. Emang enak! Siapa suruh bermain-main denganku.Akhirnya Mas Hanif mengalah, ia pun turun dari mobil. Setelah itu aku berpindah ke bangku kemudi, langsung tancap gas, meninggalkan Mas Hanif yang masih berdiri di pinggir jalan.BersambungBagian 4Ponsel yang sedang berada di dalam tasku bergetar. Aku pun segera menepikan mobil, lalu mengambilnya dari dalam tas. Ternyata sudah banyak chat yang masuk ke ponselku."Kamu jahat, Mas. Kamu bilang hanya mencintai istrimu seorang. Lalu aku ini apa?" Pesan dari wanita yang bernama Sapi. Namanya memang Sofia, tapi bahuku dia lebih cocok dipanggil sapi."Terus mau kamu gimana? Kamu ingin istriku mengetahui hubungan kita? Mikir yang cerdas, dong, Sofi!""Tapi enggak begitu juga, kali, Mas! Senang-senangnya sama aku, masa yang dipuji wanita mandul itu, sih?"Senang-senang? Apa maksudnya? Terus, wanita mandul, apakah yang dimaksud wanita itu adalah aku?Ya Allah … sakit sekali rasanya disebut sebagai wanita mandul.Pikiranku mulai tidak tenang. Rasa hangat mulai menguar dan menyebar ke setiap inci tubuhku. Aku tidak sanggup membayangkan jika suamiku telah membagi tubuhnya dengan wanita lain.Ternyata ini yang disembunyikan Mas Hanif dariku. Untung semalam aku sempat menyadap ponsel
Bagian 5Sudah malam begini, Mas Hanif belum pulang juga, padahal tadi ia janji mau pulang cepat setelah selesai meeting. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi.Kamu kemana sih, Mas? Kenapa enggak ngasih kabar?Sebenarnya aku sama sekali tidak mengkhawatirkannya, hanya saja aku takut jika ternyata Mas Hanif malah bersama wanita itu. Aku tidak rela! Untuk menjawab rasa penasaranku, aku pun berniat menyusulnya. Aku harus mendatangi kantornya.Segera ku keluarkan mobil dari garasi, kemudian mengendarainya dengan kecepatan sedang hingga akhirnya tiba di kantor Mas Hanif."Pak, Bapak Hanif masih di dalam? Lembur ya?" tanyaku pada Pak satpam yang sedang berjaga."Pak Hanif sudah pulang sejak sore tadi, Mbak, dan seluruh karyawan serta staf kantor sudah pada pulang semuanya.""Bapak yakin?" Karena ragu, aku kembali bertanya. "Yakin, Mbak.""Yasudah kalau begitu, terima kasih, Pak, saya pamit dulu.""Silakan, Mbak!"Kemana kamu, Mas? Apalagi yang kamu lakukan?Akhirnya aku memutuskan untuk pul
Bagian 6"Pa, aku mau tinggal di sini ya, bareng Papa," ucapku kepada Papa kala itu."Loh, kok' mendadak gini? Terus, Mama setuju?" tanya Papa, terlihat raut kebingungan di wajahnya."Aku kabur, Pa. Aku enggak mau lagi tinggal sama Mama.""Kenapa? Sebenarnya apa yang terjadi? Cerita sama Papa, Nak!""Aku kesal sama Mama. Mama enggak mau restuin hubungan aku sama Mas Hanif, Pa. Mama malah menyangkut pautkannya dengan urusan pribadinya," protesku."Namamu pasti punya alasan yang kuat, Nak. Pasti mamamu ingin yang terbaik untukmu. Tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Semua orang tua menginginkan anaknya bahagia, Nak." Papa mencoba menasehatiku."Kebahagiaan aku tuh Mas Hanif, Pa. Aku yakin pasti akan bahagia hidup bersama dia.""Kamu telah dibutakan oleh cinta, Nak. Coba pikirkan lagi keputusanmu."Mama sama Papa sama saja, tidak mengerti perasaanku."Papa minta sekarang kamu pulang dulu, temui Mama. Minta maaflah padanya. Kamu boleh tinggal di rumah ini sampai kapanpun k
Bagian 7"Gawat, Sof, Mira telah mencari bantuan, dia berniat ingin menjebloskan orang yang sudah mencuri mobilnya." Sebuah pesan dari dari Mas Hanif masuk ke ponselku. Ada untungnya juga aku menyadap ponselnya Mas Hanif, jadi aku bisa mengetahui semua pembicaranya dengan wanita itu."Masa menghadapi istrimu aja enggak bisa sih, Mas! Tahan dia, bila perlu kurung dia sepeti yang dikatakan Ibu tadi." Pesan balasan dari wanita itu."Tidak semudah itu, Sofi. Mira itu orangnya keras kepala.""Ancam saja, Mas. Dia kan sedang menjalankan program kehamilan tuh, ancam saja bahwa Mas akan menceraikan jika dia tidak nurut juga."Wow! Bahkan wanita yang bernama Sapi itu udah berani menyuruh Mas Hanif untuk menceraikanku. Luar biasa!"Belum saatnya, Sofi. Keinginan Mas belum terwujud. Setelah semuanya berada di genggaman Mas, maka itulah yang akan Mas lakukan!"Picik sekali pikiranmu itu, Mas! Bahkan kamu tidak ingat betapa aku telah berkorban banyak untukmu dan juga ibumu.Kuliahmu saja aku yang
Bagian 8"Mbok, Papa ada?" tanyaku pada Mbok Siti yang sedang menyapu teras depan."Ada, Non, lagi sarapan," jawab beliau.Mbok Siti adalah asisten rumah tangga Papa.Setelah mendengar jawaban Mbok Siti, aku pun langsung menuju ruang makan. "Papa."Aku langsung memeluk Papa dari belakang."Eh, anak papa, kamu sudah sarapan, Nak? Ayo sarapan sama papa."Bukannya melepas pelukan, aku bahkan memeluknya makin erat, lalu terisak di pelukannya."Kamu kenapa, Nak? Ada masalah? Cerita sama papa, Nak!" Papa menaruh sendoknya ke atas piring, menghentikan aktivitas makannya."Ayo duduk dulu, Nak." Papa mengambil tisu yang berada di atas meja, kemudian mengelap air mataku."Mbok, tolong bikinin teh hangat untuk Mira!" pinta papa kepada Mbok Siti."Iya, Tuan," sahut si Mbok."Tenang dulu ya, Nak. Papa minta jangan menangis lagi.""Ini teh hangatnya, Non." Mbok Siti menaruh gelas yang berisi teh hangat tersebut di atas meja."Makasih, Mbok.""Situ pamit ke belakang dulu ya, Tuan!""Iya, Mbok, sila
Bagian 9"Kejadiannya sudah lama sekali, saat itu kamu masih duduk di bangku TK. Mamamu dan mamanya Hanif itu sahabatan sejak dari SMP. Saat itu Zamila menelepon papa, meminta papa untuk datang ke sebuah hotel yang tidak terlalu jauh dari kantor papa. Katanya mamamu ingin memberi kejutan buat papa. Saat Papa tiba di hotel tersebut, Zamila mengarahkan papa ke sebuah kamar hotel. Saat pintu kamar hotel terbuka, ternyata mamamu sedang tidur dalam satu selimut bersama lelaki lain. Papa marah sama mamamu, dari situlah awal mula pertengkaran kami." Papa terlihat sedih saat menceritakan kejadian itu, bahkan sampai menitikkan air mata."Terus Papa percaya begitu saja?" "Iya karena papa menyaksikannya langsung dengan mata kepala papa sendiri.""Terus gimana penjelasan Mama? Aku tidak yakin jika Mama melakukan hal serendah itu, Pa." Aku menggeleng, berusaha menahan bulir bening yang hendak keluar dari kelopak mata."Mamamu memberi penjelasan bahwa dia dijebak oleh Zamila. Zamila yang memintany
Bagian 10Sesuai janji, setelah pekerjaan Papa selesai, aku dan Papa akan mendatangi rumah Mama. Aku akan meminta maaf terlebih dahulu, sekaligus ingin merayu Mama agar bersedia rujuk lagi sama Papa.Papa menjemputku di butik, dan aku ikut dengan mobil Papa.Ya, semenjak memutuskan untuk resign dari perusahaan, aku diam-diam membuka butik tanpa sepengetahuan Mas Hanif dan juga ibu mertua. Butik itu dikelola oleh Dinda, sahabatku, seorang janda yang menjadi korban perselingkuhan suaminya. Aku hanya menanam modal, dan Dinda yang mengelolanya.Mas Hanif melarangku untuk beraktivitas di luar rumah, alasannya agar program kehamilan yang sedang aku jalani berhasil. Tapi ternyata itu hanya alasannya saja. Mas Hanif melarangku keluar rumah agar ia bebas berkeliaran dengan selingkuhannya itu di luar sana.Ibu mertua sama seperti suamiku, beranggapan bahwa aku tidak lagi memiliki penghasilan setelah berhenti bekerja. Itulah sebabnya ibu mertua tidak lagi suka padaku. Menurut mereka aku hanyalah
Bagian 11"Pa, apa yang harus kita lakukan? Sepertinya Mama tidak akan mau maafin kita. Gimana ini, Pa?" keluhku pada Papa saat dalam perjalanan pulang. Hampir saja aku putus asa melihat perlakuan Mama padaku."Sabar, Nak. Ini baru permulaan. Tidak mudah untuk meluluhkan hati seseorang. Apalagi sudah bertahun-tahun, tentunya memberi maaf tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu butuh waktu dan proses. Papa maklum kenapa mamamu bersikap seperti itu."Apa yang dikatakan Papa memang benar, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa aku sangat sedih melihat sikap Mama seperti itu."Kita harus sering-sering datang ke sana agar mamamu luluh kembali. Abaikan sikap mamamu yang cuek dan kasar padamu. Pada dasarnya mamamu itu adalah wanita yang lembut dan penyanyang. Papa yakin, lambat laun pasti mamamu akan maafin kita."Aku hanya mengangguk, pandanganku tertuju pada kendaraan yang lalu lalang. Pikiranku tidak fokus."Mir, bisa kita ketemu nanti malam?" Sebuah pesan masuk dari Mas Ahmad."Sia