"Maksud mama bukan gitu, Tik. Takutnya terjadi sesuatu yang nggak diinginkan. Perselingkuhan lagi menjamur sekarang, kalau kita nggak pandai-pandai rawat diri, orang nggak tahu diri nantinya malah menyalahkan pihak istri. Ya, walaupun mama percaya Miftah nggak mungkin begitu."
Kutatap pantulan diri dalam cermin. Memerhatikan wajah kusamku dengan beberapa jerawat di dagu dan dahi. Hidung mungil, serta kulit sawo matang yang terlihat kering. Sebelumnya aku tak pernah se-overthinking ini. Namun, setelah mama mengatakan hal demikian aku jadi mulai kepikiran.Bicara tentang fisik memang seringkali membuatku minder, apalagi melihat penampilan A Miftah yang hampir mendekati sempurna sebagai seorang lelaki. Tubuh tinggi tegapnya, kulit bersih, hidung mancung, serta rahang kokoh yang mempertegas proporsi wajahnya.Tak jarang beberapa teman mencandai, menanyai pelet apa yang kuberikan hingga bisa mendapatkan suami setampan dirinya. Awalnya candaan itu terasa biasa, tapi lama kelamaan makin terasa menghinakan. Namun, A Miftah tak henti memberikan dukungan. Kata-katanya selalu berhasil membuatku terbang setinggi awan. Dia mengatakan bahwa wanita manapun akan terlihat sama cantiknya di mata lelaki yang tepat.Sejak saat itu aku selalu berpikir bahwa A Miftah adalah lelaki yang tepat. Segala yang ada dalam dirinya melengkapi ketidaksempurnaan yang ada. Namun, saat melihat wanita yang dia bawa. Usia muda dan kecantikan yang dia punya. Membuat kepercayaan diri yang selama ini menguatkanku dari segala cercaan, rontok seketika.Cairan hangat mulai mengalir dari pelupuk mata. Kupukuli dada yang kian terasa sesak dibuatnya. Jika, benar ketidaksempurnaanku yang dia jadikan alasan untuk mendua. Lalu, apa arti semua kata yang diucapkan untuk meyakinkan bahwa aku sempurna di matanya?Suara bising langkah kaki dan perabotan yang bertabrakan masih terdengar di luar. Sepertinya mama masih belum selesai mengemasi bahan pangan yang hendak ia bawa esok pagi. Aku beranjak dari meja rias, menuju sisi lain ranjang di mana Akbar sudah terlelap sejak tadi.Kutatap lekat wajah anak spesialku. Tanpa sadar air mata kembali merebak. Tangis yang beberapa tahun belakang hanya bisa kupendam, langsung menguap, letih dan beban yang kutanggung sendiri langsung terasa menggerogoti tubuh ini. Memori dua tahun terakhir terus berputar di kepala, tiap menit yang kulewati sendiri, berjuang di antara berbagai tekanan dan cobaan tanpa A Miftah yang tak selalu ada di sisi.Jika melahirkan Akbar sudah merupakan ujian yang tak berkesudahan, lalu disebut apa yang tengah kualami saat ini?***"Jaga kesehatan, Tik. Jangan terlalu banyak pikiran. Mungkin itu alasan wajah kamu keliatan kusam. Sebenarnya kamu itu cantik, coba sesekali dandan, pasti lebih enak dipandang." Lagi dan lagi, tiap kata yang Mama katakan terkesan memuji padahal aslinya menjatuhkan.Tak ada cukup kata yang mampu kulontarkan untuk menanggapinya. Hanya senyum getir yang mampu kutunjukkan.Mama berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan Akbar, dia kecup kening cucunya sekilas, lalu pamit pulang.Satu pesan dari Ahmad yang mengatakan bahwa A Miftah tak menginap dengan wanita itu semalam, membuat niatku untuk memastikan hubungan mereka semakin menggebu. Sebelum berangkat dari Maleber menuju Cijerah aku sempat menitipkan Akbar ke rumah Bi Tati dulu, kemudian langsung tancap gas ke lokasi yang berjarak sekitar tiga setengah kilo.***Kuparkirkan motor di depan halaman kontrakan lima pintu itu. Sejenak memastikan bahwa gerobak baso Bu Susi masih ada di depan kamar yang paling pojok, sebelum berjalan menghampiri."Assalamualaikum."Kuketuk pintu lalu mengucap salam. Tak lama Bu Susi keluar masih dengan celemeknya yang terlihat kotor dengan adonan bakso."Eh, Neng Tika! Masuk dulu! Maaf, ya masih berantakan. Mau tak tawarin belum mateng."Aku tersenyum kecil, lalu menolak secara halus. "Nggak usah, Bu. Di sini aja. Saya mau ambil titipan yang kemarin.""Oh, iya, iya. Uang dari yang ngontrak baru kemarin, kan?" Aku mengangguk mengiyakan.Tak lama Bu Susi masuk, lalu kembali dan menyodorkan amplop cokelat yang lumayan tebal ke hadapan. Kuambil alih amplop berisi uang tersebut, lalu memasukannya ke dalam tas tangan."Ngomong-ngomong mereka nggak komplen, karena uang listrik sama airnya saya bedain?"Bu Susi tampak berpikir sejenak. "Kayaknya nggak, deh. Mungkin yang istrinya suka banget sama tempat ini. Katanya adem, terus kamar mandinya bersih."Istri?"Apa udah pasti mereka suami-istri, Bu?" tanyaku hati-hati."Iya, loh. Orang dia sendiri yang bilang sambil nyodorin surat nikah agama yang bermaterai."Deg!Jadi, mereka nikah siri?Kuremas jinjingan tas sembari mengigit bibir kuat."Nah, itu orangnya baru keluar. Neng Desi! Sini, Neng! Ini Teh Tika. Yang punya kontrakan."Tubuhku terasa panas saat mendengar langkah kaki yang terdengar mendekat di belakang. Sebagian diriku berontak untuk menatap wanita tak tahu diri yang dengan lancang mengambil tempat di sisi A Miftah yang seharusnya hanya boleh kutempati. Namun, di sisi lain aku penasaran ingin melihat bagaimana paras dan peragai dari wanita yang menjadi alasan dari perubahan suamiku."Salam kenal, Teh. Saya Desi." Wanita itu mengulurkan tangan yang membuatku hanya bisa menatap kosong tanpa sambutan. Kutatap lekat wanita berbalut daster putih dengan motif polkadot. Kulitnya putih bersih, wajah mulus glowing dan cantik sekali. Usia kandungannya sudah bisa kuperkirakan berada di angka 7 sampai 8. Astagfirullah."U-mur berapa?" Getar suaraku sudah tak bisa lagi dikendalikan."Sembilan belas tahun. Saya baru pindah dari Karawang, ikut suami."...Bersambung.Kuparkirkan motor serampang di halaman, dengan tergesa membuka kunci rumah yang beberapa kali terjatuh karena tidak pas pada lubangnya. Sakit dan perih itu langsung datang bersamaan. Kacau, pikiranku benar-benar kacau sekarang. Seluruh tubuh terasa lemas, tak ada daya untuk menopang kaki yang serasa melayang. Terrnyata ini adalah efek dahsyat yang ditimbulkan, kepercayaan yang selama tujuh tahun kusematkan luruh bersama dengan pengkhianatan besar yang dia lakukan. Apa yang kurang? Apa yang salah? Padahal sebagai seorang istri aku tak pernah menuntut banyak, tak pernah meminta sesuatu diluar kemampuan A Miftah? Kenapa hanya wanita yang harus dituntun untuk sempurna? Kenapa lelaki tak pernah bersyukur dengan apa yang dia punya? Kuempaskan tubuh ke atas kasur, menangis sejadinya. Setidaknya aku butuh waktu untuk meluapkan semuanya sebelum berpikir jernih dan mulai mencari solusi atas semua permasalahan ini. Ternyata benar, menjadi istri yang baik, penurut, dan tak pernah menuntut tak
Aku berlalu meninggalkan A Miftah yang masih terpaku di tempat, menghampiri kamar Akbar yang letaknya bersebelahan. Kuraih long cardi yang tergantung untuk menutup baju dinas malam yang memang sengaja digunakan untuk menyambutnya pulang. Setelah itu memilih tidur di samping putraku yang sudah lebih dulu lelap. Suara benda yang menghantam tembok terdengar. Pintu yang dibanting keras pun menyusul setelahnya. Kupejamkan mata tak peduli apa yang terjadi di sana. Sudah cukup aku diam, sudah cukup aku sabar. Untuk apa jadi istri pengertian kalau suaminya kurang ajar?Mungkin A Miftah tak sadar, bahwa kucing jinak juga bisa mengigit pada sang pemilik, bilamana ekornya diinjak. ***Subuh menjelang, aku beranjak bangun. Menuju kamar mandi untuk mengambil wudu kemudian menunaikan salat. Setelah mencuci beberapa buah piring dan gelas kotor, kulanjutkan memasak nasi, lalu membersihkan rumah serta menyapu halaman. Tak terasa waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Terlihat handle pintu kamar bergera
Setelah pertengkaran itu aku dan A Miftah sama-sama tak saling bicara. Weekend yang harusnya menjadi momen keluarga malah kami gunakan untuk memperdebatkan masalah yang seharusnya bisa dengan mudah kita selesaikan bersama. Semua ini jelas tak akan terjadi kalau bukan karena dia yang memulai, juga wanita yang disembunyikannya di kontrakan. Aku lupa kapan terakhir kali hal seperti ini terjadi. Mungkin dua atau tiga tahun lalu, itu pun dia langsung memelukku hingga pertengkaran kami tak berlarut panjang. Ternyata wanita muda itu membawa pengaruh besar pada perubahan diri A Miftah. Nyaris tak kutemukan sosok yang dulu pengertian, perhatian, dan penyayang. Sejak kepulangannya kemarin malam, sampai siang ini aku bahkan tak mendapatinya menghampiri Akbar, padahal sudah lebih dari sebulan mereka tak berjumpa."Bun, A-ah, Bun." Akbar menarik-narik ujung dasterku saat kami tengah menonton TV di ruang tamu, telunjuk mungilnya terulur ke arah kamar di mana A Miftah keluar dengan kaos dan celana
"Apa kabar, Tik? Udah lama, ya." Lelaki dalam setelan formal itu mengulurkan tangan. Kutatap lekat wajahnya yang nyaris tak berubah sejak terakhir kali kita berjumpa, kemudian menjabat tangannya.Andri Septian, dia adalah kakak kelasku semasa SMA, hubungan kami dekat sejak tergabung dalam kegiatan OSIS sekolah.Sampai lulus pun komunikasi kami tak pernah terputus, beberapa kali berganti nomor selalu ada sosial media yang menghubungkan kita. Lima tahun lalu dia menikah dengan sahabatku Nia, kebetulan aku yang mengenalkan mereka. Sejak saat itulah komunikasi kami terputus sebab Nia bisa dibilang tipe yang pencemburu berat, padahal jelas tak pernah ada hubungan apa pun di antara kita. Dalam lima tahun bisa terhitung berapa kali mereka mengunjungi kami. Saat Akbar lahir, khitan, dan terakhir syukuran milad yang ketiga.Sebenarnya seminggu lalu aku sempat ragu untuk menghubunginya. Walaupun niatku murni hanya untuk menanyakan tentang A Miftah. Karena sejak masuk ke Gema Toserba, A Andrilah
Senja berpendar menutup awan pekat yang semula menggumpal, malam beranjak kian dekat saat suara Azan Maghrib terdengar. Ketika kupikir hujan akan turun membawa serta perasaan dongkol yang bercokol, rupanya guntur datang hanya untuk mempermainkan, lalu pergi meninggalkan resah yang sulit digambarkan.Ibu mertua dan adik iparku masih terjaga. Kebungkaman mereka cukup menjelaskan kebingungan keduanya akan perubahan sikapku yang tiba-tiba. Keheningan panjang itu cukup untuk membuat A Miftah mematung dengan perasaan yang entah. Dua kantong kresek besar yang dia bawa entah sejak kapan sudah diletakkan di atas meja."Istri kamu kenapa, sih?" Mama bertanya setelah sekian lama. Wanita paruh baya yang menyemir rambutnya menjadi kemerahaan itu mendelik dengan bibir mencebik. Sungguh ekspresi yang sama sekali tak pantas untuk ditunjukkan seorang mertua."Nggak apa-apa, Tika kayaknya cuma kecapean aja. Mending Mama sama Dini pulang dulu! Persediaan pangan udah Miftah beliin tadi sekalian. Nanti ua
"Neng ...." Sentuhan lembut seringan bulu membuyarkan semua lamunan yang sempat memporak-porandakan hati dan pikiran. Tanpa sadar kami sudah berhenti di depan sebuah komedi putar. "Akbar mau naik ini katanya."Aku hanya mengangguk mengiyakan. Setelahnya A Miftah pergi ke loker tiket, lalu kembali untuk memberikannya pada petugas. Terlihat Akbar cukup antusias saat memilih duduk di sebuah Kuda Zebra. Tangannya melambai pada kami, ketika mesin mulai menyala, dan komedi putar dijalankan.Tanpa sadar senyumku tersungging. Sebuah kebahagiaan sederhana yang membuatku sesaat lupa akan beban berat yang sedang menimpa. Ternyata memasang topeng tebal tak terlalu sulit bagiku yang sudah lama berteman dengan rasa sakit."Senin ini alhamdulillah A'a udah dipindahkan ke Subang. Jadi, A'a bisa lebih sering pulang, dan kita bertiga bisa lebih gampang menghabiskan waktu bersama, kayak dulu."Aku tertegun sejenak, lalu menoleh menatap manik mata pekat yang dulu selalu berhasil membuatku terpesona. Namu
"Motor kita? Perhiasanku? A'a udah gila?!" Kusentak kedua tangannya, lalu berteriak tanpa sadar.Aku langsung berlari menuju lemari dan mengacak-acak isi pakaian sampai kutemukan perhiasan peninggalan ibu yang memang sengaja kusimpan di dalam satu kotak yang sama. Terdiri dari kalung, gelang, dan beberapa cincin yang bila ditotalkan berkisar 10 jutaan. Tubuhku langsung roboh ke lantai mendapati benda peninggalan yang mungkin tak akan dijual sudah raib dari jangkauan, hingga menyisakan kotak hitam beludru berbentuk hati."Neng, dengerin dulu!" Dia berusaha meraih tanganku. "A'a janji pasti bakal ganti, tapi nggak sekara--""Diem, Sialan!" Tatapan nyalangku sukses membuatnya terdiam. "Motor itu kubeli dengan hasil jerih payah sendiri, dan semua perhiasan yang kusimpan adalah peninggalan ibu. Sudah cukup kesabaranku menghadapi suami nggak tahu diri sepertimu, Miftah!"Pupil matanya melebar. Terkejut bukan main tentunya."Neng ....""Jangan karena alasan sebagai istri yang harus mengabdi
Entah di mana lagi harus kusimpan semua rasa malu beserta semua rasa sakit yang menikam ulu, saat melihat lelaki itu berlalu membawa jalangnya pergi bersama mobil yang kami perjuangkan sama-sama. Diikuti dengan tatapan para tetangga yang menatapku dengan berbagai ekspresi berbeda. Ada yang menatap iba, merekam, bahkan terang-terangan mengolok-olok kedua belah belah pihak tanpa mau tahu apa yang sebenarnya terjadi.Ternyata pondasi rumah tangga yang tujuh tahun kami bangun tak cukup kuat untuk menahannya tetap tinggal di sisi. Tujuh tahun kebersamaan tak berarti dengan kehadiran wanita yang baru-baru ini hadir dan menempati tahta tertinggi di hati A Miftah. Ternyata aku terlalu percaya diri ketika berpikir dia akan berlutut, lalu mengusir wanita itu pergi. Bahkan saat aku berteriak meminta keduanya pergi tak ada sedikit pun kata maaf yang terlontar dari mulutnya yang seringkali berkata manis tiap kali menginginkan sesuatu. "Neng!" Suara lirih itu membuyarkan semua lamunan. Kulihat Bu