Share

5

"Bisa tanda tangan disini ya." Anggit mengarahkan Map merah jambu ke arah Nina. Tentu saja tidak langsung disetujui oleh Nina. Ia memilih untuk membaca terlebih dahulu isi kontrak yang tertera. Jaga-jaga kalau saja ada poin yang merugikan Nina.

"Tidak boleh membawa handphone...." Gumam Nina. Kemudian Ia mengangkat wajahnya untuk melihat Anggit yang masih setia tersenyum manis dihadapannya, "Kalau nggak boleh bawa handphone, gimana nanti saya mau hubungi keluarga? Atau kalau ada telepon penting dari kantor? Saya kan bukan pengangguran Mbak." Mungkin Nina terdengar agak sewot. Tapi sebenarnya Nina berbicara dengan nada yang sangat santai. Bagaimana pun juga kekhawatirannya tidak bisa menghubungi Bapak selama acara menjadi faktor utama kegelisahannya. Nina lebih takut jika Bapak akan benar-benar datang untuk mengobrak abrik agensi.

Anggit tersenyum tenang, "Nanti kami akan berikan handphone khusus yang akan digunakan ketika di dalam asrama. Soalnya nanti setiap malam pihak staf akan mengirimkan pengumuman melalui pesan teks. Nanti boleh kok kalau Mbak mau menginstall sosial media yang diperlukan. Mbak tetap bisa menghubungi keluarga, hanya saja nomor teleponnya berbeda. Silahkan kasih tahu keluarga tentang hal ini ya, Mbak."

"Ada kuotanya nggak, Mbak? Saya nggak mau jadi manusia purba di asrama," Tanya Nina dengan tidak tahu dirinya.

Anggit sontak tertawa kecil mendengar celetukan asal Nina, "Ada dong, Mbak. Bahkan wifinya gratis lagi. Dijamin lancar jaya."

'Yes! Kalau gabut bisa nonton sepuasnya' Batin Nina.

"Saya tetap bisa bekerja seperti biasa nggak?" Tanya Nina lagi.

"Bisa, Mbak. Kita nggak membatasi kok untuk masalah kerjaan. Tapi ada beberapa hari yang nanti akan kami ambil untuk keperluan kencan. Jadi harap disesuaikan ya jadwalnya," Jawab Anggit tenang. 

Mendengar kata kencan, semburat merah langsung muncul di pipi Nina. Segera Nina menanda tangani berkas dan kembali ke kantor. Nina terlalu gugup untuk membayangkan bagaimana rasanya kencan. Bagaimana cara dia harus bersikap di depan teman kencannya. Bahkan dia berencana akan membongkar ulang kopernya dan memasukkan semua baju yang dipikirnya akan cocok untuk kencan. Ah, atau mungkin lebih baik membawa dua koper besar sekalian. Jadi, Nina tidak perlu kebingungan jika kekurangan outfit nanti.

Saking malunya, saat Nina membuka pintu keluar, Ia tak sengaja menabrak seorang lelaki. Perawakannya tinggi, saking berototnya, Nina malah merasa kesakitan saat tubuh mungilnya bertabrakan dengannya.

"Eh? Maaf, kamu nggak apa-apa?" Tanya lelaki itu.

"Nggak apa-apa, Mas. Maaf juga ya. Permisi," Cicit Nina. Ia pun tetap menunduk dan segera berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Lelaki itu mengkerut dalam, seperti pernah melihat wajah itu. Tetapi dimana?

"Bang Arsen! Sini teken kontrak!" Panggil adiknya.

"Itu kenapa?" Arsen, menunjuk ke belakang tubuhnya tanda penasaran. Sebab perempuan itu berlari seperti dikejar zombie.

"Nggak tahu. Kayaknya perawan tua. Masa aku baru bilang tentang kencan aja dia langsung salah tingkah begitu. Dasar aneh," Ucap Anggit.

Arsen menangguk paham. Kemudian Ia melirik pada berkas dalam map pink yang sudah disediakan Anggit. Ia pun sontak mengaduh pelan, "Katanya udah tanda tangan sendiri. Buang-buang waktu istirahat Abang tahu nggak?" Arsen memprotes.

"Hehe, kalau aku nggak bohong nanti Abang nggak mau sama sekali ikut acara ini," Kata Anggit.

"Emang," Balas Arsen.

"Makanya cepetan tanda tangan sini. Biar habis ini kita makan di cafetaria," Anggit buru-buru menarik tangan Arsen dan menuntunnya untuk memegang pulpen. 

Arsen menuruti tanpa protes panjang. Pikirannya hanya berkelana pada makanan-makanan mewah di cafetaria kantor sang adik yang menurut Arsen sudah sekelas Hotel Bintang 5. Perutnya sudah semakin keroncongan karena lembur tadi malam. Setelah ini, Ia akan pulang dan tidur cantik sampai sore. 

"Cewek itu tadi yang namanya Karenina." Ceteluk Anggit. Arsen sendiri tampak tidak peduli dan masih membaca kontrak dengan seksama.

"Pecicilan." Gumam Arsen sebagai tanggapan.

"Iya kan, Bang. Makanya kata aku mah, nggak usah sama dia. Mending sama si Miss Indonesia aja." Saran Anggit. Namun Arsen tahu, itu hanya akal-akalan Anggit saja. Dia tergila-gila untuk menjadi populer. Kalau Arsen berhasil berpasangan dengan Miss Indonesia, engagement Anggit pun ikut naik. Arsen sendiri heran, jika Anggit sesuka itu dengan kepopuleran, kenapa tidak menjadi artis saja? Namun, Anggit mengatakan dia tidak percaya diri jika harus show off di dunia hiburan. Tujuannya menaikkan popularitas hanya untuk satu tujuan, yaitu menambah cuan.

***

"Siapa cowok itu?" Gumam Sasa yang kini tengah duduk di kursi tamu. Nina hanya mengendikkan bahu kemudian berjalan mendahului Sasa agar segera pergi dari kantor tersebut. Pada akhirnya, Sasa ikut Nina untuk pergi tanda tangan perjanjian kontrak acara. Sasa memilih merelakan jam istirahatnya daripada ketinggalan informasi dari Nina. Padahal Sasa bilang bahwa dia punya orang dalam yang tahu tentang acara ini, tetapi Nina merasa malah Ia yang banyak memberikan Sasa informasi.

"Udah ya, jangan tanya-tanya gue lagi, gue tuh udah tanda tangan kontrak, "Jawab Nina kala Sasa masih saja sibuk bertanya mengenai isi kontraknya.

"Ih, pelit banget sih lo sama teman sendiri," Kata Sasa dengan kesal.

"Bukannya pelit info, gue nggak mau kena denda gara-gara ngebocorin hal-hal terkait keberlangsungan acara, itu ada di salah satu syarat kontrak tahu," Kata Nina.

"Elah, emang lo pikir gue bakalan bocor kemana sih? Gue ini teman lo, Nin," Dumel Sasa, masih saja tidak terima. Tahu begini kan dia mending memilih makan saja. Hari yang dingin pasti akan sedap jika dihangatkan oleh kuah soto buatan Nico.

"Ck, gak usah pura-pura sok paling bisa jaga rahasia deh. Buktinya belum apa-apa satu kantor udah tahu gue ikutan dating show. Apalagi kalau gue bocorin kontraknya, bisa-bisa satu Indonesia tahu kali." Kali ini Nina mengomel. Rasanya kesal mengingat kejadian tadi pagi, alih-alih senang Ia malah merasa malu disoraki begitu. Ia merasa sebagian besar dari mereka mengejeknya karena Nina seperti sudah kehilangan harapan untuk jodohnya sendiri.

"Ya maaf deh, gue nggak akan begitu lagi." Kata Sasa sambil memperagakan diririnya yang mengunci mulutnya sendiri.

"Eh, tapi cowok tadi ganteng juga lho, Nin. Kayaknya dia peserta juga deh. Fix sih dia itu model," Ujar Sasa lagi.

"Ganteng doang kalau nggak mau sama gue ya percuma," Kata Nina.

"Makanya sebelum lo pergi, nanti gue ajari jurus jitu menggoda para pria. Dijamin nagih!" Seru Sasa. Nina seketika mendelik mendengar ucapan ambigu manusia di sebelahnya ini. Nina menggeleng pelan kemudian memilih mengabaikannya. Nina tidak perlu jurus jitu, sebab Ia sudah merasa percaya diri dengan dirinya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status