Share

Bab. 3

"Maksud mama bukan gitu, Tik. Takutnya terjadi sesuatu yang nggak diinginkan. Perselingkuhan lagi menjamur sekarang, kalau kita nggak pandai-pandai rawat diri, orang nggak tahu diri nantinya malah menyalahkan pihak istri. Ya, walaupun mama percaya Miftah nggak mungkin begitu."

Kutatap pantulan diri dalam cermin. Memerhatikan wajah kusamku dengan beberapa jerawat di dagu dan dahi. Hidung mungil, serta kulit sawo matang yang terlihat kering. Sebelumnya aku tak pernah se-overthinking ini. Namun, setelah mama mengatakan hal demikian aku jadi mulai kepikiran.

Bicara tentang fisik memang seringkali membuatku minder, apalagi melihat penampilan A Miftah yang hampir mendekati sempurna sebagai seorang lelaki. Tubuh tinggi tegapnya, kulit bersih, hidung mancung, serta rahang kokoh yang mempertegas proporsi wajahnya.

Tak jarang beberapa teman mencandai, menanyai pelet apa yang kuberikan hingga bisa mendapatkan suami setampan dirinya. Awalnya candaan itu terasa biasa, tapi lama kelamaan makin terasa menghinakan. Namun, A Miftah tak henti memberikan dukungan. Kata-katanya selalu berhasil membuatku terbang setinggi awan. Dia mengatakan bahwa wanita manapun akan terlihat sama cantiknya di mata lelaki yang tepat.

Sejak saat itu aku selalu berpikir bahwa A Miftah adalah lelaki yang tepat. Segala yang ada dalam dirinya melengkapi ketidaksempurnaan yang ada. Namun, saat melihat wanita yang dia bawa. Usia muda dan kecantikan yang dia punya. Membuat kepercayaan diri yang selama ini menguatkanku dari segala cercaan, rontok seketika.

Cairan hangat mulai mengalir dari pelupuk mata. Kupukuli dada yang kian terasa sesak dibuatnya. Jika, benar ketidaksempurnaanku yang dia jadikan alasan untuk mendua. Lalu, apa arti semua kata yang diucapkan untuk meyakinkan bahwa aku sempurna di matanya?

Suara bising langkah kaki dan perabotan yang bertabrakan masih terdengar di luar. Sepertinya mama masih belum selesai mengemasi bahan pangan yang hendak ia bawa esok pagi. Aku beranjak dari meja rias, menuju sisi lain ranjang di mana Akbar sudah terlelap sejak tadi.

Kutatap lekat wajah anak spesialku. Tanpa sadar air mata kembali merebak. Tangis yang beberapa tahun belakang hanya bisa kupendam, langsung menguap, letih dan beban yang kutanggung sendiri langsung terasa menggerogoti tubuh ini. Memori dua tahun terakhir terus berputar di kepala, tiap menit yang kulewati sendiri, berjuang di antara berbagai tekanan dan cobaan tanpa A Miftah yang tak selalu ada di sisi.

Jika melahirkan Akbar sudah merupakan ujian yang tak berkesudahan, lalu disebut apa yang tengah kualami saat ini?

***

"Jaga kesehatan, Tik. Jangan terlalu banyak pikiran. Mungkin itu alasan wajah kamu keliatan kusam. Sebenarnya kamu itu cantik, coba sesekali dandan, pasti lebih enak dipandang." Lagi dan lagi, tiap kata yang Mama katakan terkesan memuji padahal aslinya menjatuhkan.

Tak ada cukup kata yang mampu kulontarkan untuk menanggapinya. Hanya senyum getir yang mampu kutunjukkan.

Mama berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan Akbar, dia kecup kening cucunya sekilas, lalu pamit pulang.

Satu pesan dari Ahmad yang mengatakan bahwa A Miftah tak menginap dengan wanita itu semalam, membuat niatku untuk memastikan hubungan mereka semakin menggebu. Sebelum berangkat dari Maleber menuju Cijerah aku sempat menitipkan Akbar ke rumah Bi Tati dulu, kemudian langsung tancap gas ke lokasi yang berjarak sekitar tiga setengah kilo.

***

Kuparkirkan motor di depan halaman kontrakan lima pintu itu. Sejenak memastikan bahwa gerobak baso Bu Susi masih ada di depan kamar yang paling pojok, sebelum berjalan menghampiri.

"Assalamualaikum."

Kuketuk pintu lalu mengucap salam. Tak lama Bu Susi keluar masih dengan celemeknya yang terlihat kotor dengan adonan bakso.

"Eh, Neng Tika! Masuk dulu! Maaf, ya masih berantakan. Mau tak tawarin belum mateng."

Aku tersenyum kecil, lalu menolak secara halus. "Nggak usah, Bu. Di sini aja. Saya mau ambil titipan yang kemarin."

"Oh, iya, iya. Uang dari yang ngontrak baru kemarin, kan?" Aku mengangguk mengiyakan.

Tak lama Bu Susi masuk, lalu kembali dan menyodorkan amplop cokelat yang lumayan tebal ke hadapan. Kuambil alih amplop berisi uang tersebut, lalu memasukannya ke dalam tas tangan.

"Ngomong-ngomong mereka nggak komplen, karena uang listrik sama airnya saya bedain?"

Bu Susi tampak berpikir sejenak. "Kayaknya nggak, deh. Mungkin yang istrinya suka banget sama tempat ini. Katanya adem, terus kamar mandinya bersih."

Istri?

"Apa udah pasti mereka suami-istri, Bu?" tanyaku hati-hati.

"Iya, loh. Orang dia sendiri yang bilang sambil nyodorin surat nikah agama yang bermaterai."

Deg!

Jadi, mereka nikah siri?

Kuremas jinjingan tas sembari mengigit bibir kuat.

"Nah, itu orangnya baru keluar. Neng Desi! Sini, Neng! Ini Teh Tika. Yang punya kontrakan."

Tubuhku terasa panas saat mendengar langkah kaki yang terdengar mendekat di belakang. Sebagian diriku berontak untuk menatap wanita tak tahu diri yang dengan lancang mengambil tempat di sisi A Miftah yang seharusnya hanya boleh kutempati. Namun, di sisi lain aku penasaran ingin melihat bagaimana paras dan peragai dari wanita yang menjadi alasan dari perubahan suamiku.

"Salam kenal, Teh. Saya Desi." Wanita itu mengulurkan tangan yang membuatku hanya bisa menatap kosong tanpa sambutan. Kutatap lekat wanita berbalut daster putih dengan motif polkadot. Kulitnya putih bersih, wajah mulus glowing dan cantik sekali. Usia kandungannya sudah bisa kuperkirakan berada di angka 7 sampai 8. Astagfirullah.

"U-mur berapa?" Getar suaraku sudah tak bisa lagi dikendalikan.

"Sembilan belas tahun. Saya baru pindah dari Karawang, ikut suami."

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status