Tamara mengekori seorang guru biologi dan juga wali kelasnya di kelas XI IPA 3, beliau bernama Bu Naomi.
“Kalau kamu ada kesulitan atau masalah, kamu bisa cerita ke Ibu sebagai wali kelasmu, ya?” tawar Bu Naomi dengan lembut.
Tamara mengangguk sembari tersenyum menjawabnya.
Kelas yang sebelumnya ramai dan gaduh, kini menjadi hening ketika guru yang sedang hamil enam bulan itu masuk disusul oleh gadis mungil yang tak lain adalah Tamara.
“Kita kedatangan teman ba—”
“Uhuy .…”
“Manisnya .…”
“Duduk sama Abang sini, Neng.”
“Jangan mau, Neng. Dia buaya.”
Belum selesai Bu Naomi berbicara, kelas kembali ramai, menggoda sang siswi baru di sampingnya itu.
“TENANG!” seru Bu Naomi berusaha menenangkan kelas. Wanita itu mengusap perutnya dan mengucapkan ‘amit-amit jabang bayi.’
Setelah kelas kembali tenang, Bu Naomi pun mulai mempersilakan Tamara mengenalkan diri.
“Nama saya Tamara Alteyzia, biasa dipanggil Rara,” kata Tamara singkat. Membuat siapa pun berdecak ‘lho, cuma segitu doang?’
“Boleh nggak kamu kupanggil ‘Sayang’ aja?” goda seorang siswa di ujung kelas. Perawakannya tinggi besar dengan rambut sedikit gondrongnya.
“Ganjar!” tegur Bu Naomi sembari mendelik tajam, membuat sang empunya nama hanya tersipu.
“Tamara, kamu bisa duduk di dekat Juna,” kata Bu Naomi sembari menunjuk bangku kosong di samping cowok berkacamata yang sedang asyik membaca komiknya itu.
Tamara mengangguk patuh, ia berjalan mendekati bangku Juna diiringi decakan kecewa dari kaum adam.
“Juna lagi, Juna lagi.” Begitulah kira-kira gerutuan mereka.
“Baiklah, Anak-anak, kalian bisa berkenalan nanti lagi, ya. Kita lanjut pelajaran dulu,” kata Bu Naomi mengalihkan perhatian.
“Hai, Rara, salam kenal, ya, aku Dimas.”
“Aku Raka.”
Tamara hanya menundukkan kepala setiap kali teman-teman barunya itu mengenalkan diri. Bukan karena tak ingin kenal, hanya saja Tamara adalah seseorang yang pemalu, ia tak mudah akrab dengan orang yang baru ia jumpai.
Akan tetapi, sikapnya itu justru mendapat gerutuan dari teman-temannya, mereka menganggap bahwa Tamara adalah gadis yang sombong.
“Kalian fokus ke pelajaran dong, jangan berisik, ganggu!” sindir Juna ketus.
“Yaelah, Si Cupu ngerusak suasana aja.”
Tamara mengalihkan pandangannya ke belakang. Matanya bersitatap dengan mata biru nan indah milik seseorang, sebelum kemudian orang itu dengan malas kembali memejamkan matanya.
Jantung Tamara berdegup dengan aneh. Kenapa sih, Ra? batinnya heran.
***
Bel istirahat berbunyi, membuat semua murid yang ada di kelas berhambur keluar. Ada yang ke kantin, ke lapangan untuk berolah raga, dan ada pula yang ke perpustakaan.
Tamara memilih menyembunyikan diri di dalam perpustakaan yang sepi, sibuk berkutat dengan novel bersampul biru karangan penulis favoritnya itu.
Ruangan perpustakaan yang luas dan sepi itu membuat Tamara nyaman duduk lama dengan novelnya, sebelum perutnya dengan jahat berbunyi.
Segera diletakkannya novel tersebut ke tempat semula lalu melangkah pergi menuju kantin.
Suasana kantin sudah mulai sepi, hanya beberapa murid saja yang tampak masih menikmati makanannya. Jelas saja karena pasti murid-murid yang lain telah kenyang dan kembali ke kelas mereka.
Tamara dengan semangat membawa nampan berisi semangkuk bakso dan segelas es teh yang sangat menggiurkan bagi perutnya di siang yang terik ini.
BRAK!
Langkah Tamara terhenti ketika ia tanpa sengaja menabrak seseorang. kuah bakso itu menumpahi seragam putih orang di depannya dan meninggalkan noda.
Tamara membenarkan letak kacamatanya yang miring lalu mendongak, matanya beradu tatap dengan pemilik mata biru itu. Wajah cowok itu memerah, jemarinya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih menahan amarah yang telah memuncak.
“LO!” Suara bariton itu membentaknya.
“Ma—maaf. Gue nggak sengaja,” ucap Tamara terbata-bata.
“Berani-beraninya lo kotorin seragam gue yang mahal ini!”
Tamara menunduk, kakinya terasa lemas seketika itu juga.
Baru sehari ia menjadi murid baru di sekolah ini, tapi ia sudah mendapatkan masalah besar.
“Jalan tuh pakai mata! Udah dikasih empat mata juga nggak dipakai.”
Tangan Tamara bergetar, tapi dengan pandai ditutupinya segera.
“Gue bisa bersihin,” kata Tamara seraya meraih lengan seragam cowok itu. Namun tangan Tamara segera ditepis.
“Nggak usah!”
Tamara bingung, apa yang harus ia perbuat kini.
“Tamara Alteyzia.” Cowok itu membaca badge namanya. “Gue tandai lo. Mulai detik ini, gue pastikan hidup lo sebagai murid di sini nggak akan tenang.”
Cowok jangkung itu pergi setelah mengeluarkan sumpah serapahnya, diiringi tatapan heran dan bingung dari orang-orang yang ada di sana.
Tamara mendudukkan diri di kursi yang tak jauh darinya. Kakinya begitu lemas mendengar ancaman cowok tadi.
Ya, hidupnya pasti tak akan tenang ke depannya. Terlebih karena cowok itu adalah teman sekelasnya.
Tamara memijat pelipisnya dengan frustrasi, membayangkan apa yang akan ia terima ke depannya.
***
“Vano, lo kenapa?” tanya Dinda dengan heboh begitu melihat seragam Revano yang kotor.
Tak seperti biasanya cowok itu memakai pakaian yang kotor.
Dinda mendekat dan mulai meraba noda di seragam putih Revano. Sikap Dinda itu sontak mengundang siswi lainnya ikut mendekat dan mengerubungi, menanyakan hal yang sama.
Revano tak sepatah kata pun menjawab. Ia memilih diam, tapi matanya masih menyalang menatap Tamara yang menunduk di bangkunya.
Kelas semakin ramai dan heboh mempersoalkan seragam mahal Revano yang kotor. Dari mana saja cowok tampan itu sehingga seragamnya menjadi kotor? Mereka tidak menyadari jika bel masuk sudah berbunyi lima menit yang lalu.
“Permisi.” Seorang pria paruh baya berseragam PNS dengan rambut disisir rapi itu mengetuk pintu, seakan menjadi tamu di sebuah rumah. Siapa lagi jika bukan Pak Anton – guru ekonomi itu berhasil membubarkan kerumunan siswi-siswi yang mengerubungi Revano dan membuat mereka kembali duduk di bangku masing-masing.
“Maaf mengganggu acara rumpinya tadi. Tapi Bapak rasa sekarang sudah jamnya ekonomi,” kata Pak Anton dengan senyuman khasnya.
Jam alam mimpi pun seakan berbunyi ketika Pak Anton menjelaskan tentang bagaimana APBN dan APBD disusun, sumber dana APBD, dan lainnya yang membuat seluruh murid menguap. Bahkan beberapa siswa di bangku belakang sudah menggapai mimpinya.
***
Bel pulang pun berbunyi, membuat semua murid di kelas XI IPA 1 itu – dengan semangat 45 mengemasi barang-barangnya. Yang tadinya mengantuk, bahkan ngiler pun kini berubah menjadi segar bugar.
Tamara bergegas berjalan keluar kelas, berusaha sebisa mungkin untuk menghindari cowok bermata biru yang tak lain adalah Revano.
Gadis itu kini tahu dengan siapa ia berurusan setelah tak sengaja menguping pembicaraan siswi-siswi kelas XII IPS 4 tadi.
Ternyata Revano adalah anak ketua yayasan sekolah ini. Pantas saja jika ia dengan berani mengancam Tamara.
Mengetahui kenyataan itu, membuat Tamara semakin merinding. Tak dapat dibayangkan jika ia kembali membuat masalah dengan Revano, pasti ia akan ditendang dari sekolah ini. Jika ia dikeluarkan, mau di mana lagi ia bersekolah? Ia dan ibunya sudah tak punya banyak uang lagi.
Semenjak ayahnya meninggalkan mereka, ia dan ibunya tak memiliki uang sedikit pun. Mereka terpaksa kembali ke ibu kota – tempat masa kecil ibunya.
Bermodalkan uang yang sangat sedikit, Diana memberanikan diri mengontrak di sebuah kontrakan sederhana, membuka usaha menjahit yang sudah belasan tahun ia tinggalkan itu. Lalu, jika Tamara sampai dikeluarkan, apakah itu tidak melukai hati ibunya? Sementara ia dapat bersekolah lagi saja berkat bantuan malaikat baik hati yang tak lain adalah teman ibunya itu.
Tamara selamat sampai gerbang sekolah, tak melihat batang hidung Revano sedikit pun.
Dengan segera ia berlari pulang. Untung saja rumahnya tak jauh dari sekolahnya.
Glek!
“Udah pulang, Sayang?” Diana menghampiri puteri tunggalnya yang sudah berdiri di ambang pintu itu.
Tamara tersenyum, berusaha mengembalikan keceriaannya demi Diana.
“Mama udah dapat order-an?” tanya Tamara yang melihat tumpukan kain di mesin jahit Diana.
“Iya, syukurlah Tante Melati tadi bawa temannya buat jahit baju di sini.”
“Syukurlah. Rara ikut senang, Ma.”
“Ya udah, kamu ganti baju dulu aja, ya. Habis gitu makan. Di tudung saji Mama udah buatkan telur ceplok setengah matang kesukaanmu,” kata Diana membuat wajah anak gadisnya semakin berseri-seri.
Tamara menurut. Ia sudah duduk manis di lantai sembari melahap makanannya.
“Enak?”
“Kapan Mama pernah masak nggak enak?”
Diana tersenyum, anaknya itu memang suka sekali memujinya.
“Gimana di sekolah tadi? Senang nggak dapat teman baru?”
Tamara tertegun. Teman baru? Yang ada ia dapat masalah baru.
“Senang banget, Ma. Temannya baik-baik semua,” jawab Tamara bohong.
“Baguslah kalau gitu. Mama harap Rara bisa lulus dengan baik, sukses, bisa bahagiakan Mama, ya,” ucap Diana seraya mengelus puncak kepala Tamara.
Gadis itu tersenyum saja.
Maafin Rara, Ma. Maaf karena Rara udah bohong.
Jam beker bergambar Sailor Moon – kartun kesukaan Tamara sejak kecil itu berdering, menunjukkan pukul lima pagi, membuat Tamara langsung terbangun. Gadis itu mematikan jam bekernya. Hati Tamara berdesir, teringat akan seorang pria berusia 50 tahunan yang tak lain adalah ayahnya itu. Jam beker ini adalah hadiah ulang tahun yang diberikan oleh ayahnya untuknya tahun lalu. Tamara masih sangat ingat saat itu ayahnya pulang dengan keadaan basah kuyup sembari menenteng plastik berisi sekotak jam beker bergambar Sailor Moon untuk puteri cantiknya. Tamara tentu sangat bahagia mendapat hadiah tersebut dari ayahnya. Ia memeluk ayahnya dengan sangat erat sembari mengucapkan terima kasih. Tamara menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak ingin mengingat apa pun tentang ayahnya, termasuk peristiwa bahagia mereka. Tamara berlari menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya dengan air dingin. Tak butuh waktu lama baginya untu
Tamara keluar toilet, melihat muka murungnya di pantulan cermin. Air matanya sudah kering dari tadi.Tamara membasuh mukanya dengan air, lalu berjalan kembali ke kelas diiringi tatapan aneh dan teriakan mengolok dari teman-teman kelasnya.Dengan segera Tamara mengemasi barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tasnya.“Ra, ini, ‘kan, belum jam pulang,” kata Juna yang terheran-heran melihat apa yang dilakukan Tamara.Akan tetapi, Tamara tak meresponnya sedikit pun. Gadis itu justru berlari pergi membawa tasnya keluar.“Rara!” seru Juna memanggil. Namun, percuma saja, sang empunya nama sudah menghilang, entah ke mana.
Seseorang dengan baju batik merahnya dipadu dengan hijab warna senada serta sepatu pantofelnya itu dengan anggun berjalan menuju kelas XI IPA 1 – kelas penuh keributan dan tingkah para penghuninya yang luar biasa itu. Masih terdengar alunan dangdutyang diputar Ganjar menggunakanspeaker. “Siapa yang putar lagu ini? Harap dimatikan karena pelajaran prakarya akan segera dimulai,” kata guru kimia yang kerap disapa Bu Sisca itu. Akan tetapi, sang pelaku pemutar musik dangdut itu tak menghiraukan, ia masih asyik bergoyang. Yo wis ben duwe bojo sing galak Yo wis ben sing omongane sengak Seneng nggawe aku susah Nanging aku wegah pisah “GANJAR JULIAN!” Teriakan Bu Sisca akhirnya mampu membuat Ganjar terkejut lalu mematikan musiknya. “Kamu dengar nggak kalau bel masuk sudah bunyi sejak 10 menit yang lalu?” “Nggak, Bu,” jawab Ganjar dengan tanpa mera
Alyana terkejut bukan main mendapati putera sulungnya sudah tak sadarkan diri di bawah lantai bawah dengan darah yang mengucur dari kepalanya. Dengan segera ia memanggilambulancedan membawa Revano menuju rumah sakit milik keluarganya. Tamara yang merasa menjadi penyebab semua ini pun ikut ke rumah sakit, menunggu dengan harap-harap cemas. Alyana dan Alex terus melirik tak suka ke arah Tamara. Gadis mungil itu sebenarnya tahu, tapi ia tak peduli itu. Mulutnya terus komat-kamit berdoa agar Revano dapat segera disembuhkan. Tamara tak tahu lagi bagaimana jika hal buruk terjadi pada Revano pasca insiden ini. Hidup Tamara pasti akan sangat hancur. Bisa saja ia dikeluarkan dari sekolah atau yang terburuk ia dapat dipenjara karena mencelakai seseorang. Tentu hal itu akan berdampak buruk pada Diana. Sebuah ponsel berdering nyaring memecah keheningan di sana. Tentu saja itu bukan ponsel Tamara karena gadis itu tidak me
Butuh waktu tiga hari untuk seorang Revano pulih. Saat itulah Tamara menjadi sangat kerepotan – ia harus merawat Revano sepulang sekolah hingga pukul lima sore.Setiap kali Diana menanyakannya mengapa ia sekarang sering pulang malam, Tamara selalu menjawab jika sedang banyak tugas kelompok yang harus diselesaikan.Untung saja Diana percaya dan tak menanyakan hal lebih lanjutnya.Selama ‘mengasuh’ Revano, Tamara mulai tahu jika cowok itu sangat phobia terhadap kecoa.“Lo beneran takut kecoa?” tanya Tamara suatu waktu.“Kenapa?” Revano balik bertanya.Tamara menepuk jidat. Susah memang mengajak berbicara cowok di hadapannya itu.“Gue tanya, Vano.”
Tamara tersenyum geli membaca pesan Revano. Cowok itu semakin hari semakin tidak jelas saja, tingkahnya semakin aneh dari hari ke hari. Menjadi ‘pembantu’ Revano tidaklah buruk. Bahkan cowok itu membelikannya ponsel untuk mereka berkomunikasi. “Rara,” panggil Diana dari arah ruang jahit. “Ya, Ma?” Dengan segera Tamara bergegas menghampiri ibunya itu. “Tolong antar ini ke rumah Tante Desi, ya. Alamatnya udah Mama tulis di kertas ini,” pinta Diana seraya menyodorkan sekantung plastikkresekbesar berisi beberapa pakaian itu dan juga secarik kertas bertuliskan sebuah alamat milik seseorang. “Notanya udah ada di dalam,” lanjut Diana. Tamara mengangguk paham. Segera saja ia mengambil sepeda warna biru tuanya di samping rumahnya itu, lalu mengayuh dengan penuh semangat. Tamara memasuki pekarangan rumah itu yang begitu luas, lalu perlahan mengetuk pintu rumah. Seorang wanita dengan daster merah yang ke
Revano melepaskan gandengannya ketika sudah memasuki area sekolah, ia tak ingin seluruh siswa tahu jika ia menggandeng tangan Tamara – gadis yang mencari masalah dengannya di awal sekolah.Tamara memperhatikan sikap Revano dengan pandangan tak terbaca. Ia sendiri bingung, kenapa lelaki itu kembali dingin padanya.Akan tetapi, kembali lagi ke kenyataan bahwa Tamara hanyalah seorang ‘pembantu’ bagi Revano, tidak lebih.Gadis itu tak boleh terlalu berharap.“Lo duluan yang ke kelas,” kata Revano mempersilakan.Tamara masih terdiam, menikmati setiap inci wajah tampan dan sempurna seorang Revano dalam diam.“Nggak ada gurunya, gue udah chat Aldo tadi,” lanjut Revano yang sepertinya tahu apa yang dikhawatirkan
Sesi curhat antara Juna dengan Tamara itu terpaksa terhenti ketika seisi kelas menjadi semakin gaduh. “Woy, woy, woy, Vano berantem lagi, Cuy,” teriak Jaya dengan hebohnya, mengundang perhatian seisi kelas, tak terkecuali Tamara dan Juna. Vano berantem lagi?tanya Tamara dalam hati. Seberapa sering cowok itu berantem? Apakah ia sudah langganan bertempur dengan siapapun. Dengan segera Tamara berlari keluar, meninggalkan Juna di bangkunya dengan perasaan bingung. Langkah gadis itu menuju lapangan sekolah, ia sangat yakin jika Revano berada di sana. Benar saja. Kerumunan semakin ramai, tak terkecuali bapak dan ibu guru yang berusaha menenangkan. Dengan berani Tamara mendekat, berusaha menembus kerumunan itu untuk melihat lebih jelas bagaimana keadaan Revano. Tamara menutup mulutnya dengan telapak tangannya begitu melihat keadaan Revano yang benar-benar kacau itu. Rambut Revano tampak acak-acakan