Share

Bagian 5

Seseorang dengan baju batik merahnya dipadu dengan hijab warna senada serta sepatu pantofelnya itu dengan anggun berjalan menuju kelas XI IPA 1 – kelas penuh keributan dan tingkah para penghuninya yang luar biasa itu.

Masih terdengar alunan dangdut

yang diputar Ganjar menggunakan speaker.

“Siapa yang putar lagu ini? Harap dimatikan karena pelajaran prakarya akan segera dimulai,” kata guru kimia yang kerap disapa Bu Sisca itu.

Akan tetapi, sang pelaku pemutar musik dangdut itu tak menghiraukan, ia masih asyik bergoyang.

Yo wis ben duwe bojo sing galak

Yo wis ben sing omongane sengak

Seneng nggawe aku susah

Nanging aku wegah pisah

“GANJAR JULIAN!” Teriakan Bu Sisca akhirnya mampu membuat Ganjar terkejut lalu mematikan musiknya.

“Kamu dengar nggak kalau bel masuk sudah bunyi sejak 10 menit yang lalu?”

“Nggak, Bu,” jawab Ganjar dengan tanpa merasa bersalah.

“Jelas aja kamu nggak dengar karena lagumu itu keras banget sampai ujung ruang guru terdengar.”

Ganjar hanya nyengir seperti tak berdosa.

“Kembali ke tempat dudukmu sekarang!”

Karena tak mau memperkeruh suasana, Ganjar pun menurut.

“Selamat siang, Anak-anak,” sapa Bu Sisca.

“Siang, Bu.”

“Baiklah, karena kemarin kita sudah membahas tentang pembuatan sabun, sekarang kita bagi menjadi 8 kelompok, ya. Sekretaris bisa membantu saya untuk menuliskan nama-nama perkelompok.”

Seorang siswi dengan badge nama bertuliskan Tiara Pramuditya itu mengembuskan napas pasrah – malas karena jabatannya sebagai sekretaris inilah yang mendapatkan pekerjaan paling banyak dibanding teman-teman lainnya. Bahkan Frans – sang ketua kelas itu justru tampak santai dan tak peduli akan kondisi kelasnya.

                                                        ***

Dengan malas Tamara memakai helm yang diberikan oleh seorang tukang ojek untuknya. Mau tak mau, suka tak suka, ia harus pergi ke rumah Revano. Bukan tanpa alasan gadis itu datang ke sana. Ini benar-benar sangat terpaksa, apalagi kalau bukan karena tugas prakarya yang mengharuskannya sekelompok dengan cowok menyebalkan itu.

Mereka tiba di sebuah perumahan elite yang akhirnya terhenti di depan rumah bercat putih bersih. Rumah itu jauh lebih besar berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan rumah kontrakannya saat ini.

Ini rumahnya? Gede banget, batin Tamara terkagum-kagum.

Dengan segera ia turun dari jok belakang, lalu menyerahkan lembaran uang sesuai tarif yang disebutkan oleh tukang ojek tersebut.

“Cari siapa, Neng?” tanya seorang satpam rumah itu dengan ramah.

Buset, kompleknya aja udah ada satpam, ini kenapa rumah juga dikasih satpam segala? Kurang kerjaan banget. Eh astaga, nggak boleh nyinyir, Ra.

“Neng,” panggil satpam itu sekali lagi, membuyarkan lamunan Tamara.

“Eh, saya temannya Revano, Pak. Ada tugas kelompok yang di—”

“Oh, iya, Neng, silakan masuk.” Satpam itu segera membukakan gerbang pada Tamara dengan sangat sopan, membuat gadis itu merasa tidak enak hati.

“Saya panggilkan Den Vannonya dulu ya, Neng.”

“Iya, Pak.”

Satpam itu pun berjalan masuk meninggalkan Tamara yang masih terdiam di halaman rumah.

Mata Tamara menyapu halaman sekitar, tampak hijau dan sangat bersih. Benar-benar menyenangkan. Ia membayangkan kalau saja ia memiliki rumah sebagus ini dan ….

“Neng, Den Vanno bilang kalau Eneng langsung masuk aja,” kata pak satpam itu yang lagi-lagi membuyarkan lamunan Tamara.

“Terima kasih, ya, Pak,” ucap Tamara dengan ramah.

“Sama-sama, Neng. Saya ke depan lagi, ya, Neng.”

Tamara mengangguk.

Mata Tamara terkagum-kagum tatkala melihat seisi rumah itu. Perabotan mahal seharga puluhan juta itu terpajang dengan rapinya.

“Ngapain lo masih di situ?”

Tamara tersentak kaget ketika pemilik suara bariton itu telah ada di hadapannya.

“Buruan masuk!”

Tamara menganguk patuh, ia mengekori Revano – menaiki anak tangga menuju sebuah ruangan besar dan rapi, rak-rak buku berjajar dengan indahnya serta dipenuhi buku.

“Teman-temanmu belum dat—oh, udah ada yang datang, ya?” Seorang wanita berusia 50 tahunan dengan segelas jus warna kuningnya itu menghampiri.

“Siapa namamu, Cantik?” tanya Alyana pada Tamara.

“Rara, Tante.”

“Vano, kok kamu nggak pernah cerita kalau punya teman sekelas namanya Rara?”

“Ehm, anu, Ma, Rara ini baru dua hari di sini,” jawab Revano.

“Oh, pantesan kok Mama baru tahu.”

 Tamara hanya tersipu. Dalam hati ia senang ketika mendengar Revano menyebut namanya tanpa emosi sedikit pun. Walau Tamara tahu jika itu hanya kepura-puraan Revano saja di depan Alyana.

“Ya sudah, Mama ke dapur dulu buatin minum untuk kalian.”

“Eh, nggak perlu repot-repot, Tante,” tolak Tamara dengan halus.

“Yang mau kerja tugas di sini nggak cuma lo, nggak usah ke-GR-an deh,” jawab Revano dingin.

Ya, Revano tetaplah Revano. Cowok es itu tidak akan pernah berubah menjadi hangat padanya. Dan Tamara tak keberatan dengan kenyataan itu.

Mereka kembali terdiam setelah Alyana pamit ke belakang. Keduanya sibuk dengan dunianya – Tamara sibuk memandangi seluruh ruangan dengan perasaan kagum dan Revano yang sibuk bermain play station.

Revano sibuk memainkan game-nya, sementara Tamara sibuk mencari kesibukan. Ia tak tahu harus memulai pembicaraan apa. Cari masalah baru namanya kalau ia mencoba mengajak Revano berbicara.

Tak lama kemudian Arya dan Aldo datang dengan hebohnya.

“Hai, Tante,” sapa Aldo pada Alyana.

“Hai! Ini Tante buatin jus mangga sama nastar yang tadi pagi Tante buat sendiri,” kata Alyana sembari meletakkan hidangannya di meja.

“Dimakan, ya.”

“Makasih, Tante.”

“Ma, kebanyakan, nih, mejanya jadi sempit,” protes Revano.

“Kan bisa pindah ke meja yang lebih luas di sana,” balas Alyana.

“Tapi nggak terang, Ma.”

“Alasan aja kamu. Dah, selamat belajar, ya, Semuanya.”

“Iya, Tante. Makasih,” jawab Tamara.

“Minyak zaitun lo keluarin sini!” kata Revano sembari mengulurkan tangannya, persis seperti seseorang yang menagih utang dengan kejam.

“Minyak zaitun?” tanya Tamara bingung.

“Lo jangan bilang kalau lo lupa, ya.”

“Bukannya gue disuruh bawa soda api?” 

“Oh iya, itu. Siniin, buruan!”

“Iya, sabar.”

Tamara mulai membuka tasnya, mengeluarkan sekantong plastik soda api yang sempat dibelinya di toko bahan kimia. 

Semuanya terkejut ketika yang keluar terlebih dahulu dari dalam tas Tamara adalah seekor kecoa.

Revano terkejut bukan main, keringat dingin mulai mengucur dari dahinya, jemarinya bergetar melihat benda cokelat menjijikan itu bergerak ke arahnya.

Tahan, Vano, tahan. Jangan sampai tuh cewek tahu kelemahan lo, batinnya menguatkan.

Akan tetapi, terlambat karena kecoa itu mulai masuk ke dalam celananya.

“HUAAAA!!!!!!!” Revano terperajat kaget. Dihentak-hentakkannya kakinya agar hewan mengerikan itu keluar, dan berhasil.

Kecoa itu lantas kabur ke sisi ruangan yang lainnya, membuat Revano bergidik ngeri.

“Ke mana dia?” tanya Revano was-was. Matanya terus menyapu sekitar – bersiap kalau-kalau kecoa itu ada di dekatnya.

“Tuh, dia,” tunjuk Aldo ke sudut kanan ruangan. 

Tampak kecoa itu menempel dengan tenangnya di sana, tak peduli betapa Revano bergetar hebat saat ini. Seluruh tubuhnya lemas, terutama kakinya. Ia merasa tak kuat terus berdiri seperti ini.

“Biar gue tangkap,” kata Tamara memberanikan diri. 

Sebenarnya gadis itu tak cukup berani untuk menangkap seekor kecoa, namun kekacauan ini disebabkan karena dirinya. Kecoa itu keluar dari tasnya, bukan?

Tinggal beberapa langkah lagi tangan Tamara mampu meraih, kecoa itu mengepakkan sayapnya dan terbang menuju Revano.

Menyadari hal itu, Revano langsung lari tunggang langgang – menuruni anak tangga menuju lantai bawah.

Akan tetapi, karena kecerobohannya, Revano jatuh terguling dan tak sadarkan diri.

“VANO!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status