Jam beker bergambar Sailor Moon – kartun kesukaan Tamara sejak kecil itu berdering, menunjukkan pukul lima pagi, membuat Tamara langsung terbangun.
Gadis itu mematikan jam bekernya.
Hati Tamara berdesir, teringat akan seorang pria berusia 50 tahunan yang tak lain adalah ayahnya itu. Jam beker ini adalah hadiah ulang tahun yang diberikan oleh ayahnya untuknya tahun lalu.
Tamara masih sangat ingat saat itu ayahnya pulang dengan keadaan basah kuyup sembari menenteng plastik berisi sekotak jam beker bergambar Sailor Moon untuk puteri cantiknya.
Tamara tentu sangat bahagia mendapat hadiah tersebut dari ayahnya. Ia memeluk ayahnya dengan sangat erat sembari mengucapkan terima kasih.
Tamara menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak ingin mengingat apa pun tentang ayahnya, termasuk peristiwa bahagia mereka.
Tamara berlari menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya dengan air dingin.
Tak butuh waktu lama baginya untuk mandi dan berdandan. Kini tubuh mungil itu sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya, siap ke sekolah meski ia tahu jika ia tak akan tenang selama masa SMA ini.
“Sarapan dulu, Ra,” kata Diana mengingatkan.
“Ma, Rara bawa bekal aja deh. Udah siang ini, takut telat,” jawab Tamara.
“Lho, bukannya ini masih 45 menit lagi?” Diana melirik jam di ponselnya.
“Ehm, semalam Rara ketiduran, Ma. Jadi PR-nya belum selesai. Ini berangkat pagi biar bisa ngerjain PR, sih, hehe,” jawab Tamara yang lagi-lagi berbohong.
Untung saja Diana percaya dan dengan segera ia menyiapkan bekal untuk Tamara.
Tamara mencium tangan Diana lalu melangkah menuju sekolah.
Dalam hati ia meminta maaf telah membohongi Diana lagi.
Ia terpaksa berangkat pagi agar tak bertemu Revano di gerbang sekolah.
Akan tetapi, ekspektasi tak seindah realita, Revano justru telah lebih dulu ada di dalam kelas, seorang diri.
“Kenapa lo?” Suara bariton itu berhasil menangkap basah Tamara yang hendak kabur.
Tamara hanya diam, ia masuk ke dalam kelas dengan berusaha setenang mungkin, lalu membuka sembarang buku untuk menyibukkan diri.
Gadis itu terkejut ketika Revano telah berdiri di depan bangkunya. Jantung Tamara berdegup kencang, seperti seorang target pembunuhan yang akan menemui ajalnya.
“Kenapa, sih, lo lihatin gue segitunya?” tanya Revano heran.
“Gu—gue—gue udah minta maaf kema—”
“Nih, gantungan lo jatuh kemarin,” kata Revano seraya menyerahkan sebuah gantungan kunci panda.
Tamara menerimanya. “Makasih.”
“Gue kayak gini bukan berarti gue lupa sama apa yang gue omong kemarin ke lo, ya,” kata Revano tajam.
Tamara meneguk salivanya dengan berat. Harusnya ia selalu ingat itu. Seseorang seperti Revano bukanlah orang yang mudah melupakan kejadian yang telah berlalu, terlebih pasca insiden itu.
Revano lagi-lagi berlalu setelah mengatakan ancamannya itu.
Ya Tuhan, aku harus bagaimana? tanya Tamara dalam hati.
***
Bu Sisca – guru kimia itu telah masuk ke dalam kelas setelah liburan bulan madunya selama dua minggu di luar negeri itu.
“Gimana, Bu, bulan madunya? Asyik nih pasti,” goda Jaya.
“Asyik dong. Makanya ikut,” jawab Bu Sisca dengan nada bercanda.
“Saya jadi obat nyamuk dong, Bu.”
“Lho, siapa tahu kamu nanti di sana kecantol bule.”
“Emangnya saya jemuran, Bu?” protes Jaya yang dijawab tawa ringan Bu Sisca.
“Kita udah nggak sabar menerima ponakan lho, Bu,” kata Ganjar heboh.
“Kalau Tuhan menghendaki, ya,” jawab Bu Sisca yang diamini oleh seisi kelas.
“Lho, Vano, ini beneran kamu?” tanya Bu Sisca terkejut karena penampilan Revano yang berbeda dari biasanya.
“Bukan, Bu, saya Taeyang Bigbang. Ini saya lah, Bu. Masa nggak bisa mengenali cowok ganteng seantero sekolah ini?”
Bu Sisca tertawa. “Tumben banget seragammu dimasukkan rapi gini. Ada apakah gerangan?”
Selama ini Bu Sisca tak pernah melihat Revano rapi seperti kebanyakan muridnya. Anak berandalan itu entah apa yang membuatnya tobat.
“Seragam saya kotor, Bu,” jawab Revano datar.
“Oh, kotor. Kenapa kok bisa kotor?”
Revano hanya terdiam. Kalau sudah begini, Bu Sisca tak ingin melanjutkan pertanyaannya itu.
“Vano, ada hikmah di balik kotornya seragammu itu. Kamu bisa jadi anak yang rapi gini, Ibu senang lho. Kamu kelihatan jauh lebih ganteng daripada seragammu dikeluarkan,” kata Bu Sisca. “Kalian setuju, ‘kan?” Bu Sisca meminta pendapat seluruh kelas.
“Setuju!” jawab seluruh kelas serempak, kecuali Tamara.
“Ya sudah, kita kembali ke pelajaran, ya. Jadi hari ini siap untuk praktikum titrasi asam basa belum?”
“Sudah, Bu.”
“Baiklah kalau sudah, kita segera ke laboratorium kimia, ya,” kata Bu Sisca seraya melangkah keluar kelas, diikuti oleh semua murid kelas XI IPA 3, tak terkecuali Tamara.
Di dalam laboratorium, semua alat dan bahan sudah tersedia. seluruh murid pun sudah sibuk dengan praktikumnya masing-masing.
“Wah, Bu, warnanya udah berubah jadi pink,” seru Dinda.
“Wah, iya, punyaku juga udah berubah,” timpal yang lain.
"Berarti proses kalian sudah benar dan berhasil, Nak,” kata Bu Sisca sembari tersenyum senang.
Mata Bu Sisca mengarah pada seorang gadis mungil yang masih sibuk berkutat dengan peralatannya.
“Tamara Alteyzia,” panggil Bu Sisca, mengundang perhatian seluruh muridnya.
Gadis itu menoleh.
“Apakah ada kesulitan?” tanya Bu Sisca sembari menghampiri Tamara.
“Punya saya belum berubah warna, Bu.”
“Kamu sudah benar belum langkah-langkahnya?” tanya Bu Sisca.
“Sudah, Bu. Saya sudah mengikuti langkah-langkah yang sama seperti diberitahu Ibu, tapi warnanya tidak berubah.” Wajah Tamara menjadi panik.
“Kamu sudah coba sekali lagi?”
“Bahkan saya sudah coba tiga kali, Bu.”
“Cek dulu aja, Bu. Siapa tahu dia nggak pakai HCl, tapi air keran biasa,” sahut Revano dengan nada bercanda. Mengundang tawa seisi kelas.
Tamara mengepalkan tangannya. Dengan berani ia mendekati Revano dan menudingnya.
“Lo yang udah ganti larutan gue, ‘kan?”
“Lho, lho, kok gue?”
“Iyalah, siapa lagi kalau bukan lo?”
“Kok lo jadi nuduh gue sih, Ra?”
“Gue nggak nuduh. Emang kenyataannya gitu, ‘kan?”
“Sekarang gue tanya, ada gitu lo lihat gue di dekat lo? Gue aja dari tadi di sini mulu sama Si Aldo. Ya, ‘kan, Do?”
“Yoi.”
“Eh, Murid Baru. Lo tuh baru dua hari di sini, tapi lo udah main nuduh-nuduh aja, ya. Kemarin lo yang ngotorin seragam gue, sekarang lo nuduh gue ganti larutan lo. Mau lo apaan sih? Udah untung nggak gue suruh lo ganti rugi,” kata Revano membuka kartu mati Tamara. Cowok jangkung itu tersenyum miring penuh kemenangan.
Semua yang ada di situ sontak terkejut, tak terkecuali Bu Sisca.
Jadi yang kemarin mengotori seragam anak pemiliki yayasan sekolah itu adalah murid baru sederhana ini? Berani sekali ia berbuat seperti itu.
Kaki Tamara bergetar hebat karenanya, matanya pedih sekali menahan air yang akan tumpah dari pelupuknya.
“Sekarang lo mau ngomong apa lagi? Masih mau nuduh gue yang ganti larutan lo? Lo sadar nggak, sih, kalau lo itu keterlaluan? Dikasih hati minta jantung. Udah dibaikin, tapi lo justru nuduh gue yang nggak-nggak.”
“Malu nggak sih lo?”
Melihat perselisihan ini membuat Bu Sisca pusing. Baru saja ia pulang berbulan madu – bersenang-senang. Namun sekarang yang ia dapat adalah pekerjaan yang berat.
“Tamara, apa benar yang dikatakan Revano?” tanya Bu Sisca dengan lembut.
“Bohong kalau dia bilang nggak, Bu. Saksinya banyak di kantin,” jawab Revano berapi-api.
“Vano, kamu diam dulu! Sekarang Ibu tanyanya Tamara.”
Revano pun terdiam, mempersilakan Bu Sisca untuk berbicara dengan Tamara.
Tamara mengangguk. “Benar, Bu.”
Jawaban Tamara membuat ramai seisi kelas.
“Dasar nggak tahu malu!”
“Murid baru songong lo!”
“Pergi aja lo, Tukang Ganggu!”
Caci maki itu tanpa diminta masuk ke dalam telinga Tamara, membuatnya semakin panas.
Tanpa mempedulikan sekitar dan juga Bu Sisca, Tamara berlari keluar menuju toilet.
Di dalam toiletlah gadis itu menumpahkan air mata yang dari tadi berusaha ia tahan.
Ma, maafin Tamara yang cengeng ini.
Tamara keluar toilet, melihat muka murungnya di pantulan cermin. Air matanya sudah kering dari tadi.Tamara membasuh mukanya dengan air, lalu berjalan kembali ke kelas diiringi tatapan aneh dan teriakan mengolok dari teman-teman kelasnya.Dengan segera Tamara mengemasi barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tasnya.“Ra, ini, ‘kan, belum jam pulang,” kata Juna yang terheran-heran melihat apa yang dilakukan Tamara.Akan tetapi, Tamara tak meresponnya sedikit pun. Gadis itu justru berlari pergi membawa tasnya keluar.“Rara!” seru Juna memanggil. Namun, percuma saja, sang empunya nama sudah menghilang, entah ke mana.
Seseorang dengan baju batik merahnya dipadu dengan hijab warna senada serta sepatu pantofelnya itu dengan anggun berjalan menuju kelas XI IPA 1 – kelas penuh keributan dan tingkah para penghuninya yang luar biasa itu. Masih terdengar alunan dangdutyang diputar Ganjar menggunakanspeaker. “Siapa yang putar lagu ini? Harap dimatikan karena pelajaran prakarya akan segera dimulai,” kata guru kimia yang kerap disapa Bu Sisca itu. Akan tetapi, sang pelaku pemutar musik dangdut itu tak menghiraukan, ia masih asyik bergoyang. Yo wis ben duwe bojo sing galak Yo wis ben sing omongane sengak Seneng nggawe aku susah Nanging aku wegah pisah “GANJAR JULIAN!” Teriakan Bu Sisca akhirnya mampu membuat Ganjar terkejut lalu mematikan musiknya. “Kamu dengar nggak kalau bel masuk sudah bunyi sejak 10 menit yang lalu?” “Nggak, Bu,” jawab Ganjar dengan tanpa mera
Alyana terkejut bukan main mendapati putera sulungnya sudah tak sadarkan diri di bawah lantai bawah dengan darah yang mengucur dari kepalanya. Dengan segera ia memanggilambulancedan membawa Revano menuju rumah sakit milik keluarganya. Tamara yang merasa menjadi penyebab semua ini pun ikut ke rumah sakit, menunggu dengan harap-harap cemas. Alyana dan Alex terus melirik tak suka ke arah Tamara. Gadis mungil itu sebenarnya tahu, tapi ia tak peduli itu. Mulutnya terus komat-kamit berdoa agar Revano dapat segera disembuhkan. Tamara tak tahu lagi bagaimana jika hal buruk terjadi pada Revano pasca insiden ini. Hidup Tamara pasti akan sangat hancur. Bisa saja ia dikeluarkan dari sekolah atau yang terburuk ia dapat dipenjara karena mencelakai seseorang. Tentu hal itu akan berdampak buruk pada Diana. Sebuah ponsel berdering nyaring memecah keheningan di sana. Tentu saja itu bukan ponsel Tamara karena gadis itu tidak me
Butuh waktu tiga hari untuk seorang Revano pulih. Saat itulah Tamara menjadi sangat kerepotan – ia harus merawat Revano sepulang sekolah hingga pukul lima sore.Setiap kali Diana menanyakannya mengapa ia sekarang sering pulang malam, Tamara selalu menjawab jika sedang banyak tugas kelompok yang harus diselesaikan.Untung saja Diana percaya dan tak menanyakan hal lebih lanjutnya.Selama ‘mengasuh’ Revano, Tamara mulai tahu jika cowok itu sangat phobia terhadap kecoa.“Lo beneran takut kecoa?” tanya Tamara suatu waktu.“Kenapa?” Revano balik bertanya.Tamara menepuk jidat. Susah memang mengajak berbicara cowok di hadapannya itu.“Gue tanya, Vano.”
Tamara tersenyum geli membaca pesan Revano. Cowok itu semakin hari semakin tidak jelas saja, tingkahnya semakin aneh dari hari ke hari. Menjadi ‘pembantu’ Revano tidaklah buruk. Bahkan cowok itu membelikannya ponsel untuk mereka berkomunikasi. “Rara,” panggil Diana dari arah ruang jahit. “Ya, Ma?” Dengan segera Tamara bergegas menghampiri ibunya itu. “Tolong antar ini ke rumah Tante Desi, ya. Alamatnya udah Mama tulis di kertas ini,” pinta Diana seraya menyodorkan sekantung plastikkresekbesar berisi beberapa pakaian itu dan juga secarik kertas bertuliskan sebuah alamat milik seseorang. “Notanya udah ada di dalam,” lanjut Diana. Tamara mengangguk paham. Segera saja ia mengambil sepeda warna biru tuanya di samping rumahnya itu, lalu mengayuh dengan penuh semangat. Tamara memasuki pekarangan rumah itu yang begitu luas, lalu perlahan mengetuk pintu rumah. Seorang wanita dengan daster merah yang ke
Revano melepaskan gandengannya ketika sudah memasuki area sekolah, ia tak ingin seluruh siswa tahu jika ia menggandeng tangan Tamara – gadis yang mencari masalah dengannya di awal sekolah.Tamara memperhatikan sikap Revano dengan pandangan tak terbaca. Ia sendiri bingung, kenapa lelaki itu kembali dingin padanya.Akan tetapi, kembali lagi ke kenyataan bahwa Tamara hanyalah seorang ‘pembantu’ bagi Revano, tidak lebih.Gadis itu tak boleh terlalu berharap.“Lo duluan yang ke kelas,” kata Revano mempersilakan.Tamara masih terdiam, menikmati setiap inci wajah tampan dan sempurna seorang Revano dalam diam.“Nggak ada gurunya, gue udah chat Aldo tadi,” lanjut Revano yang sepertinya tahu apa yang dikhawatirkan
Sesi curhat antara Juna dengan Tamara itu terpaksa terhenti ketika seisi kelas menjadi semakin gaduh. “Woy, woy, woy, Vano berantem lagi, Cuy,” teriak Jaya dengan hebohnya, mengundang perhatian seisi kelas, tak terkecuali Tamara dan Juna. Vano berantem lagi?tanya Tamara dalam hati. Seberapa sering cowok itu berantem? Apakah ia sudah langganan bertempur dengan siapapun. Dengan segera Tamara berlari keluar, meninggalkan Juna di bangkunya dengan perasaan bingung. Langkah gadis itu menuju lapangan sekolah, ia sangat yakin jika Revano berada di sana. Benar saja. Kerumunan semakin ramai, tak terkecuali bapak dan ibu guru yang berusaha menenangkan. Dengan berani Tamara mendekat, berusaha menembus kerumunan itu untuk melihat lebih jelas bagaimana keadaan Revano. Tamara menutup mulutnya dengan telapak tangannya begitu melihat keadaan Revano yang benar-benar kacau itu. Rambut Revano tampak acak-acakan
Lelaki paruh baya yang Tamara sebut sebagai papa itu terdiam memandang Tamara. Ia tak percaya jika akan bertemu lagi dengan anaknya yang sudah ia buang jauh-jauh demi wanita di sampingnya itu. “Rara,” lirihnya. Tamara mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan amarah. Di sampingnya, seorang laki-laki jangkung dengan masker dan topi yang menutupi wajahnya itu tampak kebingungan. Tanpa basa-basi, Tamara pergi dari hadapan pria itu. Revanokewalahanmembayar semua buku yang dipilih mereka tadi, lalu dengan segera mengejar Tamara. Untung saja kaki Tamara tidak panjang, sehingga langkahnya tidak lebar dan bisa dikejar. “Ra,” panggil Revano. Akan tetapi, sang empunya nama tetap tak menghentikan langkahnya. Dengan langkah cepat Revano dapat meraih tangan Tamara, membuat gadis itu menghentikan langkahnya. “Kenapa sih, Van?” “Lo yang kenapa? Kena