Share

Bab 4

Siska melempar tas yang dipegangnya dengan begitu keras hingga terdengar suara berdebum ketika benda itu membentur lantai kamarnya. Dengusan panjang dikeluarkannya, seakan hendak memberitahu betapa emosi dirinya saat ini.

Perkelahiannya dengan Hanna menyisakan begitu banyak rasa sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya. Mulutnya bahkan tak henti memaki ketika melihat beberapa lebam di bagian wajah dan lengannya.

Kakinya melangkah ke sebuah cermin yang cukup besar yang menempel di lemarinya. Salah satu tangannya menyentuh pipi kanannya masih terasa begitu nyeri akibat tamparan Hanna yang bertubi, ia juga menyibak poninya, nampak jelas bekas cekaran kuku wanita itu yang masih menjejak manis disana.

"Si4lan kau Hanna, dasar bar-bar, wanita gila! Wajar saja Mas Aldo lari dari pelukanmu." Siska mengumpat.

Kembali Siska memandang ke arah cermin. Mengamati rambutnya yang tampak kusut meski sudah ia rapikan. Rasa sakit akibat jambakan tangan Hanna masih terasa nyeri, membuat wanita itu kembali memaki.

"Keterlaluan kau Hanna!" Teriaknya frustasi.

Puas memandangi semua lebam, Siska akhirnya merebahkan tubuhnya di kasur pegas sederhana miliknya. Udara panas didalam kamar kostnya mulai membuatnya tidak nyaman, seolah mengejek keadaannya saat ini. Meski kipas angin kecil sudah menyala tetap saja ia merasa gerah.

Kedua manik mata Siska kini beralih menatap langit-langit kamarnya. Kamar seluas 4X5 meter inilah tempat tinggalnya selama setahun terakhir. Kamar ini jugalah tempat ia sering bertukar peluh dengan suami temannya, ah salah, mantan temannya.

"Aku bosan tinggal di kost-kostan sumpek seperti ini. Si4lan kau Hanna!" Jerit Siska frustasi sambil menjambak rambutnya sendiri.

Awwww! Wanita itu menjerit ketika tangannya tanpa sengaja menyentuh bekas jambakan Hanna yang masih meninggalkan rasa nyeri di kepalanya. Tak ayal, kembali mulutnya mengumpat, mengeluarkan begitu banyak sumpah serapah.

Setelah puas mengumpat dan memaki, tak lama ia pun terdiam, namun, kilatan amarah masih nampak jelas di matanya.

"Wanita gila itu benar-benar mempermalukanku. Bagaimana jika semua semua orang yang mengenaliku menonton video itu."

"Aarrgghh!"

Teriak Siska masih dengan tangan yang menjambak rambut, Kedua mata kini terpejam kembali mengingat akan banyaknya kamera ponsel yang mengarah pada wajahnya ketika bergulat dengan Hanna di dalam mall tadi. Untunglah, ojek online langganannya bersedia menjemputnya jika tidak, entah bagaimana penampilannya ketika menunggu kendaraan diluar.

"Pasti Video dan foto-foto pertarungan itu sudah tersebar di dunia maya. Hidupku benar-benar si4l."

"Kemana pula lelaki itu, ponselnya tidak aktif sejak tadi, apa dia tahu jika sekujur tubuhku nyeri dan remuk karena istrinya yang bar-bar itu!" Siska bersungut.

Ponsel Siska akhirnya berdering, nampak tertera nama My love disana, tanpa menunggu dering yang kedua, segera tangannya menyambut panggilan telepon itu.

"Tolong kesini mas, tubuhku penuh luka, aku bahkan tidak mampu berjalan untuk ke kamar kecil. Istrimu itu memukulku tanpa ampun di tengah keramaian pengunjung mall," Siska merengek manja.

Rahang Siska mengeras, karena tak menyangka jika lelaki yang ia perjuangkan hingga membuat sekujur tubuhnya lebam dan babak belur kini mengabaikan ucapannya, karena biasanya, suami temannya itu selalu menuruti apapun kehendaknya.

"Aku ingin kau menghajar istrimu itu, mas, setidaknya itu setimpal dengan rasa sakit di sekujur tubuhku." Kembali Siska merengek manja.

"Jangan gila! Apa kau tidak mengenal tabiat Hanna?" Terdengar suara di seberang sambungan.

"Mas, aku ingin malam ini kau tidur menemaniku disini." Suara Siska mendes4h.

"Kau sudah membuatku terjebak dalam masalah besar, Siska."

Pembicaraan mereka terputus, lebih tepatnya diputuskan sepihak oleh lawan bicaranya, membuat Siska begitu murka, tak lama terdengar suara teriakan Siska yang histeris hingga memenuhi ruangan, tak lama, ia membanting ponselnya sebelum akhirnya wanita itu rebah di atas ranjangnya.

***

Hanna melirik jam dinding dengan hati yang bergemuruh. Jarum jam itu sudah menunjuk angka pukul sembilan lebih sepuluh menit, namun, belum juga ada tanda-tanda kepulangan Aldo, suaminya.

Tangannya mengepal lalu melangkah ke ruang tamu, sesekali ia mengintip dari balik gorden. Sekedar untuk memuaskan hatinya jika teman hidupnya itu memang belum menjejakkan langkah kembali ke rumah mereka setelah tiga malam berlalu.

Sejak tadi tangannya begitu gatal ingin membanting foto pernikahan mereka yang tergantung manis di kamar dan ruang tamu ini. Entah mengapa, malam ini foto itu terasa begitu menyakitkan matanya.

"Kau benar-benar ingin mencari masalah denganku, mas." Geram Hanna yang masih belum mampu mengusir amarahnya.

Sejak kembali dari rumah Dina, Hanna sudah berpesan pada Mbok Iyem, asisten rumah tangganya, agar tidak keluar kamar jika terdengar pertengkaran antara ia dan Aldo nantinya. Ia tak mau membuat wanita yang bekerja di rumahnya itu merasa tak nyaman. Karena wanita itu sudah mengganggap Hanna seperti putrinya sendiri.

"Awas saja jika aku mendapat laporan bahwa lelaki tak tahu malu itu pulang ke rumah selingkuhan lagi!" Desis Hanna sambil mengigit kepalan tangannya.

Tiga bulan terakhir Hanna mulai mengendus aroma perselingkuhan antara suaminya dan Siska, teman semasa SMA nya dulu, namun, ia masih diam, karena berpikir dan merasa yakin jika tak mungkin Siska ataupun Aldo mengkhianatinya.

Semua pikirannya berubah, ketika Dina tak sengaja melihat kedua pengkhianat itu keluar dari sebuah hotel. Sejak saat itu, Hanna mulai mengikuti semua jejak langkah Aldo. Bahkan, Hanna nekat meminta tolong seorang teman kerja suaminya untuk memberikan informasi seputar kegiatan suaminya dikantor.

Awalnya, Aldo dan Siska tidak saling mengenal. Hanna lah yang memperkenalkan mereka. Kala tak sengaja bertemu makan di sebuah cafe. Hanna tak mengetahui jika Siska bekerja sebagai pelayan di cafe tersebut. Entah sejak kapan, tiba-tiba saja, Siska jadi sering bertamu kerumahnya, Tanpa alasan yang jelas.

Pernikahan Hanna memang masih terbilang baru. Baru berjalan satu setengah tahun, sungguh, ia tak habis pikir, secepat itu Aldo bisa mengkhianatinya. Padahal, begitu besar usaha lelaki itu untuk mendapatkan cintanya dulu.

"Kau benar-benar ingin cari mati, mas!" Kembali Hanna mengumpat.

Hanna berdiri dan terus berjalan mondar mandir di dalam ruangan itu. Bibirnya tak henti memaki sambil sesekali menggigit tangannya yang terkepal. Namun, tetap saja tak mampu meredam amarahnya.

Suara deru mobil akhirnya terdengar mendekat, membuat langkah Hanna seketika berhenti. Helaan nafas berat kini terdengar dari hidungnya yang nampak mengembang.

Segera saja ia memutuskan untuk duduk manis di sofa, lampu ruang tamu memang sudah ia matikan sejak tadi, membuat ruangan itu sedikit temaram, setidaknya masih ada pendar cahaya dari ruang keluarga yang ada di sebelahnya yang membuat mata bulatnya masih bisa melihat dengan seksama.

Terdengar kunci rumah diputar dari luar, membuat Hanna mendengkus tak percaya bahwa kunci cadangan yang selalu tergantung di kamar. Entah sejak kapan berpindah tangan ke lelaki itu. Membuat Hanna memaki dirinya karena lengah.

"Bahkan, ia tak membutuhkanku untuk membuka pintunya! Pantas saja bisa ia bisa leluasa pulang kapan saja."

Hanna masih diam, menunggu pintu itu terbuka, tak lama, langkah kaki terdengar setelah lebih dulu suara klik di pintu memfokuskan pendengarannya.

"Bisa pulang juga kau mas, setelah tiga hari tanpa kabar!"

"Ha-hanna, kau belum tidur?" Suara Aldo terdengar gugup. Seketika membuat Hanna terkekeh.

"Kupikir kau lupa jalan pulang ke rumah, mas, karena sudah terlalu nyaman tinggal di kamar selingkuhanmu itu ...." Hanna menjeda kalimatnya.

"Sepertinya lubang selingkuhanmu itu selalu gatal hingga kau tak ingat telah memiliki istri karena terus menerus menggaruk lubang J4lang murahan simpananmu itu!" Sarkas Hanna menyambut kepulangan Aldo sambil melangkah ke arah saklar untuk menyalakan lampu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status