Share

7. In Your Dream

Dengan wajah lesu dan kepala menunduk, aku melangkah keluar dari toko buku. Menghampiri Angkasa yang tengah terduduk santai di jok motornya yang terparkir di parkiran depan toko itu, sambil memainkan ponselnya. Saat aku sudah berada di depannya, dia menyimpan kembali ponsel berwarna putih itu ke dalam saku jaketnya dan mengangkat wajahnya ke arahku. 

Sebelah alisnya terangkat, seolah bertanya: "gimana?"

Aku berdecak kesal dalam hati melihat sikapnya itu. Apa susah sekali bertanya dengan mulut daripada dengan bahasa tubuh seperti itu? Dasar!

Aku menghela napas berat. "Gak ada juga." 

Angkasa menegakkan tubuhnya, kemudian mengambil helm dan sama seperti saat berangkat tadi, dia memakaikannya ke kepalaku. Aku hanya diam menerima perlakuannya itu, sambil menundukkan kepala dan mengerucutkan bibir. Bahkan sampai dia memakai helmnya sendiri dan sudah naik ke motor, aku masih menunduk tak bersemangat.

"Enggak usah cengeng. Naik." 

Dengan semakin mengerucutkan bibir, aku pun naik ke boncengannya dan berpegangan sedikit pada bahu lebar cowok itu. Motor pun berjalan dengan kecepatan sedang membelah jalanan, menyebabkan angin yang berhembus kencang menyapu wajahku. Tapi aku sedang tidak dengan suasana hati yang baik untuk menikmati hembusan angin ini.

Penyebabnya adalah apa yang kucari belum juga kudapatkan. Buku paket itu, aku tidak tahu akan sesulit ini mencarinya. Sudah tiga toko buku kumasuki, tapi semua hasilnya sama. Penjaga toko mengatakan buku itu sudah langka dan tidak dijual lagi. Ketiga penjaga toko dari tiga toko yang berbeda mengatakan hal yang sama. Bayangkan saja bagaimana frustasi dan kesalnya aku. Hei, aku hanya butuh satu buku saja. Hanya satu!

Rem mendadak yang dilakukan Angkasa saat lampu merah, membuat tubuh mungilku menabrak punggung tegaknya. Kekesalanku semakin bertambah mengingat masalah ini datangnya berasal dari dia. Kalau bukan karena cowok ini, sekarang aku pasti sudah duduk santai di rumah menunggu hujan yang sebentar lagi memang akan segera turun.

"Gara-gara elo!" bentakku tanpa sadar.
Dan bodohnya aku baru sadar kalau keceplosan bicara saat Angkasa menolehkan kepalanya sedikit ke belakang.

"Ngomong apa barusan?"

Aku berdecak pelan. Memalingkan wajah ke arah mobil yang berhenti tepat di sebelah motor Angkasa.

"Apaan?!" 

Aku mengerucutkan bibirku kesal. "Ini semua tuh gara-gara lo!"

Melalui kaca spion, aku bisa melihat tatapannya yang menajam. "Nggak usah kebanyakan ngeluh. Manja!"

"Kalau gue manja, emang kenapa? Ngaruh buat lo?" 

"Gue nggak suka cewek manja!"

Aku memutar bola mata. "Siapa juga yang mau disukai cowok ngeselin kayak elo!"

Dia tidak menjawab lagi. Tapi melalui kaca spion, aku melihat kedua bibirnya terangkat sedikit sesaat sebelum motor melaju lagi. Sangat sedikit, hingga jika orang lain melihat sekilas pasti tidak akan menyadari. Dan sayangnya, aku menyadarinya. Untuk pertama kalinya, aku melihat seorang Angkasa tersenyum. Meskipun samar, tapi aku yakin dia tersenyum barusan. Sebuah hal yang sangat langka, bukan? 

Angkasa menghentikan motornya di depan sebuah toko buku yang jauh lebih besar dari ketiga toko buku sebelumnya. Aku segera turun, melepaskan helm dan beranjak menuju pintu masuk toko itu. Namun langkahku terhenti saat Angkasa menahan tanganku.

"Gue yang masuk."

Aku melongo menatapnya. "Hah?"

"Bukunya kayak gimana?"

Masih dengan tidak paham, kukeluarkan ponsel dari saku baju seragam identitas sekolah yang kupakai, dan menunjukkan gambar buku paket yang kucari. Tadi saat di sekolah, aku memang sengaja mengambil gambar buku paket itu secara detail agar aku lebih mudah mencarinya. Angkasa mengirimkan gambar itu ke ponselnya melalui aplikasi berbagi.

"Tunggu di sini."

Aku menatap punggungnya dengan kening berkerut. Dia benar-benar akan mencarikannya kali ini? Baguslah. Setidaknya dia sadar kalau dia juga punya andil dalam kehilangan buku itu. Lima belas menit kemudian, dia keluar. Aku yang tadinya duduk bersandar pada motor langsung menegakkan badanku. Saat dia sudah sampai di depanku, tatapanku jatuh pada kedua tangannya. Kenapa dia tidak membawa apa-apa?

"Enggak ada juga?" tanyaku langsung.

Angkasa mengangkat bahunya membuat perasaanku tiba-tiba tidak enak. "Besok cari lagi. Sekarang udah sore."

Aku menghindar saat dia mengambil helm dan hendak memakaikannya padaku. "Lo tuh enak banget sih ngomong gitu? Besok apanya? Gue bisa dimarahin sama Bu Ani kalo besok nggak bawa tuh buku." 

Kudengar dia menghela napas berat. "Sekarang udah sore, dan bentar lagi huj–"

"Tapi gue harus dapetin buku itu hari ini!" potongku dengan nada meninggi. Sejenak kami berpandangan dengan tatapan sama-sama kesal. Aku menghentakkan kakiku dengan keras. "Kenapa sih lo harus jatohin buku-buku itu? Kalo lo nggak gila kayak tadi pagi, gue nggak bakal pusing kayak gini!"

Dia meremas rambutnya dan mendesah frustasi. "Gue yang bakal tanggung jawab sama Bu Ani besok. Jadi sekarang kita pulang!" Aku baru membuka mulut saat dia kembali membentak. "Gak usah bantah!"

Angkasa pun melajukan kembali motornya dengan kecepatan tinggi dan kami sama-sama diam. Aku sudah sangat lelah dan suasana hatiku benar-benar buruk sekarang. Belum ada tiga kilometer motor melaju, hujan deras tiba-tiba saja mengguyur jalanan dengan derasnya. Aku suka hujan, tapi tidak bisakah hujan turun saat aku sudah sampai rumah saja? Kenapa harus sekarang? Rumahku masih jauh dan aku tidak mau pakaianku basah kuyup. Semoga saja Angkasa membawa jas hujan, kalau bisa dua deh.

Namun aku mengernyit bingung saat Angkasa menepikan motornya di depan sebuah ruko yang tutup. "Turun." 

Aku pun turun, masih dengan perasaan bingung. Aku merapikan rambut yang berantakan setelah melepas helm. "Kenapa ke sini?"

Dengan cueknya dia melepas helm dan berjalan lebih dalam ke pelataran ruko itu.

Aku mengekor dan berdiri di sebelahnya.
"Jangan bilang kalo lo nggak bawa jas hujan?" 

Angkasa bergumam, membuatku berdecak kesal. Namun aku tidak punya pilihan lain selain menurutinya untuk berteduh di sini. Aku juga tidak mau basah kuyup karena kehujanan, karena aku harus bisa menjaga kesehatanku sendiri. Maksudku, daya tahan tubuhku cukup buruk sehingga walaupun hanya kehujanan saja aku bisa sakit lebih parah dibanding orang-orang pada umumnya.

Aku menghela napas berat, memandang butiran-butiran hujan yang berukuran besar saking derasnya hujan. Angin berhembus cukup kencang menusuk-nusuk kulit sehingga hawa dingin langsung menyerang tubuhku. Kedua lenganku memeluk erat tubuh sendiri, dingin. Aku berdecak merutuki kecerobohanku sendiri karena hari ini lupa membawa jaket atau setidaknya kardigan.
Keningku berkerut saat Angkasa berjalan kembali menuju motornya. Apa dia sudah mau pergi? Tapi hujannya belum reda, masih sangat deras. Saat aku berjalan mendekatinya yang sudah memakai helm, dia mengangkat tangan seolah mengisyaratkan agar aku tetap pada posisiku

"Tunggu di sini."

Seolah tidak memberiku kesempatan untuk mencerna ucapannya, cowok itu sudah melajukan motornya dengan kecepatan tinggi meninggalkanku yang berdiri mematung, sendiri di tempat ini. Tentu saja aku panik setengah mati. Tapi apa tadi katanya? Dia menyuruhku menunggu disini, kan? Itu artinya dia tidak meninggalkanku pulang dan tetap akan kembali ke sini, kan? 
Masalahnya adalah ruko tempatku berteduh sekarang letaknya sangat jauh dari pusat kota, dan artinya juga jauh dari rumahku. Tempat ini juga sudah sepi. Entah bagaimana caranya aku bisa mendapatkan kendaraan umum kalau Angkasa benar-benar tidak kembali.

Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, ini sudah hampir dua puluh menit sejak Angkasa pergi. Hanya rintik hujan yang masih saja deras, juga dinginnya angin yang berhembus yang menemaniku saat ini. Rasa panik langsung menyerang ku karena Angkasa tak kunjung datang. Berkali-kali aku memandangi ujung jalan yang dilewati motor Angkasa tadi, berharap dia segera datang. Kalau biasanya aku tidak suka melihat kedatangannya, tapi untuk kali ini aku berharap sekali dia segera datang.
Berulang kali aku mencoba menepis rasa takut, tapi lagi-lagi aku gagal. Siapa yang tidak takut ditinggalkan sendirian di tempat sepi seperti ini? Di tengah hujan deras, lagi!

Aku sungguh tidak akan memaafkan Angkasa kalau dia benar-benar tidak kembali dalam waktu satu menit. Sungguh.
Tapi kurasa takdir memang mengharapkan ku untuk memaafkannya. Buktinya, di detik ke dua puluh setelah aku berjanji, suara mesin motor yang kukenal terdengar mendekat. Dan aku bernapas lega melihat sosok yang sangat kukenal memakai jaket Levis berwarna hitam itu.

"Lama banget, sih?" tanyaku kesal saat dia sudah sampai di depanku.

Ekspresinya yang datar berubah menjadi sulit diartikan menanggapi pertanyaanku tadi. Sedetik kemudian dia menyeringai aneh dengan sebelah alisnya terangkat.

"Segitunya nungguin gue?"

Kurasakan pipiku memanas, segera kupalingkan wajahku ke arah lain. Berusaha sebisa mungkin agar cowok ini tidak menyadari wajahku yang mungkin sudah semerah kepiting rebus. Jangan sampai. Bisa ge-er dia!

Aku tersentak kaget saat sesuatu membalut tubuhku. Mendongak, mendapati Angkasa yang sudah berdiri, memakaikan sebuah jaket berwarna putih ke tubuhku. Niatku bertanya teralihkan oleh aroma khas kayu-kayuan bercampur mint dari tubuhnya yang sangat dekat dengan tubuhku. Jantungku menggedor-gedor tak karuan lagi. Aku menelan ludah dengan cukup kesulitan, sedangkan dia masih sibuk memakaikan jaket itu untukku.

Bahkan aku hanya diam terpaku saat dia menuntunku untuk melepaskan tas, kemudian tangannya menuntun lenganku agar masuk ke lengan jaket itu. Dan aku baru tersadar bahwa sedari tadi hanya diam menurut tanpa mengucapkan apa-apa. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, saat tangannya hendak menarik ke atas resleting jaket yang sudah kupakai ini.

"Gue bisa sendiri." 

Desiran aneh seperti sebuah sengatan saat tangannya sekilas bersentuhan dengan tanganku yang sama-sama dingin. Dengan sedikit gugup, kutarik resleting jaket keatas hingga jaket itu membalut tubuhku dengan sempurna. Aku bernapas lega saat dia mengubah posisinya menjadi berdiri di sebelahku, bukan di depanku lagi. Kupandangi langit yang masih menurunkan rintik-rintik hujan, ini sudah sangat sore.

Ah, Kak Viny! Aku bahkan lupa untuk memberitahu kak Viny kalau aku akan pulang terlambat. Bagaimana bisa aku melupakannya? Kak Viny pasti sangat khawatir sekarang.

"Gue udah ngomong sama Viny."

Niatku menekan tombol hijau di ponsel, batal mendengar ucapan Angkasa barusan. Apa dia tahu isi pikiranku? Apa dia bisa membaca pikiran orang lain? Hii jadi ngeri!
Dengan gerakan pelan, kumasukkan ponselku ke saku jaket yang kupakai. Kuputuskan untuk duduk di lantai dan menyandarkan punggung pada pintu toko yang tertutup itu. Dan ternyata Angkasa juga melakukan hal yang sama. Aku tertegun saat melihat kantong plastik yang tergeletak di lantai. Dapat kulihat dengan jelas nama toko yang tertera pada kantong plastik itu.

Tatapanku teralih pada jaket yang kupakai. Jadi Angkasa sengaja membelikan jaket ini? Untukku? Jadi dia pergi dalam waktu cukup lama hanya untuk membeli ini?
Entah kenapa ada sesuatu yang menghangat di rongga dadaku. Kurasakan pipiku kembali memanas sekarang.

"Berapa harga jaketnya?" 

Angkasa yang duduk menyandarkan punggung pada pintu toko dan menumpukan kedua tangannya pada lutut yang ditekuk, menoleh. Sebelah alisnya terangkat menatapku.

"Gue ganti."

Tatapannya berubah menajam. Apa aku bicara salah? Dua detik dia menatapku seperti itu, kemudian memalingkan pandangannya ke arah depan lagi. "Gue belum semiskin itu."

Aku mengerucutkan bibir mendengar ucapan datarnya itu. Sekitar lima belas menit kemudian hujan reda, hanya menyisakan gerimis kecil saja. Aku bangkit dan berjalan mengikuti Angkasa menuju motornya. Seperti sebelumnya, dia memakaikanku helm. Sedang dia fokus mengaitkan pengait helm itu, entah keberanian dari mana aku mulai mengamati wajahnya. Mulai dari dagunya yang lancip, bibir yang agak tebal, hidung agak mancung, matanya yang tidak terlalu sipit namun juga tidak terlalu besar, dan alis tebalnya. Dan terakhir tatapanku jatuh pada pelipisnya.

"Tapi muka dia bonyok gitu. Kayaknya abis berantem deh. Kak Angkasa kan emang sering berantem."

Ucapan Intan tadi siang terngiang di kepalaku. Benar, wajahnya babak-belur. Dan yang paling parah adalah pelipisnya itu, sedikit sobek dengan bekas darah di sana. Hampir enam jam melewatkan waktu bersamanya, aku bahkan tidak menyadari kondisi wajahnya itu. Tanpa sadar aku meringis pelan, pasti itu rasanya sakit.

"Abis berantem?" tanyaku.

Dia melirik datar, mengambil helmnya sendiri. "Nggak usah kepo."

Sialan. Menipiskan bibir, aku mengulurkan plester yang kuambil dari saku tas. "Gue nggak suka liat muka bonyok."

Sebelah alisnya terangkat. "Kasihan? Khawatir?"

Aku berdecih. "Jangan ngarep. Ambil!"

Tapi dia tetap tidak mau mengambilnya. Malah memajukan wajah, membuat kepalaku mundur seketika. "Pakein."

Mataku berotasi. "Siapa elo?!"

Dia menarik kembali wajahnya. "Ya udah, simpan lagi. Gue nggak butuh."

Tenang, Bi. Kamu harus punya stok kesabaran yang cukup untuk menghadapi cowok ini. "Ya udah, sini gue pakein."
Aku pura-pura tidak sadar, kalau barusan dia menyeringai lebar. Pasti senang karena bisa mengerjaiku. Aku menempelkan plester itu dengan gerakan kasar. "Gue nggak suka cowok tukang berantem."

Dia membalas tatapanku. "Ada alasannya."

"Apa? Ego? Harga diri? Pembuktian siapa yang lebih jago?" Keterdiamannya membuatku yakin, dia mengiyakan. "Nggak keren amat!"

Dia menahan tanganku saat aku hendak melangkah menuju motor. Aku menatapnya heran. Matanya menyorotku intens. "Gue nggak akan berantem lagi."

Tanpa sadar, aku tersenyum. "Baguslah."

"Asal lo janji, setelah ini nurut sama omongan gue."

Senyumku lenyap. Kuempaskan tanganku dengan segenap tenaga. Lalu berteriak di depan wajahnya, "In your dream!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status