Alarm dari ponselnya berbunyi membuat sang pemilik manik biru seindah laut membuka mata. Tangan kanannya meraba nakas dan mengambil ponsel lalu mematikan alarm tersebut setelah melihat jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Oh sial! Bangun siang? Liam terdiam sejenak dengan keningnya berkerut lalu menoleh ke samping tak menemukan gadis itu dimanapun, bahkan setelan jas yang ia pakai kemarin tidak ada disana. Kemana perginya gadis itu?“Oh God!” Liam langsung terduduk, membuka selimut dan memejamkan matanya sejenak sambil memijat keningnya melihat betapa berantakannya dirinya pagi ini, apa yang ia lakukan semalam? Liam menghembuskan napas kasar lalu hendak mengambil ponselnya lagi untuk menelpon Walt, ia membatalkan niatnya karena melihat sebuah kalung yang terjatuh di bawah ranjang lantas Liam mengambil dan melihat sebuah nama di sana.“Railee,” gumamnya menatap kalung itu.Sebelah alisnya terangkat, bukankah semalam gadis itu mengatakan bahwa ‘Arlene’ adalah namanya, dan ini?
Walt bersandar di kursi menatap layar komputer dengan begitu banyak pekerjaan yang berada di sana. Ia terdiam sejenak seraya memegang lehernya yang terasa berat lalu bangkit dari kursi dan bergegas keluar dari ruang kerja membawa beberapa berkas di tangan untuk ia berikan pada boss-nya, Maximiliam Addison. “Hey, Walt!”Langkahnya terhenti ketika seseorang memanggil, ia menoleh ke belakang, mendapati seorang wanita bermanik cokelat menghampirinya lengkap dengan senyuman cantik terlihat di bibir. Keningnya berkerut melihat pakaian wanita itu yang berbeda dengan apa yang dia pakai pagi tadi.“Ada apa denganmu?” tanya Walt penasaran.“Tidak ada, bersiaplah, kita akan pergi,” jawab Catherine membuat Walt kembali terdiam lalu manik cokelatnya melirik ke samping melihat ruang kerja milik Josie terlihat sepi seperti belum tersentuh oleh pemiliknya. Apakah Josie belum juga datang sejak pagi tadi? Bagaimana bisa? Sejak wanita itu bekerja di perusahaan ini, Josie tidak pernah seperti ini sebelum
“Railee! Apa kau sudah gila? Kenapa kau tidak mengatakan padaku lebih dulu?”Suara dentuman music dan teriakan terdengar begitu keras memekakkan telinga, kerlap-kerlip lampu disegala arah, aroma minuman alkohol dan asap rokok sudah menjadi satu paket di tempat berkumpulnya para peminum. Diantara semua itu, ada satu wanita berusia dua puluh empat tahun yang tidak berhenti berbicara sejak dua puluh menit yang lalu, siapa lagi kalau bukan sepupunya, Kaia Seyfried.Sudah biasa bagi Arlene mendengarkan kemurkaan sepupunya itu seperti saat ini ketika mereka sedang bekerja. “Kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya,” ucap Arlene seraya memasukkan es batu ke dalam gelas tetapi Kaia merebut dengan cepat.“Ya, aku tahu, tapi kau tidak bisa mengambil keputusan bodoh, Railee.”Arlene tersenyum, mengambil kembali gelas itu dari tangan Kaia. “Kita bahas ini saat jam pulang, disini sangat ramai dan layani orang, okay?” Arlene melembutkan suaranya, menenangkan Kaia dari kemurkaannya seraya menuangka
Addison Corporation2:25 PM.Catherine mengerutkan keningnya saat mobil hitam yang ia duduki bersama Liam berhenti di depan perusahaan, ada seorang wanita berdiri di depan pintu masuk mencoba untuk masuk tetapi dua penjaga menahannya. Catherine memastikan kembali apa yang ia lihat tidak salah dan ternyata wanita itu kembali, sontak ia langsung memanggil Liam yang saat ini masih menatap laptop di pangkuannya.“Sir... aku rasa itu Josie.”Ucapan Catherine Dench membuat Liam menghentikan pekerjaannya, menoleh keluar kaca mobil. Ia melihat Josie, mantan sekretaris yang sudah ia pecat tiga bulan yang lalu kembali datang kembali.“Apa aku harus mengusirnya?” tanya Catherine.Liam menutup laptopnya lalu menegakkan tubuh seraya menggeleng singkat. “Tidak perlu,” jawab Liam seraya memasukkan laptop ke dalam tas kemudian keluar dari mobil setelah dibukakan pintu oleh supirnya.Catherine segera keluar mengikuti Liam, bersamaan dengan itu Josie menoleh ke belakang ketika dua penjaga itu menundukka
Senyumnya pudar ketika seorang pria bertubuh tegap membalikkan tubuhnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat matanya bertemu langsung dengan manik biru laut itu.Arlene tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat ini, secara bersamaan ia juga terpesona dengan ketampanan pria itu. Setelan jas yang sangat pas di tubuh kekarnya dan ia baru menyadari betapa sempurnanya pria itu setelah tidak bertemu untuk waktu yang lama. Ia dan Kaia datang kesini dipaksa oleh pria itu karena awalnya Dave hanya meminta untuk foto koleksinya karena pria itu juga memotret Kaia tetapi beberapa lama kemudian, pria itu meminta Arlene dan Kaia untuk datang karena ada kejutan untuk dirinya yaitu Dave memajang fotonya di pameran, seharusnya malam ini ia ingin memarahi Dave karena telah memajang fotonya tetapi semuanya punah melihat sosok yang sudah ia janjikan untuk tidak akan bertemu lagi.Sudah satu tahun berlalu dimana kejadian yang benar-benar tak terduga, Arlene menyerahkan tubuhnya pada seorang pria
Tidak ada lumatan hanya kecupan, kedua mata Arlene terpejam karena takut, ia merasakan sengatan penyesalan malam ini—tidak seharusnya ia datang kesini, tapi takdir yang membuat Arlene bertemu dengan dua pria yang sudah tak ia temui selama satu tahun lebih secara bersamaan di tempat dan jam yang sama. Tidak ada balasan dari ciuman itu dan ia tak berharap jika Liam membalasnya. Rasa takutnya kembali muncul ketika kedua matanya menatap pemiik netra biru itu. “Berpura-pura lah menjadi kekasihku, hanya malam ini saja, aku janji—”Tubuhnya membeku, pria itu melumat bibirnya membuat kedua kakinya lemas saat pria itu menarik pinggangnya hingga tubuh mereka saling bertemu. Arlene terpejam membalas ciuman itu dengan lembut. “Brengsek!”Arlene tersentak kaget tiba-tiba ciuman itu terlepas, ia menutup mulut dengan mata yang membulat sempurna melihat Morgan langsung menghantam rahang Liam dengan keras hingga pria itu hampir saja tersungkur ke bawah jika tidak ada mobil lain disana. Tidak ada pemba
Mulutnya membisu, tubuhnya seakan lumpuh sementara di dalam ruangan temaram yang hanya dihiasi barang barang yang tertutup kain putih dan bau vanilla yang menjadi aroma kesukaannya sudah menjadi aroma yang sangat ia benci.Sesuatu yang bahkan membuatnya tidak tahu cara untuk mengeluarkan air mata lagi saat ini. Lelah, kedua manik birunya hanya bisa menatap langit langit kamar dan menyadari bahwa dirinya berada ditempat asing dan tubuhnya berkeringat. Menangis tanpa suara, satu alasan pasti, ia tidak ingin terlihat lemah dihadapan dua orang yang sangat ia benci saat ini. Salah satu alasan mengapa dirinya berada ditempat ini adalah sepupunya, Kaia Seyfried. Tetapi dirinya terlalu bodoh untuk hal ini, yang ternyata hanyalah sebuah kebohongan yang dilakukan mereka demi bertemu dengannya. Dua orang terpaut usia yang jauh tetapi satu darah berada didalam dirinya dan satu kalimat yang selalu ia ingat saat mendengar suara berat dan serak itu adalah.“Let me be your nightmare every night.”Arle
“Selamat siang, Mr. Addison.”Arlene melangkah keluar dari lift seraya focus pada ponselnya dan tiba-tiba saja layar dimunculkan dengan telepon masuk. “Kenapa nomor ini selalu menelponku?” gumamnya seraya mematikan panggilan itu. Jam sudah menunjukkan waktu makan siang dan tentunya ia bebas siang ini karena Alexander Addison tidak ada sejak tiga jam yang lalu dan mendapatkan waktu istirahat lebih awal. Ia memasukkan ponsel ke saku rok lalu mendorong pintu kafetaria—Manik birunya melihat seorang wanita mengangkat tangannya tinggi. Arlene tersenyum seraya menyeret kakinya menghampiri meja itu dan duduk di hadapan wanita cantik.“Aku sudah memesankan makan siang untukmu.”“God, thanks, Catherine...” Catherine adalah orang pertama yang berteman dengannya sekaligus wanita yang mengajarkan bagaimana bekerja disini. Pertemuan mereka diawali ketika ia memasuki hari pertama bekerja, saat itu Catherine mengantarkan dirinya ke ruangan sekretaris atas permintaan Alexander.“Hari ini Mr. Alexander