Share

Tidak, Akra!

Sudah tujuh hari Ana bebas dari cengkraman Cakra yang membuatnya sesak tiap hari. Seminggu ini, Ana memang tak pernah bertemu dengan Cakra. Begitupula dengan Cakra, pria itu juga tidak pernah mengirim pesan atau berusaha untuk menemui Ana. Di kampus pun, Ana tidak pernah melihat keberadaan Cakra atau teman-temannya. Tasha dan Kekeu juga tidak membicarakan masalah Cakra atau kekasih mereka saat bersama dengan Ana. Karena itu, desas-desus mengenai putusnya Ana dengan Cakra tersebar luas. Sampai sekarang belum ada yang berani menanyakan kebenaran kabar itu pada Ana. Ana sendiri tidak mau repot-repot mengonfirmasi masalah ini pada semua orang lain. Sudah cukup selama ini Ana menjadi pusat perhatian saat menjadi kekasih Cakra. Ana ingin menikmati waktu tenangnya.

Sayangnya, Ana sama sekali tidak merasa tenang. Secara keseluruhan, seharusnya Ana merasa lega dan senang dengan kondisi ini. Ya, status break yang membawa banyak keuntungan untuk Ana. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Tiap malam, Ana merasa sangat lelah. Baik fisik dan mental Ana terasa sangat lelah. Ana sendiri tidak tahu apa alasan dari semua perasaan yang menyiksa ini. Helaan napas terdengar dari Ana. Hari ini, Ana pulang cepat dari kampus. Jam empat sore, Ana sudah tiba di rumah. Ia sempat menelepon kakaknya, dan Fatih masih bertugas di ruang gawat darurat hingga malam nanti. Sore ini, setelah makan Ana berencana untuk tidur. Sepertinya karena kurang tidur, Ana merasa sangat aneh.

Ana masuk ke dapur dan memasak mi instan. Jika saat ini status hubungannya dengan Cakra tidak dalam status break, Ana pasti akan berpikir ulang untuk memakan mi instan seperti ini. Ana masih ingat dengan jelas bagaimana Cakra melarang keras untuk tidak makan mi instan. Jika Ana ketahuan melanggar, maka Cakra tidak segan-segan memberikan hukuman padanya. Mi matang, Ana segera makan dengan lahap. Suasana hatinya bertambah buruk saat sadar jika dirinya kembali memikirkan Cakra. Ana menyelesaikan sesi makan malam yang dipercepatnya itu, lalu segera mencuci peralatan makan sebelum naik ke kamarnya untuk mandi dan beristirahat.

***

Ana terbangun saat langit telah menggelap. Ia kemudian bangkit dan mencuci wajah. Ana mengenakan baju tidur berupa gaun terusan bergambar chibi karakter Lee Dong Wook. Ia turun dari kamar, bertepatan dengan Fatih yang memasuki rumah. “Kakak baru pulang?” tanya Ana sembari melirik jam dinding. Ternyata sudah jam delapan malam.

“Iya. Tugas Kakak sudah selesai, karena itu Kakak memilih tidur di rumah saja. Ana bisa masak sesuatu untuk Kakak?”

Ana mengerutkan keningnya. Ana lupa berbelanja untuk mengisi stok. Jadi di dalam kulkas, tidak ada bahan makanan apa pun. Mi instan terakhir pun sudah dimakan Ana tadi sore. “Ana harus membeli bahan-bahannya dulu, Kak. Lebih baik Kakak mandi dan tidur sebentar. Nanti jika sudah masak, Ana bangunkan.”

“Ke super market? Kakak antar.”

“Ana belanja di mini market baru di depan Kak. Di sana lengkap kok, jadi Ana mau belanja di sana aja. Kakak tidak perlu mengantar.”

Ana kemudian kembali masuk ke kamar untuk mengambil sweter, ponsel dan dompet. “Kak, Ana pakai motor ya?” tanya Ana saat melihat Fatih berbaring di sofa ruang tamu.

Fatih segera membuka matanya. “Mending Kakak antar saja, ya?”

“Nggak perlu, Kak. Kakak tidur saja.” Ana kemudian mencari helm dan kunci motor matic milik kakaknya. Padahal ada mobil, tetapi Ana belum memiliki SIM mobil. Jujur saja, Ana belum bisa mengendarai mobil. Padahal Ana sudah bertahun-tahun belajar untuk mengendarainya. Begitu Ana mengeluarkan motor dari garasi, ia dikejutkan dengan kehadiran Panji di depan rumah. Pria itu bersandar di pintu mobil silver miliknya. Seketika perasaan bahagia menyelimuti hati Ana. Ternyata dirinya masih bisa bertemu dengan Panji lagi.

“Panji!” seru Ana senang.

Panji mengangguk dan tersenyum saat Ana mendekat padanya yang masih berrtahan dalam posisinya yang bersandar di badan mobilnya. “Ana terlihat sangat bahagia.”

“Tentu saja. Akhirnya kita bisa ketemu lagi.” Panji membalas ucapan Ana dengan sebuah senyuman.

“Kalo gitu, ayo masuk dulu. Kebetulan Kak Fatih lagi ada di rumah. Kamu pasti belum bertemu dengan Kakak, ‘kan?”

Kali ini Panji menggeleng. “Tidak Ana. Aku hanya ingin berbicara denganmu. Lebih baik kita bicara di luar. Kakakmu sedang isirahat, bukan? Tidak sopan rasanya jika mengganggu waktu istirahatnya.”

Ana menurut dan berdiri di hadapan Panji. Ana tampak tak bisa menyembunyikan senyum manisnya, ia tampaknya begitu bahagia akan pertemuannya dengan Panji ini. “Ana kira, kita tidak akan bisa bertemu lagi.”

“Awalnya, aku memutuskan untuk tidak akan menemuimu sesuai dengan pesan yang kukirim itu. Pada akhirnya aku berubah pikiran. Hatiku yang menggerakkan,” ucap Panji sembari mengukir senyum.

“Syukurlah, berarti kita bisa kembali seperti dulu, ‘kan?” tanya Ana dengan wajah semringah.

Sayangnya Panji menggeleng. “Aku takut tidak akan seperti itu, Ana.”

“Maksudmu?” tanya Ana.

“Malam ini juga, aku dan keluargaku harus terbang ke Austria.”

Ana membulatkan matanya. “Kamu pidah … lagi?”

Panji mengangguk. “Dan aku tidak yakin, apa suatu saat nanti aku akan kembali lagi ke Indonesia, atau tidak.”

Wajah Ana seketika murung. Pada akhirnya ia kembali harus berpisah dengan orang yang ia sayangi. Wajah Ana terlihat menggemaskan bagi Panji. Pria itu tak bisa menahan diri untuk tidak mengelus lembut puncak kepala Ana. “Karena itu, sekarang aku akan mengatakan sesuatu yang telah lama aku simpan. Ini kesempatan terakhir yang tak mungkin aku lewatkan, atau aku akan merasa sangat menyesal.”

Ana mengangkat pandangannya dan menatap mata Panji. “Apa yang ingin kamu katakan?”

“Aku mencintaimu, Ana.”

Ana mematung. Ia tanpa sadar mundur satu langkah. Ana sama sekali tidak berharap mendapat pernyataan cinta seperti ini dari Panji. Satu perkataan yang lebih dari cukup untuk mengubah hubungan diantara mereka. Ana mengusap wajahnya dan kembali menatap Panji. “Panji A—”

“Aku tidak membutuhkan jawabanmu. Aku sadar diri, dan tak ingin menjadi orang ketiga diantara kalian,” ucap Panji menyela perkataan Ana.

“Aku mengatakan ini, hanya karena tak ingin merasakan penyesalan. Aku juga tahu, jika Cakra sangat mencintaimu. Hanya saja karena ia mencintaimu dengan caranya sendiri, aku takut jika suatu hari nanti kau akan terluka. Jadi, tolong jaga dirimu Ana. Karena aku kembali tak bisa melakukan tugasku sebagai sahabat yang akan menjagamu setiap saat.”

Ana meneteskan air mata, tanpa pikir panjang Ana segera menubruk Panji ketika pria itu merentangkan tangannya. Gadis itu memeluk sahabatnya dengan perasaan yang campur aduk. Suasana hatinya memang telah tak menentu setelah mendengar pernyataan cinta dari Panji. Dan menjadi sangat buruk setelah mendengar kata-kata perpisahan dari Panji. Ia masih belum rela jika harus berpisah dengan temannya ini, pada akhirnya Ana harus memaksakan diri mengantarkan kepergian Panji dengan senyuman. Mobil Panji melaju pergi, Ana masih mengamati mobil itu hingga menghilang di ujung kompleks perumahan ditemani rasa hangat yang tersisa dari pelukan Panji tadi.

Tiba-tiba jantung Ana terasa berhenti berdetak, ketika dirinya seakan melihat mobil milik Cakra lewat di ujung jalan. Sepertinya Ana salah melihat. Ia mengusap matanya yang terasa berkabut. Ah sepertinya Ana hanya salah lihat. Ana tidak boleh terlarut dalam kesedihannya lagi. Ana memutuskan untuk kembali pada rencana awalnya. Dengan hati-hati, Ana berusaha mengendarai motor matic hitam milik kakaknya. Tidak terlalu lama berkendara, Ana tiba di dekat mini market yang ia tuju. Ana memarkirkan motornya, dan segera masuk untuk membeli barang-barang yang ia butuhkan.

Seperti yang Ana bilang tadi, di mini market ini bahan makanan di jual cukul lengkap. Dimulai sayuran segar hingga daging tersedia walaupun dalam jumlah yang terbatas. Tapi itu semua lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan Ana dan Fatih. Ana segera mengambil barang-barang yang dibutuhkan dan Ana cukup kesulitan membawa dua kantung plastik besar tersebut. Untungnya, Ana memarkirkan motornya tidak jauh dari pintu mini market. Ana kembali mengendarai motornya menyusuri jalan raya. Tinggal beberapa meter lagi dirinya tiba di perrsimpangan jalan, yang salah satu jalannya akan membawanya masuk ke jalan kompleks perumahan. Sayangnya, motor Ana tiba-tiba mati mesin. Jelas saja Ana merasa terkejut. Ia kemudian menepi, dan mencoba menghubungi kakaknya. Sayang telepon Ana sama sekali tidak dijawab, sepertinya kakaknya telah tidur pulas.

Ana tak lagi mencoba menghubungi Fatih. Ia memilih mendorong motornya untuk menyeberang jalan. Karena di seberang jalan, ada bengkel motor yang masih buka. Ana sangat berhati-hati, ia berulang kali menengok kanan-kiri memastikan jika tidak ada mobil dan motor yang melaju dalam jarak dekat dengannya. Begitu Ana tiba di tengah-tengah jalan, ada sebuah truk yang melaju dari ujung jalan. Truk tersebut memasang lampu samping, yang menandakan dirinya akan berbelok. Meskipun begitu, entah mengapa Ana merasa cemas dan mempercepat langkah kaki serta menambah kekuatannya yang tengah mendorong motor, tapi sayangnya mobil itu melaju lurus tepat ke arah Ana.

Suara jerit orang-orang mebuat Ana sadar aka nada hal yang tidak beres. Ana menoleh, lalu merasakan kakinya membeku. Padahal otak dan hatinya sama-sama berteriak agar melepas motornya dan menjauh dari jalan. Suara teriakan dengan jelas bisa Ana dengar dari orang-orang yang berada di kedua sisi jalan. Begitu truk itu akan melewati persimpangan, sebuah mobil mewah berwarna hitam menghalangi laju truk. Sudah pasti truk tersebut menabrak mobil hitam dengan hantaman yang terdengar mengerikan. Saking kuatnya tabrakan, si mobil mewah terpelanting dan berputar beberapa saat sebelum terdiam dengan keadaan salah satu sisinya yang hancur. Truk yang awalnya melaju bak kesetanan, kini juga telah berhenti.

Punggung Ana terasa mendingin saat melihat sosok pengemudi mobil mewah yang kini berlumurah darah. Sosok itu menoleh pada Ana dan tersenyum. Bibirnya kemudian bergerak membentuk sebuah kalimat, “Tidak apa-apa.” Sebelum orang itu melemas dan tak sadarkan diri.

Orang-orang segera terbagi menjadi tiga kelompok. Satu kelompok membantu pengendara truk, satu kelompok membantu pengendara mobil mewah. Satu kelompok lagi membantu Ana yang meluruh di jalanan. Motor dan belanjaan Ana berserakan di tengah jalan. Kondisi Ana sendiri jauh dari kata baik. Wajah Ana pucat pasi, dengan mata yang menyorot kosong pada mobil mewah yang hancur.

“Aduh Non, nasib baik buat Non. Kalo tadi mobil mewah itu enggak ngalangin jalan, Non pasti sudah celaka.”

“Iya bener.”

“Tapi mobil itu, sepertinya sengaja menghalangi jalan.”

“Intinya, Eneng ini nasibnya beruntung.”

Ana menggeleng dan meneteskan air matanya saat mendengar perkataan ibu-ibu yang mengerubunginya. Ana sama sekali tak ingin mendapat keberuntungan, jika itu artinya satu nyawa dipertaruhkan di sini. Tangis Ana menjadi histeris saat tim medis yang baru datang mengeluarkan pengendara mobil mewah yang sebelumnya terjepit badan mobil. Ibu-ibu yang berada di sekeliling Ana mencoba menenangkan Ana.

“Non, tenang!”

Ana menggeleng dan berontak saat mereka semua mencekal dirinya agar tak pergi ke mana-mana. Tangis Ana semakin histeris saja. Malam dingin terasa sangat mencekam. Bau darah yang pekat mengudara, menusuk penciuman setiap orang yang hadir di sana. Panik, perasaan yang kini bercampur aduk memenuhi dada Ana. Rasa sesak yang Ana rasakan semakin menyiksa, saat rasa bersalah yang besar menghantam hatinya. Ana berusaha berteriak, tapi dirinya tak mampu untuk menggerakkan bibirnya yang kini sama-sama bergetar bersama kedua tangannya yang terasa dingin.

Kedua mata Ana memburam ketika mendengar suara sirine ambulans yang mendekat. Jantung Ana berdetak dengan gilanya. Sesak. Dada Ana terasa sesak. Ana berontak dari pegangan ibu-ibu dan berlari sempoyongan pada orang-orang yang menggotong seorang pria yang berlumuran darah. Tangis Ana terdengar pilu. Ia menggeleng, menolak kenyataan yang ia lihat di depan matanya ini. “Tidak. Tidak, Akra!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status