Aku tertegun membaca ulang chatinganku dengan Mbak Sulis. Astaghfirullah ... ternyata suamiku sebejad itu. Aku bingung antara percaya atau tidak. Aku menikah memang baru seumur jagung baru dua tahun, tapi aku paham benar sifat suamiku.
Menurut pengakuan Mbak Sulis suamiku menghamili Art bernama Ika. Rasanya kok ada yang janggal. Yang dihamili Ika kenapa yang dinikahi Reni.
Tok!
Tok!
“Dik, mari makan. Ini sudah malam kamu belum makan,” ajak Mas Arman.
“Iya ... tunggu sebentar.” Kurapikan rambut yang acak-acakan lalu keluar.
Di meja makan sudah kumpul semuanya termasuk bapak mertuaku dan juga Reni.
Bapak mertuaku ini tipe orang suami takut istri. Apa pun yang dilakukan istrinya dia hanya bisa bilang iya meskipun dia tidak setuju dan juga terkekang. Aku kadang kasihan pada beliau, tapi aku pun tidak bisa berbuat lebih.
Tatapanku fokus pada Reni. Dia terlihat seksi sekali. Masa makan malam bareng keluarga berpakaian begitu. Baju tidur tanpa lengan berbahan satin dan pendek se paha.
Astaghfirullah ... aku selama ini pun tidak pernah berbaju haram begitu kalau tidak di kamar bersama suamiku.
“Ayo, Dik. Ini dimakan yang banyak, ya? Kamu harus lekas sembuh.” Mas Arman menyendokkan nasi ke piringku dan juga sayur mayur.
“Eghem!” Reni berdehem tidak suka. Mas Arman tidak peduli malah dia menyuapiku.
“Arman!” tegur ibu.
“Apa Bu, aku harus adil. Fatki juga istriku dia sedang sakit jadi tolong Ibu tidak usah ikut-ikutan,” jawab Mas Arman tanpa menoleh pada ibu. Dia tetap menyuapiku.
“Tapi, enggak gitu juga Arman. Kasihan itu Reni,” sahut ibu lagi.
“Aku seharian sudah dengan Reni. Jadi, dia tidak bisa protes kalau aku memperlakukan Fatki begini. Bagaimana pun juga Fatki istri pertamaku dia juga berhak atas diriku.” Aku tertegun mendengar jawaban Mas Arman.
“Cukup, Mas. Aku sudah kenyang.”
“Sedikit lagi. Kamu harus makan banyak, Dik. Biar cepat sehat.” Aku menurut saja.
Reni terlihat sangat kesal. Dia tidak makan hanya mengaduk-aduk nasi saja. Mulutnya mengerucut khas orang marah.
“Nah, pinter istrinya Mamas. Kalau makan begini kan, nanti pasti cepat pulih.” Mas Arman mengelap mulutku pakai tangannya dan memberikanku minum.
“Terima kasih, Mas,” ucapku tulus.
“Sama-sama, Sayang.” Kini Mas Arman beralih pada piring nasi yang di depannya. Makan lahap tanpa peduli dengan orang sekitar.
Aku bingung. Kalau Mas Arman sebejat yang dibicarakan Mbak Sulis tentu gelagatnya akan mencurigakan. Baiklah aku akan uji nyalinya.
“Bu, kenal Mbak Ika enggak? Itu art rumah paling ujung. Dia sekarang sudah tidak kerja lagi. Dia pulang kampung,” tanyaku pada ibu.
Ibu terlihat gugup begitu juga Mas Arman dia langsung menghentikan kunyahannya.
“Ka—mu kenal di mana, Fatki?” tanya ibu terbata-bata. Aku jadi semakin curiga jangan-jangan mereka memang kenal dan sudah tahu.
“Ibu ini gimana? Aku kan, penjahit. Mbak Ika beberapa kali menjahit baju padaku. Kasihan dia hamil, tapi pacarnya tidak bertanggung jawab.” Wajah ibu memerah seperti menahan sesuatu. Mas Arman pun seperti salah tingkah.
“Mbak Fatki ini enggak gaul ya, masa temenan sama pembantu. Akrab lagi. Temenan itu sama orang yang masa depannya cerah Mbak biar ketularan sukses.” Intan ikut menimpali. Ck, ini bocah kalau ngomong suka tidak direm.
“Ibu tidak kenal, Fatki. Benar kata Intan kamu kurangi bergaul dengan pembantu model Ika sama Sulis itu. Kamu tahu kan, Sulis itu tukang gosip,” jawab ibu. Kini pandangan beliau beralih pada Mas Arman.
“Kalian membicarakan orang lain tanpa peduli padaku di sini?” protes Reni. Ya ampun, dia sudah seperti anak kecil saja yang minta diperhatikan.
“Maaf Sayang bukan begitu. Ibu hanya menjawab pertanyaan Fatki. Ayo, dimakan lagi. Biar kamu selalu sehat dan cepat punya anak.” Ibu mertuaku begitu manis bicara pada Reni. Dua tahun aku menjadi menantunya sama sekali tidak pernah diperlakukan begitu.
“Aku mau disuapin sama Mas Arman, Bu.”
“Arman suapin Reni. Kamu harus adil!” titah ibu. Mas Arman pun menyuapi Reni.
Aku? Tentu saja cemburu. Ah, tapi ya, sudahlah. Aku harus membiasakan ini.
“Pak, Bu, ada yang mau aku bicarakan serius.” Bapak dan ibu beralih melihatku begitu juga Mas Arman.
“Em ... begini. Mas Arman sekarang sudah menikah lagi. Jadi, dia berkewajiban memberi tempat tinggal. Istri tidak bisa dicampur dalam satu atap. Itu sudah aturan agama. Jadi ....”
“Maksudnya kamu mau ngusir aku dari sini!” Reni berteriak memotong ucapanku.
“Kalau kamu sadar diri. Baguslah,” jawabku tegas.
Brak!
Ibu menggebrak meja makan.
“Fatki! Jangan ajari kami tentang agama. Aku jauh lebih tahu dari kamu. Kalau kamu tidak mau campur dengan madumu tidak masalah. Kamu bisa angkat kaki dari sini.” Ibu menuding wajahku.
“Dengan senang hati, Bu. Aku pun tidak mau tinggal di sini. Besok aku mau cari kontrakan. Oh, iya, semua isi rumah ini akan aku bawa karena ini milikku.” Aku tidak kalah tegas dengan ancaman ibu.
“Apa? Enak saja. Pergi ya, pergi aja jangan bawa apa pun.” Intan ikut bersuara. Dasar bocah tidak tahu akhlak.
“Kamu tidak usah ikut campur Intan. Kamu lupa semua aku yang beli dari hasil jerih payahku? Aku doakan semoga kamu nantinya tidak akan dimadu oleh suamimu agar kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan.”
“Apaan sih, Mbak. Aku ini cantik, normal, sehat. Mana mungkin suamiku nantinya poligami. Memang Mbak Fatki enggak normal tiga kali hamil tiga kali pula keguguran,” jawabnya sinis.
Aku menutup mataku mencoba untuk tidak memasukkan ucapan Intan ke dalam hatiku.
“Cantik? Punya kaca, kan? Bahkan aku jauh lebih cantik dari kamu. Untuk menduakan istri itu tidak memandang cantik atau tidak, Tan. Mungkin nafsu yang diutamakan. Contohnya Mas Arman kamu punya mata kan, bisa bedakan lebih cantik mana antara aku dan Reni,” jawabku telak. Mereka semua ternganga mendengar ucapanku.
Mereka pasti heran. Wanita lemah lembut yang selalu mengalah berani membela diri dan menjatuhkan harga diri orang lain.
“Cukup! Meski kamu jauh lebih cantik dariku, tapi kamu hanya seorang penjahit yang penghasilannya tidak seberapa. Berbeda denganku gajiku jutaan dan aku kerja di tempat bagus.” Reni rupanya tidak mau kalah.
“Gajiku kecil? He-he lucu sekali. Kalau gajiku kecil aku tidak bisa membeli perabotan di rumah ini, tidak bisa ikut bayar kuliahnya Intan, tidak bisa bayar BPJS keluarga ini setiap bulan, tidak bisa bayar air, listrik, dan juga beras setiap bulan. Enggak usah bangga! Kamu hanya pelayanan toko. Sedang aku bos untuk usahaku sendiri.”
“Cukup! Kamu kenapa jadi hitung-hitungan begini Dik? Jadi, kamu tidak ikhlas selama ini bantu aku?” protes Mas Arman.
“Tidak! Setelah aku tahu kamu menikah diam-diam maka aku tidak akan pernah ikhlas,” jawabku tegas. Ya Tuhan, maafkan aku ampuni aku sudah bersikap begini pada suamiku.
“Jadi, mau kamu apa?” Pada akhirnya Mas Arman menanyakan itu juga padaku.
“Aku mau pisah Mas, aku rasa tidak sanggup menjalani poligami ini.”
“Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mau menceraikan kamu! Oke, aku ngalah beri aku waktu untuk mencarikan kontrakan untuk Reni.”
“Aku beri waktu dua hari.”
“Eh, sinting ini perempuan. Mana bisa begitu. Kamu kira nyari kontrakan seperti nyari keong di sawah. Banyak dan gampang gitu?” timpal ibu.
“Banyak kok, kontrakan. Asal ada duitnya.”
“Enggak! Meski aku punya duit aku tidak mau pergi dari sini!” tolak Reni terang-terangan.
“Ya, sudah kalau tidak mau pergi juga tidak apa-apa. Aku bisa pergi dari sini. Oh, iya, Bu. Masih ingat kan, perjanjian kita. Ibu akan membayar tanah ini jika tidak maka rumah ini akan menjadi milikku dengan bayaran separuh harga.” Mata Ibu membelalak sempurna dan terlihat sekali kesal padaku.
“Apa yang dibilang Fatki benar. Arman harus mencari rumah untuk madunya. Mereka tidak bisa tinggal satu atap.” Akhirnya bapak ikut bersuara.
“Diamlah, Pak. Ini urusan kami. Bapak diam saja,” sahut ibu murka. Bapak yang merasa tidak dihargai pergi begitu saja ke kamarnya.
“Dik, kita bisa bicarakan baik-baik tanpa perlu emosi. Mas tahu kamu sedang sakit dan juga marah padaku, tapi tolong jangan bawa-bawa orang rumah. Mas yang salah sudah mau menuruti saran Ibu. Kamu harus tahu Mas tetap mencintaimu lebih dari siapa pun termasuk Reni.” Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak. Cinta kok mendua alasan orang tua lagi.
Kulirik Reni dia menahan tangisnya.“Kamu dengar sendiri kan, Ren. Kalau Mas Arman cinta mati padaku. Kamu harusnya sadar diri. Kamu hanya dijadikan mesin pencetak anak saja oleh mertua dan suamiku. Dasar bod*h mauan saja diperalat.”
Plak!
“Kurang ajar sekali kamu, Fatki!” Ibu menampar pipiku. Panas dan sakit sekali rasanya.
“Akui saja, Bu. Kalau aku berpisah dengan anak Ibu pun tidak akan menyesal. Jadi, Ibu tidak perlu main kasar. Aku bisa membalas tamparan Ibu, tapi aku sadar aku bukan iblis seperti Ibu.” Kutinggalkan mereka semua masuk ke kamar.
Mas Arman mengejarku.“Dik, tunggu.” Didorongnya pintu kamar yang akan aku tutup.
“Pergilah, Mas. Aku tidak mau kamu ada di sini.”
“Mas minta maaf. Mas janji akan memperbaiki semua keadaan ini. Tolong jangan pergi tinggalkan Mas, ya?” Mas Arman memelukku erat sekali.
“Aku tidak bisa janji, Mas. Ini terlalu menyakitkan.” Mas Arman tidak menjawab lagi dia tetap memelukku.
“Pergi sana, nanti Ibu marah lagi. Kamu harus kerja lembur bukan? Reni kan, haru segera hamil.”
“Tidak mau, Mas mau di sini bersamamu. Semalam Mas sudah bersama Reni.”
Kubiarkan saja Mas Arman. Terserah dia kalau mau tidur lesehan di sini.
~K~U🌸🌸🌸
Aku terbangun saat ada telepon masuk. Kulihat jam sudah pukul 11 malam. Ternyata ibuku yang telepon ada apa ya malam-malam begini telepon.
“Assalamu’alaikum, Bu.”
“W*’alaikumsalam ... kamu sudah tidur ya, Nak. Maaf ya, malam-malam begini Ibu mengganggu.”
“Enggak apa-apa, Bu. Ada apa? Apakah Bapak sakit lagi?” tanyaku to the point. Aku benar-benar khawatir karena bapak sudah sepuh jadi sering sakit.
“Alhamdulillah ... Bapak sehat, Nak.”
“Alhamdulillah ....”
“Anu, ini Nak, Ibu mau kasih tahu. Besok itu anaknya Bu Sumini mau menikah, tapi anu ....”
“Anu apa, Bu? Ah, aku tahu Ibu malu ya, mau minta untuk kondangan?”
“He-he bukan, Nak. Insya Allah hasil dari kebun dan sawah cukup kalau hanya untuk makan berdua,” jawab ibu tertawanya renyah sekali.
“Lalu anu apa?”
“Anu itu, diundangnya kok tertera nama bapak mertuamu. Pak Samsudin. Alamatnya pun sama dengan alamat rumahmu.” Degh. Aku kaget dan sangat syok mendengar pengakuan ibu.
“Ah, yang benar, Bu? Lagi pula Bu Sumini itu siapa si, orangnya yang mana?”
“Kamu tidak kenal. Ibu yang kenal karena kami sering ketemu kalau pengajian bulanan. Desa sebelah rumahnya. Karena kenal itulah Ibu dapat undangan.”
“Aduh, aku kok jadi bingung sendiri ya, Bu?” jawabku jujur.
“Ibu pun bingung. Harus datang atau tidak. Kasihan Bu Sumini juga kalau Ibu kasih tahu yang sebenarnya.”
Kami saling diam. Ibu benar beliau memberitahuku.
“Kamu yang bicarakan dengan Ibu mertuamu ya, Nak,” pinta ibu.
“I—ya Bu, nanti aku yang bilang.”
Entah aku harus bahagia atau sedih. Yang jelas diduakan itu sangat menyakitkan. Mungkin ayah sudah tidak tahan dengan sikap tidak baik yang dimiliki ibu. Selama aku menjadi menantu ibu belum pernah melihat ibu bersikap manis pada bapak.Aku bingung harus bagaimana. Mas Arman harus kuberitahu atau tidak. Jujur kalau aku yang memberi tahu pada ibu sendiri yang ada nanti malah ibu akan marah padaku dan menganggap aku berbohong.Bismillahirrahmanirrahim ... Lebih baik aku fokus pada kesehatanku saja. Setelah ini aku fokus menjahit dan mencari yang mau bekerja denganku. Jahitanku mulai dikenal banyak orang sehari aku bisa menyelesaikan dua baju harga yang kubandrol untuk satu baju adalah 100 ribu sampai 350 ribu rupiah tergantung dari model dan kerumitannya. Alhamdulillah aku bisa mengantongi 200 ribu per hari dari hasil jahitanku. Kalau aku punya pekerja bisa lebih dari itu.Kata orang jahitanku rapi dan bisa bikin model apa pun sesuai permintaan konsumen. Aku tidak pernah promosi para pe
“Astaghfirullah ... ini beneran?” Aku membaca chatingan Ika dan Mbak Sulis. Di sana tertulis jika Ika memang sengaja dan mau menerima pinangan bapak mertuaku.“Tapi, orang yang berzina harus menikah dengan pasangan zinanya. Kenapa bisa begini?”“Aduh, Mbak Fatki kalau itu aku kurang paham. Ini lihat lagi. Si Ika keguguran waktu pulang kampung.” Mbak Sulis menunjukkan lagi foto Ika di rumah sakit. Di sana juga ada bapak mertua.“Aneh, yang ambil foto siapa?” tanyaku penasaran.“Kata Ika, suster yang ambil fotonya.” Lalu kubaca lagi chatingan mereka sampai pagi ini."Kok bisa, ada Bapak mertuaku di sana?" tanyaku ini benar-benar aneh dan janggal."Ika bilang, tidak sengaja ketemu Bapak mertua Mbak Fakti," jawab Mbak Sulis."Enggak sengaja ketemu kok, bisa seakrab ini? Lagi pula kenapa bisa jadi kebetulan begini?" ujarku penasaran"Mbak Fakti, aku mana tahu, yang aku tahu persis seperti yang Ika bilang."Mbak Sulis benar. Dia hanya tahu sebatas ini. Tidak mungkin Ika mau jujur semuanya p
Istri adalah partner hidup yang tidak akan ada kata selesai kontrak. Menemani dari berjuang hingga berhasil. Bukan seperti suamiku. Belum juga berhasil sudah berani menikung tajam jalan lain.Poligami bukan perkara mudah ada banyak hati yang harus dijaga. Bukan hanya hati istri-istrinya, tapi juga hati ke tiga belah keluarga. Aku yakin Mas Arman tidak mampu untuk urusan yang sangat berat ini.Ting!Lamunanku buyar ada pesan masuk dari nomor Mbak Sulis. Duh, ngapain lagi ya, Mbak Sulis ini rajin banget online.[Otewe hotel bintang lima sama suamiku tercinta.]Mbak Sulis mengirimkan skrinsut status WA Ika, dia sedang berada dalam mobil bersama bapak mau ke hotel katanya.Aku bingung memang di kampungku sudah ada hotel bintang lima? Aku baru merantau dua tahun karena ikut suami masa secepat itu berdiri hotel di sana atau mungkin Ika ke kota.Ting![Mbak, ibu mertua tirimu norak, ya? Masa mau wik wik dibuat status?] Hem, Mbak Sulis kepo banget sama urusan orang lain.[Biarin ajalah, Mbak.
Jalan dari rumah menuju rumah Paman Tohir ternyata membuat perutku sedikit ngilu dan keringetan. Punggungku basah.Rumah paman Tohir tampak ramai seperti habis ada acara. Mereka semua ada di teras.Begitu melihat kedatanganku Bibi Irma langsung menyambut dengan senyuman ramahnya.“Assalamualaikum, Bi?” Kuambil tangannya lalu kucium takzim cipika cipiki. Hanya bibi dan Citra anak bibi yang masih SMA yang bersalaman denganku. Paman dan anak-anak lelakinya tidak karena kami bukan muhrim.“Enak sekali aku dibawain martabak telor. Makasih ya, Mbak Fatki,” ucap Citra girang.“Sama-sama.”“Ayok, masuk!” Paman dan bibi mempersilakan aku masuk.“Ada apa malam-malam begini sendirian ke sini? Apa bertengkar dengan suamimu?” tanya paman to the point.“Em ... aku mau minta tolong Paman sama anak-anak untuk membantu angkat dipan dan juga lemari dipindahkan ke kamar belakang.”“Nah, ini sudah aku duga. Arman itu tidak akan bisa berbuat adil. Lahwong ngaji aja enggak pernah kok nekat poligami segala.
"Iya, memang ini ulahku. Habisnya kamu tidak tahu malu sih, pakai milik orang tanpa izin. Heran aku kenapa kamu sukanya dengan barang-barang bekasanku si, enggak mampu beli, ya? Katanya duitnya banyak gajinya jutaan dipan jati harga 5 juta saja enggak bisa beli, kalah dong sama pengangguran seperti aku." "Sudah, Nak, jangan diladeni mulut berbisa seperti itu ayo bantu, Paman!" titah bibi. Aku menunjukkan kamarku. Paman melihat iba padaku. Kami mengeluarkan barang-barang milikku terlebih dahulu lalu memasukkan dipan, lemari baju 2 pintu, dan juga meja rias. meski sempit tidak mengapa yang penting masih ada celah untuk salat. Reni masih saja histeris dan mengumpatku. Tidak aku tanggapi nanti kalau capek juga berhenti sendiri. Bibi dan Citra membantuku menyusun baju dan memasang seprei. Akhirnya selesai juga sampai tengah malam begini. Aku sangat berterima kasih pada keluarga paman karena sudah bersedia membantuku. Alhamdulillah milikku sudah kembali lagi. "Dik, aku mau bicara padam
🌸🌸🌸Aku was-was menunggu hari ini . Entah kenapa aku merasa hari ini akan ada peristiwa penting di rumah ini. Perang dunia mungkin. Yang jelas setelah membaca status WA Ika aku jadi tidak tenang.“Mbak, pinjam tas ini, ya?” Intan nyelonong masuk kamar tanpa izin dan mengambil tas baruku yang ada di cantolan paku dekat lemari.“Enggak boleh! Pakai saja tasmu!” Kurebut tas yang sudah bertengger cantik di bahu Ika.“Pelit banget sih, Mbak!” teriaknya.“Emang, kan, kamu sendiri yang bilang aku pelit. Jadi, sekalian aja deh!” jawabku santai.“Ibuuuuu!” Nah, kan, mulai lagi ngadunya. Kalau dulu akan segera aku berikan, tapi tidak untuk hari ini dan selanjutnya. Cukup sudah aku baik hati pada mereka yang tidak punya hati.“Ada apa, si, Intan! Pagi-pagi sudah teriak-teriak tidak jelas!” sahut ibu sewot.“Aku mau pinjam tas itu, tapi enggak dikasih sama Mbak Fatki! Hanya tas itu yang matching dengan baju dan sepatu yang aku pakai, Bu,” rengek Intan.“Perkara tas saja ribut! Kasih pinjamkan
“Nah, benar kata Reni. Memang kamu mau tidur di kasur lantai lusuh begitu. Enggak sehat dan enggak higienis kapan mau punya anak kalau begitu,” sahut ibu membela Reni.“Benar juga yang Ibu bilang. Aku juga tidak mau tidur di kasur lusuh terus. Dik, kamu mau kan, bantu Mamas bayar cicilannya?” Mas Arman merayuku, dia berkali-kali menciumi pipiku.“No way! Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk kalian. Aku bukan mesin uangmu, Mas. Harusnya kamu yang kasih aku nafkah tiap hari bukan malah aku yang memberimu.”“Tolonglah Dik, sekali ini saja.”“Tidak! Kalau aku sudah bilang tidak ya, tidak. Siapa yang make itulah yang bayar.”“Tapi, Dik?”“Tidak ada tapi-tapian. Kamu itu Ren, sudah aku bilang salah cari suami. Coba kamu jadi pelakornya orang kaya aku jamin hidupmu tidak akan susah begini, mau tidur aja pusing mikirin kreditan. Pinter dikit kek, jangan cuma makan tampannya doang. Percuma kalau kere.”“Oh, jadi kamu ngatain anakku kere?” Ibu tidak terima atas pernyataanku.“Lah,
🌸🌸🌸“Intan cukup! Dia ibumu jadi kamu mulai sekarang harus hormat!” bentak bapak.“Sampai aku mati pun tidak sudi mengakui dia sebagai ibuku. Aku pun tidak sudi punya bapak seperti kamu! Bagiku kamu sudah mati!” Intan menunjuk tepat di wajah bapak.“Mau kamu protes seperti apa pun tidak akan merubah keadaan, Bapak sudah menikah dengan Ika dan Bapak akan mempertanggungjawabkan ini semua,” jawab bapak.Aku jadi bingung, apa bapak tidak tahu kalau Ika ini kekasih gelapnya Mas Arman. Tapi, menurut pengakuan Mbak Sulis bapak tahu kalau Ika waktu itu sedang hamil bahkan bapak yang membawa Ika ke rumah sakit.“Fatki, Bapak minta tolong malam ini Ika tidur sama kamu dulu ya?”“Em ... maaf Pak, tidak bisa, kamarku sempit ada banyak barang juga. Kain yang mau aku jahit aku bawa masuk ke kamar,” jawabku bohong.“Baiklah kalau begitu malam ini Intan tidur sama Ibu Ika, ya?” ucap bapak lagi.“Tidak sudi!” Intan masuk kamar dibantingnya pintu kamar dengan kuat. Disusul ibu.Sebenarnya ada kamar