"Kau tahu apa yang lebih tajam dari pedang dan berbisa dari ular? Lidah
Dia bisa menghancurkan hati dan meluluhlantakkan rasa yang terpatri."===============Mobil yang ditumpangi Lintang berbelok ke sebuah gang kecil dengan jalan berbatu. Daerah tersebut cukup ramai penduduk meski berada di daerah pinggir kota. Di sebuah bangunan bercat putih, sang supir menghentikan mobilnya."Buk, sudah sampai."Lamunan Lintang buyar saat teguran sang sopir menyapa membran telinganya, halus. Perjalanan dua jam terasa sangat singkat, mungkin karena pikiran wanita itu tidak berada di tempatnya. Dia sibuk melanglang buana, menyibak awan yang menutupi kenangan indah kala pernikahannya masih baik-baik saja.Lintang keluar dari mobil setelah membayar tarif yang disebutkan sang sopir. Wanita itu menatap ragu ke arah rumah bercat putih tulang yang berada tepat di hadapan. Ada bimbang yang menggelayuti hati. Dia resah memikirkan reaksi Buk Rima ketika mendengar kegagalan rumah tangganya. Di mata wanita yang mulai menua itu, Arsen adalah pria terbaik. Tak jarang beliau lebih membela pria tersebut dibanding dirinya.Namun, sudah kepalang tanggung, semua telah terjadi. Seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya, tak bisa ditarik kembali. Lintang menganjur napas panjang dan dalam. Sejenak menenangkan debaran jantung yang bertalu-talu, membuat wanita itu harus menekan dada, membujuknya agar tenang sebentar.Sang putri yang tertidur di dalam gendongan, mulai bergerak gelisah, mungkin cuaca yang terik membuat tubuh bayi itu gerah. Lintang perlahan menyeret kopernya, mengambil langkah pertama dengan kaki gemetar. Dia seolah melayang, tubuh wanita itu terasa ringan. Semakin dekat, gemuruh di dada semakin kentara."Lho, Lintang?"Wanita itu menoleh. Sedikit linglung ketika seseorang menyapanya, wanita dengan gamis dan kerudung berwarna hitam tersebut menyongsong Lintang yang berdiri kaku di depan pintu rumah."Sendiri aja?" tanya wanita itu ramah."Eh, iya, Buk. Suami saya lagi keluar kota," jawab Lintang gugup, membiarkan wanita tersebut mengambil alih kopernya."Lupa sama, saya?" terka wanita itu sambil tersenyum simpul.Lintang mengerutkan dahinya, mencoba mengingat siapa wanita yang ada di hadapan, tetapi nihil. Otaknya gagal memproses informasi dengan cepat."Saya, Mbak Murni, masa lupa," jelas wanita tersebut.Lintang terperangah sesaat berganti takjub. Dia melihat lebih seksama wajah wanita di hadapan. "Mbak Murni? Ini beneran Mbak Murni?" Dia bertanya lagi.Murni adalah adalah asisten rumah tangga, saat kedua orang tua kandungnya masih hidup. Hubungan mereka sangat dekat. Sayang, dua minggu sebelum kejadian naas itu, Murni ijin pulang mengurus orang tua yang sedang sakit di kampung."Iya, ayo masuk. Kasihan dedeknya udah kepanasan," ajak Murni sambil mengelus pipi gempil Gayatri.Lintang mengekori langkah Murni ke dalam rumah. Panti ini terdiri dari dua bangunan. Di bagian depan terdapat rumah utama yang dijadikan tempat tinggal Buk Rima dan Lintang. Di bagian samping sebelah kiri, terdapat bangunan yang lebih besar, berisi banyak kamar untuk anak-anak penghuni panti. Suasana panti tempat dia dibesarkan itu masih sama, selalu ramai dengan tawa ceria khas anak-anak, meski mereka tahu jika keberadaan mereka di sana karena tidak diinginkan lagi. Akan tetapi, anak-anak tersebut berusaha menerima takdir yang digariskan Tuhan pada mereka. Hal itu menampar keras hati Lintang. Sampai detik ini dia masih tidak bisa menerima suratan tangannya. Merasa Allah tidak pernah adil padanya. Tanpa dia sadari, jika Sang Maha Kuasa sangat menyayanginya dengan membuka kebusukan Arsen dan Anita."Ayo, ini kamar Lintang, kan?" Murni meletakkan koper wanita tersebut di sebelah ranjang yang dialasi seprai berwarna biru langit dengan motif bunga lili.Lintang mengamati kamar yang ditempati saat masih lajang. Tidak ada yang berubah. Lemari, ranjang, meja kecil yang berada di dekat jendela, bahkan poster film Star Trek masih terpajang di belakang pintu. Lintang ingat, terakhir berkunjung setahun yang lalu, saat lebaran Idul fitri bersama Arsen. Mengingat itu dadanya kembali terasa sesak, matanya memanas, seolah tidak percaya jika biduk rumah tangganya telah kandas di tengah jalanMeletakkan Gayatri perlahan di atas ranjang, bayi delapan bulan itu terlihat sangat nyenyak, lalu berpaling ke arah Murni yang memperhatikan gerak-gerik Lintang dalam diam. Sebagai wanita yang paham asam-garam kehidupan, Murni bisa menebak jika wanita di hadapan sedang mengalami kisruh rumah tangga. Sejak kedatangan Lintang tadi, dia bisa menangkap awan mendung yang disembunyikan wanita tersebut dari matanya."Lintang istirahat dulu, ya. Nanti kalau udah enakan baru kita bicara. Ibu udah kangen cerita-cerita sama kamu," ujar Murni sambil mengelus lengan Lintang lembut.Lintang hanya menganguk tanpa suara. Perhatian yang diberikan Murni cukup melegakan hati, entah apa nanti reaksi Buk Rima. Lintang hanya pasrah jika wanita tersebut menyalahkannya.*Buk Rima menatap iba ke arah Lintang yang menunduk. Jelas terlihat kesedihan di mata yang mulai menua itu. Dia tidak mengira pernikahan Lintang dan Arsen berakhir begitu saja. Apalagi saat wanita yang telah dia besarkan itu menceritakan penyebab perceraian keduanya. Buk Rima tidak percaya Arsen mampu melakukan hal sekeji itu, tetapi Lintang juga tidak mungkin berbohong.Buk Rima sangat mengenal Lintang. Wanita itu berani memutuskan tali pernikahan dengan Arsen, artinya kesalahan pria itu tidak bisa ditolerir. Dia bukan wanita cengeng yang gampang menyerah pada keadaan, malah sangat keras kepala. Jika dia telah memutuskan sesuatu, maka akan sulit merubah keputusan tersebut."Apa Papa Arsen sudah tau masalah ini?" tanya Buk Rima dengan tatapan menyelidik. Dia menghela napas berat saat melihat Lintang menggeleng tanpa suara."Lintang, kau tau jika Papa mertuamu adalah donatur utama di panti ini. Ibuk hanya takut jika perceraian kalian berimbas pada panti," jelasnya menatap Lintang sendu.Lintang mengangkat kepalanya. Matanya bersiborok dengan manik mata Buk Rima. Ada cemas di sorot teduh itu. Dia paham, wanita lima puluh tahunan itu cemas memikirkan keuangan panti. Apalagi di kondisi serba sulit sekarang ini, hanya Papa Arsenlah yang menopang keuangan panti asuhan. Banyak anak-anak terlantar bermukim di sini, tempat mereka menanam harapan sampai nanti menemukan keluarga baru. Sangat egois rasanya jika mengorbankan mereka hanya karena masalah pribadinya."Nanti aku akan coba bicara sama Papa, Buk. Aku rasa beliau pasti mengerti karena kalau dipaksa, ngga bakal bagus akhirnya. Aku ngga sanggup hidup sama pria pengkhianat," jelas Lintang dengan suara bergetar.Buk Rima menatap prihatin putri angkatnya tersebut. Dia tersenyum, berusaha menguatkan hati Lintang, meski tahu tidak mudah bagi seorang wanita melupakan luka yang telah digores dengan sengaja. Akan tetapi, Lintang wanita kuat dan dia yakin Lintang bisa melalui dengan kuat dan sabar.Hamparan bunga melati dan sedap malam menyambut penglihatan Lintang kala wanita itu membuka kaca jendela kamarnya. Semerbak wangi menyerbu hidungnya, begitu menenangkan. Matahari masih enggan keluar dari peraduan. Hujan deras semalam masih menyisakan udara dingin, yang perlahan menyusup dari celah teralis jendela yang gordennya tersingkap, menyapa lembut kulit Lintang, hingga dia harus menggosok kedua lengannya untuk memberi rasa hangat.Berbalik menatap Gayatri yang masih tidur pulas di atas ranjang. Bayi itu sama sekali tidak terganggu dengan kokok ayam yang terdengar bersahutan. Lintang tersenyum tipis, berjalan mendekat, lalu menyelimuti tubuh mungil dan rapuh itu hingga batas dada. Gayatri sedikit menggeliat merenggangkan tangannya, hanya sebentar setelah itu kembali tertidur.Setelah memastikan putrinya kembali lelap. Lintang berjingkat menjauhi ranjang dan keluar. Berjalan menuju dapur, mendapati Mbak Murni telah berada di sana. Wanita itu terlihat sibuk mengaduk sesuatu di ata
"Meski selalu terlihat baik-baik saja, aku tetaplah aku yang membutuhkan pegangan kala badai menggulung dalam ketidakberdayaan."==============Lintang menekan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tangis wanita itu pecah kala menceritakan pengkhianatan sang suami di hadapan Handoko--Papa Arsen--Dia membuka kembali lembar demi lembar album pernikahan yang ternoda titik hitam, seperti mengiris perlahan hatinya yang sudah tidak utuh lagi. Wanita itu tidak baik-baik saja, meski beberapa hari ini dia mencoba tegar, mensugesti diri jika dia sanggup menelan pil pahit yang disodorkan Arsen.Nyatanya, dia tetaplah seorang wanita. Di balik pembawaannya yang tegas dan mandiri, Lintang amat sangat rapuh, jiwanya haus kasih sayang yang hilang sejak masa kanak-kanak. Bahtera yang dia harapkan terus mengarungi lautan, harus kandas terhempas puting beliung. Handoko yang mendengar cerita menantunya tersebut hanya diam seraya menatap tajam ke arah Arsen, yang berdiri mematung di hadapan sang papa. Be
"Luka mampu membuat seseorang terjatuh, lalu merasa tak punya masa depan. Namun, luka juga bisa menempa hati menjadi sekuat baja."=================Lintang menggedor pagar tinggi yang berdiri kokoh di depan rumah Handoko. Wanita itu terus berteriak hingga suaranya berubah serak. Setelah mendengar penolakan Lintang, Handoko memerintahkan satpam membawa wanita itu keluar dari rumahnya, pun Arsen. Pria paruh baya itu tidak mengijinkan Lintang membawa Gayatri, sebelum wanita itu merubah niatnya untuk bercerai. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula, begitulah hidupnya sekarang. Lintang terus berteriak, meski Murni berusaha menenangkannya. Wanita itu ikut menangis melihat kondisi Lintang yang berantakan. Dia hanya bisa memeluk tubuh wanita tersebut yang luruh ke tanah. Keduanya berpelukan sambil menangis sesugukkan, terdengar memilukan bagi siapa yang mendengar."Sudahlah, Mbak. Sebaiknya kita pulang. Gayatri aman di sini. Mbak juga harus pikirkan kesehatanmu?" bujuk Murni sambil menge
"Sabarlah hati. Jika kamu dilukai, artinya kamu masih perlu diuji agar tetap kuat menerima segala berkah di masa depan."===========Matahari bersinar sangat garang, seolah-olah ingin menyengat apa saja yang dia sentuh dengan cahayanya. Tak banyak orang berlalu-lalang di tengah teriknya yang terasa membakar kulit. Pun Lintang, wanita itu bahkan mengernyitkan dahinya saat silau menerpa kaca pelindung helmnya. Harusnya tadi pagi dia telah berada di rumah orang tuanya dan mengeluarkan Anita dari sana. Akan tetapi, perdebatan dengan Buk Rima memakan waktu yang cukup lama. Wanita itu menyayangkan kekeraskepalaan Lintang, dia menganggap Ibu Gayatri tersebut terlalu arogan dengan keputusannya, terlalu terburu-buru, sehingga memutuskan sesuatu tanpa berpikir jernih dan dalam.Namun, Lintang menolak mentah-mentah tuduhan tersebut. Baginya, kesalahan apa pun akan termaafkan, tetapi tidak sebuah perselingkuhan. Apalagi dengan jelas keduanya telah berzina. Adanya janin di rahim Anita membuktikan
"Kadang, tak cukup satu ujian untuk membuktikan kita pantas atau tidak menerima berkah. Tetapi, ikhlas menerima semua cobaan dan meyakininya sebagai cara Tuhan menyayangi kita."==============Lintang membiarkan sepoi angin membelai rambutnya perlahan. Tatapan wanita itu jatuh pada gulungan mega yang terbias warna saga. Sang bagaskara begitu congkak memamerkan pesonanya pada semesta, selalu saja begitu kala dia hadir ataupun tenggelam. Dia mampu membuat seluruh mata tertuju padanya kala melukis selarik warna jingga di ujung cakrawala.Suara ombak terdengar keras menampar batu karang yang berdiri kokoh, asin laut terasa menyerbu indera penciuman dan meninggalkan rasa lengket di pipi Lintang. Wanita itu menggenggam kunci rumah yang diserahkan Arsen dengan terpaksa. Dia berhasil mendapatkan rumah peninggalan orang tuanya kembali. Dengan tatapan kemarahan Anita, dia meninggalkan kedua orang yang kemudian bersitegang tentang di mana Anita akan tinggal. Dia tak mau tahu apa pun perdebatan k
"Hatiku tak pernah mengenal kata benci, tetapi kau melukai dengan kejam. Kau tanamkan di dadaku sesuatu yang disebut dendam."=============Gedung berlantai tiga tersebut terlihat menyolok di antara bangunan lainnya. Bercat kuning gading dengan tempelan batu alam di empat tiang penyangga canopy, membuat gedung itu terlihat unik. Di pintu masuk bisa dilihat banner yang bertuliskan ucapan selamat datang dan sebuah boneka kucing berwarna emas yang menggerakkan tangannya, seolah memanggil orang-orang datang. Lintang tersenyum melihat mimik lucu boneka tersebut. Memang dialah yang mengusulkan meletakkan boneka plastik itu di sana, selain lucu, menurut kepercayaan orang Cina, kucing emas tersebut penarik rejeki. Awalnya hanya sebuah miniatur, tetapi ketika berjalan-jalan di sebuah mall, tanpa sengaja melihat dan langsung membelinya.Begitu masuk ke dalam gedung, beberapa karyawan percetakan yang mengenal Lintang menganggukkan kepalanya hormat. Mereka rata-rata sudah bekerja selama tiga tah
"Kita tak bisa mengira seperti apa masa depan. Namun, bisa merencanakannya dengan baik dan pemikiran matang, selanjutnya ... biar Tuhan yang putuskan."=================Lintang menuruni tangga dengan tergesa. Air mata yang dia tahan sejak tadi luruh juga. Wanita itu tidak mengira Arsen tega melakukan semuanya. Pengkhianatan, sandiwara, dan merebut sesuatu yang harusnya menjadi miliknya. Entah di mana Arsen meletakkan nuraninya. Tidakkah pria itu ingat apa yang telah dia korbankan untuk sampai di titik ini? Arsen tahu dengan jelas bagaimana dia jatuh bangun merintis usaha tersebut. Beberapa kali hampir tutup karena orderan yang masuk tidak seberapa, tetapi biaya operasional bangunan tetap harus dikeluarkan. Kalah saing dengan percetakan besar lain yang lebih lengkap sarananya. Namun, itu semua tak menyurutkan semangat Lintang. Mentalnya yang telah terasah mandiri dan kuat sejak kecil, terus menerus mencari cara untuk menutupi semua pengeluaran. Beruntung dia tidak membayar sewa gedu
"Kita harus bagaimana, Murni? Keuangan panti memprihatinkan. Kita tidak mungkin membiarkan anak-anak itu kelaparan. Belum lagi tunggakan listrik. Sejak Pak Handoko tidak lagi menjadi donatur kita, semua kesulitan datang silih berganti. Donatur yang lain juga mengurangi sumbangannya."Murni hanya diam mendengar keluhan Buk Rima. Dia menatap iba pada wanita yang mulai menua itu. Mendedikasikan hidupnya demi menjaga anak-anak terlantar, lalu mencarikan keluarga yang lebih layak agar anak-anak tersebut bisa mencecap bahagia, merasakan memiliki keluarga utuh.Murni adalah saudara jauh Buk Rima. Setelah semua anaknya menikah dan mengikuti suami mereka, Murni merasa kesepian. Dulu dia terbiasa menjaga Lintang kecil, tetapi sebuah keadaan memaksa mereka berpisah. Akan tetapi, takdir berkata lain saat mempertemukan mereka kembali di panti asuhan tempat Lintang dibesarkan. Sungguh kebetulan yang luar biasa. Di saat dia mencari bocah cilik itu, Lintang justru tinggal di tempat saudaranya sendiri