Berjalan bersama dengan Dito ke tempat yang dikatakan Wahyu, Indira jelas bingung alasan memanggil dirinya juga. Tidak memiliki kepentingan sama sekali dengan kegiatan di angkatannya, tidak mau banyak tanya memilih mengikuti kata senior.
“Kalian sudah shalat?” tanya Fajar dengan suara datarnya tapi tatapannya mengarah pada Indira.“Belum, mas.” Dito menjawab langsung.“Kalian shalat dulu aja nanti baru kesini,” ucap Wahyu memberikan saran.Indira yang paham dengan tatapan Fajar memilih menganggukkan kepalanya “Dit, kita shalat dulu aja.”Dito hanya bisa menuruti Indira, berjalan kearah musholla. Indira masih bisa mendengar suara Wahyu yang mengejek Fajar, menggelengkan kepalanya agar tidak berpikir negatif.“Disuruh cepat datang begitu sudah datang malah dimarahin, nasib jadi maba begini amat.” Dito menggelengkan kepalanya.Indira menepuk punggung Dito pelan “Makanya besok kalau jadi senior jangan galak-galak sama junior.”Meninggalkan Dito yang ingin memaki dirinya, memilih melakukan ibadah agar bisa berhadapan langsung dengan para senior. Indira keluar mendapati Dito sudah duduk dengan memainkan ponselnya, menggelengkan kepalanya melihat sikap Dito yang baru dikenalnya dua hari ini. Mendatangi Dito dan langsung berjalan kearah ruangan dimana para senior berada, tapi tidak ada di tempatnya.“Kita ke ruangan itu aja.” Indira memberikan usul.“Kamu yakin?” tanya Dito meyakinkan dirinya.Tidak menjawab pertanyaan Dito, Indira mengetuk pintu dan suara dari dalam membuatnya membuka pintu, tidak lupa menutupnya kembali saat melihat kedua pria itu duduk dengan membaca sesuatu yang tidak Indira tahu.“Dito? Komting?” Wahyu membuka suara terlebih dahulu yang diangguki Dito “Lembaran ini kamu bagikan ke teman-teman, itu tentang psycho camp yang akan kita adakan akhir rangkain ini. Orang tua atau wali tanda tangan sebagai tanda kalau menyetujui, usia kalian masih dibawah umur jadi butuh ijin dari orang tua.”“Kapan dikumpulkan, mas?” tanya Dito.“Lusa paling lama.” Wahyu menjawab langsung tanpa ragu.Indira hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka berdua, ingin masuk dalam pembicaraan tentang acara itu atau lebih tepatnya meminta ijin agar bisa tidak ikut. Dito keluar dari ruangan membuat Indira hanya sendirian berhadapan langsung dengan mereka berdua, menatap Wahyu yang langsung memasang headset seakan tidak mau terlibat pembicaraannya dengan Fajar.“Mas Wahyu,” panggil Indira tidak peduli dengan tatapan tidak suka Fajar.“Kenapa?” Wahyu melepaskan headset menatap Indira dengan tatapan bingung.“Boleh nggak kalau nggak ikut acara tadi?” Indira bertanya hati-hati.“Alasannya?” tanya Fajar langsung sebelum Wahyu membuka suaranya.Indira menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menatap takut pada kedua pria yang ada dihadapannya.“Aku nggak akan dikasih ijin sama orang tua keluar dari rumah.” Indira langsung menundukkan kepalanya.“Surat tadi kamu kasih ke orang tua.” Wahyu mengeluarkan suaranya dengan nada kesal.“Tahu, tapi...mereka nggak akan kasih ijin.”“Alasannya? Kamu belum kasih alasan yang jelas.” Fajar mengulangi pertanyaannya.Indira menatap mereka berdua dengan ragu “Aku nggak boleh terlalu lelah karena punya sakit.”“Kasih surat kalau memang nggak boleh, kami harus objektif bukan seenaknya sendiri.” Wahyu berkata dengan nada tegas.Indira terdiam, menundukkan kepalanya. Tidak mungkin dirinya mengatakan sebenarnya tentang penyakitnya, mereka berdua tidak akan paham dengan penyakit yang dirinya punya. Tidak semua paham dengan penyakit yang dia rasakan, orang juga tidak akan percaya dengan semua yang dikatakannya.“Mas yang urus, aku mau keluar.”Indira diam, mendengar pintu dibuka dan ditutup tidak lama kemudian. Saat ini tinggal berdua dengan Fajar yang masih memberikan tatapan penuh selidik pada dirinya, hembusan nafas panjang dikeluarkan Fajar membuat Indira mengangkat kepalanya dan tatapan mereka bertemu.“Kamu belum makan, kan?” Fajar mengambil kotak makan yang ada disampingnya “Makan dulu baru kita bicara.”“Kak, tapi...” Indira menutup mulutnya saat melihat tatapan tajam Fajar.Tidak punya pilihan memilih untuk membuka kotak makan yang diberikan Fajar, mengalihkan pandangan dan mendapati Fajar melakukan hal yang sama, mulai menikmati makanannya dalam diam. Indira hanya bisa mengikuti apa yang Fajar lakukan, kotak makan didalamnya sangat banyak membuat Indira tidak bisa menghabiskannya.“Nggak habis?” tanya Fajar yang dijawab gelengan kepala Indira “Aku ambil mana yang nggak kamu makan.”“Kak, tapi...”“Kenapa? Nggak boleh? Daripada mubadzir.” Fajar mengambil mana saja yang tidak di makan Indira.Melihat itu hanya membuatnya menghembuskan nafas panjang, tidak tahu apa yang akan dihadapinya nanti. Belum mengenal Fajar dalam membuat Indira sedikit bertanya-tanya tentang apa yang ada didalam pikirannya saat ini, mengangkat bahunya tanda tidak peduli dengan apa yang terjadi nanti.“Kamu nggak lupa kalau aku antar pulang nanti?” tanya Fajar membuat Indira menatap kearahnya dan seketika menggelengkan kepalanya “Kamu nggak penasaran hukuman apa yang akan kamu dapat?”“Aku lagi nunggu kakak bilang.” Indira mengatakan sebenarnya “Jangan aneh-aneh, kak.” Menatap penuh harap membuat Fajar tersenyum.“Sebelum aku kasih tahu hukumannya, kamu bisa kasih tahu alasan sebenarnya nggak ikut?” Fajar memberikan tatapan penuh selidik.“Aku sudah bilang alasannya, kak. Apa yang aku bilang itu memang sebenarnya.” Indira memberikan tatapan langsung pada Fajar seakan meyakinkan jika apa yang dikatakannya memang benar.“Aku antar pulang, aku bicara langsung sama orang tua kamu untuk tahu alasannya.”Indira membelalakkan matanya mendengar kata-kata Fajar, seketika menggelengkan kepalanya membayangkan reaksi orang tuanya saat tahu Fajar mendatangi rumahnya.“Aku jadi curiga kalau kamu cari-cari alasan biar nggak ikut acaranya.” Fajar memberikan tatapan penuh selidik membuat Indira membelalakkan matanya tidak percaya “Kamu nggak mau tahu hukumannya apa?” Indira langsung menganggukkan kepalanya membuat Fajar tersenyum “Jadi pacarku mulai sekarang.”“APA!” teriak Indira langsung membuat Fajar langsung menutup telinganya “Kakak nggak lagi kerasukan, kan? Apa sekarang lagi taruhan sama Mas Wahyu? Mana ada hukuman begitu?” Indira menggelengkan kepalanya langsung “Kita nggak pacaran beneran, kan?”“Beneran, mulai sekarang kita pacaran dan sebagai pacar aku akan antar jemput kamu.”Indira membelalakkan matanya mendengar kata-kata Fajar, menggelengkan kepalanya langsung tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi teman-temannya nanti saat tahu dirinya memiliki hubungan dengan pria dihadapannya.“Kak, kalau ini prank sumpah nggak lucu.” Indira menatap horror Fajar.“Bukan prank, tapi memang ini hukuman buat kamu.” Fajar memberikan ponselnya pada Indira “Ketik nomer kamu biar lebih mudah komunikasi.”Indira menatap ponsel Fajar ragu, tapi tetap mengambilnya dan langsung mengetik nomernya. Fajar menunggu dalam diam, tidak lama tangan Fajar terulur kembali membuat Indira menatap bingung.“Buku buat tanda tangan senior.” Indira menepuk keningnya dan langsung mengambil yang langsung diberikan pada Fajar “Aku jadi spesial sebagai orang pertama, aku ambil bukunya nanti pulang aku kembalikan lengkap dengan tanda tangan mereka semua.”“Kak, jangan lakukan itu. Biar aku lakuin sendiri.” Indira langsung menolak.“Tugas pertama sebagai pacar. Sekarang kamu balik ke tempat tadi dan kita ketemu di tempat parkir buat pulang bersama, sayang.”Balik ke tempat permainan tadi dengan lesu, pikirannya kemana-mana terutama tentang apa yang dikatakan Fajar. Senior yang dengan seenaknya mengajak pacaran tanpa meminta jawaban dan satu lagi tidak bertanya dirinya punya kekasih atau tidak, Indira yakin jika semua ini adalah permainan atau taruhan yang dilakukan seniornya jadi dirinya tidak akan menggunakan perasaan jika keluar sama dia.“In, ngelamun aja.” Sinta menepuk pelan lengan Indira.“Ada kejadian apa?” tanya Indira menatap Sinta yang berada disampingnya.“Mas Wahyu ngasih arahan game selanjutnya.” Sinta menjawab dengan memberi kode agar Indira menatap ke depan.Melakukan apa yang dilakukan Sinta, menatap ke depan dan tidak sengaja tatapannya bertemu dengan Fajar yang sedang berbicara dengan senior-senior wanita. Interaksi mereka sangat baik, bisa dilihat kalau senior wanita yang berada dihadapannya menatap penuh kekaguman, bukan perasaan cinta atau suka.“Lihat apaan?” bisik pria yang ada disamping Indira membuatnya terkejut
Perjalanan diisi dengan keheningan diantara mereka berdua, tidak tahu harus memulai bicara apa. Hubungan mereka hanya senior dan junior, tidak lebih dan hukuman yang didapatnya membuat Indira tidak tahu harus melakukan apa.“Kita makan dulu ya, dik.” Fajar membuka suaranya.“Ya, kak. Memang aku bisa nolak?”“Nggak, pintar kalau kamu paham. Kita makan di warung langganan aku nggak masalah?” tanya Fajar hati-hati.“Makan dimana saja yang penting makan, tapi tempatnya bersih dan nggak ada kucing, kan?”“Bersih, memang kenapa kalau ada kucing?”“Trauma sama kucing.” “Kayaknya nggak ada, tapi nggak tahu lagi. Gimana? Masih mau?”“Boleh, tapi nanti jangan malu kalau aku angkat kaki ya?”Fajar menatap tidak percaya mendengar Indira berbicara dengan sangat santai, bagaimana bisa gadis dengan santainya bicara akan mengangkat kaki saat makan. Fajar menggelengkan kepalanya pelan, menatap sekilas pada Indira yang
Tidak tahu apa yang dibicarakan Fajar dengan kedua orangtuanya, Indira hanya memberikan surat keterangan dokter jika tidak bisa ikut acara. Wahyu yang menerimanya hanya bisa diam dan tidak mengeluarkan suara apapun, bahkan bertanya pads Indira lebih.“Kamu benar nggak ikut acara itu?” tanya Mita yang diangguki Indira “Aku juga nggak dapat ijin, gimana ya bilangnya?”“Aku nggak tahu.” Indira sama sekali tidak bisa membantu Mita.Indira yang tidak berangkat membuat beberapa teman lainnya melakukan hal yang sama, beberapa kali Indira melihat ekspresi Wahyu takut dengan pemikirannya yang macam-macam tentang dirinya. Setelah mengantarkan ke rumah belum melihat keberadaan Fajar sama sekali, perasaan lega dan penasaran tentang keberadaan Fajar menjadi satu.“Mas Fajar lagi sibuk ngurus masalah RSJ,” ucap Ryan yang tiba-tiba duduk disamping Indira.“Aku nggak cari dia. Kamu kenapa disini?” tanya Indira penasaran.“Besok kita berangkat me
“Bukannya teman-teman kamu berangkat? Terus ngapain ke kampus? Habis dari kampus kemana?” tanya mama, Nuri.“Mau lihat mereka berangkat, ma. Habis dari kampus mau ke toko buku.”“Sama siapa? Pak Diman dipakai sama Bagas, terus kamu pulangnya gimana?”“Angkot masih banyak, ma. Aku berangkat kalau gitu.”“Seniormu kemarin siapa namanya? Ganteng orangnya, dia suka sama kamu?”“Kak Fajar? Nggak lah, mana mungkin dia naksir aku. Aku berangkat kalau gitu, ma.”Indira mengambil tangan Nuri mencium punggung tangannya, keluar diantar supir keluar menuju kampus, tidak peduli dengan masalah pulang karena sudah janjian dengan Gina, sahabatnya. Perjalanan rumah ke kampus tidak terlalu jauh, hanya saja Indira belum mendapatkan ijin untuk menggunakan kendaraan sendiri. Keadaan fakultasnya sudah mulai ramai, Indira memilih sedikit menjauh karena tidak enak dengan teman-teman yang lain. Bus yang akan mengantarkan mereka semua sudah bera
Tidak banyak yang tahu tentang hubungan Fajar dan Indira, walaupun banyak yang bertanya-tanya tapi Indira tidak pernah menjawab dengan pasti. Indira hanya menceritakan pada Mita, teman sekolahnya dulu. Ryan, pria itu tetangga Fajar jadi tahu banyak tentang hubungan mereka berdua dan tidak masuk kedalam hitungan.Indira tidak pernah tahu kalau Fajar selalu berhubungan dengan papanya, Ahmad. Baru tahu ketika mereka jalan pada saat yang lain psycho camp, jalan yang menurut Fajar adalah kencan tapi tidak dengan Indira.“Sebenarnya kamu sendiri sama Mas Fajar gimana?” tanya Mita saat mereka menunggu dosen masuk.“Nggak tahu, gosip-gosip itu membuat aku jaga semuanya.”“Itu kan gosip belum tentu benar.” Mita mengingatkan yang diangguki Indira “Kamu sudah ketemu sama Mas Romi?”“Ah...untung kamu bilang, soalnya Aulia cerewet banget buat aku ketemu sama Mas Romi.”“Jadwal kuliahnya beda jadinya sulit ketemu.” Indira membenarkan perkataa
“Baca apaan sih?” tanya Fajar penasaran.Satu hal yang tidak diketahui anak fakultas adalah Fajar yang sering datang ke rumah Indira setiap selesai jadwal di RSJ atau weekend atau setiap ada waktu luang, kalau ditanya tentang status mereka pastinya akan memberikan jawaban berbeda. Indira masih tidak yakin dengan keseriusan Fajar, tapi berbeda dengan Fajar yang akan menjawab mereka memiliki status asmara.“Mala sama Mas Romi bisa gitu bilang suka barengan,” ucap Indira sambil menggelengkan kepalanya tanpa menatap Fajar.“Maksudnya?” tanya Fajar bingung.Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar “Mala sama Mas Romi bilang kalau mereka saling suka satu sama lain, terus tanya kira-kira gimana bisa tahu kalau dia suka. Aku kaget aja kenapa gitu bisa bareng.”“Gimana mereka saling kenal?”“Dua hari lalu Mas Wahyu dan Mas Romi ngajak makan bareng, aku ajak teman-teman yang lain cuman Mala, Lia sama Sinta yang mau ikut....”“Mit
Kabar Romi dengan Mala menjadi pasangan membuat heboh satu fakultas, membandingkan hubungannya dengan Fajar sampai saat ini tidak ada yang tahu. Tidak ingin orang tahu tentang hubungannya dengan Fajar, dimana pastinya akan menjadi bahan pembicaraan dan mereka sangat yakin jika hubungan ini hanya sesaat.“Lihat mereka jadi iri,” ucap Lia yang tidak ditanggapi Indira “In, kamu kan dekat sama Mas Wahyu dan Mas Fajar buat aku jadian sama salah satu dari mereka. Eh...tapi jangan Mas Fajar pastinya nggak akan tahan lama mending Mas Wahyu, tapi kalau sama Mas Fajar juga nggak papa setidaknya bisa merasakan dekat sama orang pintar dan tampan.”“Kamu pendekatan sendiri aja, Mala aja pendekatan sendiri dan aku tidak tahu apa-apa.” Indira langsung menolaknya.“Mala bilang karena...”“Lia, Indira lagi apa ini? Nggak nyangka Romi jadian sama Mala, aku kira bakal sama kamu.” Wahyu memotong Lia yang ingin bicara.“Nggak lah, mas. Mas Romi hanya mas saja
Mobil berhenti di restoran yang menyajikan steak, tempat makan yang terkenal di banyak orang. Indira pernah makan disini dan biasanya bersama keluarga, tidak dengan teman-temannya karena memang harganya mahal.“Kak, kita makan disini?” tanya Indira memegang lengan Fajar.“Ya, kenapa?” Indira menatap Fajar penuh ketakutan “Aku baru dapat gaji dari RSJ.”Indira menggelengkan kepalanya “Nggak dibuat makan gini juga kali, kak. Mending kita makan di tempat biasa saja, uang kakak bisa dibuat yang lain.”“Lain? Kaya apa? Biaya menikah? Aku sudah siapin kalau itu.” Fajar mengatakan dengan santai membuat Indira membelalakkan matanya. “Udah, kita keluar. Aku udah lapar.”Menatap Fajar yang keluar dari mobil membuat Indira hanya bisa pasrah mengikutinya, Fajar sendiri menunggu Indira keluar dari mobil dengan harap-harap cemas, tersenyum tipis saat melihat Indira keluar dan melangkah kearahnya. Mengambil tangan Indira dengan menggenggam tangannya, ti