Alvira mencuri pandang pada Kevin, seandainya Kevin tidak berselingkuh mungkin ini adalah kabar yang paling mengembirakan untuk dirinya. Ia juga ingin menolak secara langsung tidak bisa karena Kevin telah banyak membantunya, Kevin juga yang sudah membantu keuangannya saat ingin membeli rumah yang sekarang ia tempati bersama ibu dan juga adiknya. Saat itu Alvira ingin menyicilnya namun Kevin menolaknya.
Sekarang ia hanya akan mencari alasan untuk memperlambat acara pernikahannya. Setelah ia berhasil mengumpulkan uang banyak ia akan membayarnya pada Kevin biar dirinya tidak berhutang budi.
Mengingat uang, ia pun belum tau apa bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Soalnya kuliahnya saat ini pun memerlukan banyak biaya. "Apakah ayah masih mau memberikan aku uang?" batin Alvira yang mengingatkan kalau dirinya susah untuk bertemu sang ayah.
“Silahkan duduk,” titah Kevin dengan suara lembutnya sambil menarik kursi yang ada di depan.
Alvira hanya mengikuti saja ia pun duduk, kini posisi keduanya saling berhadapan. Duduk dengan suasana laut dan angin malam yang seharusnya jadi suasana romantis malah kini suasananya sangat kaku. Keduanya sama-sama diam tidak ada sepatah kata pun keluar.
Kevin mencoba untuk menyusun kata untuk disampaikannya pada Alvira. Sebelum ia memulai berbicara Kevin memesan makanan lebih dulu.
“Hem,” ucap Kevin mengawali percakapan. Lalu menatap manik mata Alvira begitu intens.
"Ibu sudah bicara sama kamu soal tadi siang aku ke rumah?” tanya Kevin kemudian, dengan mata yang tidak berpaling dari mata indah Alvira.
Alvira mengangguk, pandangannya ke bawah ia malu di perhatikan seperti itu oleh Kevin.
“Aku ingin menikahi kamu, aku nyesal sudah menghiati dirimu,” jelas Kevin mengutarakan lagi niatnya.
“Aku ingin kita membangun keluarga yang bahagia bersama denganmu. Aku ingin kamu mendampingi hidupku. Karena hanya kamu yang bisa mengerti aku," lanjut Kevin lagi.
Kini Kevin sudah mengenggam tangan Alvira di atas meja.
“Terus wanita kamu yang kemaren itu gimana?" tanya Alvira yang sudah membalas tatapan mata Kevin. Kalau kemarin jika ditatap seperti itu Alvira akan senang tapi tidak untuk kali ini Alvira begitu risih.
“Ternyata dia tidak benar-benar mencintaiku, dia hanya ingin hartaku saja lagian dia juga sudah tidak suci lagi dan buka aku orang yang pertama menyentuhnya,” sahut Kevin dengan sedikit amarah matanya sudah memerah.
Alvira berdecih pelan, agar Kevin tidak mendengarnya.
“Sudah seperti ini baru sadar,” batin Alvira.
Percakapanya terhenti kala pelayan datang membawa pesanan mereka.
“Aku boleh minta sesuatu nggak?” tanya Alvira yang dijawab anggukan oleh Kevin, tangannya tidak lepas mengenggam tangan Alvira.
“Kamu mau nggak nunggu aku sampai lulus lebih dulu baru kita menikah, kamu tau sendirikan cita-cita ku dari dulu pengen menjadi seorang dokter,” papar Alvira dengan menampilkan pupy eyes memohon.
“Setelah aku lulus kita akan melakukan pernikahan, setelah itu izin kan kembali aku untuk mengambil spesial kedokteran,” lanjut Alvira, masih memohon pada Kevin.
Kevin tampak diam ia menatap mata Alvira mencari kesungguhan atas omongannya. Kevin melihat keteduhan di mata Alvira yang mengharapkan permintaannya dikabulkan oleh Kevin.
“Makan dulu yuk, nanti keburu dingin kena angin,” ajak Kevin.
Sengaja kevin tidak menjawabnya langsung, ia ingin berpikir lebih dulu apa yang menjadi keputusannya entar. Keduanya makan saling diam tidak ada yang mengeluarkan suara, hanya terdengar suara denting sendok garpu yang saling beradu dengan suara ombak pantai yang mengelegar.
Alvira makan sambil getar-getir hatinya ingin menolak secara langsung ia tak mampu, begitu banyak hutang budinya terhadap kevin. Ingin menerima ia pun tidak bisa, kekecewaan yang ditorehkan oleh Kevin begitu membekas di hatinya, walau masih ada secuil hatinya untuk kevin. Tapi bukan untuk memiliki melainkan untuk ia simpan sebagai kenangan yang indah saat perselingkuhan itu belum terjadi. Dalam kamus Alvira jika sudah berkhianat tidak ada lagi tempat di hatinya.
Selesai dengan makanannya Kevin kembali menatap mata Alvira, mata yang dulu sering ditatapnya. Alvira yang ditatap seperti itu oleh Kevin tampak gugup. Di dalam hati Alvira berdoa agar tuhan mengabulkan permintaannya.
“Aku setuju,” ucap Kevin singkat, dengan pandangan yang tidak berpaling dari Alvira.
Alvira langsung menatap wajah Kevin, menunggu Kevin melanjutkan pembicaraannya lagi.
“Tapi setelah kamu lulus kita akan langsung melakukan acara pernikahan,” lanjut kevin.
Alvira pun mengangguk dan tersenyum lebar, setidaknya dia masih ada waktu untuk kembali mencari cara agar menolak lamaran Kevin.
“Tapi kamu nggak boleh menghindar dari aku kalau aku antar jemput kamu," ucap Kevin dengan suara yang kembali lembut. "Aku hanya ingin memperbaiki kesalahanku di massa lampau."
Alvira tidak bersuara ia menjawab dengan anggukan kepala saja.
“Makasih,” ucap kevin lagi lalu mencium punggung tangan Alvira.
Alvira diam dia membiarkan Kevin melakukannya.Selama itu tidak melanggar batasan. Selesai makan dan berbicara, kevin dan Alvira meninggalkan pantai tersebut untuk pulang waktu juga sudah sangat larut.
Kevin mengantarkan Alvira di depan rumahnya. Kevin tidak keluar dari mobilnya ia hanya menitipkan salam untuk Alea. Alvira berdiri di depan pagar menunggu mobil Kevin pergi dan menghilang dari pandangannya. Setelah mobil Kevin menjauh barulah ia masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah ternyata Alea sedang menunggunya sambil membuat kue untuk pesanan besok pagi.
“Ada pesanan bu?” tanya Alvira saat melihat Alea sibuk di dapur.
“Iya besok pagi diambilnya,” jawab Alea.
“Gimana sudah bicara sama Kevin?” lanjut Alea sambil tangannya berkutak dengan bahan-bahan kue.
“Tadi yang ngantar Kevin bukan?” lanjut Alea bertanya.
“Yang mana dulu nih mau dijawab?”tanya Alvira dengan tersenyum sambil mendudukkan bokongnya di kursi bar tender melihat Alea mondar-mandir.
"Terserah kamu,” jawabnya.
"Aku sudah ngomong sama Kevin dan aku udah minta sama dia untuk menunggu hingga aku lulus nanti dan dia mau menunggu. Tadi yang ngantar memang kevin, dia nyamperin ke kafe, oh ya satu lagi kevin titip salam buat ibu," papar Alvira.
"Wa'alaikumsalam" jawab Alea.
Terdengar Alea membuang nafasnya secara perlahan. Rasa khawatir yang tadinya memenuhi kepalanya kini terganti dengan kelegaan luar biasa. Alea percaya Alvira bisa menyelesaikannya dengan baik.
“Sini bu, aku bantu,” ucap Alvira yang sudah berdiri ingin menghampiri Alea.
Kedua orang yang beda usia kini tengah sibuk membuat cake pesanan, Raka sang adik belum ada di rumah entah pergi ke mana.
***
Daffin masih berada di kantornya setelah rapat tadi Daffin kembali memeriksa semuanya. Ia sangat percaya ada karyawannya yang menghiati dirinya, dan yang menghiatinya pasti berada dikalangan petinggi perusahaan, kalau tidak produk yang sudah didesain tidak akan bocor kepihak lawan.
Ia pun berjanji tidak akan memaafkan seorang penghianat sekali penghianat tetap penghianat. Daffin akan mengusut tuntas masalah ini, mereka tidak tau daffin jika marah, ia tidak dengan mudah memaafkan orang yang sudah menganggunya. Apapun alasanya nanti. Reiki yang sejak tadi setia menemani Daffin sedikit kesal karena waktu sudah sangat malam tapi Daffin masih betah duduk di kursinya, ingin Reiki protes tapi nyalinya terlalu takut untuk mengatakannya. Karena Daffin sedang berada dalam keadaan mood yang buruk.
Daffin yang berada di kursinya terus memperhatikan Reiki yang duduknya sudah mulai gelisah sebentar-bentar melihat jam yang ada di pergelangan tangannya.
“Mau kemana?" tanya Daffin menelisik mata Reiki.
“Apanya?” tanya Reiki balik, pura-pura tidak tau arah pembicaraan Daffin.
“Itu dari tadi liat jam terus ada janji?” Daffin bertanya lagi dengan tatapan yang mematikan.
“Ah enggak kok, cuman ini sudah malam banget enggak ada niat mau pulang gitu istirahat,” ceplos Reiki. Yang membuat aura Daffin semakin suram, mendapat tatap tajam dari Daffin Reiki pun membodohi mulutnya yang berani ngomong sembarangan.
“Sudah bosan kerja sama gua yah?” tanya Daffin.
“Enggak kok, Ya sudah balik lagi kerja,” jawab Reiki yang kembali berkutik dengan laptopnya tanpa mempedulikan tatapan mematikan dari Daffin.
Daffin kembali lagi menatap layar laptopnya, ia ingin membuat sesuatu yang baru pada produk yang telah diambil dengan perusahaan lawan. Agar produk ponsel yang dikeluarkannya mempunyai keunggulan tersendiri dari pihak lawan dan pasti mereka akan heran melihatnya.
Otak Daffin yang begitu jenius susah untuk dikalahkan. Ia mempunyai banyak ide untuk memajukan bisnisnya walau banyak sudah yang ingin menjatuhkan dirinya, akan tetapi semua itu ia lawan dengan kepadaiannya.
Waktu sudah sangat larut Reiki juga sudah sangat lelah dia juga butuh istirah, Daffin yang melihat Reiki sudah begitu lelah ia pun menghentikan jari-jarinya menari di atas kaybord. Daffin matikan laptopnya lalu beranjak dan menghampiri Reiki.
“Ayo kita pulang,” ajak Daffin yang sudah mematikan laptop dan membawa tasnya meninggalkan Reiki.
Reiki tidak menjawab ia langsung saja mematikan laptopnya dan memasukkannya di dalam tas. Reiki langsung berdiri dan jalan keluar menyusul Daffin yang sudah berada di depan lift.
BERSAMBUNG....
Reiki mengikuti langkah Daffin, Sampainya di basement pak Budi sudah siap di dalam mobilnya. Jika Daffin lembur dua orang inilah yang selalu menemaninya dan terpaksa ikutan untuk lembur juga. Jalanan kota Jakarta sudah tampak lenggang, jam sudah menunjukkan pukul 12:22. Hanya untuk menghasilkan produk yang terbaik Daffin rela untuk lembur hingga dini hari, jika tidak mengingat anak buahnya ia akan lembur hingga pagi menjelang. Pak Budi sopir pribadi Daffin mengantarkan Daffin lebih dulu ke apartementnya barulah ia mengantar Reiki dan terakhir barulah ia pulang ke rumah. Daffin memilih tinggal di apartement karena ia ingin sedikit bebas dan tidak terus di tanya oleh sang mami soal calon pendamping hidup. Apartment yang terletak di daerah semanggi memiliki fasilitas yang cukup memuaskan untuk penghuninya. Dengan menggunakan private lift Daffin sudah sampai di dalam apartemantnya. Ia meletakkan jas dan juga tasnya di sembarang tempat, ia menghempaskan bo
Arka akan bertanya pada seketaris ke mana uang yang selama ini disuruhnya mengirim ke anak-anaknya. “Maafkan ayah ya sayang,” ujar Arka lagi dengan perasaan yang sangat bersalah, sambil mengenggam tangan Alvira. Arka benar-benar merasa bersalah pada anak-anaknya, kali ini dirinya akan bersikap tegas. Sudah cukup ia mengalah pada Maya. Arka langsung mengambil dompetnya dan memberi salah satu kartu debitnya pada sang putri. “Simpan itu untuk keperluan kalian,” ucap Arka. “Tapi yah, ini terlalu banyak.” Protes Alvira yang tau kalau isi di dalamnya pastilah sangat banyak. “Itu untuk ibu mu, dan uang untuk biaya kuliahmu nanti akan ayah kirim lagi, sebenarnya tiap bulan ayah mengirimkan kalian uang melalui seketaris ayah. Tapi tampaknya uang tersebut tidak dikirim ke kalian, nanti ayah akan menanyakannya,” jelas Arka. "Untuk kartu itu, itu milik ibu mu yang waktu itu ayah ambil dan sekarang ayah ingin mengembalikannya. Maafkan ayah ya sudah
Sebulan sudah berlalu kini Alvira dan Vita sudah menyandang gelar S.ked. Namun mereka belum bisa menjadi seorang dokter sungguhan masih ada beberapa tahapan lagi yang harus mereka jalani. Salah satunya melakukan koas. Koas atau dokter muda adalah tahapan mereka menjalani kegiatan di rumah sakit dengan dokter pembimbing. Mereka akan menjalani koas selama 1,5 tahun atau bisa menjadi 2 tahun lamanya. Selama menjalani koas mereka akan mendampingi dokter senior untuk memeriksa pasien dalam segala macam penyakit. Mereka pun harus mau untuk berjaga malam. Karena itu merupakan sebagian dari tugas dokter. Alvira dan Vita mendapatkan rumah sakit yang sama. Rumah sakit tempat mereka melakukan koas adalah pilihan dari kampusnya. Alvira begitu bersyukur karena ia bisa mengikuti koas, seperti apa yang dicita-citakannya. Walaupun belum menjadi dokter sungguhan tapi ini adalah tahapan di mana ia bisa langsung berhadapan dengan seorang pasien. Menolong mereka dengan i
Tibalah sudah hari Sabtu di mana Kevin membawa Alvira menemaninya untuk menghadiri acara bisnisnya. Kevin memberhentikan mobilnya tepat di depan hotel di mana acara itu diadakan. Seperti pasangan kekasih pada umumnya Kevin membukakan pintu mobil untuk Alvira, lalu ia menyerahkan kunci mobilnya oleh petugas. Mereka berjalan menuju ballroom hotel sambil bergandengan tangan. Keduanya begitu tampak serasi. Mereka disambut hangat oleh usher. Usher merupakan orang-orang yang ditunjuk untuk menerima tamu. Mereka mengarahkan Kevin dan juga Alvira untuk duduk di kursi yang telah disediakan. “Wah, ada yang ditemani nih,” ujar rekan bisnis Kevin sambil melirik Alvira yang berada di samping Kevin. Kevin hanya tersenyum menanggapinya. Kevin pun terlibat percakapan serius, percakapan seputaran bisnis. Al
Karena yang dicarinya tidak ketemu Daffin kembali ke meja yang terdapat papi dan maminya di sana. “Liat tuh para sahabat kamu pada bawa gandengan, kamu kapan Daffin?” tanya mami penuh penekanan, sambil melirik orang-orang yang berada di sekitar mereka. “Sabar mi, nanti juga kalau sudah waktunya pasti Daffin kenalkan sama mami,” ucap Daffin. “Iya tapi waktunya itu kapan?” “Apa kamu sudah ada cuman nggak mau dikenalkan sama mami?” tanya Shela lagi. “Jodoh Daffin masih dijaga orang nih,” celetuk Daffin asal. “Apa?” tanya Shela yang menang tidak mendengar ucapan Daffin karena Daffin mengucapkannya sangat pelan. “Enggak mi, bukan apa-apa.” Selesai acara Daffin beserta papi dan maminya meninggalkan tempat acara. Dengan menggunakan mobil masing-masing mereka berpisah di basement hotel. Daffin masih ditemani oleh Reiki dan pak Budi. “Langsung ke apartemen aja ya pak!” titah Daffin. Pak Budi hanya mengangguk seba
Papi Ahmad membuka pintu ruang Shela, ia langsung berjalan mendekat mami. Duduk di sisi mami Shela sambil membelai rambut Shela dengan lembut. “kenapa kamu nggak bilang sakit parah seperti ini?” Lirih Ahmad, ia sudah tidak kuasa menahan air matanya agar tidak jatuh. Air mata itu menetes perlahan, Daffin yang mengetahuinya langsung mendekat ke arah sang papi mencoba untuk menenangkan. Kini mereka saling berpelukan mencoba untuk menguatkan diri. “Apa kita bawa mami ke Singapura aja ya?” tanya Ahmad pada putra satu-satunya itu. “Kalau itu yang terbaik kenapa tidak, tapi sepertinya kita harus menunggu mami benar-benar stabil dulu, baru kita bisa membawa mami,” jawab Daffin. Ahmad menyetujui ucapan Daffin. Mereka pun kembali diam sambil menatap wajah Shela yang pucat. Pikiran Ahmad kini kembali pada adik satu-satunya yang telah lama dipanggil yang maha kuasa. Sama seperti sekarang, waktu itu Ahmad juga lah yang menemani adiknya di rumah sakit sampai
Papi Ahmad tidak bisa menghentikan tangisnya. Tangisnya begitu pecah saat mengetahui kalau sang istri tidak ingin membuat dirinya susah dan bersedih. “Mami kenapa bilang seperti itu, mami nggak nyusahin papi kok,” ucap Ahmad disela-sela tangisnya. “Kita berobat ya mi, mami harus sembuh,” sambung Daffin yang masih berada di samping Shela. “Iya mami mau berobat, untuk kalian,” sahut Shela sambil menatap dua orang kesayangannya. Mereka bertiga saling berpelukan mencurahkan kasih sayang satu sama lain. “Mami boleh minta permintaan nggak sama kamu?” Ucap Shela pada Daffin. Daffin tampak bingung ia mengerutkan keningnya,” Mami mau apa?” tanyanya kemudian. “Mobil, tas, pergi liburan, Semua bakal Daffin turuti asal mami bahagia dan cepat sembuh ya,” lanjut Daffin kemudian mencium punggung tangan Shela. Shela menggelengkan kepalanya. Daffin dan papi Ahmad saling bertatapan tidak mengerti apa yang ingin mami Shela m
“Lepasin nggak kalau enggak gua teriak nih,” ucap Alvira dengan sinis. Perlahan Daffin melepaskan genggamannya. Ia menurunkan kaca matanya,” Loe mau apa sih sebenarnya?” tanya Daffin yang sudah menatap Alvira. “Elo ini memang ya nggak ngerti apa yang gua bilang tadi?” cerca Alvira. “Elo minta gua tanggung jawab?” “Tanggung jawab untuk apa?” tanya Daffin lagi dengan santai. “Ih loe memang ya nggak punya perasaan,” ucap Alvira sedikit teriak. “Usstt nggak boleh teriak-teriak nggak enak dilihat orang,” ucap Daffin. “Gua cuman cium lo, bukan nidurin lo. Gitu aja minta tanggung jawab. Dasar aneh, lo nggak pernah ciuman yah,” lajut Daffin sedikit mengejek Alvira. Merasa capek debat dengan Daffin, Alvira pun bangkit dari tempat duduknya sambil mengenggam kedua tangannya di samping. Sebelum ia pergi Alvira ingin menyiram Daffin dengan minuman yang ada di meja itu. Namun pergerakannya bisa dibaca oleh Daffin. Dengan mudah Daffin