Share

Part 4 : I do

Kepala Shine menoleh dengan cepat ketika ia mendengar kalimat yang baru saja Daffa lontarkan.

Me..menikah? Ia tidak salah dengar bukan? Daffa baru saja mengajaknya menikah?

Pria itu masih memegang setirnya, menatap kosong ke depan, seperti ada keraguan diwajahnya.

"Menikah?" Tanya Shine memastikan bahwa pendengarannya bekerja dengan baik.

Daffa mulai menatapnya lembut, kemudian ia membelai rambut Shine seperti biasa.

"Ya, menikahlah denganku Shine."

"Ke..kenapa?" Gadis itu mengerutkan dahinya bingung, ia tidak tahu bagaimana raut wajahnya dan nada bicaranya yang tidak mungkin akan nampak normal. "...i..ini..tiba..tiba sekali.." lanjutnya dengan suara semakin pelan.

Daffa menatap Shine lekat-lekat. "Aku hanya tidak ingin kehilanganmu." ucapnya jujur.

Ya, memang benar Daffa tidak ingin kehilangan Shine, begitu juga dengan seluruh keluarganya, mereka sudah terlanjur menyayangi Shine.

Dan bagaimanapun juga, siapapun juga akan meleleh jika ada seorang pria tampan yang menatap dengan sayang dan mengatakan kalimat 'tidak ingin kehilanganmu', termasuk Shine.

Kakaknya Daffa dan Darren adalah tipe pria yang ia idamkan ada dihidupnya suatu hari nanti untuk menjadi seorang suami. Bukan berarti harus mereka, setidaknya pria yang seperti mereka. Dan saat ini Daffa, seseorang yang sudah ia anggap sebagai kakak sendiri sedang melamarnya? Apa ia sedang bermimpi?

"Kak, kau.. apa kau sekarang ini sedang melamarku?" Shine memastikan lagi maksud Daffa.

Yang ditanya hanya mengangguk.

Shine tidak dapat berkata-kata lagi. Ia sangat bingung, ia tidak dapat mencerna dengan baik ucapan ataupun sikap Daffa lagi. Gadis itu hanya menunduk memilin-milin ujung bajunya, kebiasaan yang tidak bisa ia hilangkan ketika merasa bosan, bingung ataupun ragu-ragu.

"Pikirkanlah itu Shine." Ucap Daffa kemudian kembali menarik kemudi dan menjalankan mobilnya pelan-pelan. "Aku akan menunggu jawabanmu."

.

"Kau serius Shine!?" teriak ketiga temannya bersamaan ketika Shine menceritakan apa yang terjadi.

Shine mengangguk-angguk, dengan bibir terkulum.

"Lalu apa jawabanmu?" Jane penasaran.

"Aku tidak tau, aku bingung harus menjawab apa."

"Tapi wajahmu tidak dapat dibohongi! Kau benar-benar pengkhianat Shine. Aku yang mengincarnya tapi kau yang mendapatkannya." Sophie menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lemas.

"Aku belum mengiyakannya."

"Sudah aku bilang wajahmu tidak bisa berbohong. Kau tidak bisa menolaknya." lanjut Sophie.

"Benarkah? Aku tidak berpikir seperti itu, kau tau bukan kak Daffa sangat menyebalkan, dan sangat protektif, jika aku menikah dengannya aku tidak akan bisa bebas lagi!"

"Lalu? Baguslah jika kau menolak lamarannya, aku yang akan menggantikanmu." Jane menggoda, mengedipkan sebelah matanya.

Shine menginjak kaki temannya itu kuat-kuat.

"Aw, Shine! Kau!"

"Aku juga tidak bilang aku akan menolaknya."

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" Vonie tidak sabar dan tidak mengerti apa maksud sahabatnya itu.

"Aku harus memastikan sesuatu dulu." jawab Shine merubah raut wajahnya dengan senyuman yang teduh.

Gadis itu mengambil tas. Sedangkan temannya hanya memperhatikan tingkah lakunya.

"Aku tidak bisa ikut kalian pergi hari ini, kalian tau bukan bodyguardku selalu menjagaku di gerbang sekolah? Lagipula aku ingin pergi ke suatu tempat." pamit Shine bersiap mengenakan tasnya.

"Hmm baiklah, hati-hati, ceritakan pada kami nanti tentang keberuntunganmu itu."

"Dengan senang hati." kerling gadis itu manja menggoda teman-temannya yang hampir saja dihadiahi oleh lemparan buku.

Kemudian ia pergi keluar kelas untuk menemui kedua penjaganya yang sudah menunggu sejak pagi.

"Kalian bisa mengantarkanku ke suatu tempat?" Pinta Shine setelah mendekat.

"Tuan Daffa meminta kami untuk segera mengantar anda pulang setelah--"

"Kalau begitu aku akan pergi sendiri dan mengatakan pada kak Daffa kalau kalian tidak mau mengantarku." potong Shine.

Kedua bodyguardnya saling pandang, tidak memberi jawaban.

"Baiklah..." lirik Shine mengambil ponselnya di kantung jaket. "Aku akan menghubunginya sekarang."

"Baiklah nona, kami akan mengantar anda." putus salah satu bodyguard itu kemudian membukakan pintu mobil untuk Shine.

Shine hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum penuh kemenangan, ternyata mudah mengancam si para badan besar itu.

.

Rumput hijau menjadi alas untuk Shine yang hanya bisa terduduk menatap batu nisan di depannya. Sesekali ia mengusap-usap kakinya yang yang terasa gatal tertusuk-tusuk rerumputan kecil, tapi ia merasa nyaman duduk disitu.

Sudah setengah jam yang lalu ia sampai dan duduk terdiam tanpa berbicara sedikitpun. Shine tidak tau apa yang akan ia katakan. Ia merasa hanya ingin mendatangi Edward sekarang.

Tujuh tahun lalu, kakaknya meninggalkan Shine selama-lamanya karena sebuah kecelakaan maut, dan Caroline, sahabat kakaknya mengatakan jika Edward ingin dimakamkan di Indonesia. Mungkin sudah takdirnya untuk kembali ke Indonesia, tempat dimana ibu mereka berasal. Dan tempat dimana Shine mendapatkan keluarga baru.

Shine merasa sangat bersyukur, keluarga mereka sangat mencintai Shine, Ia dapat merasakan itu. Bagaimana Brata merawat dan memperlakukan Shine seperti putrinya sendiri, bagaimana lembutnya Ema, bahkan wanita itu tidak pernah memarahinya. Bagaimana Daffa dan Darren bersikap tegas dan selalu menjaganya, benar-benar ia rasakan seperti dulu Ed menjaganya ketika Shine kecil.

Gadis itu tersenyum membayangkan kemudian kembali fokus ke depannya.

"Kak?"

"Apa kau merindukanku?"

Shine menaruh kepalanya ke atas makam dengan mata yang tertuju ke ukiran nama Edward. Jarinya terulur kemudian mengelus-elus tulisan itu pelan.

"Seperti biasa, aku akan datang ketika aku merasa sedih ataupun senang."

"....."

"Hari ini aku masih akan menceritakan lelaki yang sama kak, yaitu kedua kakakku." Shine tersenyum hambar.

"....."

"Tapi kau pasti akan merasa bosan karena aku lebih sering menceritakan kak Daffa dibandingkan kak Darren, karena aku lebih sering bersamanya." Gadis itu terkekeh sendiri.

Kemudian terdiam.

"Kak.. aku.."

"......"

Shine menghentikan ucapannya, ia kembali menegakkan badannya tanpa menarik tangannya dari batu nisan.

Dengan setia jari-jari itu mengelus ukiran nama Ed, seakan-akan batu itu adalah rambut yang lembut, seperti Daffa yang selalu mengusap rambutnya.

"Aku tidak tau kak bagaimana mengatakannya padamu."

"....."

"Jika aku mengatakan aku bahagia saat ini karena suatu hal, apakah itu dosa?"

Shine membuang tatapannya lurus ke depan.

"Dia mengatakan jika dia tidak ingin kehilanganku. Apa itu artinya dia mencintaiku kak?"

"......"

"Kau tau bukan siapa yang aku maksud? Kau pasti tau karna kau pasti selalu mengawasiku dari sana."

"......"

"Kak Daffa... dia... baru saja melamarku." ucap Shine seperti berbisik. "Dia mengatakan jika dia ingin menikahiku kak."

"....."

"Tapi dia adalah kakakku. Aku bingung...."

"....."

"Tidak, bukankah dia bukan kakak kandungku? Seharusnya kami boleh menikah bukan?"

Shine menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian membuang napas kasar. Bahunya jatuh lunglai memikirkan perasaannya sendiri.

Sesungguhnya ia yakin ia tidak mencintai Daffa, ia hanya menyayangi seorang Daffa karena pria itu terlalu hangat untuknya. Sosok kakak sudah terlalu merekat erat pada Daffa. Bagaimana mungkin Shine bisa merubah sosok Daffa menjadi suaminya dan memposisikan dirinya sebagai istri Daffa? Itu pasti akan sangat sulit. Apalagi usianya masih sangat muda. Shine ingin mengejar impiannya sebagai seorang desainer.

"Aku harus bagaimana kak?"

"....."

"Aku tidak ingin menolaknya, karena dia adalah pria yang paling baik yang pernah aku kenal."

"......"

"Apa alasan itu cukup untuk menerimanya kak?"

"......"

"Aku... rindu pada ayah dan ibu. Aku ingin mengatakan pada mereka apa yang aku rasakan."

"....."

"Kira-kira apa yang akan mereka katakan padaku jika mereka masih ada di dunia ini?

"....."

"Menikahlah nak, dia adalah pria yang baik yang pantas menikahimu." Shine kembali terkekeh sendiri memperagakan bagaimana reaksi ayahnya.

Ya... Mungkin seperti itu.

Shine tidak tau karena ayah dan ibunya sudah berada di surga dan makam mereka ada di Singapura. Shine kembali tersenyum kecut.

Tidak apa, setidaknya ada Edward disini. Ia menghembuskan napas berat untuk kesekian kali.

"Baiklah. Aku akan menerimanya kak."

"......"

"Aku akan menikah dengannya."

Putus Shine kemudian.

.

"Apa kau sudah gila?"

Kalimat itu meluncur mulus dari bibir Darren begitu melihat kembarannya memasuki ruangan keluarga.

"Kau sudah pulang saudaraku? Lebih cepat dari dugaanku?" Daffa melihat arlojinya ketika baru saja ia tiba dan melihat ayah, ibu dan Darren sudah menunggunya.

"Kau membuatku geli."

"Benarkah?" Daffa tersenyum manis sembari mendekat.

"Bagaimana otakmu bisa memikirkan ide gila itu?" Darren terlihat berdecak.

"Seperti ide gilamu mengantikanku dulu, maksudmu?" alis Daffa terangkat menatap Darren.

"Kau benar-benar pengungkit yang paling luar biasa."

Daffa tersenyum mendengar ucapan Darren itu.

"Kenangan manis tidak akan mungkin bisa aku lupakan." Sarkasnya.

Daffa mendudukkan dirinya di sofa, dimana Darren sudah mendahuluinya, mereka akan membicarakan hal yang sangat penting menyangkut Shine. Tentang bagaimana rencana Daffa menikahi Shine.

"Jika itu menyangkut Shine, ibu sangat setuju apapun rencanamu untuk membuat Shine tetap tinggal." Ema membuka pembicaraan dengan nada sedikit cemas.

"Ayah hanya memikirkan masa depan kalian nantinya, jika kalian menikah tanpa cinta akhirnya adalah perceraian. Apa tidak sebaiknya menunggu Shine resmi diadopsi oleh keluarga kita?"

Daffa menggeleng, "aku sudah menyelidikinya diam-diam, Lionel sudah mempersiapkan dokumen-dokumen untuk mengadopsi Shine lebih dulu tanpa sepengetahuan kita."

"Benarkah?" Ema meremas-remas tangannya. "Kalau begitu cepatlah menikah dengan Shine segera!" pintanya

"Ibu..." sela Darren mengeram. "Aku tidak peduli padamu Daff, kau adalah seorang pria, kau bisa bergonta-ganti pasangan suatu saat nanti. Bagaimana dengan Shine?"

"Darren benar, bagaimana dengan Shine, biar bagaimanapun dia adalah seorang wanita, kita tidak tau dia bisa luluh kapan saja dan dia bisa saja mencintaimu suatu hari nanti setelah pernikahan kalian, Daff." Brata ikut mendukung Darren.

"Aku tidak akan memperlakukan dia sebagai istriku, tentu saja dia tetap adikku, dia tidak harus melayaniku, aku tidak akan menyentuhnya dan aku akan tetap menjaganya utuh, kami hanya butuh status yang bisa menguatkannya untuk tetap bersama kalian."

"Kau laki-laki normal bukan? Tidak mungkin tidak akan melakukan 'apapun' jika kalian dalam ruangan yang sama." sindir Darren, masih belum menerima ide Daffa.

Daffa tersenyum simpul. "Aku tidak sepertimu, dia adikmu dan juga adikku, bagaimana mungkin aku bisa menyentuh adikku sendiri? Jika kau jadi aku, apa kau sanggup melakukan nya? Lagipula kau lupa, kadang-kadang kami tidur bersama ketika dia mendapat mimpi buruk? Ketika ayah dan ibu tidak ada. Hal seperti itu bukan masalah untukku."

"Ah, benar, lagipula kau masih mencintai seseorang bukan?"

"Hentikan itu Darren." Sela Brata ketika Darren mulai membahas masa lalu.

"Lagipula, aku juga menunggu keputusannya."

"Maksudmu?" dahi Darren berkerut.

"Aku sudah mengatakan ini padanya."

"Daffa sudah meminta Shine untuk menikah dengannya, sekarang kita hanya bisa menunggu jawaban Shine." jelas Ema.

"Apa dia mengatakan alasannya?"

Ema menggeleng lemah.

"Jika ia tidak menyetujuinya, aku tidak akan menikahinya, kau tenang saja." ucap Daffa tertuju pada Darren.

Darren tersenyum miring. "Aku meremehkanmu Daff, tidak ku sangka kau benar-benar pintar." Pria itu yakin bahwa Shine tidak mungkin akan menolak Daffa, ia berani bertaruh. Shine memang sangat keras kepala, tapi lihat saja, ia bisa dengan mudah mendengar dan luluh pada perkataan Daffa.

"Jadi, kapan pernikahan ini akan dilangsungkan?" tanya Ema tidak sabar.

"Kita bisa melakukan secepatnya."

"Tunggu dia lulus."

Jawab Daffa dan Brata bersamaan, mereka saling tatap.

"Sampai Lionel mengambilnya terlebih dahulu?" tukas Daffa. "Tadinya aku sempat berpikir seperti itu. Toh, Shine tidak lama lagi akan lulus, tapi begitu mendengar Lionel sudah menyiapkan berkas, kita tidak akan punya waktu banyak."

"Lalu kita harus bagaimana?"

"Tenangkan dirimu Bu, pernikahan akan kita adakan secepatnya, dan resepsi akan kita adakan setelah Shine lulus. Jadi sama sekali tidak akan mengganggu sekolah dan statusnya."

"Baiklah, ibu setuju. Bagaimana denganmu yah?"

Brata tampak berpikir sejenak.

"Aku juga setuju, mau bagaimana lagi?"

Mendengar persetujuan ayahnya, Daffa merasa sedikit lega, ia menengok ke arah Darren. "Aku tidak perlu meminta persetujuan darimu, karena kedua orang tua kita sudah setuju."

Darren bangkit dari sofa, mendekat ke arah Daffa dan menepuk pundaknya. "Lakukan sesukamu." ucapnya tersenyum, lalu merapatkan tubuhnya ke Daffa. "Mungkin aku hanya berharap kalian benar-benar jatuh cinta satu sama lain, supaya hal ini tidaklah menjadi kepura-puraan. Aku bisa melihatnya dimata Shine, dia--"

"Kalian sedang berkumpul?"

Suara Shine memutus kalimat Darren.

Semua orang menengok ke asal suara. Disana Shine dengan girang melangkah mendekati ruangan keluarga.

"Kak Darren? Kau pulang?"

Shine berlari memeluk Darren, yang kemudian dibalas pelukan oleh Darren.

"Tentu saja, kenapa kau baru pulang? kau tidak membuat masalah selama aku tidak ada bukan?"

Dengan wajah kikuk dan pucat Shine melepas pelukan Darren dan melirik-lirik Daffa. Ia harap Daffa tidak mengatakan apapun pada Darren.

"Sepertinya iya." tebak Darren.

Shine menggeleng cepat. "Tidak, tentu saja tidak kak. Lagipula..."

Kalimat Shine menggantung, ia kembali menatap Daffa yang juga menatapnya hangat.

"....bukankah seharusnya kita membahas hal yang lain?" sambungnya.

"Hal yang lain?" tanya Darren pura-pura tidak mengerti.

Shine mengangguk-angguk, lalu ia menarik napas panjang dan menatap Ema, Brata, Daffa dan Darren bergantian.

"Aku bersedia menikah dengan kak Daffa." ucapnya dalam satu tarikan napas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status