Tamara keluar toilet, melihat muka murungnya di pantulan cermin. Air matanya sudah kering dari tadi.
Tamara membasuh mukanya dengan air, lalu berjalan kembali ke kelas diiringi tatapan aneh dan teriakan mengolok dari teman-teman kelasnya.
Dengan segera Tamara mengemasi barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tasnya.
“Ra, ini, ‘kan, belum jam pulang,” kata Juna yang terheran-heran melihat apa yang dilakukan Tamara.
Akan tetapi, Tamara tak meresponnya sedikit pun. Gadis itu justru berlari pergi membawa tasnya keluar.
“Rara!” seru Juna memanggil. Namun, percuma saja, sang empunya nama sudah menghilang, entah ke mana.
***
“Lho, kok udah pulang?” tanya Diana heran. Tak seperti biasanya putri tunggalnya itu pulang sepagi ini.
“Iya, Ma. Rara agak nggak enak badan aja, jadi izin pulang deh,” jawab Tamara sekenanya.
“Kamu sakit?” Diana menempelkan punggung tangannya ke dahi Tamara. “Kok nggak panas?”
“Eh, Rara pusing, Ma, bukan panas.”
“Ya udah, kamu buruan ganti baju terus makan, ya.”
Tamara mengangguk patuh.
Tak lama kemudian, pintu rumah diketuk. Siapa yang bertamu? Apakah seseorang yang hendak menjahitkan baju pada Diana?
“Rara aja, Ma, yang buka,” kata Tamara ketika Diana hendak membukakan pintu.
Mata besar gadis itu membulat begitu tahu siapa sang pengetuk pintu tadi.
Sementara di ambang pintu sudah berdiri cowok jangkung berseragam putih abu-abu yang rapi dengan kacamata yang masih setia dipakainya.
“Juna.” Tamara terkejut. Bagaimana pemuda itu bisa tahu rumahnya?
“Siapa, Ra?” Diana melongok, ingin tahu siapa yang mengetuk pintu tadi.
“Saya Juna, Tante – teman sekelasnya Rara,” kata Juna memperkenalkan diri sembari mencium punggung tangan Diana.
“Kok Juna nggak disuruh masuk, sih, Ra?”
“Eh, masuk, Jun,” kata Tamara mulai membukakan pintu lebih lebar.
Juna masuk mengekori Tamara dan Diana.
“Maaf, ya, Jun, gue nggak punya sofa,” ucap Tamara sembari menyodorkan kursi plastik.
“Ngaak apa-apa, Ra.”
“Dibuatin minum dong, Ra,” bisik Diana di telinga Tamara dengan pelan.
“Mau minum apa, Jun?”
“Adanya apa?” Juna balik bertanya.
“Es teh, es jeruk, sama air putih.”
“Es teh aja deh, Ra. Haus, nih. Hehehe ….”
“Oke, tunggu bentar, ya.”
Juna mengangguk.
Sementara Tamara membuatkan minuman, Diana terus mengajak Juna untuk mengobrol, menanyakan ini itu termasuk tentang kegiatan belajar mengajar.
“Kalau di kelas, Rara bagaimana, Nak Juna?” Pertanyaan yang sama yang dilontarkan ibu-ibu wali murid pada teman anaknya.
“Pendiam, Tante. Hehehe ….”
“Apa dia susah bergaul dengan teman-teman lainnya?”
Juna menggaruk kepalanya yang tiba-tiba menjadi gatal tanpa sebab itu. Bagaimana ini? Apakah ia harus menjawab dengan jujur? Namun, bagaimana jika Diana menjadi terbebani dengan fakta yang ada nantinya?
“Nih, Jun, diminum.”
Juna dapat bernapas lega ketika Tamara datang membawa nampan berisi tiga gelas es teh. Setidaknya Tamara dapat menyelamatkannya dari pertanyaan Diana.
“Ya sudah, dilanjut aja dulu ngobrolnya, ya, Mama mau ke belakang. Juna, Tante ke belakang dulu, ya,” kata Diana pamit.
“Oh, iya, Tante.”
“Lo kok bisa tahu rumah gue?” tanya Tamara ketika Diana sudah tak terlihat lagi di sekitarnya.
“Apa yang gue nggak tahu?” Juna tersenyum miring. Wajah culunnya mendadak menjadi mengerikan bak seorang psikopat ulung.
“Lo stalking gue?”
“Kenapa sih, Ra, lo tadi pulang nggak pamit? Bu Naomi panik cariin lo karena pak satpam lapor lo kabur dari jam pelajaran.” Bukannya menjawab pertanyaan Tamara, Juna justru mengalihkan pembicaraan.
“Lo siapa, sih, sebenernya?” Tamara mulai takut.
“Gue Juna, Ra. Masa lo lupa sama teman sebangku lo sendiri, sih?” Juna tertawa. Kali ini wajahnya tak semengerikan tadi.
Tamara terdiam, ia sendiri bingung siapa Juna sebenarnya. Mengapa Juna terlihat culun ketika di sekolah, tapi terlihat misterius di luar sekolah?
“Lo pasti sakit hati, ya, soal praktikum tadi?”
Tamara mengangguk pelan. Jelas saja, bukan? Siapa yang tidak sakit hati jika dipermalukan di depan banyak orang seperti tadi.
“Gue jelas sakit hati, Jun. Gue tahu kalau Vano yang ganti larutan gue. Gue emang nggak punya bukti kuat kalau dia yang ganti larutan gue, tapi dari ancaman-ancamannya kemarin, gue yakin banget kalau dia pelakunya.”
Juna terdiam, berusaha mendengarkan dengan saksama semua yang dikatakan oleh Tamara.
“Gue lama nangis di kamar mandi, sampai sesak dada gue karena pengap, Jun. Gue nggak ngerti lagi dia punya dendam sebesar apa ke gue sampai gue diginiin. Gue sadar gue salah karena udah kotorin seragamnya, tapi gue bener-bener nggak sengaja, Jun.” Tamara terisak perlahan.
Juna terkejut dengan respon gadis di hadapannya itu. Rupanya seberat itu kesedihan yang dirasakan Tamara.
Dengan perlahan Juna mengusap punggung Tamara, mencoba menenangkan.
Tanpa sepengetahuan keduanya, Diana rupanya mendengarkan semua itu di balik tembok. Wanita itu menangis mendengar apa yang dikatakan anaknya. Ia baru tersadar jika selama ini anaknya menutupi semuanya – mengatakan baik-baik saja, teman-temannya baik – semua adalah bohong.
Mengapa puteri tunggalnya itu mulai berani membohonginya?
“Ehm, gue nggak tahu harus gimana, Ra. Cuma gue kasihan aja sama lo yang murid baru udah diginiin.”
“Gue harus gimana, Jun? Mau menghindar juga susah karena sekelas.”
Juna mengangkat bahunya, “Gue juga nggak ngerti, Ra.”
Tamara terdiam. Memang susah jika sudah berurusan dengan Revano, terlebih karena cowok tengil itu adalah anak pemilik yayasan sekolah.
“Ra.”
Tamara mengangkat kepalanya, menatap Juna.
“Gue boleh nggak jadi teman lo?”
“Seriusan lo mau berteman sama gue?” Mata Tamara terbelalak, tak percaya dengan apa yang dilontarkan Juna.
Juna mengangguk mantap.
***
“Rara!” Juna berlari tergopoh-gopoh menghampiri Tamara yang masih berdiri di halaman sekolah.
Cowok itu terus menarik lengan Tamara.
“Apaan, sih, Jun? Sakit, nih, tangan gue lo tarik-tarik gini,” protes Tamara sembari melepaskan tarikan Juna.
“Lo harus lihat apa yang ada di kelas sekarang.”
Tamara berlari meninggalkan Juna, tak peduli sekencang apa cowok itu memanggil namanya.
Gadis itu tiba di kelas, bersamaan dengan seluruh murid yang menatapnya dengan tatapan menghakimi. Di depannya sudah tersedia pemandangan tak menyenangkan mulai dari papan tulis yang dicoret-coret dengan memaki dirinya, bangkunya yang sudah penuh coretan dengan kata-kata yang tak jauh beda dari yang ada di papan tulis, serta laci mejanya yang penuh dengan sampah.
Tamara mengembuskan napas dengan berat. Sabar, Ra, sabar. Ini masih terlalu pagi buat emosi.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Tamara langsung membersihkan sampah-sampah di mejanya, membuangnya ke tempat sampah, lalu menghapus tulisan-tulisan di papan tulis. Ia menatap bangkunya yang masih penuh coretan tak menyenangkan itu. Mungkin esok lusa ia bisa membersihkannya.
Seisi kelas masih menatapnya. Tamara tak peduli.
Langkahnya menuju kantin, berharap dapat meredakan emosinya dengan segelas susu cokelat hangat.
Tamara meneguk hampir setengah gelas. Perasaannya sudah kacau sejak pagi, susah untuk diperbaiki seharian nanti.
Perlahan air matanya turun. Awalnya hanya setitik, tapi lama-lama membanjiri kedua pipinya.
Karena tak ingin seorang pun tahu ia sedang menangis, dengan segera dihapusnya air mata itu dan mencoba tersenyum.
“Lo kuat kok, Ra,” katanya pelan pada dirinya sendiri.
Tanpa ia sadari, seseorang memperhatikannya sejak tadi. Ia juga menyaksikan bagaimana Tamara menangis.
Apa gue keterlaluan sama tuh cewek ya?
Seseorang dengan baju batik merahnya dipadu dengan hijab warna senada serta sepatu pantofelnya itu dengan anggun berjalan menuju kelas XI IPA 1 – kelas penuh keributan dan tingkah para penghuninya yang luar biasa itu. Masih terdengar alunan dangdutyang diputar Ganjar menggunakanspeaker. “Siapa yang putar lagu ini? Harap dimatikan karena pelajaran prakarya akan segera dimulai,” kata guru kimia yang kerap disapa Bu Sisca itu. Akan tetapi, sang pelaku pemutar musik dangdut itu tak menghiraukan, ia masih asyik bergoyang. Yo wis ben duwe bojo sing galak Yo wis ben sing omongane sengak Seneng nggawe aku susah Nanging aku wegah pisah “GANJAR JULIAN!” Teriakan Bu Sisca akhirnya mampu membuat Ganjar terkejut lalu mematikan musiknya. “Kamu dengar nggak kalau bel masuk sudah bunyi sejak 10 menit yang lalu?” “Nggak, Bu,” jawab Ganjar dengan tanpa mera
Alyana terkejut bukan main mendapati putera sulungnya sudah tak sadarkan diri di bawah lantai bawah dengan darah yang mengucur dari kepalanya. Dengan segera ia memanggilambulancedan membawa Revano menuju rumah sakit milik keluarganya. Tamara yang merasa menjadi penyebab semua ini pun ikut ke rumah sakit, menunggu dengan harap-harap cemas. Alyana dan Alex terus melirik tak suka ke arah Tamara. Gadis mungil itu sebenarnya tahu, tapi ia tak peduli itu. Mulutnya terus komat-kamit berdoa agar Revano dapat segera disembuhkan. Tamara tak tahu lagi bagaimana jika hal buruk terjadi pada Revano pasca insiden ini. Hidup Tamara pasti akan sangat hancur. Bisa saja ia dikeluarkan dari sekolah atau yang terburuk ia dapat dipenjara karena mencelakai seseorang. Tentu hal itu akan berdampak buruk pada Diana. Sebuah ponsel berdering nyaring memecah keheningan di sana. Tentu saja itu bukan ponsel Tamara karena gadis itu tidak me
Butuh waktu tiga hari untuk seorang Revano pulih. Saat itulah Tamara menjadi sangat kerepotan – ia harus merawat Revano sepulang sekolah hingga pukul lima sore.Setiap kali Diana menanyakannya mengapa ia sekarang sering pulang malam, Tamara selalu menjawab jika sedang banyak tugas kelompok yang harus diselesaikan.Untung saja Diana percaya dan tak menanyakan hal lebih lanjutnya.Selama ‘mengasuh’ Revano, Tamara mulai tahu jika cowok itu sangat phobia terhadap kecoa.“Lo beneran takut kecoa?” tanya Tamara suatu waktu.“Kenapa?” Revano balik bertanya.Tamara menepuk jidat. Susah memang mengajak berbicara cowok di hadapannya itu.“Gue tanya, Vano.”
Tamara tersenyum geli membaca pesan Revano. Cowok itu semakin hari semakin tidak jelas saja, tingkahnya semakin aneh dari hari ke hari. Menjadi ‘pembantu’ Revano tidaklah buruk. Bahkan cowok itu membelikannya ponsel untuk mereka berkomunikasi. “Rara,” panggil Diana dari arah ruang jahit. “Ya, Ma?” Dengan segera Tamara bergegas menghampiri ibunya itu. “Tolong antar ini ke rumah Tante Desi, ya. Alamatnya udah Mama tulis di kertas ini,” pinta Diana seraya menyodorkan sekantung plastikkresekbesar berisi beberapa pakaian itu dan juga secarik kertas bertuliskan sebuah alamat milik seseorang. “Notanya udah ada di dalam,” lanjut Diana. Tamara mengangguk paham. Segera saja ia mengambil sepeda warna biru tuanya di samping rumahnya itu, lalu mengayuh dengan penuh semangat. Tamara memasuki pekarangan rumah itu yang begitu luas, lalu perlahan mengetuk pintu rumah. Seorang wanita dengan daster merah yang ke
Revano melepaskan gandengannya ketika sudah memasuki area sekolah, ia tak ingin seluruh siswa tahu jika ia menggandeng tangan Tamara – gadis yang mencari masalah dengannya di awal sekolah.Tamara memperhatikan sikap Revano dengan pandangan tak terbaca. Ia sendiri bingung, kenapa lelaki itu kembali dingin padanya.Akan tetapi, kembali lagi ke kenyataan bahwa Tamara hanyalah seorang ‘pembantu’ bagi Revano, tidak lebih.Gadis itu tak boleh terlalu berharap.“Lo duluan yang ke kelas,” kata Revano mempersilakan.Tamara masih terdiam, menikmati setiap inci wajah tampan dan sempurna seorang Revano dalam diam.“Nggak ada gurunya, gue udah chat Aldo tadi,” lanjut Revano yang sepertinya tahu apa yang dikhawatirkan
Sesi curhat antara Juna dengan Tamara itu terpaksa terhenti ketika seisi kelas menjadi semakin gaduh. “Woy, woy, woy, Vano berantem lagi, Cuy,” teriak Jaya dengan hebohnya, mengundang perhatian seisi kelas, tak terkecuali Tamara dan Juna. Vano berantem lagi?tanya Tamara dalam hati. Seberapa sering cowok itu berantem? Apakah ia sudah langganan bertempur dengan siapapun. Dengan segera Tamara berlari keluar, meninggalkan Juna di bangkunya dengan perasaan bingung. Langkah gadis itu menuju lapangan sekolah, ia sangat yakin jika Revano berada di sana. Benar saja. Kerumunan semakin ramai, tak terkecuali bapak dan ibu guru yang berusaha menenangkan. Dengan berani Tamara mendekat, berusaha menembus kerumunan itu untuk melihat lebih jelas bagaimana keadaan Revano. Tamara menutup mulutnya dengan telapak tangannya begitu melihat keadaan Revano yang benar-benar kacau itu. Rambut Revano tampak acak-acakan
Lelaki paruh baya yang Tamara sebut sebagai papa itu terdiam memandang Tamara. Ia tak percaya jika akan bertemu lagi dengan anaknya yang sudah ia buang jauh-jauh demi wanita di sampingnya itu. “Rara,” lirihnya. Tamara mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan amarah. Di sampingnya, seorang laki-laki jangkung dengan masker dan topi yang menutupi wajahnya itu tampak kebingungan. Tanpa basa-basi, Tamara pergi dari hadapan pria itu. Revanokewalahanmembayar semua buku yang dipilih mereka tadi, lalu dengan segera mengejar Tamara. Untung saja kaki Tamara tidak panjang, sehingga langkahnya tidak lebar dan bisa dikejar. “Ra,” panggil Revano. Akan tetapi, sang empunya nama tetap tak menghentikan langkahnya. Dengan langkah cepat Revano dapat meraih tangan Tamara, membuat gadis itu menghentikan langkahnya. “Kenapa sih, Van?” “Lo yang kenapa? Kena
Sudah sebulan lebih sejak peristiwa Revano memberi hadiah pada Tamara di bukit itu dan sudah sebulan lebih hubungan keduanya semakin dekat. Tak hanya itu, bahkan Revano berani mengajak Tamara ikut berkumpul dengan anggota The Crush. Tentu saja hal tersebut membuat banyak siswi iri dan terus meneror Tamara – mengirimkan sesuatu yang aneh ke rumah Tamara secara terus-menerus dengan berbagai surat ancaman. Bahkan Tamara pernah mendapat kiriman sebuah bangkai burung yang kepalanya sudah lepas dari badannya. Di situ Tamara juga mendapati secarik kertas yang ditulis menggunakan darah dengan kata-kata penuh ancaman bahwa jika Tamara masih nekad untuk dekat dengan Revano dan tak mengakhiri hubungan mereka, Tamara akan celaka. “Lo kenapa udah jarang banget ngobrol sama gue? Lo juga kalau di sekolah terkesan kayak menjauh gitu. Setiap kali gue lihat lo dan lo lihat gue, bukannya lo nyapa gue, lo malah ngelengos gitu aja,” tanya Revano. Ia melontarkan pr