Tamara mulai membiasakan diri hidup mandiri, bertemankan kesendirian di tengah ingar bingarnya ibu kota setiap harinya.
Semenjak Revano pergi, justru Tamara mendapatkan banyak teman. Alice, Karina, dan Rani resmi sudah menjadi sahabat Tamara. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba mau bersahabat dengan Tamara.
Meski hidupnya dikelilingi oleh banyak teman, Tamara tetap merasa ada yang kurang di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Revano?
Kepergian Revano rupanya menyisakan ketidakrelaan dalam hati Tamara.
Sekuat apa pun Tamara menghibur diri, tetap saja tak berhasil. Kini seseorang yang ia cintai setelah Diana juga meninggalkannya. Terlebih karena Revano lah yang mengambil ciuman pertamanya.
Mungkin bagi sebagian perempuan, ciuman bukanlah hal yang luar biasa, tapi bagi Tamara, itu adalah hal yang sangat berarti. Tamara tak akan semudah itu menyerahkan ciumannya pada lelaki.
Tamara menghela napas. Hm, ya udahlah, mau gimana
“Geser dikit bisa nggak, sih, Ran?” tanya Alice seraya mendorong tubuh Rani agar sedikit menjauh supaya memberinya banyak tempat untuk berbaring. “Hih, lo apaan, sih, Lice? Banyak tempat tuh,” jawab Rani tak suka jika keasyikannya menonton film diganggu oleh Alice. “Di situ nanti tempatnya Karina sama Rara. Lo mikir dong, badan lo aja segede itu masih juga kaki sama tangan ke mana-mana,” protes Alice. “Lo nggak ngomong pun gue juga tahu kalau itu tempatnya Rara sama Karina. Tapi, ‘kan, mereka masih keluar. Lo yang santai dikit kenapa, sih? Ganggu aja gue lagi nonton pacar gue nih – Leonardo DiCaprio,” gerutu Rani. “Kalian kenapa, sih? Berisik banget dari tadi,” tanya Tamara yang sudah muncul di hadapan mereka bersama Karina dan beberapa kantung plastik berisi makanan dan minuman yang mereka inginkan. Dengan segera Alice dan Rani membaur bersama Tamara dan Karina, seakan lupa dengan perdebatan mereka beberapa detik yang lalu itu. “Ra,”
Di suatu siang – seperti biasa – Tamara dan Giselle sedang duduk di ruang keluarga sembari menonton TV dan memperhatikan Ale bermain. Tiba-tiba ponsel Tamara berdenting, menampilkan sebuah pesan singkat dari Joseph. Papa: Ra, kamu bisa ke kantor Papa sekarang, ‘kan? Dengan cepat Tamara mengetikkan sesuatu di ponselnya. TamaraAltey: Oke, Pa. Giselle yang melihat bahwa mata Tamara tak lagi fokus pada tayangan di TV dan lebih asyik dengan ponselnya itu pun menjadi penasaran, dengan siapa anak tirinya itu berkomunikasi. “Hayo, SMS siapa tuh?” tanya Giselle sembari melongok, ikut melihat ke layar ponsel Tamara. “Papa, Bun.” “Kenapa sama Papa?” “Papa suruh aku ke kantornya.” Giselle mengernyitkan dahi. “Ada apa?” “Nggak tahu. Papa suruh aku segera ke kantornya.” “Ya udah sana. Sama Pak Dadang, ‘kan?” “Pak Dadang, ‘kan, lagi istirahat, Bun. Aku
Lagu Superman milik Super Junior berdering dari ponsel Tamara, membuat Sang Empunya ponsel pun terbangun dan segera mematikan alarm tersebut. Memang sengaja Tamara menggunakan lagu tersebut sebagai nada dering alarm di ponselnya agar ia segera terbangun. Kembali hidup sendiri – sama ketika ia mengekos setelah kepergian Diana – setelah ia jauh dari Joseph dan Giselle, membuat Tamara mau tak mau harus kembali serba mandiri. Hidup sendiri di Kota Pelajar yang tentu jauh dari rumahnya membuatnya harus mendisiplinkan diri. Karena kalau tidak begitu, ia sendiri yang akan kehilangan waktu berharganya. Setelah memilih pakaian untuk dikenakannya ke kampus, Tamara pun berjalan menuju kamar mandi. Kamar mandi yang hanya ada tiga bilik di setiap lantainya membuat seluruh penghuni di lantai tiga – tempat Tamara tinggal pun harus berbagi dan bergantian. Seperti saat ini. Jam baru menunjukkan pukul lima kurang lima menit pagi, tapi tiga bilik kamar mandi terlihat penuh, bahkan Tama
Ceklek! Wanita yang sejak beberapa jam lalu duduk dan sibuk dengan laptop-nya pun terkejut ketika seorang pria keluar dari kamar dan menghampirinya. Siapa lagi kalau bukan Bima – suaminya? “Kok belum tidur, Yang?” tanya Bima pada istrinya. Tamara menggeleng. “Masih sibuk kerja,” jawab Tamara seraya tersenyum manis kepada suaminya. Bima sangat paham pekerjaan istrinya. Walau Tamara hanyalah seorang penulis novel di samping ia menjadi seorang ibu rumah tangga, tapi Bima sangat bangga dan mengapresiasi pekerjaan Tamara tersebut. Bagaimana tidak? Memiliki istri seorang penulis tentu membuat Bima selalu bahagia karena hari-harinya dipenuhi oleh kalimat-kalimat penuh cinta dari istrinya, tak jarang juga Tamara melontarkan kalimat-kalimat gila yang justru sangat menghibur Bima dan membuat pria itu bahagia. Seorang penulis novel – suatu pekerjaan yang sering sekali diremehkan oleh banyak orang. Namun, meski demikian, gaji Tamara sebagai seorang penuli
“Kamu kok ngelamun terus, Sayang?Apa ada yang mengganjal di pikiranmu?” tanya Diana pada puteri semata wayangnya. Gadis berusia 17 tahun itu menggeleng lembut. Matanya kembali menatap jalanan ibu kota yang sangat asing baginya. “Kamu nggak suka, ya, tinggal sama Mama?” Mata Diana berkaca-kaca. “Eh, nggak, Ma, nggak kok. Mama ini ngomong apa, sih? Rara suka banget tinggal sama Mama. Hanya saja ….” Tamara tak melanjutkan perkataannya. “Hanya saja apa, Sayang?” “Hanya saja Rara rindu Papa, Ma,” jawabnya sendu. Diana mendekapnya, mengusap lembut rambut panjang puterinya yang tergerai. Memang tak mudah baginya menjalani kehidupan seperti ini, terlebih anak gadisnya masih sangat belia untuk menelan pil pahit itu. Namun, bagaimana lagi? Kenyataannya sekarang ia dan suaminya sudah bercerai. Pria itu lebih memilih wanita yang umurnya tak terlampau jauh dari anaknya. “Papa sudah pergi, Nak. Kita harus terima itu,” jawabnya
Tamara mengekori seorang guru biologi dan juga wali kelasnya di kelas XI IPA 3, beliau bernama Bu Naomi. “Kalau kamu ada kesulitan atau masalah, kamu bisa cerita ke Ibu sebagai wali kelasmu, ya?” tawar Bu Naomi dengan lembut. Tamara mengangguk sembari tersenyum menjawabnya. Kelas yang sebelumnya ramai dan gaduh, kini menjadi hening ketika guru yang sedang hamil enam bulan itu masuk disusul oleh gadis mungil yang tak lain adalah Tamara. “Kita kedatangan teman ba—” “Uhuy .…” “Manisnya .…” “Duduk sama Abang sini, Neng.” “Jangan mau, Neng. Dia buaya.” Belum selesai Bu Naomi berbicara, kelas kembali ramai, menggoda sang siswi baru di sampingnya itu. “TENANG!” seru Bu Naomi berusaha menenangkan kelas. Wanita itu mengusap perutnya dan mengucapkan ‘amit-amit jabang bayi.’ Setelah kelas kembali tenang, Bu Naomi pun mulai mempersilakan Tamara mengenalkan diri. “Nama saya Tamara Alteyzia, biasa dipa
Jam beker bergambar Sailor Moon – kartun kesukaan Tamara sejak kecil itu berdering, menunjukkan pukul lima pagi, membuat Tamara langsung terbangun. Gadis itu mematikan jam bekernya. Hati Tamara berdesir, teringat akan seorang pria berusia 50 tahunan yang tak lain adalah ayahnya itu. Jam beker ini adalah hadiah ulang tahun yang diberikan oleh ayahnya untuknya tahun lalu. Tamara masih sangat ingat saat itu ayahnya pulang dengan keadaan basah kuyup sembari menenteng plastik berisi sekotak jam beker bergambar Sailor Moon untuk puteri cantiknya. Tamara tentu sangat bahagia mendapat hadiah tersebut dari ayahnya. Ia memeluk ayahnya dengan sangat erat sembari mengucapkan terima kasih. Tamara menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak ingin mengingat apa pun tentang ayahnya, termasuk peristiwa bahagia mereka. Tamara berlari menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya dengan air dingin. Tak butuh waktu lama baginya untu
Tamara keluar toilet, melihat muka murungnya di pantulan cermin. Air matanya sudah kering dari tadi.Tamara membasuh mukanya dengan air, lalu berjalan kembali ke kelas diiringi tatapan aneh dan teriakan mengolok dari teman-teman kelasnya.Dengan segera Tamara mengemasi barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tasnya.“Ra, ini, ‘kan, belum jam pulang,” kata Juna yang terheran-heran melihat apa yang dilakukan Tamara.Akan tetapi, Tamara tak meresponnya sedikit pun. Gadis itu justru berlari pergi membawa tasnya keluar.“Rara!” seru Juna memanggil. Namun, percuma saja, sang empunya nama sudah menghilang, entah ke mana.