Share

4. Senang Bertemu Denganmu, Becks!

Happy Reading . . .

***

Dengan menampilkan senyuman, aku menatap akan rasa puas yang aku rasakan pada saat memandang diriku yang sudah merasa cukup setelah selesai merias penampilan yang hanya bisa aku lakukan sederhana ini. Setelah memakai high heels setinggi lima centimeter, sekali lagi aku memandang penampilanku di depan kaca dengan gaun sederhana setinggi di atas lututku sedikit, dan cukup tertutup yang Bryce pernah belikan untukku dulu, membuatku merasa cukup siap untuk datang ke pesta undangan Ava.

Sejenak aku pun mengirimkan pesan kepada Bryce untuk memberitahu bahwa aku akan pergi dan Renne pun yang juga sudah tertidur sejak tadi. Tidak lupa dengan makan malam pria itu juga sudah aku taruh di dalam microwave, agar jika ingin memakan Bryce bisa langsung mengeluarkannya dengan kondisi makanan yang hangat. Hingga dentingan suara pesan masuk dari Ava yang memberitahu jika dia sudah sampai di luar rumah, membuatku langsung mengambil tas jinjing dan bergegas melangkah keluar dari kamar. Dengan sepelan mungkin aku pun berjalan dan membuka atau menutup pintu rumah agar tidak menimbulkan suara yang nantinya dapat membuat Renne terbangun dari tidur. Setelah mengunci pintu rumah, aku pun bergegas menghampiri Ava yang sudah berdiri di samping mobilnya tersebut.

"Kau sudah siap?" Tanya Ava.

"Menurutmu?"

"Hei, dimana gaun yang aku berikan kemarin?"

"Bryce tidak mengizinkanku untuk memakainya."

"Itu gaun terbaik yang pantas untukmu. Sekarang kau kembali ke dalam, dan ganti dengan gaun pilihanku itu."

"Aku pun berharap bisa berpenampilan luar biasa seperti dirimu ini, Av." Balasku sambil memandang penampilan luar biasanya dengan gaun ketat bewarna merah menyala yang mencetak tubuh indahnya itu. "Tetapi dengan Bryce yang sudah mengizinkanku untuk datang ke pestamu saja, itu pun sudah cukup. Dan setelah itu mau tidak mau, aku harus menuruti setiap keinginannya. Sudahlah, kita berangkat saja. Atau aku akan berpikir dua kali lagi karena rasa tidak tegaku saat ini begitu besar karena Renne yang harus aku tinggalkan sendirian di dalam." Sambungku yang tidak ingin mengulur waktu.

"Baiklah, baiklah. Kita pergi sekarang. Kau begitu sabar menjadi seorang wanita, Darling. Ayo, masuklah."

Setelah mendengar ajakan dari Ava, aku bergegas masuk ke dalam mobilnya dan kami pun langsung meluncur menuju letak keberadaan kantor Ava yang katanya hanya membutuhkan waktu dua puluh lima menit saja untuk sampai di sana. "Av, apa sungguh aku tidak masalah datang ke acara pesta kantormu itu? Bahkan aku ini bukan pegawai di sana. Maksudku, apa nanti kau tidak akan dimarahi oleh bosmu karena sudah mengajak sembarang orang ke pesta itu?" Tanyaku yang membuka pembicaraan di antara kami.

"Mandy, ayolah sudah berapa kali aku menjelaskannya kepadamu? Apa kau masih tidak mengerti juga?"

"Aku hanya memiliki perasaan kalau nanti, aku akan merasa tidak nyaman berada di sana. Kau tahu, bukan? Keramaian akan orang lain masih terasa asing bagiku."

"Maka dari itu aku ingin mengajakmu untuk bisa mengenal dunia luar yang menyenangkan ini, Mandy. Si brengsek itu sudah terlalu sering mengekangmu sampai-sampai kau tidak bisa mengenal dunia luar. Betapa menyebalkannya, bukan?"

"Av, menurutmu jika waktu bisa diputar dan aku tidak menerima lamaran Bryce pada saat itu, apakah aku bisa mendapati kehidupan seperti yang kau jalani saat ini?"

"Tentu saja, Mandy. Jangankan kehidupan sepertiku, bahkan aku yakin kau bisa menjalani kehidupan melampaui kehidupanku. Karena setelah menikah dengan brengsek itu, kehidupanmu seakan-akan langsung seperti terenggut dari kebahagiaan yang sesungguhnya."

"Tetapi dia setia dan benar-benar mencintaiku, Av. Rasanya mungkin akan sangat sulit mendapati pria dengan sifat Bryce yang satu itu pada masa sekarang ini."

"Jika Bryce benar-benar mencintaimu dengan tulus, aku rasa tidak seharusnya dia mengurungmu di rumah saja layaknya hewan peliharaan. Kau sudah begitu dibodohi oleh setiap sikap manis dan rasa cinta palsunya itu terhadapmu. Mandy, kau harus sadar. Bryce bukan pasangan yang baik untukmu. Dia bukan suami yang baik, dan lebih buruknya lagi dia itu bukanlah Daddy yang baik untuk Renne."

Aku pun langsung terdiam sejenak mendengar setiap ucapan Ava yang ternyata terasa cukup menusuk hatiku. Ucapan Ava yang terkesan kasar itu, rupanya tidak bisa aku pungkiri jika presentase kebenarannya itu sebesar sembilan koma sembilan puluh sembilan persen. Dan aku yang sepanjang perjalanan lebih banyak terdiam dan merenung, tidak tersadar jika rupanya mobil Ava sudah berhenti dan terparkir tepat di depan bangunan kantornya itu. Ava yang mengajak turun dari mobil, membuatku langsung bergegas melepas sabuk pengaman yang aku kenakan dan turun dari mobil sahabatku ini.

"Av, kau harus berjanji kepadaku untuk tidak menghilang apalagi sampai pergi-pergi dariku." Ucapku pada saat kami sedang melangkah memasuki kantor Ava.

"Keposesifan Bryce sudah menurun kepadamu."

"Aku serius! Aku tidak ingin menjadi orang bodoh di pesta yang sama sekali tidak ada yang aku kenal apalagi aku ketahui ini."

"Baiklah, kau ini takut sekali jika aku pergi darimu."

Lalu Ava pun mengajakku untuk menaiki lift menuju lantai dimana pesta tersebut berada. Bahkan musik ciri khas pesta sudah mulai bisa aku dengar disaat lift yang aku naiki ini sudah melesat ke atas menuju lantai dua puluh satu. "Berjanjilah, Av!" Peringatku sekali lagi yang membuat sahabatku itu menjadi mulai terlihat jengah karena diriku.

"Mandy, astaga tenanglah! Aku tidak akan meninggalkamu."

Aku hanya bisa mengulum senyuman disaat melihat wajah Ava yang mulai terlihat setengah marah. Hingga beberapa saat lift yang membawa kami menuju lantai pesta pada akhirnya sudah terbuka, membuat Ava langsung mengajakku menuju meja bar yang terlihat di depan sana tidak jauh dari lift tersebut. Langkahku pun menyusuri setiap celah di antara cukup ramainya orang yang terlihat begitu membaur dan menikmati pesta yang bagiku masih terasa asing ini.

"Kau ingin vodka?" Tawarnya disaat aku baru saja mendudukkan diri di salah satu kursi bar yang kosong.

"Aku tidak bisa mabuk. Dan bagaimana jadinya nanti jika Bryce mengetahui aku minum vodka?"

"Hanya satu teguk saja dan itu pun tidak akan membuatmu langsung mabuk. Ayolah, kau harus menikmati pesta ini."

"Aku yang memang tidak bisa, Av. Bukan karena Bryce dan segala sifat brengseknya yang selalu ada di dalam benakmu itu."

"Lama-lama kau sejenis dengannya, begitu kaku dengan kehidupan yang menyenangkan ini. Lalu, kau ingin minum apa?"

"Air mineral saja."

"Aku ingin menendangmu saat ini juga, jika aku tidak mengingat kalau kau adalah sahabatku." Ucapnya dengan ketus dan membuat tawa kecilku terdengar saat melihat rasa kekesalan Ava terhadapku yang memang masih belum bisa untuk menikmati pesta yang sebenarnya terasa menyenangkan untuk dinikmati.

"Aku membutuhkan adaptasi untuk hal-hal baru seperti ini. Bagiku pesta seperti ini masih terasa sangat asing, Av. Selama aku hidup, aku tidak pernah merasakan dunia seperti ini."

"Aku sangat ingin membantumu mendapatkan semua keinginan yang belum pernah kau capai dan rasakan, Mandy. Tetapi jika kau masih bersama dengannya, itu akan terasa sulit, Mandy. Atau bahkan hal yang seperti ini hanya akan kau rasakan satu kali seumur hidupmu jika kau masih saja ingin memutuskan untuk tetap menjalani pernikahan bersama bajingan itu."

"Aku takut, Av. Tidak ada celah untukku membicarakan perpisahan dengannya. Jangan hal itu, hal sederhana yang ingin aku ceritakan kepadanya saja seakan waktu tidak pernah mengizinkan untukku bisa berbicara dengannya."

"Kau harus mencoba."

"Ribuan kali dan selalu berakhir dengan kegagalan."

"Berikan ancaman kepadanya."

"Semudah itu kau berbicara? Aku ingin sekali menjadi dirimu yang selalu tidak pernah memiliki rasa takut terhadap apapun, Av."

"Maka dari itu kau harus memiliki rasa tidak takut terhadap apapun dan siapapun."

"Aku dilahirkan dengan perasaan selembut salju."

"Aku rasa kau membutuhkan sesuatu yang sangat panas agar perasaanmu yang selembut salju itu bisa mencair."

"Sesuatu yang sangat panas? Seperti apa itu?"

"Entahlah, pengganti Bryce mungkin?"

"Kau selalu saja berbicara seenaknya. Menyebalkan!"

"Hei, kita di sini tidak ingin membicarakan tentang kesedihanmu yang hidup bersama dengan pengekang, bukan? Ayolah, aku mengajakmu ke sini untuk bersenang-senang dan melupakan sejenak akan statusmu yang sudah berkeluarga itu."

"Seandainya semudah itu."

"Tentu saja semudah itu. Lihat saja di sana, seseorang mendapatkan penggemar baru."

Ucapan Ava pun langsung membuatku ikut mengarahkan pandangannya menuju seorang pria yang kini sedang berdiri tidak jauh sambil menggenggam segelas minuman dan melemparkan senyuman ke arah dimana aku dan Ava berada.

"Kau?" Tanyaku yang memastikan.

"Tentu saja kau, Mandy! Apakah kau tidak bisa melihat tatapannya itu?"

"Terlihat seperti suka bermain."

"Sayangnya kau tepat sekali. Kau pandai melihat sifat orang lain hanya dengan memandang sekilas saja."

"Benarkah? Memangnya dia siapa?"

"Mulai ingin tahu, huh?"

"Ava!" Protesku karena ia yang sudah menggodaku.

"Dia fotografer hebat. Banyak perusahaan majalah, penerbit dan banyak yang lainnya lagi yang ingin memakai jasanya. Dan Style's, sedang berusaha untuk mendapatkannya. Tidak peduli sebesar apapun harga yang ditawarkan, dan seberat apapun persaingannya."

"Sehebat itu?"

"Lain waktu jika aku sempat, aku akan mengajakmu ke gallery-nya. Dan satu juta dibanding satu orang yang melihat, dipastikan akan langsung jatuh cinta dengannya."

"Mungkin lebih tepatnya dengan setiap karya-nya."

"Dengan Becks-nya sendiri pun aku yakin pasti juga banyak yang bertekuk lutut di bawah kakinya."

"Becks?"

"Becks Dallas, jika kau penasaran dengan namanya."

"Bagaimana denganmu? Apakah kau salah satu dari korban Becks yang akan bertekuk lutut di bawah kakinya?"

"Oh... please. Becks hanya satu dibanding satu juta orang yang akan berhasil menaklukkan hatiku."

"Hati-hati berucap, bisa saja nanti kau yang justru jatuh cinta kepadanya."

"Hati-hati berucap, cinta pada pandangan pertama tidak akan ada yang bisa memungkiri."

"Hei, kau ingin kemana?" Tanyaku yang melihat Ava sudah turun dari kursi bar yang di dudukinya, dan terlihat hendak pergi.

"Menemui bosku sebentar, aku janji dalam lima menit akan kembali." Balasnya dengan sedikit berteriak di telingaku karena suara dentuman musik pesta semakin terdengar mengencang.

"Aku akan benar-benar marah jika kau mengingkari janjimu."

"Tidak, tenang saja. Asal kau jangan pergi kemana-mana."

Aku menganggukkan kepala sebagai isyrat akan diriku yang ingin mengikuti permintaan Ava tersebut. Setelah itu, aku pun mengikuti arah perginya Ava yang semakin jauh, semakin menghilang di dalam kerumunan orang-orang yang terasa semakin memenuhi ruangan pesta ini. Beberapa saat aku menunggu Ava dengan menghabiskan beberapa kali tegukan air mineral yang aku pesan tadi, namun aku tidak mendapati Ava yang masih kembali juga.

Memang pada saat melihat jam tangan yang aku kenakan, ia baru meninggalkanku selama tiga menit saja. Namun karena suasana pesta ini yang terasa semakin menjadi tidak nyaman, membuatku memutuskan untuk pergi ke toilet sejenak. Suasana toilet yang pastinya terasa sedikit lebih tenang, mungkin akan membantuku menjadi lebih baik di bandingkan merasakan pesta yang sepertinya memang tidak pantas untuk orang-orang seperti diriku ini.

Hanya dengan mengandalkan instingku mengenai keberadaan toilet yang letaknya pun sama sekali tidak aku ketahui, aku melangkah menyusuri setiap belokan ruangan yang rupanya sama penuh dengan orang-orang di setiap tempatnya. Hingga insting yang benar-benar mengarahkanku, pada akhirnya aku melihat sebuah pintu yang semakin aku yakini jika itu adalah letak toilet dari logo ciri khas toilet yang terpasang pada pintunya. Rasa senang langsung aku rasakan disaat pada akhirnya aku bisa merasakan ketenangan sejenak di dalam toilet, yang aku rasa tidak ada orang di dalamnya selain salah satu bilik yang tertutup karena pikirku ada seseorang di dalamnya. Sentuhan pada tanganku akan dinginnya air yang mengalir pada salah satu wastafel yang aku gunakan, seakan dapat merelaksasi sejenak perasaanku terhadap pesta. Ketidakcocokan akan hal apapun rupanya memang dapat membuat ketidaknyamanan seperti yang sedang aku rasakan saat ini.

Dan disaat aku sedang menggunakan sabun untuk mencuci tangan, tiba-tiba saja pintu bilik yang sebelumnya tertutup tadi terbuka dengan cukup cepat hingga membuatku terkejut karena suara pintu yang ditimbulkan itu. Pandanganku kini tertuju pada kaca di hadapanku yang sedang memantulkan sosok seorang wanita yang ternyata keluar dari bilik tersebut, dan kini terlihat sedang merapikan pakaian yang dikenakannya itu. Senyuman yang aku berikan pada saat secara tidak sengaja tatapan kami bertemu, hanya diabaikan olehnya saja yang kini sudah melenggang keluar dari toilet ini, dan hanya menganggap sapaan dari senyumanku itu hanyalah angin lalu saja.

Tidak ingin mengambil pusing atas kejadian tersebut, aku pun mengulurkan tangan tepat di bawah keran otomatis wastafel yang dengan sendirinya sudah mengeluarkan air di sana. Hingga tidak lama kemudian, pandanganku menangkap sosok seorang pria yang keluar dari bilik yang sama. Bilik dimana seorang wanita acuh tadi keluar juga dari dalam sana. Suasana canggung pun langsung aku rasakan, ditambah lagi dengan sosok pria tersebut adalah pria yang tadi sudah memperhatikan diriku pada saat di meja bar tadi. Pria yang kalau tidak salah bernama Becks, yang kini sudah berdiri tepat di sampingku karena ia yang sedang mencuci tangan tepat di wastafel yang bersebelahan dengan wastafel yang masih aku gunakan ini.

Keheningan yang hanya diisi oleh suara germercik air yang mengalir di dalam wastafel entah kenapa semakin membuat situasi yang terjadi menjadi begitu canggung. Kecanggungan pun semakin menjadi disaat secara tidak sengaja aku melihatnya yang mulai curi-curi pandang kepadaku. Postur tubuhku yang tingginya ternyata tidak jauh dari pria itu, membuatku cukup mudah untuk mengintipnya dari sudut mata agar aku bisa menangkap dengan jelas apa yang sedang dilakukannya itu. Hingga tanpa aku duga, ternyata ia menyapaku terlebih dulu.

"Hai." Sebuah sapaan yang langsung membuatku secara spontan mengalihkan pandangan kepadanya yang ternyata sedang menampilkan senyuman yang entah kenapa membuatku menjadi merasakan kegugupan.

"Ha-hai,” balasku dengan tergugup karena merasa aneh ketika berbicara dengan orang asing. Hingga aku pun berusaha secepat mungkin aku membasuh tanganku agar benar-benar bersih dari sabun, sambil menenangkan diri akan terciptanya suasana yang bagiku terasa sangat canggung dan begitu asing ini.

"Kau bekerja di sini?" Tanya pria itu lagi kepadaku sambil sedikit menolehkan kepalanya untuk bisa menatap diriku.

"Huh? Hm... maksudku, tidak. Aku tidak bekerja di sini," balasku dengan perasaan gugup yang entah mengapa semakin terasa menyerang diriku.

"Aku pikir kau salah satu model di sini."

"Tidak, aku bukanlah model."

"Lalu, bagaimana kau bisa berada di sini? Setahuku Style's tidak akan pernah memberikan akses masuk untuk sembarang orang."

"Aku datang ke sini karena seorang teman. Ava. Apakah kau mengenalnya?"

"Ahh..., Stella. Si asisten kepala editor itu? Ya, tentu aku mengenalnya. Tadi aku juga melihatmu yang sedang bersamanya."

"Ya."

"Jadi, kau temannya?"

"Ya."

"Sejak kapan?"

"Sudah cukup lama. Hm... aku ingin kembali menemui Ava. Sepertinya dia sedang mencari-cari keberadaanku." Selaku yang ingin menghentikan perbincangan sebelum nantinya akan semakin bertambah panjang dan terlalu lama.

Tanganku yang sudah bersih dari sabun membuatku dengan cepat mengambil tisu pada tempatnya untuk dapat mengeringkan tanganku dengan cepat tanpa menggunakan mesin pengeringan tangan yang hanya akan semakin memperpanjang waktuku yang terjebak bersamanya di dalam toilet ini. Namun disaat aku hendak membuang tisu yang sudah aku gunakan tadi di tempat sampah, pria itu justru menahanku sejenak yang membuatku mau tidak mau harus berhadapan kembali dengannya.

"Hei, tunggu."

"Ya?"

"Aku Becks. Kau?"

Uluran tangan itu, membuatku secara tidak sadar langsung terhipnotis dengan terpaku sejenak. Dan tanpa aku komando, tanganku seakan memiliki niat tersendiri untuk berkenalan dengannya karena kini tanganku sudah membalas uluran tangan besar nan hangat, yang seakan begitu siap melindungiku dari segala macam bentuk bahaya yang mengancam.

"Mandy."

Aku tahu ini salah, bahkan kesalahanku ini sangatlah besar. Tidak seharusnya aku memberitahukan namaku, tetapi entah kenapa lubuk hatiku mengatakan bahwa aku harus mengucapkan namaku dengan lantang di hadapannya saat ini juga, atau aku akan menyesal nantinya. Dan kini dengan aku yang sudah terlanjur melakukannya itu, secara tidak langsung aku pun sudah berkenalan dengan seorang pria pemain hati para wanita ini. Bagaimana aku bisa menyimpulkannya dengan demikian? Karena rupa yang pria itu miliki tidak bisa membuat wanita manapun yang melihatnya bisa berpaling. Postur tubuh yang terpahat dengan sempurna milik para dewa Yunani, berada pada sosoknya.

Belum lagi senyuman yang selalu memacu munculnya kedua lesung pipi semakin membuat kesempurnaan pada raut wajah tegas nan rupawan itu. Pria ini bagaikan tidak tercelah, dan secara tidak sadar aku pun seakan sudah mulai mempersilakannya untuk menyentuh rasa yang sudah sangat lama tidak tersentuh. Rasa di dalam diriku, yang bahkan Bryce sendiri saja tidak bisa membuatku ingin merasakan sentuhan darinya.

"Senang berkenalan denganmu, Mandy."

"Y-ya, se-senang juga bisa berkenalan denganmu," balasku yang langsung menarik tangan dari genggamannya dan berusaha untuk menetralkan segala perasaanku yang saat ini sangat terasa campur aduk.

"Apa sehabis ini kau memiliki waktu luang?"

"Tidak. Aku harus mencari Ava karena aku khawatir saat ini dia sedang mencari-cari keberadaanku."

"Baiklah. Tidak masalah."

"Kalau begitu aku pergi terlebih dahulu. Sampai jumpa."

"Sampai jumpa, Mandy."

Senyuman itu, seakan tidak ingin membuatku cepat-cepat pergi dari hadapannya. Namun rasa tidak ingin berhadapan dengannya lebih lama lagu begitu menyerang diriku juga. Hingga lagi dan lagi secara tidak tersadar akan diriku yang ternyata sudah melamun, dan sebuah sentuhan pada lenganku pun langsung membangunkanku dari lamunan.

"Hei, kau tidak jadi mencari Stella?" Ucap pria itu yang menyadarkanku dari lamunan yang entah mengapa tiba-tiba saja sempat menyerang diriku sejenak.

"Ahh..., ya. Aku akan pergi sekarang."

"Sampai jumpa."

"Ya, sampai jumpa. Hei, ada sesuatu di sudut bibirmu." Ucapan perpisahanku itu berakhir pada kalimat yang sebenarnya sejak tadi sudah membuatku menjadi salah fokus terhadap sedikit noda lipstick yang sejak tadi sudah berada di sudut bibir pria itu. Dengan tersenyum, aku pun melangkah keluar dari toilet tersebut dan meninggalkan Becks yang terakhir aku lihat langsung salah tingkah sendiri dibuatnya.

***

To be continued . . .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status